06 November 2007

Tapol GAM

.
Tapol GAM Eks Kopassus : Dari Kanan ke kiri, Ibrahim Hasan (eks Kostrad), Khairul Amal (Anggota DPR Aceh) dan Irwan bin Ilyas (eks Kopassus) ketika dikunjungi oleh anggota Komisi A DPR Aceh pada 29 Oktober silam. Anggota DPR Aceh, mahasiswa dan KPA meminta 11 napol GAM dibebaskan sebagaimana hasil perjanjian Helsinki. (ARF News Photo/Murizal)

03 November 2007

Kesejahteraan Untuk Si Miskin

Oleh : Roys Vahlevi M


Kesejahteraan bukan cuma pemenuhan kebutuhan dasar jasmani juga rohani. Di antara kebutuhan rohani adalah keadilan. Selebihnya adalah ketenangan mental, keharmonisan keluarga dan masyarakat, kebebasan dan persaudaraan umat manusia. Demikian tulis Ibnu Khaldun dalam "Muqaddimah" yang dikenal sebagai teori "Model Dinamika". Khaldun memandang dinamika sosial, moral, ekonomi, dan politik yang berbeda namun saling berkait untuk suatu kemajuan maupun kemunduran suatu lingkungan masyarakat, pemerintahan atau negara.
Setiap orang tidak akan dapat memenuhi seluruh kebutuhan ekonominya seorang diri, melainkan mereka harus bekerjasama dan saling membagi tugas sesuai spesialisasinya. Sebab melalui kerjasama lebih menguntungkan daripada yang dicapai oleh masing-masing individu. Dalam teori modern, pendapat ini mirip dengan teori comparative advantage. Ibnu Khaldun memadukan teori produksi, teori nilai, teori pemasaran, dan teori siklus menjadi teori ekonomi umum yang koheren dan disusun dalam kerangka sejarah. Bahwa kesejahteraan merupakan produk akhir dari interaksi faktor-faktor ekonomi (seperti pendapatan) dengan faktor-faktor moral, sosial, demografis, politis dan historis yang terintegrasi sedemikian rupa dan tidak dapat berkontribusi optimum dengan menghilangkan salah satunya.
Sebab kesejahteraan yang sebenarnya tidak akan pernah terealisasi tanpa keadilan. Alquran menyatakan penegakan keadilan menjadi tujuan diutusnya para rasul (QS.57:25): “Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan Kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil”. Rasulullah SAW juga menyatakan ketidakadilan sebagai kegelapan yang sesungguhnya (injustice equivalent to absolute darkness). Karena ketidakadilan meruntuhkan solidaritas, menyulut konflik, membunuh kepercayaan serta membuat kerusakan pada kehidupan manusia.
Kesejahteraan Islami
Kesejahteraan dalam pembangunan sosial ekonomi, tidak dapat didefinisikan hanya berdasarkan konsep ekonomi, materialis dan hedonis, tetapi mesti memasukkan tujuan-tujuan kemanusiaan dan keruhanian yang mencakup permasalahan persaudaraan manusia dan keadilan sosial-ekonomi, kesucian kehidupan, kehormatan individu, kehormatan harta, kedamaian dan kebahagiaan jiwa serta keharmonisan kehidupan keluarga dan masyarakat. Indikator tujuan-tujuan tersebut terealisasi, antara lain tingkat persamaan sosial dan pemenuhan kebutuhan dasar bagi semua; terpenuhinya kesempatan bekerja/berusaha bagi semua masyarakat; terwujudnya keadilan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan; stabilitas ekonomi yang dicapai tanpa tingkat inflasi yang tinggi; dan rendahnya penyusutan sumber daya ekonomi yang tidak dapat diperbaharui, atau ekosistem yang dapat membahayakan kehidupan. Cara lain menguji realisasi tujuan kesejahteraan dengan melihat perwujudan tingkat solidaritas keluarga dan sosial yang dicerminkan pada tingkat tanggungjawab bersama dalam masyarakat, khususnya terhadap anak-anak, usia lanjut, orang sakit dan cacat, fakir miskin, keluarga yang bermasalah, dan penangulangan kenakalan remaja, dan kekacauan sosial.
Dalam kerangka dinamika sosial ekonomi Islami, suatu pemerintahan harus dapat menjamin kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan lingkungan serasi untuk aktualisasi pembangunan dan keadilan melalui implementasi syariah. Pembangunan dan pemerataan distribusi kekayaan dilakukan untuk kepentingan bersama dalam jangka panjang. Sebab suatu masyarakat bisa saja mencapai puncak kemakmuran secara material namun tidak akan bertahan lama bila lapisan moral individu dan sosial masyarakat sangat lemah. Gilirannya terjadi disintegrasi keluarga, ketegangan sosial, meningkatnya anomie masyarakat, dan pemerintah tidak bisa berperan sesuai wewenang dan porsinya.
Dalam kontek ini, cara paling konstruktif merealisasikan visi kesejahteraan lahir-batin bagi rakyat miskin adalah mengoptimalkan sumberdaya alam dan manusia secara produktif. Kecuali itu, melakukan penguatan rakyat agar mereka kreatif untuk meningkatkan tarap hidup dan meraih kesejahtraannya, salah satunya melalui pengembangan usaha sektor riil. Dengan demikian angkatan kerja/pengangguran dapat terserap sehingga peningkatan kesejahtraan dapat tercapai. Kesejahtraan akan menjadi dilema jika angka pengangguran dan kelompok masyarakat rentan tidak dapat ditekan. Fakta ini masih menyelimuti sebagian besar kehidupan. Misal, sepanjang tahun 2006 ini tercatat tingkat kemiskinan mencapai angka 39,5 persen, lebih tinggi daripada angka kemiskinan tahun lalu yang mencapai 35,1 persen. Demikian juga dengan angka pengangguran yang mencapai 11 persen. Keduanya menjadi indikator betapa bangsa kita masih belum mampu melepaskan diri dari keterpurukan.
Kondisi obyektif itu tingginya kemiskinan dan masyarakat rentan, terabaikan dari sistem dan kebijakan bangsa kita. Masyarakat rentan tertutup akses untuk bisa keluar dari lilitan kemiskinan untuk beroleh hidup mandiri dan sejahtra. Gap antara yang kaya dan yang miskin semakin menganga. Sebagaimana dilansiri Wapres Jusuf Kalla, bahwa kesenjangan ini telah mencapai taraf yang sangat membahayakan. Padahal, Rasulullah SAW telah mengingatkan supaya membela kaum miskin, tidak membiarkan kefakiran merajalela di mana-mana, karena kefakiran itu sesungguhnya hanya akan menyebabkan dekatnya orang dengan kekufuran. Dan mengkhianati kaum miskin hanya akan mengundang kemurkaan Allah. Keberkahan hidup akan dicabut dan berbagai bencana akan datang silih berganti (al-hadits).
Langkah Strategis
Sistem berbasiskan Islam merupakan langkah strategis penguatan ekonomi untuk kesejahtraan rakyat miskin dan rentan. Paling tidak terdapat tiga langkah, pertama, pengembangan ilmu ekonomi berbasis Syariah. Dapat dilakukan melalui dunia pendidikan baik formal maupun non formal, di kampus-kampus, lembaga penelitian ilmiah, kelompok-kelompok kajian, media massa, maupun di pondok-pondok pesantren. Kedua, penumbuhkembangan regulasi-regulasi yang mendukung penguatan ekonomi berbasiskan Syariah dalam praktik, baik melalui institusi keuangan maupun kegiatan bisnis dan usaha riil.
Ketiga, ketika ekonomi syariah dikembangkan dan didukung oleh sebuah sistem yang baik, selanjut adalah membangun perekonomian umat secara nyata, sehingga bisa dirasakan secara lebih luas oleh masyarakat dalam bentuk pengembangan sektor riil dengan ditopang oleh lembaga keuangan yang berbasis syariah. Pada akhirnya diharapkan produktivitas dan kegiatan ekonomi masyarakat akan lebih meningkat.
Dalam konteks pengentasan kemiskinan dan masyarakat rentan di Aceh, pemerintah Aceh, sejatinya fokus program pada pembentukan, pengembangan dan diversifikasi usaha kecil produktif yang berbasis syariah harus diaplikasi. Tentu saja dengan memperhatikan aspek pemanfaatan kearifan dan sumberdaya lokal, membangun kerekatan sosial dan mensubsidi modal bagi mereka. Pembangunan ekonomi umat dapat menggunakan filosofi ’air sungai yang membuat hijau dan mengaliri tanah di sekitarnya‘, artinya benar-benar menyentu rakyat miskin dan rentan serta didukung kebijakan agar mereka mendapatkan akses yang mudah dalam mendapatkan modal usaha mikro baik dalam bentuk UKM maupun usaha lainnya yang dapat menguatkan lembaga keuangan masyarakat kecil itu.
Kenapa Jepang bisa, kenapa pula pemerintah Aceh tidak!!! Jepang menjadi kuat perekonomiannya karena kuatnya industri kecil dan menengah yang dikelola rakyat. Kontribusi UKM-nya mencapai 50 persen dari total kekuatan perindustrian Jepang. Hal serupa telah dibuktikan Muhammad Yunus dengan Grameen Bank-nya. Yunus yang meraih nobel perdamaian 2007, berhasil mengubah nasib banyak kaum papa, khususnya perempuan miskin di Bangladesh sehingga mereka menjadi pemodal, bahkan menjadi pemegang saham terbesar Garmen Bank. Bangladesh tidak lebih baik dari Aceh, tapi pemerintahnya peka dan peduli sehingga rakyat mampu keluar dari lilitan kemiskinan menuju sejahtra dan damai. Benar seperti kata M. Yunus, bahwa “perdamaian bukan berarti tidak perang, tetapi bagaimana setiap orang keluar dari kemiskinan dan hidup sejahtera secara merdeka”.

Penulis adalah Direktur Yayasan Insan Cita Madani (YICM) & Mantan Ketua Umum Badko HMI NAD
Opini Serambi Indonesia 14 Mei 2007