22 Oktober 2007

MENUNAIKAN AMANAH KEPEMIMPINAN DI JALAN DAKWAH


OLEH : MARLAINI HASBI

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu sekalian untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu dan sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (An-Nisa’ : 58).

Ayat ini meskipun menggunakan redaksi yang umum “kepada kamu sekalian”, namun secara lebih khusus pembicaraan ayat ini ditujukan kepada para pemimpin dan penguasa seperti yang dipahami oleh Muhammad bin Ka’ab dan Zaid bin Aslam yang dinukil oleh Ibnu Katsir. Pemahaman seperti ini sangat tepat, karena merekalah yang memiliki amanah yang besar untuk ditunaikan sehingga mereka diminta untuk menjaga amanah dan pemerintahan tersebut dengan benar dan adil. Jika amanah dan keadilan disia-siakan, maka umat manusia akan binasa dan negeri ini akan hancur.
Seorang pemimpin adalah pribadi yang sangat menentukan bagi suatu umat atau bangsa. Menentukan karena dengannya sebuah Negara bisa maju atau mundur. Bila seorang pemimpin tampil lebih memihak kepada kepentingan dirinya, tidak bisa tidak rakyat pasti terlantar. Sebaliknya bila seorang pemimpin lebih berpihak kepada rakyatnya, maka keadilan pasti ia tegakkan. Keadilan adalah titik keseimbangan yang menentukan tegak tidaknya alam semesta ini. Allah swt menegakkan langit dengan keseimbangan. Pun juga segala yang ada di bumi Allah swt berikan dengan penuh keseimbangan. Padanan keseimbangan adalah keadilan, lawan katanya adalah kedzaliman.
Setiap kedzaliman pasti merusak. Bila manusia berbuat dzalim maka pasti ia akan merusak diri dan lingkungannya. Bayangkan bila yang berbuat dzalim adalah seorang pemimpin. Pasti yang akan hancur adalah bangsa secara keseluruhan. Di dalam Al Qur’an Allah swt telah menceritakan hancurnya umat-umat terdahulu adalah karena kedzaliman pemimpinnya. Karena itu bila kita berusaha untuk memecahkan persoalan bangsa maka tidak ada jalan kecuali yang pertama kali kita perbaiki adalah pemimpinnya.
Pemimpin yang korup dan dzalim bukan saja akan membawa malapetaka terhadap rakyatnya tetapi lebih jauh –dan ini yang sangat kita takuti – Allah swt akan mencabut keberkahan yang diberikan. Sungguh sangat sengsara sebuah kaum yang kehilangan keberkahan. Sebab dengan hilangnya keberkahan tidak saja fisik yang sengsara melainkan lebih dari itu, ruhani juga ikut meronta-ronta.

Pemimpin Adalah Nahkoda
Benar, perumpamaan yang mengatakan bahwa pemimpin adalah nahkoda bagi sebuah kapal. Sebab Negara ibarat kapal yang didalamnya banyak penumpangnya. Para penumpang seringkali tidak tahu apa-apa. Maka selamat tidaknya sebuah kapal tergantung nahkodanya. Bila nahkodanya berusaha untuk menabrakkan kapal ke sebuah karang, tentu bisa dipastikan bahwa kapal itu akan tenggelam dan semua penumpang akan sengsara.
Ibarat kepala bagi sebuah badan, pemimpin adalah otak yang mengatur semua gerakan anggotanya. Karena itu pemimpin harus cerdas, lebih dari itu harus jujur dan adil. Tidak cukup seorang pemimpin hanya bermodal kecerdasan, sebab seringkali para pemimpin yang korup menggunakan kecerdasannya untuk menipu rakyat. Karena itu ia harus jujur dan adil. Itulah rahasia firman Allah : “I’diluu huwa aqrabu lit taqwaa. Berbuat adillah, karena berbuat adil itu lebih dekat kepada taqwa” (QS. Al Ma’idah: 8). Perhatikan ayat ini menunjukkan bahwa keadilan adalah jalan menuju ketaqwaan. Mengapa? Sebab tidak mungkin seorang pemimpin yang dzalim bertaqwa. Bila jiwa taqwa hilang dari diri seorang pemimpin, ia pasti akan berani kepada Allah swt. Bila seorang pemimpin berani kepada Allah swt, maka kepada manusia ia akan lebih berani.
Karena itu bekal utama seorang pemimpin harus benar-benar menegakkan taqwa dalam dirinya. Karena itu pesan utama Al Qur’an adalah membangun pribadi taqwa. Sebab dengan taqwa seorang pemimpin akan bersungguh-sungguh ikut tuntunan Allah SWT. Bila ia bersungguh-sungguh ikut tuntunan Allah SWT maka segala langkahnya akan berkah dan otomatis Negara yang dipimpinnya pun akan berkah. Itulah rahasi mengapa dalam memilih seorang pemimpin, hendaklah sebuah bangsa jangan asal-asalan. Melainkan harus benar-benar selektif. Jangan asal disogok lalu berani mengorbankan kebenarn. Ingat bahwa Allah SWT tidak hanya mengancam orang-orang yang berbuat dzalim, melainkan juga mengancam orang-orang yang mendukung kedzaliman tersebut. Allah berfirman: “Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka, dan Fir’aun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang amat buruk. Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras”. (QS. Al Mukmin : 45-46).

Pemimpin Adalah Cerminan Rakyat
Rakyat yang cerdas tidak mungkin memilih pemimpin yang bodoh. Rakyat yang bersih tidak mungkin memilih pemimpin yang korup. Tetapi sebaliknya bila rakyatnya korup maka pasti yang akan dipilih adalah pemimpin yang korup. Karena itu terpilihnya Fir’un sebagai raja, adalah karena rakyatnya bodoh dan bejat. Sebab siapakah sebenarnya seorang pemimpin, jika ia tidak mendapatkan dukungan. Ia sebenarnya tidak berdaya apa-apa. Jika semua rakyatnya bersatu untuk menyerangnya ia pasti tidak bisa bertahan. Karenanya pemimpin yang korup akan selalu menciptakan lingkungan agar rakyat tetap bodoh. Sebab dengan kebodohannya ia akan lebih lama berkuasa, dan lebih nyaman menikmaati kedzalimannya.
Ustadz Sayed Qutb ketika menafsirkan ayat tentang Fir’un dalam surat An Naziat menjelaskan bahwa sebenarnya Fir’un tidak mempunyai kekuatan sejumlah rakyatnya. Maka jika rakyatnya cerdas, mereka tidak mungkin mengizinkan Fir’un terus berkuasa. Mereka pasti akan segera memberontak atas kedzalimannya. Namun karena mereka bodoh, maka Fir’un merasa semakin tinggi. Puncaknya Fir’un menjadi lupa daratan sehingga ia mendeklarasikan dirinya sebagai tuhan. Dia berkata seperti yang Allah SWT yang direkam dalam surat An Nazi’at: ”ana rabbukumul a’laa. Saya tuhan kalian yang tinggi”. Perhatikan betapa seorang pemimpin adalah cerminan rakyat itu sendiri. Jadi sekarang tergantung kita sebagai rakyat, mau memilih pemimpin yang korup atau yang jujur dan adil.
Ingat bahwa setiap suara yang kita berikan itu adalah amanah. Bila kita salah menyerahkan amanah, yang sengsara kita juga. Sebaliknya bila kita bersungguh-sungguh untuk menyerahan amanah itu kepada yang ahlinya, maka kitalah yang akan menikmatinya. Bukan saja kesejahteraan di dunia yang kita dapatkan melainkan lebih dari itu, kita akan mendapatkan pahala yang melimpah karena kita telah mendukung kebaikan. Dari sini nampak bahwa suara rakyat adalah sangat menentukan terhadap lahirnya seorang pemimpin. Oleh sebab itu, kita sebagai rakyat hendaknya bersungguh-sungguh untuk menjadi rakyat yang baik, sebab jika tidak, kita sendiri yang rugi dan sengsara. Rasulullah saw. Bersabda: ”Bahwa seorang mu’min tidak pantas terjatuh ke lubang yang sama dua kali”. Maka cukuplah masa lalu kita jadikan pelajaran. Sekarang sudah saatnya kita memilih pemimpin yang benar-benar membawa risalah Allah. Sebab hanya dengan menegakkan ajaran Allah swt keberkahan akan turun. Allah berfirman: ”Seandainya penduduk sebuah negeri beriman dan bertaqwa, niscaya akan Kami turunkan keberkahan dari langit dan bumi”. QS. Al A’raf : 96.
Berdasarkan hal di atas, jelas bahwa keberkahan yang akan kita raih tergantung perjuangan kita untuk menegakkan ajaran Allah. Dan untuk itu sungguh sebuah keniscayaan kita memilih seorang pemimpin yang benar-benar membawa keberkahan. Itulah pemimpin yang bersih dan senantiasa mengedepankan risalah Allah swt sebagai panduannya. Sejarah telah membuktikan bahwa kisah-kisah pemimpin berhasil seperti yang Allah swt ceritakan dalam Al Qur’an, misalnya: Nabi Daud as, Nabi Sulaiman as, dan Dzul Qarnain, itu adalah karena kesungguhan mereka menegakkan ajaran Allah dalam kepemimpinannya. Begitu juga kepemimpinan Rasulullah SAW, yang dilanjutkan oleh Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Abdul Aziz. Mereka dalah contoh-contoh yang tidak bisa kita nafikan sebagai puncak pemimpin yang paling berhasil dan sukses.
Dan bila kita teliti kunci utama keberhasailan mereka adalah karena mereka memimpin dengan ketaqwaan. Sebab bila seorang pemimpin bertaqwa ia pasti jujur dan amanah. Bila seorang pemimpin jujur dan amanah ia pasti akan memberikan yang terbaik kepada rakyat yang dipimpinnya. Sebaliknya bila seorang pemimpin tidak bertaqwa, ia pasti akan selalu membawa bencana dengan kedzaliman yang ia bangga-banggakan. Kedzaliman adalah sumber kesengsaraan. Karena itu Allah SWT menyebutkan bahwa orang yang paling dzalim adalah orang yanga setelah mendapatkan tuntunan dari Allah malah ia berpaling darinya. Mengapa dikatakan dzalim, karena dengan kedzalimannya tidak saja ia menjadikan dirinya sebagai bahan neraka, melain juga dengan kedzalimannya ia membawa acaman bagi orang lain yang dipimpinnya. Wallahu A’lam bish Shawab.

Aspek Kekuasan dan Dakwah
“Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya (Dzul Qarnain) di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu”. (Al-Kahfi : 84).
Ayat di atas dan ayat anugerah kekuasaan kepada para Nabi pilihan Allah SWT lainnya cukup menjadi bukti dan argumentasi yang kuat untuk menjawab mispersepsi atau miskonsepsi yang masih hadir di tengah-tengah umat bahwa kekuasaan sangat bertentangan dengan dakwah. Kekuasaan adalah simbol kediktatoran dan cermin kezaliman, sedangkan dakwah adalah cermin keteladanan dan simbol kasih sayang. Persepsi negatif ini wajar muncul karena beberapa orang –bisa jadi mayoritas orang- yang diberi kesempatan untuk berkuasa ternyata tidak mampu memanfaatkan kekuasaan itu untuk kemaslahatan dan kesejahteraan bangsa. Malah sebaliknya, kekuasan itu dimanfaatkan untuk mempekaya diri dan justifikasi tindakan kesewenangannya.
Di sisi lain, ada sekelompok orang yang memiliki cita-cita luhur menyebarkan kemaslahatan dan kesejahteraan kepada semua pihak, namun tidak dapat merealisasikannya karena tidak memiliki alat kekuasaan (power). Dua realitas yang menggejala di tengah umat ini tentunya tidak bisa dijadikan alasan menyalahkan kekuasaan atau memaksakan kekuasaan. Kehadiran kekuasaan dalam konteks dakwah, merupakan sunnatullah yang pernah berlaku kepada umat terdahulu, bahkan melalui manusia unggulan pilihan Allah swt, yaitu para Nabi dan hamba-hamba-Nya yang shalih. Tentu, anugerah kekuasaan yang Allah swt berikan kepada salah seorang dari hamba-Nya yang sholeh tidak bisa dilepaskan dari misi dakwah menyebarkan ajaran Islam dan menegakkannya di tengah-tengah umat manusia.
Dzul Qarnain yang diabadikan namanya pada ayat di atas merupakan figur penguasa yang sekaligus aktifis dakwah. Ia mampu merealisasikan dakwah dan kekuasaan secara bersamaan. Bahkan dengan kekuasaan yang dimilikinya, ia mampu menghadirkan kemajuan dan kemaslahatan bagi seluruh lapisan masyarakat. Al-Qur’an menyuguhkan kisah prestasi positif Dzul Qarnain dalam bidang dakwah dengan kekuasaan yang diraihnya dalam surah Al-Kahfi : (83-98). Pengabadian kisah dakwah dan kekuasaan Dzul Qarnain oleh Al-Qur’an jelas merupakan petunjuk sekaligus jawaban bahwa sebuah dakwah akan lebih memberikan hasil yang maksimal manakala didukung oleh sarana kekuasaan. Simaklah ketegasan Dzul Qarnain dalam ayat berikut ini, “Berkata Dzulkarnain: “Adapun orang yang aniaya, maka kami kelak akan mengazabnya, kemudian dia kembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengazabnya dengan azab yang tidak ada taranya. Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah kami.” (Al-Kahfi: 87-88).
Pernyataan yang demikian tegas ini tentunya tidak akan terlontar kecuali dari seorang penguasa. Dalam hadits Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar, Rasulullah saw malah mengawali perubahan kemunkaran itu dengan “biyadihi” yaitu kekuasaan dan kekuatan, barulah langkah di bawah berikutnya dengan lisan dan dengan doa, meskipun termasuk tanda iman yang lemah.

Meraih Kekuasaan di Jalan Dakwah
Pada realitasnya, dengan kekuatan dan kekuasaan yang Allah swt anugerahkan, justru memudahkan Dzul Qarnain untuk melakukan ekspansi dakwah ke seluruh penjuru bumi dari belahan timur hingga ke belahan barat, sekaligus mendapatkan ketaatan umat manusia, yang selanjutkan ia manfaatkan untuk melancarkan program pemberdayaan, pembangunan dan penyejahteraan. Bahkan dengan kekuasaannya yang besar, memudahkannya untuk merealisasikan apapun nantinya yang dapat memajukan dan mensejahterakan kehidupan bersama. Bukti lain dari Dzul Qarnain yang disebutkan kisahnya dalam surah Al-Kahfi, bahwa ia bukan sekedar penguasa biasa. Ia sekaligus seorang hamba Allah yang sholeh yang tak kenal lelah melakukan safari dakwah untuk mensosialisasikan ajaran Allah.
Allah swt menggambarkan jaulah dakwahnya yang cukup padat ke berbagai penjuru dunia yang tidak bisa dicapai oleh orang lain, “Kemudian dia menempuh jalan (yang lain). Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah Timur) dia mendapati matahari itu menyinari segolongan umat yang Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari itu, demikianlah. dan sesungguhnya ilmu Kami meliputi segala apa yang ada padanya. (Al-Kahfi: 89-91).
Dalam konteks kekuasaan sebagai bagian dari sarana dakwah Islam, nabi Yusuf As sangat layak untuk dijadikan contoh nyata bahwa kekuasaan yang dimiliki seorang da’i akan memuluskan kerja dan tujuan dakwah. Al-Qur’an menyebutkan permintaan Nabi Yusuf as kepada raja Mesir, “Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (Yusuf : 55). Permintaan ini disampaikan manakala raja menawarkan jabatan kepadanya, “Dan raja berkata: “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku.” Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami.” (Yusuf : 54).
Peluang dan kesempatan yang terbuka di depannya tidak disia-siakan lagi oleh Nabi Yusuf as demi kepentingan dakwah. Ayat meminta jabatan oleh nabi Yusuf as di sini harus difahami dari sudut pandang yang positif bahwa sesungguhnya Nabi Yusuf as tidak meminta jabatan melainkan yang diyakininya dapat mengatasi krisis di masa depan. Jabatan yang diyakini akan mampu melindungi rakyatnya dari kelaparan dan kematian serta melindungi Negara dari kehancuran. Jabatan yang akan diembannya justru memiliki konsekuensi dan tanggung jawab yang berat di masa paling sulit ketika krisis terjadi. Nabi Yusuf as harus bertanggung jawab atas kecukupun stok makanan bagi seluruh bangsa Mesir dan bangsa-bangsa sekitarnya selama tujuh tahun ke depan, dimana selama itu tidak ada kegiatan pertanian dan peternakan.
Memang suatu jabatan yang tidak menguntungkan bagi Yusuf as. namun justru dengan kekuasaan tersebut, nabi Yusuf as dapat lebih leluasa bergerak dan berdakwah merealisasikan tujuan dan misi Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin, “Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju kemana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik”. (Yusuf : 56).
Sayid Qutb mengomentari kekuasaan yang telah diraih oleh nabi Yusuf di Mesir dalam kaca mata dakwah bahwa sesungguhnya penghalang terbesar bagi peralihan sebuah masyarakat dari jahiliyah menuju Islam adalah keberadaan para thagut (penguasa) yang enggan berhukum kepada undang-undang Allah swt. Ditambah dengan keberadaan bangsa yang masih taat dan tunduk kepada thagut. Di sini, nabi Yusuf as melihat kondisi yang memungkinkannya untuk menjadi seorang pemimpin yang ditaati dan bukan tunduk kepada norma jahiliyah. Sehingga dengan kekuasaanya itulah, ia bebas berdakwah dan menyerbarkannya di tengah masyarakat Mesir pada masa pemerintahannya.
Demikianlah tabiat dakwah Islam. Berawal dari individu, kemudian diikuti oleh sekelompok orang. Lantas kumpulan ini bergerak melawan jahiliyah dengan segala resiko sehingga Allah SWT memutuskan dengan hukum-Nya antara orang-orang yang tunduk kepada-Nya dengan mereka yang ingkar dan durhaka. Lalu Allah SWT menganugerahkan kepada mereka kekuatan dan kekuasaan di muka bumi, sehingga orang-orang berbondong-bondong memeluk agama Allah SWT.
Disinilah urgensi kekuasaan dalam dakwah Islam. Dengan kekuasaan, pintu dan peluang dakwah dan amal sholeh akan lebih terbuka luas. Efektifitas kekuasaan dalam menegakkan dakwah telah terbukti dalam sejarah dakwah para manusia pilihan Allah; Nabi Sulaiman, nabi Yusuf, Dzul Qarnain, bahkan Rasulullah saw sendiri ketika berhasil menguasai dan menaklukkan Mekah, sehingga berbondong-bondong penduduk Mekah memeluk Islam. “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat”. (An-Nashr: 1-3).
Saatnya kita menjadikan dan memanfaatkan kekuasaan dalam bentuk dan skala apapun sebagai sarana untuk menyempurnakan dakwah Islam sehingga integralitas Islam mampu kita jabarkan dalam realitas kehidupan sehari-hari. Karena sesungguhnya Islam adalah Din sekaligus Negara (Din Wa Daulah), bukan dipersempit dengan batasan ruang rutinitas ibadah mahdloh –ritual- sehari-hari semata. Allahu A’lam.

Berdakwah Dalam Hikmah
Hikmah menurut banyak ahli tafsir adalah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil. Di dalam kata hikmah terkandung makna kokoh. Allah berfirman: kitaabun uhkimat aayaatuhu. Dikatakan kepada sebuah bangunan yang kokoh: al binaa’ul muhkam. Bila kata hikmah digandengkan dengan dakwah maksudnya di sini adalah bahwa dakwah tersebut dilakukan dengan sungguh-sungguh, tidak pernah kandas di tengah jalan. Ia terus berjalan dalam kondisi apapun. Aktivisnya tidak pernah kenal lelah. Segala kemungkinan yang bisa diterobos demi tegaknya kebenaran ditempuhnya dengan lapang dada.
Di dalam kata hikmah juga terkandung makna bijak (wisdom). Dakwah yang bijak menurut Ustadz Sayyid Quthub adalah yang memperhatikan situasi dan kondisi dari para mad’u (objek dakwah). Sejauh mana kemampuan daya serap yang mereka miliki. Jangan sampai tugas-tugas yang diberikan di luar kemampuan si mad’u. Sebab, kesiapan jiwa masing-masing mad’u berbeda. Diupayakan setiap satuan tugas yang diberikan sejalan dengan kapasitas intelektual dan spiritual mereka (lihat fii dzilaalil Qur’an, Sayyid Quthub vol.4, hal.2202). Perhatikan bagaimana Allah menurunkan Al-Qur’an tidak sekaligus, melainkan secara bertahap dalam berbagai situasi dan kondisi: pertama kali mengenai ayat-ayat keimanan. Karenanya surat-surat periode Makkah lebih terkonsentrasi kepada masalah keimanan. Baru setelah hijrah ke Madinah, di mana iman para sahabat telah kokoh, Allah turunkan ayat-ayat tentang syariat.
Siti A’isyah r.a. pernah mengomentari masalah ini dengan sangat mengagumkan, bahwa sesungguhnya yang pertama kali Allah turunkan adalah ayat-ayat mengenai iman kepada Allah swt. Baru setelah iman para sahabat kuat, diturunkan ayat-ayat tentang halal-haram. Lalu Aisyah berkata: Seandainya yang pertama kali Allah turunkan adalah larangan: jangan kau minum khamer, niscaya mereka akan menjawab: kami tidak akan meninggalkan khamer selamanya. Dan seandainya yang pertama kali Allah turunkan adalah larangan: jangan kau berzina, niscaya mereka akan menjawab: kami tidak akan meninggalkan zina selamanya (HR. Bukhari, no. 4609).
Dalam rangka ini pula ayat-ayat mengenai larangan minum khamer tidak langsung sekaligus, melainkan melalui empat tahap: Tahap pertama Allah memberikan isyarat bahwa barang-barang yang memabukkan itu bukan rezki yang baik: “Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.” (An-Nahl: 67). Pada tahap kedua, Allah berfirman: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa`at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa`atnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir. (Al-Baqarah: 219) Di sini Allah menerangkan bahwa khamer itu sebenarnya berbahaya besar. Kalaupun ada manfaatnya, itu hanya dari segi perdagangan saja, sementara bagi kesehatan ia sangat membahayakan.
Tahap Ketiga, Allah melarang seseorang yang mabuk karena khamer untuk melakukan shalat, tetapi minum khamernya masih belum dilarang. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (An-Nisa’: 43). Di dalam ayat ini secara tidak langsung terkandung pengharaman minum khamer. Tetapi masih belum ditegaskan. Baru setelah tahapan itu semua, pada tahap keempat, Allah menegaskan bahwa khamer haram hukumnya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (Al-Maidah: 90-91)

Mau’idzah Hasanah Jalan Menuju Dakwah
Kata wa’dz lebih dekat pengertiannya kepada makna memberikan nasihat atau pelajaran. Imam Al-Asfahani menerangkan bahwa wa’dz bermakna zajrun muqatrinun bit takhawiif (peringatan digabung dengan kabar penakut). Pengertian lain menjelaskan bahwa wa’dz juga bermakna peringatan dengan kebaikan yang bisa menyentuh hati. Dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menggunakan kata wa’zd untuk makna tersebut, di antaranya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu (ya’idzukum) agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (An-Nahl: 90). Dalam surat Yunus 57: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran (mau’idzah) dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” Dalam surat Ali Imran 138: (Al-Qur’an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran (mau’idzah) bagi orang-orang yang bertakwa.
Ketika digabung dengan sifat hasanah, maka makna mau’idzah hasanah menjadi pelajaran atau nasihat yang baik. Nasihat yang menyentuh hati dan melembutkannya. Seorang aktivis dakwah yang cerdas selalu menyampaikan apa yang di hatinya. Tidak dibuat-buat, dan tidak pula membuat orang-orang semakin bingung dan ketakutan. Banyak sekali contoh-contoh yang menunjukkan bahwa berdakwah dari hati ke hati sangat besar pengaruhnya terhadap orang lain. Sebuah ungkapan terkenal menarik untuk dikutip di sini bahwa: “apa yang datang dari hati akan sampai ke hati” (maa jaa’a minal qalbi yashilu ilal qalbi).
Bila kita telusuri secara mendalam, Al-Qur’an selalu menggunakan cara ini dalam menyampaikan kebenaran. Hal yang sangat jelas adalah kisah-kisah yang disampaikan Al-Qur’an mengenai umat terdahulu selalu memberikan pelajaran yang sangat mahal bagi umat manusia. Allah swt. tidak pernah bosan mengulang-ulang kisah kaum ‘Aad, Tsamud, dan Fir’un, supaya manusia yang hidup sesudahnya tidak mengikuti perbuatan mereka. Tidak hanya itu, mengenai hari kiamat, surga, dan neraka, selalu Allah ulang-ulang dalam setiap surat-surat Al-Qur’an. Itu tidak lain agar manusia terketuk hatinya lalu bergerak mengisi usianya dengan amal shalih. Perhatikan bagaimana cara ini telah demikian jauh menukik ke dalam hati manusia dari masa ke masa, sehingga banyak dari mereka yang tersadarkan lalu bertaubat dan kembali ke jalan yang benar.
Penutup
Seorang pemimpin adalah pribadi yang sangat menentukan bagi suatu umat atau bangsa. Menentukan karena dengannya sebuah Negara bisa maju atau mundur. Bila seorang pemimpin tampil lebih memihak kepada kepentingan dirinya, tidak bisa tidak rakyat pasti terlantar. Sebaliknya bila seorang pemimpin lebih berpihak kepada rakyatnya, maka keadilan pasti ia tegakkan. Keadilan adalah titik keseimbangan yang menentukan tegak tidaknya alam semesta ini. Allah SWT menegakkan langit dengan keseimbangan.
Pemimpin adalah otak yang mengatur semua gerakan anggotanya. Karena itu pemimpin harus cerdas, lebih dari itu harus jujur dan adil. Tidak cukup seorang pemimpin hanya bermodal kecerdasan, sebab seringkali para pemimpin yang korup menggunakan kecerdasannya untuk menipu rakyat. Karena itu ia harus jujur dan adil. Itulah rahasia firman Allah : “Berbuat adillah, karena berbuat adil itu lebih dekat kepada taqwa” ( QS. Al Ma’idah: 8). Ayat ini menunjukkan bahwa keadilan adalah jalan menuju ketaqwaan. Seorang pemimpin yang dzalim bertaqwa. Bila jiwa taqwa hilang dari diri seorang pemimpin, ia pasti akan berani kepada Allah swt. Bila seorang pemimpin berani kepada Allah swt, maka kepada manusia ia akan lebih berani. Karena itu bekal utama seorang pemimpin harus benar-benar menegakkan taqwa dalam dirinya. Bila ia bersungguh-sungguh ikut tuntunan Allah SWT maka segala langkahnya akan berkah dan otomatis Negara yang dipimpinnya pun akan berkah.

Penulis adalah KETUA BIDANG INTERNAL KOHATI BADKO HMI NAD.

REKONSTRUKSI IMAN

Ijlis bina nu’min sa’ah. Itulah kalimat yang pernah diucapkan oleh seorang sahabat benama Muadz bin Jabal yang maksudnya kurang lebih bisa diartikan, ”Mari kita duduk sejenak untuk merekonstruksi iman kita”. Ini merupakan kalimat ajakan yang ditujukan kepada sahabat-sahabat yang lain pada waktu itu, yang bisa jadi waktu-waktu mereka banyak tersita oleh aktivitas-aktivitas yang tidak berkaitan dengan rekonstruksi iman. Inipun menjadi pertanda bahwa urusan rekonstruksi iman tidak berbanding lurus terhadap kedekatan mereka dengan Nabi Muhammad SAW pada kurun zaman yang bersamaan. Oleh karenanya, kita selaku umat Muhammad yang hidup berjarak 14 abad dengan masa hidup beliau SAW, tentunya harus lebih proaktif merekonstruksi iman kita masing-masing.
Ikhwah fiLlah, perbarui iman Anda secara rutin. Rekonstruksi iman ini urgen bagi setiap orang Muslim secara umum dan aktivis Islam secara khusus. Sebab, kadang, karena sibuk mengerjakan tugas-tugas dakwah, atau mempelajari masalah-masalah dakwah, atau memikirkannya, atau mencurahkan segenap tenaga untuk aktivis Islam, atau aktivitas melawan musuh-musuh Islam dengan segala sarana yang disyariatkan Islam, itu membuat aktivis Islam tidak sempat mengurusi hatinya dan memberi perhatian penuh kepadanya. Padahal, orang Muslim berjalan kepada Allah Ta’ala dengan hatinya, bukan dengan orang tubuhnya. Kalaupun organ tubuh mengerjakan kebaikan, maka itu karena kebaikan hati dan semangatnya kepada kebaikan.Jika aspek ini dibiarkan berlarut-larut tanpa penanganan serius, maka aktivis Islam kehilangan ibadah-ibadah batin, misalnya ikhlas. Bahkan, bisa jadi, aktivis Islam tidak punya keikhlasan sejak awal iltizamnya. Ibadah-ibadah batin lainnya, seperti jujur, yakin, zuhud, tawakkal, takut, taubat, menyerahkan diri, dan cinta Allah Ta’ala, juga hilang dari dirinya. Beberapa saat kemudian, sang aktivis ingin kondisi hatinya pulih seperti kondisi semula saat ia awal bergabung ke kafilah dakwah. Itu semua akibat ia tidak memperhatikan hatinya. Jika itu terus terjadi, bisa jadi, Anda melihat sang aktivis banyak membicarakan hal-hal yang tidak berguna, misalnya makan secara berlebihan, atau berinteraksi dengan orang lain bukan karena pertimbangan agama, atau banyak tidur, atau bermalas-malasan, atau tidak berusaha mengatur waktunya, atau menghabiskan waktunya padahal-hal haram atau makruh. Kalaupun waktunya digunakan pada hal-hal mubah, maka itu secara berlebihan dan tanpa memperhatikan aspek agama atau dunia. Ia tidak menggubris perintah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk merekonstruksi iman, tanpa melihat kualitas iman, amal, dan posisinya di gerakan dakwah.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Perbaruilah iman kalian.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi dan Ahmad).
Rasulullah Shalllallahu Alaihi wa Sallam sering bersumpah dengan kalimat, “Tidak, demi Dzat yang membolak-balik hati.” (Diriwayatkan Al-Bukhari, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Saya lihat ada kemerosotan pada sebagian aktivis dakwah, atau terjerumus ke dalam lautan syahwat dan syubhat. Kadang, hal ini betul-betul terjadi pada sebagian dari mereka. Penyebabnya tidak lain karena kurang memperhatikan aspek ini, memperbarui iman. Ini tanggung jawab bersama antara individu. Level qiyadah (pemimpin), dan gerakan dakwah secara umum.
Saya seringkali melihat beberapa aktivis mencapai jenjang tertentu di gerakan dakwah dan menghabiskan sebagian umurnya dengan manis bersama dakwah. Setelah itu, ia berbalik dan keluar dari barisan aktivis. Penyebabnya ialah karena ia tidak memperhatikan hatinya. Bagaimana ia berjalan, kehabisan bekal, dan tidak berbekal dengan bekal apa-apa lagi?
Bekal hatinya telah ia gunakan untuk mengarungi salah satu tahapan usianya dan habis di perjalanan. Akibatnya, ia tewas di tempat bahaya, yaitu kesesatan syubhat dan kehinaan syahwat. Beragam penyakit yang menyerang sebagian aktivis Islam di separoh perjalanan dakwah, misalnya cinta dunia, egois padahal dulunya itsar (lebih mementingkan orang lain atas kepentingan pribadi), rakus padahal sebelumnya zuhud dan wara’, bersikap kasar kepada kaum Mukminin padahal sebelumnya bersikap lembut kepada mereka, dekat dengan orang-orang dzalim padahal dulunya dekat dengan orang-orang beriman, ujub, sombong terhadap orang lain padahal sebelumnya rendah hati, congkak, dan menjadikan dirinya sosok penting padahal dulunya ikhlas; itu semua sebabnya karena hati tidak diberi porsi perhatian yang ideal dan iman tidak diperbarui individu, level qiyadah, dan gerakan dakwah itu sendiri. Semuanya bertanggung jawab dalam masalah ini.
Saya tertarik dengan penafsiran seorang syaikh tentang firman Allah Ta’ala, “Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya.” (An-Nisa’: 136).
Di kajian, yang ia berikan kepada aktivis, saat didera cobaan, ia berkata, “Kok Al-Qur’an minta mereka beriman, padahal mereka sudah beriman? Bahkan, ayat berbunyi, ‘Hai orang-orang beriman, berimanlah.’ Apa makna iman yang dimintakan pada mereka?”
Syaikh itu berkata lagi, “Ayat di atas meminta mereka selalu memperbaharui iman, karena iman perlu diperbaharui secara rutin.”
Posted by 'beranda'

10 Oktober 2007

Release : HMI Cab. Tapaktuan

Bupati Aceh Selatan Ingatkan Warga Waspadai Ancaman Banjir Dan longsor


Tapaktuan, 04-Januari-2007. Bupati Aceh Selatan Ir. H T Machsalmina Ali, MM kembali mengingatkan warga di daerah-daerah rawan banjir dan longsor terutama warga yang berdomisili di Daerah Aliran Sungai (DAS) agar mewaspadai ancaman banjir dan longsor terkait datang musim penghujan.
Machsalmina berharap perkiraan cuaca yang dikeluarkan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Sumatera Utara yang memprediksikan curah hujan cukup tinggi akan terjadi pada akhir tahun 2006 atau awal tahun 2007 di pesisir pantai barat selatan Aceh hendaknya dapat meningkatkan kewaspadaan bagi warga yang daerahnya sering terjadi banjir dan tanah longsor.
“Saya berharap warga meningkatkan kewaspadaan terhadap banjir dan tanah longsor, banjir-banjir yang terjadi beberapa waktu lalu menjadi pelajaran agar terhindar dari kerugian yang lebih besar,” kata Machsalmina, Sabtu di Tapaktuan.
Menurutnya, Kabupaten Aceh Selatan merupakan salah satu kabupaten di pantai barat selatan Aceh yang sering kali dilanda banjir bandang dan tanah longsor, selain diakibatkan perambahan hutan dan illegal logging juga disebabkan topografi dan kondisi geografis wilayah dengan garis pantai terpanjang di bibir Samudera Hindia dan letaknya di kaki pegunungan Bukit Barisan.
Dari data Satkorlak Kabupaten disepanjang tahun 2006, sejak bulan Maret hingga Desember kabupaten yang banyak ditumbuhi tanaman pala itu sudak 6 kali mengalami bencana banjir dan tanah longsor yang mengakibatkan puluhan hancur dan ratusan kepala keluarga harus mengungsi.
Aktivis LSM Aceh TAF Haikal mengatakan prakiraan cuaca yang perkirakan BMG tersebut hendaknya menjadi peringatan sebagai langkah awal untuk mempersiapkan penanganan bila bencana banjir bandang dan longsor terjadi.
“Dengan peringatan dari BMG, pemerintah-pemerintah kabupaten di pesisir pantai barat selatan hendaknya melakukan upaya pencegahan dan bila saat ini tidak dilakukan dipastikan penanganannya akan sangat sulit bila bencana itu datang,” katanya.
Menurutnya bencana banjir yang terjadi di seluruh Nanggroe Aceh Darussalam disebabkan lemahnya penegakkan hukum terhadap pelaku perambahan dan pelaku illegal logging serta terjadinya kesalahan dalam pengelolaan hutan.
Selain akibat pembalakan hutan kedangkalan sungai yang mengaliri daratan aceh juga sudah sangat kritis sehingga arus sungai menjadi berpindah, Dia berharap pemerintah dapat megalokasikan dana untuk program pegerukan dan pelurusan sungai-sungai agar bencana banjir seperti di Aceh Tamiang, Bener Meriah, Gayo Lues dan Aceh Utara tidak terulang lagi di masa yang akan datang.
Sementara itu puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Aceh Selatan turun kejalan-jalan dan pertokoan di pusat kota Tapaktuan menggalang dana untuk membantu korban banjir dan tanah longsor di Aceh Tamiang, Aceh Timur, Gayo Lues dan Bener Meriah.
Ketua HMI Aceh Selatan, Mawardy mengatakan penggalangan dana yang dipusatkan di simpang Kedai Aru, depan poslantas dan pusat pasar tersebut dilakukan sebagai bentuk solidaritas mahasiswa Aceh Selatan kepada korban banjir banding dan tanah longsor di kawasan pantai utara dan timur Aceh akhir tahun lalu.(001.as.ip)

FAHAM SEKULER MENGINGKARI AZAS “DEMOKRASI” DI ACEH

Oleh: Teuku J. Irawan TAL.*


Ditengah kondisi moral terus meluruh, hukum pun tidak mampu ditegakkan, kecurangan seakan “dewa” penolong dalam mengarungi kehidupan, asumsinya adalah “mencari yang haram saja susah, apalagi yang halal (legal)”. Itulah sekulumit masalah yang sedang menghinggapi masyarakat ditengah kejenuhan akan ketidak-adilan dan kezaliman. Fenomena ini terjadi akibat pemaksaan “faham sekuler” yang menjunjung hukum negara, namun mengabaikan dimensi moral dan etika yang merupakan nilai-nilai luhur dari ajaran agama.
Demokrasi berasal dari kata-kata Yunani, yaitu demos (rakyat) dan cratia (pemerintahan), jadi demokrasi secara harfiah berarti “pemerintahan rakyat”. Secara umum istilah demokrasi telah menimbulkan berbagai pendapat diantaranya yang paling terkenal adalah “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Penulis tidak bermaksud untuk membahas pendapat-pendapat tentang demokrasi, namun paling tidak dapat mengambil suatu kesimpulan daripada demokrasi, yaitu rakyat memiliki kapasitas keterlibatan dan partisipasinya dalam membentuk pemerintahan dan mengatur masyarakat.
Berbicara “rakyat” tentu menimbulkan pertanyaan rakyat yang mana? Dalam menjawab pertanyaan ini jelas bahwa rakyat adalah warga negara menurut yang di legalkan oleh undang-undang. Seperti dalam partisipasi politik pada waktu pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota; Pemilih adalah warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh, berusia sekurang-kurangnya 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin, dan tidak sedang terganggu jiwanya (pasal 71 UU No. 11 Tahun 2006). Berarti, demokrasi seharusnya merupakan suatu keniscayaan daripada perwujudan transformasi nilai-nilai sosio-cultural masyarakat lokal sebagai warga negara menurut yang diakui oleh undang-undang (kearifan lokal).
Lalu, mengapa penulis berani menjustifikasikan “faham sekuler telah mengingkari azas demokrasi di Aceh”? Jawabannya, sekuler bukanlah merupakan manifestasi sosio-cultural atau nilai-nilai “kearifan” masyarakat Aceh. Namun yang merupakan manifestasi sosio-cultural masyarakat Aceh adalah peradaban islami yang berkewajiban melaksanakan Syariat Islam. Hal ini telah dibuktikan sejak jaman Kerajaan Aceh tempo doeloe, bahkan pada masa kepemimpinan Sultan Iskandarmuda, Aceh pernah mengalami kejayaan Kerajaan Islam. Dan pada masa Tgk. Daud Beureueh, Aceh melakukan perlawanan dengan negara karena semata-mata negara “gagal” melaksanakan Syariat Islam di Nanggroe Aceh. Hingga sekarang masyarakat Aceh masih konsekuen berkeyakinan terhadap Islam.
Ditengah masyarakat sekuler sedang menguasai kemajuan ekonomi dan teknologi, ini merupakan senjata ampuh untuk melakukan “neo-kolonialisme” terhadap masyarakat Islam, termasuk mempengaruhi sosio-cultural masyarakat Islam sebagaimana terlihat dari degradasi moral generasi Islam. Sekuler yang secara jelas telah memisahkan antara nilai-nilai moral dan agama dengan sistem bernegara, artinya setiap individu bebas berekspresi atau berkeyakinan apapun selama tidak bertentangan dengan hukum negara. Namun ketika hukum melemah, baik kerena ketidak-mampuan negara dalam menegakkan sepremasi hukum, maupun produk-produk hukum yang anti-demokrasi dimana hukum yang dihasilkan tidak pro-rakyat, maka bukankah masyarakat Islam yang lemah dari segi ekonomi dan tidak menguasai teknologi akan menerima resiko-resiko kecurangan dan terzalimi…?
Sebagai contoh dapat kita lihat dari segi jual-beli barang maupun jasa, telah terjadi ketidak-adilan sejak kontrak jual-beli dilakukan. Dimana satu pihak menuntut dipenuhi haknya secara penuh namun pihak tersebut tidak mau memenuhi kewajibannya secara penuh kepada pihak lain. Sehingga mereka yang berada dalam posisi tawar yang lemah menerima beban yang lebih berat dibandingkan mereka yang berada pada posisi tawar yang kuat. Seperti pada saat mengisi bensin di pompa bensin, apakah bensin tersebut telah terisi sesuai dengan pesanan, padahal kita tetap membayar sesuai dengan harga pesanan. Juga pada saat keterlambatan membayar rekening listrik, maka pada jangka waktu tertentu pihak PLN akan memutuskan aliran listrik, lalu mengapa kita tidak pernah menggugat PLN pada saat pemadaman listrik yang dapat menyebabkan kerugian pada kita selaku komsumen…? Begitu juga dengan air bersih, kita dituntut untuk menunaikan kewajiban membayar rekening tepat waktu kepada Perusahaan Air Minum supaya terhindar dari denda, namun kita selalu dirugikan dengan penyuplaian air yang tidak lancar…!
Yang paling ironi adalah ketika kita membeli barang-barang elektronik, kita tidak tahu apakah kualitas komponen-komponen barang tersebut sesuai dengan harga yang harus kita bayar, sebab kita tidak menguasai elektronika…? Dan banyak lagi contoh-contoh yang telah merugikan umat Islam, dikarenakan menganut sistem sekuler yang mengabaikan dimensi moral dan hanya menguntungkan kaum kapitalis, termasuk penjualan makanan kemasan apakah terjamin halalnya…?
Ini merupakan ketidakjujuran alias penipuan dalam berbisnis, karena hukum bisnis yang dianut adalah “menekan harga modal sekecil-kecilnya dan meningkatkan harga penjualan sebesar-besarnya” tanpa mempertimbangkan kualitas dan kuantitas barang/jasa yang akan diperjual-belikan. Namun tidak hanya dalam berbisnis, didalam fenomena sosial lainnya juga bisa terjadi, seperti dalam sistem pemerintahan yang sarat dengan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), perpolitikan yang tidak beretika dan tidak berbudaya, hukum yang tidak adil dan “tebang pilih”, kemasyarakatan yang cenderung apatis dan oportunis, serta budaya dan bahkan didalam dunia pendidikan, kesehatan (Rumah Sakit), termasuk “lembaga agama” sekali pun.
Kebobrokan “nilai” dan dimensi moral seperti ini adalah Kelemahan yang dimiliki oleh dunia sekuler, dan hanya menguntungkan para penguasa, pemilik modal serta orang-orang yang memiliki pengetahuan dan menguasai teknologi, sedangkan rakyat jelata yang tidak menguasai kekuasaan, modal, pengetahuan dan teknologi akan terus terdiskriminasikan dengan ketidak-adilan dan terzalimi. Sebenarnya hal ini, harus membuat kita umat islam peka dan kritis untuk terus mendorong doktrin-doktrin nilai, moral (akhlak) dan etika. Tentu sebagai konsekwensi bagi seorang muslim, dia tidak hanya patuh kepada hukum positif yang hanya berakibat hukum didunia semata. Namun dia percaya dan haqqul yakin bahwa justru azab Tuhan itu lebih pedih di hari “pembalasan” nanti.
Al-qur’an mengancam orang-orang yang curang sebagai orang yang durhaka dan mendustakan hari pembalasan, mereka akan dicatat didalam kitab “sijjin” dan mereka sedang berusaha untuk menutup hati mereka, suatu saat mereka benar-benar masuk neraka (lihat QS. Al-Muthaffifin, ayat 1 s/d 17). Padahal Islam telah mengajarkan kepada kita untuk berlaku adil kepada siapa saja, tanpa memandang status sosial, kelas pendidikan, kekayaan, bahkan perbedaan ras dan agama. Wallahu’alam bil ash-shawab.

*Penulis adalah Wasekum Eksternal Badko HMI Nanggroe Aceh Darussalam

"KETIKA ORGAN-ORGAN TUBUH BERPUASA" (Refleksi Ramadhan)

Oleh: Teuku J. Irawan TAL*


"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa"
(QS. Al-Baqarah: 183).
Pada prinsipnya, setiap orang (individu) yang mengaku dirinya beragama Islam adalah wajib hukumnya berpuasa, sebab puasa merupakan salah satu syarat sahnya Keislaman seseorang (Rukun Islam). Barangsiapa yang tidak berpuasa berarti "gugurlah" atau setidak-tidaknya "pincanglah" indentitas Keislaman seseorang. Oleh karena itu, dari petikan ayat Al-qur'an diatas patut kita mempertanyakan, mengapa Allah Azza wa Jalla hanya menyeru orang-orang yang beriman (yang yakin) dan bukan orang-orang Islam (muslimin/muslimat) sebagai indentitas untuk diwajibkan berpuasa?
Puasa berarti amaliah bathiniah yang dipraktekan melalui amalan-amalan lahiriah yang merupakan urusan privasi antara orang-orang yang beriman dengan Allah semata, tidak ada yang mengetahui seseorang berpuasa atau tidak, kecuali Pemerintah (Penguasa) sekalipun hanya bisa melarang praktek-praktek perbuatan yang dapat mengurangi kualitas puasanya orang-orang yang berpuasa, seperti penutupan tempat-tempat hiburan dan prostitusi, pelarangan membuka rumah-rumah makan atau menjual makanan pada siang hari dan lain-lain sebagainya. Dan yang jelas, demi alasan apapun manusia tidak dapat "memaksa" manusia yang lain untuk berpuasa, kecuali hanya menyeru untuk menghormati orang-orang yang sedang melaksanakan ibadah berpuasa.
Karena puasa merupakan amalan bathiniah, maka sangat dekat dengan persoalan-persoalan hati dalam mengendalikan iman, emosional, nafsu dan syahwat. Lalu, mengapa juga Rasulullah SAW. bersabda "Betapa banyak orang yang berpuasa, namun hanya mendapatkan lapar dan haus dari puasanya". Sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang puasanya hanya meraih haus-dahaga dan lapar saja adalah orang-orang (individu) yang tidak menundukkan pandangan dan tidak menjaga lidahnya dari perbuatan-perbuatan dosa. Sementara itu, pendapat lain mengatakan bahwa jika seseorang berdusta, menggunjing atau melakukan kemaksiatan sesaat ketika berpuasa, maka dia telah membatalkan puasanya. Padahal, puasa sehari merupakan rangkaian puasa sesaat demi sesaat.
Dalam hadist yang lain disebutkan, "Puasa merupakan perisai selama tidak dirusak dengan dusta dan pergunjingan". Para ulama berpendapat, "Pergunjingan dapat membatalkan puasa". Sebab, orang yang berdusta dan menggunjing merusak harga diri dan kehormatan sesama muslim sebagai saudara seiman dan seagama.
Jabir meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda "Ada lima hal yang membatalkan puasa, yaitu dusta, pergunjingan, fitnah, sumpah palsu, dan pandangan yang disertai dorongan syahwat". Jadi, Tujuan puasa bukanlah menahan lapar dan dahaga, melainkan menghindari maksiat dan dosa sebagaimana tujuan shalat adalah mencegah perbuatan keji dan mungkar. Nabi Sallallahu 'alaihi Wasallam bersabda, "Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, Allah tidak berhajat kepadanya meskipun dia tidak makan dan minum".
Secara khusus, puasa (shaum) berarti menjaga organ-organ tubuh/badan, yaitu Pertama, menjaga mata dari memandangan/melihat sesuatu yang tidak pantas, yang dapat mendorong nafsu syahwat (maksiat); Kedua, menjaga telinga dari mendengar sesuatu yang haram, dosa atau pembicaraan yang batil; Ketiga, menjaga mulut dan lidah dari lisan yang tiada berguna serta memakan makanan dan meminum minuman yang haram pada malam hari. Keempat, menjaga hati dari niat yang buruk dan pikiran yang menyimpang, serta menanggalkan angan-angan yang tiada bermanfaat. Kelima, menjaga tangan dari memegang segala sesuatu yang haram; Keenam, menjaga kaki dari melangkah ketempat-tempat yang tidak diperintahkan, tidak dianjurkan, serta menyimpang dari kebaikan. Dan yang terakhir, menjaga keinginan-keinginan syahwat (bersanggama) pada siang hari bagi yang sudah berrumah tangga (nikah).
Namun yang diharapkan justru sebaliknya, yaitu mempergunakan indra-indra tubuh tersebut pada jalan-jalan yang ma'ruf, yang diridhai oleh Allah SWT, seperti berbuka puasa dengan makan dan minum yang halal tetapi tidak berlebihan (syubhat), menolak syahwat yang mendorong pada pelanggaran, dan hanya berbuka puasa dengan makanan yang halal secukupnya. Serta orang yang berpuasa hendaklah memperbanyak zikir kepada Allah SWT., jangan berbantah-bantahan dan bermusuhan, tidak membalas orang yang mencaci dan menyakiti, tidak memperhatikan hidangan berbuka sebelum waktunya, ridha dengan rezeki Allah – meskipun sedikit – dan banyak bersyukur kepada-Nya.
Menuju Kepada Kesalehan Sosial?
Kalau Rasulullah Muhammad SAW. membagi bulan Ramadhan dengan sepuluh hari pertama sebagai Rahmat, sepuluh hari kedua sebagai maghfirah (Ampunan), dan sepuluh hari terakhir sebagai itqunminannar (tertutupnya pintu neraka), maka seorang kawan saya mengatakan bulan Ramadhan adalah sebagai bulan kompetisi melawan nafsu (diri sendiri). Artinya kawan tersebut mengatakan bahwa sepuluh hari pertama adalah sebagai babak penyisihan, sepuluh hari kedua adalah babak semifinal dan sepuluh hari terakhir merupakan babak final pertandingan kita melawan hawa nafsu.
Dari pemikiran kawan tersebut mengandung makna filosofis yang berarti sejauhmana kita mampu berproses melewati tantangan-tantangan di bulan Ramadhan dengan berpuasa menjadi insan yang beriman dan bertakwa atau setidak-tidaknya sebagai insan yang hanif. Walaupun sepuluh hari terakhir sebagai babak final bukan berarti setelah itu "bubar", kembali lagi kepada titik nol kualitas takwa yang kita miliki – terlepas tampil sebagai juara atau tidak, sebab kehidupan terus terjalani dan tentunya harus terus mempersiapkan diri untuk menghadapi kompetisi tahun depan sampai benar-benar tropi juara dapat kita raih dengan predikat taqwa.
Dengan kata lain, sebesar apapun prestasi takwa yang telah kita raih harus mampu dipertahankan dan tentunya perlu upaya maksimal untuk ditingkatkan, apalagi waktu kompetisi tahun ini masih tersisa dan masih besar peluang terbuka untuk memperbaiki prestasi.
Sebagai indikator prestasi "takwa" dapat diukur, sejauhmana dimensi lahiriah dan batiniah dapat bergerak seiring-sejalan untuk mencapai ridha Tuhan Yang Maha Kuasa, yaitu menggerakkan amalan shalihin, mengutamakan akhlak yang mulia, dan menebarkan rahmat kepada sesama. Seperti yang pernah ditulis oleh Muhammad Dayan, S.Ag. pada opini Serambi, Jum'at 14 September 2007 melalui puasa dapat mendidik menempa diri bersikap jujur kepada Allah, kepada diri sendiri, dan kepada sesama manusia serta lingkungan alam semesta. Disamping itu, melalui puasa juga dapat menekan praktek ketidakadilan/kezaliman kita terhadap sesama hamba Allah serta berempati kepada kaum yang lemah, tertindas, kaum fakir dan miskin.
Semoga melalui "kesempurnaan" puasa, kita akan menjadi orang-orang yang mudah "membersihkan" hati dari berbagai bentuk kotoran materialitas. Hawa nafsu dan pikiran mesti kosong dari penghukuman-penghukuman yang "bersifat asal jadi" dan serampangan. Hendaklah berhias diri dengan ketakwaan. Proses penyempurnaan melalui jenjang-jenjang ketakwaan merupakan perkara yang akan menjadikan manusia memiliki kesiapan untuk menerima cahaya-cahaya spiritual, "bisikan-bisikan" pencerahan ilahi serta ilham-ilham Rabbani. Amin yaa Rabbal'alamin!
*Penulis adalah Wasekum Badko HMI NAD dan Alumni Fakultas Hukum UNMUHA Banda Aceh.

*Tulisan ini telah dimuat di Opini Serambi Indonesia, September 2007.

09 Oktober 2007

Al-Qur'an; Sumber Ilmu Pengetahuan

Oleh : Yus Efendi, S.P

Al-Qur'an adalah kitab suci yang diturunkan Allah Swt, Tuhan alam semesta, kepada Rasul dan Nabi-Nya yang terakhir, Muhammad Saw melalui malaikat Jibril as untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia sampai akhir jaman. Al-Qur'an berarti bacaan, nama-nama lain dari kitab suci ini adalah Al-Furqaan (Pembeda), Adz Dzikir (Pengingat) dan lain-lain, tetapi yang paling terkenal adalah Al-Qur'an.
Al-Quran yang secara harfiah berarti "bacaan sempurna "merupakan suatu nama pilihan Allah yang sungguh tepat, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal tulis baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi Al-Quran Al-Karim, bacaan sempurna lagi mulia itu. Tiada bacaan semacam Al-Quran yang dibaca oleh ratusan juta orang yang tidak mengerti artinya dan atau tidak dapat menulis dengan aksaranya. Bahkan dihafal huruf demi huruf oleh orang dewasa, remaja, dan anak-anak.
Tiada bacaan melebihi Al-Quran dalam perhatian yang diperolehnya, bukan saja sejarahnya secara umum, tetapi ayat demi ayat, baik dari segi masa, musim, dan saat turunnya, sampai kepada sebab-sebab serta waktu-waktu turunnya. Tiada bacaan seperti Al-Quran yang dipelajari bukan hanya susunan redaksi dan pemilihan kosakatanya, tetapi juga kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan sampai kepada kesan yang ditimbulkannya. Semua dituangkan dalam jutaan jilid buku, generasi demi generasi. Kemudian apa yang dituangkan dari sumber yang tak pernah kering itu, berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kemampuan dan kecenderungan mereka, namun semua mengandung kebenaran. Al-Quran layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Tiada bacaan seperti Al-Quran yang diatur tata cara membacanya, mana yang dipendekkan, dipanjangkan, dipertebal atau diperhalus ucapannya, di mana tempat yang terlarang, atau boleh, atau harus memulai dan berhenti, bahkan diatur lagu dan iramanya, sampai kepada etika membacanya.
Tiada bacaan sebanyak kosakata Al-Quran yang berjumlah 77.439 (tujuh puluh tujuh ribu empat ratus tiga puluh sembilan) kata, dengan jumlah huruf 323.015 (tiga ratus dua puluh tiga ribu lima belas) huruf yang seimbang jumlah kata-katanya, baik antara kata dengan padanannya, maupun kata dengan lawan kata dan dampaknya. Sebagai contoh -sekali lagi sebagai contoh- kata hayat terulang sebanyak antonimnya maut, masing-masing 145 kali; akhirat terulang 115 kali sebanyak kata dunia; malaikat terulang 88 kali sebanyak kata setan; thuma'ninah (ketenangan) terulang 13 kali sebanyak kata dhijg (kecemasan); panas terulang 4 kali sebanyak kata dingin."Allah menurunkan kitab Al-Quran dengan penuh kebenaran dan keseimbangan (QS Al-Syura 42: 17).", "Katakanlah, Seandainya manusia dan jin berkumpul untuk menyusun semacam Al-Quran ini, mereka tidak akan berhasil menyusun semacamnya walaupun mereka bekerja sama" (QS Al-Isra,17: 88).
Orientalis H.A.R. Gibb pernah menulis bahwa: "Tidak ada seorang pun dalam seribu lima ratus tahun ini telah memainkan 'alat' bernada nyaring yang demikian mampu dan berani, dan demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti yang dibaca Muhammad (Al-Quran)." Demikian terpadu dalam Al-Quran keindahan bahasa, ketelitian, dan keseimbangannya, dengan kedalaman makna, kekayaan dan kebenarannya, serta kemudahan pemahaman dan kehebatan kesan yang ditimbulkannya.
Sebagai kitab suci terakhir, Al-Qur'an bagaikan miniatur alam raya yang memuat segala disiplin ilmu, Al-Qur'an merupakan karya Allah Swt yang Agung dan Bacaan mulia serta dapat dituntut kebenarannya oleh siapa saja, sekalipun akan menghadapai tantangan kemajuan ilmu pengetahuan yang semakin canggih (sophisticated). Kata pertama dalam wahyu pertama (The First Revelation) bahkan menyuruh manusia membaca dan menalari ilmu pengetahuan, yaitu Iqra'. Adalah merupakan hal yang sangat mengagumkan bagi para sarjana dan ilmuwan yang bertahun-tahun melaksanakan penelitian di laboratorium mereka, menemukan keserasian ilmu pengetahuan hasil penyelidikan mereka dengan pernyataan -pernyataan Al-Qur'an dalam ayat-ayatnya.
Dua puluh dua tahun dua bulan dan dua puluh dua hari lamanya, ayat-ayat Al-Quran silih berganti turun, dan selama itu pula Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya tekun mengajarkan Al-Quran, dan membimbing umatnya. Sehingga, pada akhirnya, mereka berhasil membangun masyarakat yang didalamnya terpadu ilmu dan iman, nur dan hidayah, keadilan dan kemakmuran di bawah lindungan ridha dan ampunan Ilahi. Kita dapat bertanya mengapa 20 tahun lebih, baru selesai dan berhasil? Boleh jadi jawabannya dapat kita simak dari hasil penelitian seorang guru besar Harvard University, yang dilakukannya pada 40 negara, untuk mengetahui faktor kemajuan atau kemunduran negara-negara itu.
Salah satu faktor utamanya -menurut sang Guru Besar- adalah materi bacaan dan sajian yang disuguhkan khususnya kepada generasi muda. Ditemukannya bahwa dua puluh tahun menjelang kemajuan atau kemunduran negara-negara yang ditelitinya itu, para generasi muda dibekali dengan sajian dan bacaan tertentu. Setelah dua puluh tahun generasi muda itu berperan dalam berbagai aktivitas, peranan yang pada hakikatnya diarahkan oleh kandungan bacaan dan sajian yang disuguhkan itu. Demikian dampak bacaan, terlihat setelah berlalu dua puluh tahun, sama dengan lama turunnya Al-Quran.
Kalau demikian, jangan menunggu dampak bacaan terhadap anak-anak kita kecuali 20 tahun kemudian. Siapa pun boleh optimis atau pesimis, tergantung dari penilaian tentang bacaan dan sajian itu. Namun kalau melihat kegairahan anak-anak dan remaja membaca Al-Quran, serta kegairahan umat mempelajari kandungannya, maka kita wajar optimis, karena kita sepenuhnya yakin bahwa keberhasilan Rasul dan generasi terdahulu dalam membangun peradaban Islam yang jaya selama sekitar delapan ratus tahun, adalah karena Al-Quran yang mereka baca dan hayati mendorong pengembangan ilmu dan teknologi, serta kecerahan pikiran dan kesucian hati.
Setiap ilmuwan yang melakukan penemuan pembuktian ilmiah tentang hubungan Al -Qur'an dengan ilmu pengetahuan akan menyuburkan perasaan yang melahirkan keimanan kepada Allah Swt, dorongan untuk tunduk dan patuh kepada Kehendak-Nya dan pengakuan terhadap Kemaha Kuasaan-Nya. Tidak pada tempatnya lagi orang-orang memisahkan ilmu-ilmu keduniawian yang dianggap sekuler, seperti ilmu-ilmu sosial dengan segala cabangnya, dengan ilmu -ilmu Al-Qur'an. Para ilmuwan dapat sekuler, tetapi ilmu tidak sekuler. Bila penyelidikan tentang alam raya ini adalah ilmiah, mana mungkin Pencipta Alam Raya ini tidak ilmiah. Bila percampuran dan persenyawaan unsur-unsur adalah ilmiah, mana mungkin Pencipta setiap unsur itu tidak ilmiah. Begitu pula pembicaraan hal-hal kenegaraan adalah ilmiah, mana mungkin Pencipta perbedaan watak individu yang menjadikan beraneka ragam ideologi tidak ilmiah.
Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab, sehingga bahasa Arab menjadi bahasa kesatuan umat Islam sedunia. Peribadatan dilakukan dalam bahasa Arab sehingga menimbulkan persatuan yang dapat dilihat diwaktu 'shalat-shalat massal' dan ibadah haji. Selain daripada itu, bahasa Arab tidak berubah, sangat mudah diketahui bila Al -Qur'an hendak ditambah atau dikurangi, banyak orang yang buta huruf terhadap bahasa nasionalnya, tetapi mahir membaca Al-Qur'an bahkan sanggup menghafal Al -Qur'an keseluruhan. Al-Qur'an itu tiada lain hanyalah peringatan bagi seluruh umat (QS. 68:52), sesungguhnya Al-Qur'an itu adalah peringatan bagi seluruh umat (QS. 38:87), petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (QS. 2:2), korektor dari semua kitab sebelumnya yang telah terdistorsi (QS. 5:48). Al-Qur'an dalam bahasa Arab mempunyai gaya tarik dan keindahan yang deduktif.Didapatkan dalam gaya yang singkat dan cemerlang, bertenaga ekspresif, berenergi eksplosif dan bermakna kata demi kata.

Memaknai Ilmu
Bila seseorang memiliki pengertian (understanding) atau sikap (attitude) tertentu, yang diperolehnya melalui pendidikan dan pengalaman sendiri, maka oleh banyak orang dianggap yang bersangkutan tahu atau berpengetahuan. Begitu juga bila seseorang memiliki ketrampilan atau ketangkasan (aptitude) yang diperolehnya melalui latihan dan praktek, maka kemampuan tersebut disebut kebiasaan atau keahlian. Namun keahlian atau kebiasaan ini, sekalipun karena keterbiasaan melakukan sesuatu, juga karena yang bersangkutan sebelumnya tahu itu adalah tahu mengerjakan (know to do), tahu bagaimana (know how) dan tahu mengapa (know why) sesuatu itu.
Jadi sekalipun menurut Peter Drucker (The Effective Executive), kebiasaan yang berurat berakar yang tanpa dipikirkan (in thinking habit) telah menjadi kondisi tak sadar (reflex condition), tetap sebelumnya harus merupakan pengetahuan yang dipelajari dan dibiasakan. Tetapi E.J. Gladden dalam bukunya "The Essentials of Public Administration" menganggap ilmu sama dengan ketrampilan, hanya ketrampilan diperoleh melalui latihan dan belajar. Sekarang sebenarnya dimana letaknya ilmu? Ilmu adalah bagian dari pengetahuan, sebaliknya, setiap pengetahuan belum tentu ilmu.Untuk itu ada syarat-syarat yang membedakan ilmu (Science) dengan pengetahuan (knowledge), yaitu : Ilmu pengetahuan dapat didefenisikan sebagai suatu obyek ilmiah yang memiliki sekelompok prinsip, dalil, rumus yang melalui percobaan yang sistimatis dilakukan berulang kali telah teruji kebenarannya, prinsip-prinsip, dalil-dalil dan rumus-rumus mana dapat diajarkan dan dipelajari. (Prof. Dr. Sondang Siagian, Filsafat Administrasi 1985)
Dari pendapat diatas terlihat bahwa ilmu pengetahuan itu kongkrit sehingga dapat diamati, dipelajari dan diajarkan secara teratur, teruji, bersifat khas atau khusus, dalam arti mempunyai metodologi, obyek, sistimatika dan teori sendiri. Disamping itu dalam pengajian ilmu-ilmu agama Islam, sementara ini meliputi antara lain yaitu berbagai ilmu Nahwu (seperti persoalan Fi'il dan Ijim), berbagai ilmu Tafsir (seperti tafsir Hadits dan Al-Qur'an dengan persoalan Nasikh, Mansukh, Mutasyabih, Tanzil dan Ta'wil), berbagai ilmu Tajwid (pronunciation), Qira'ah dan Balaghah (seperti Bayan, Ma'ani dan Badii), berbagai ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, berbagai ilmu Hadits (seperti kandungan dan perawi Hadits), berbagai ilmu tasawuf (seperti pengetahuan tentang Sufi, Tarekat, Mistisme dalam Islam, Filsafat Islam), berbagai ilmu Qalam (bentuk huruf Al -Qur'an), berbagai ilmu Arudh (poets) atau syair-syair Al-Qur'an dan berbagai ilmu Sharf (grammar, kata-kata dan morfologinya).
Dalam Al-Qur'an ada lebih dari 854 ayat-ayat yang menanyakan mengapa manusia tidak mempergunakan akal (afala ta'kilun), yang menyuruh manusia bertafakur/memikirkan (tafakurun) terhadap Al-Qur'an dan alam semesta serta menyuruh manusia mencari ilmu pengetahuan.

Al-Qur'an dan penelitian Ilmiah
Penelitian dapat dilakukan dalam segala disiplin ilmu, jadi tempat penelitian/laboratorium bukan hanya milik ilmu kedokteran yang meneliti dan mengamati kegiatan bakteri, dan bukan juga hanya milik ilmu kimia yang meneliti dan mengamati reaksi zat-zat yang dicampur di tabung reaksi. Dalam berbagai model penelitian untuk menemukan kebenaran ilmiah, ada yang memakai hipotesa, yaitu untuk penelitian yang uji hipotesa atau disebut juga penelitian analisis verifikatif, namun ada pula yang non hipotesis, seperti penelitian deskriptif, yang terdiri dari deskriptif developmental dan deskriptif eksploratif dan lain-lain.
Hal ini bersesuaian dengan apa yang di Firmankan Allah dalam Al-Qur'an, "Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran." (QS. 53:28). "...dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja."(QS. 45:24).
Nabi Muhammad Saw sendiri juga memerintahkan agar umat Islam melakukan penelitian dan beliau juga menyebut-nyebut tentang ilmu pengetahuan sebagaimana diriwayatkan hadits-hadist, "Tuntutlah ilmu pengetahuan sejak dari buaian sampai keliang lahad.", "Barang siapa menghendaki dunia, maka dia harus mencapainya dengan ilmu. Barang siapa menghendaki akhirat, maka dia harus mencapainya dengan ilmu. Dan barang siapa menghendaki keduanya, maka dia harus mencapainya dengan ilmu."
Bahwa Al-Qur'an seharusnya dipandang sebagai sumber dari segala keilmuan, tidak perlu kita permasalahkan lagi. Banyak kaum intelegensia Muslim yang mengungkapkan bagaimana penemuan-penemuan ilmiah yang paling mutakhir sekalipun ada diungkapkan dengan bahasa simbolik dalam Al-Qur'an. Secara apriori mengasosiasikan Qur-an dengan Sains modern adalah mengherankan, apalagi jika asosiasi tersebut berkenaan dengan hubungan harmonis dan bukan perselisihan antara Qur-an dan Sains. Bukankah untuk menghadapkan suatu kitab suci dengan pemikiran-pemikiran yang tidak ada hubungannya seperti ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan hal yang paradoks bagi kebanyakan orang pada jaman ini?
Sesungguhnya orang yang membaca Al-Qur'an secara teliti dalam upaya memahami bagaimana pendiriannya terhadap Sains, ia akan mendapatkan sekumpulan ayat-ayat yang jelas, terbentang menurut empat bagian yang semua aspeknya mengarah kepada masalah ilmiah. Pertama, masalah-masalah yang berkaitan dengan hakikat Sains dan arah serta tujuannya mengenai apa yang dapat diketahui dengan filsafat Sains dan teori makrifat. Kedua, metode pengungkapan tentang hakikat-hakikat ilmiah yang bermacam-macam. Ketiga, menampakkan sekumpulan hukum-hukum dan peraturan-peraturan dilapangan Sains yang bermacam-macam, terutama fisika, geographi dan ilmu hayat. Keempat, menghimbau agar mempergunakan hukum-hukum dan peraturan-peraturan tersebut.
Semua ayat Al-Qur'an itu diturunkan mengandung hal-hal yang logis, dapat dicapai oleh pikiran manusia, dan AlQur'an itu dijadikan mudah agar dapat dijadikan pelajaran atau bahan pemikiran bagi kaum yang mau memikirkan sebagaimana yang disebut dalam Surah Al-Qamar ayat 17, "Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran ?" (QS. 54:17), "Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Kitab kepada mereka, Kami jelaskan dia (kitab itu) atas dasar ilmu pengetahuan; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman." (QS. 7:52). Cukup banyak selama ini orang yang mencoba menguak sisi keilmiahan dari Al-Qur'an dengan mengandalkan ayat-ayat yang bersifat mutasyabihat semata, namun tidak jarang pula akhirnya mereka malah terjebak didalam pemahaman mereka sendiri akibat berbenturan dengan hal-hal yang memang non-ilmiah yang terdapat didalam Al-Qur'an, sehingga pengungkapannya seringkali berkesan rancu dan dicocok-cocokkan guna mendukung teori mereka..

*) Penulis adalah Sekretaris Umum Badko HMI Nanggroe Aceh Darussalam dan Alumnus Universitas Malikussaleh - Lhokseumawe.

Menuju Perdamaian Bermartabat di Bumi Serambi Mekkah (Refleksi 62 Tahun TNI)

**) Yus Efendi, S.P







Menyongsong usia TNI yang memasuki Tahun ke 62, usia yang tidak muda lagi bagi sebuah institusi dalam menggerakkan perubahan dan menjadi garda terdepan untuk pengawalan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam usia ke 62 ini TNI dituntut mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang memerlukan energi besar, seperti problema separatisme, terorisme, dan "Transnational Organized Crimes" (TOC), masalah batas wilayah, klaim wilayah, pelanggaran wilayah, pencurian kekayaan alam, subversi-infiltrasi, dan spionase, survei ilegal oleh pihak asing, penyelundupan senjata dari luar negeri, konflik komunal, suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), separatisme, dan gejala federalisme. Memang TNI selain dipersiapkan untuk operasi perang juga dipersiapkan untuk operasi selain perang seperti penanggulangan bencana alam. Kita patut acung­kan jempol atas peran-peran TNI dalam turut aktif merehabilitasi dan membantu korban tsunami di Aceh, Pangandaran dan sekitarnya, korban gempa di Yogyakarta, korban banjir lumpur di Sidoarjo.
Menyelisik kembali lahirnya TNI, TNI lahir dari laskar-laskar rakyat. Tentara rakyat adalah tentara yang berasal dari rakyat bersenjata yang berjuang melawan penjajah untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan pada perang kemerdekaan tahun 1945-1949 dengan semboyan merdeka atau mati. Rakyat yang menjadi dasar terbentuknya TNI pada saat itu adalah bekas prajurit Hindia Belanda dan Jepang, antara lain Heiho, Kaigun, Kaigun-Heido, dan Peta, serta yang berasal dari rakyat, yaitu Barisan Pemuda, Hisbullah, Sabilillah, dan Pelopor.
Di samping itu, laskar-laskar dan tentara pelajar yang tersebar di daerah-daerah lain, baik yang sudah maupun yang belum memperoleh latihan militer, yang kemudian menjelma menjadi Badan Keamanan Rakyat (BKR). BKR secara ber­turut-turut berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), kemudian berubah lagi menjadi Tentara Keselamatan Rakyat (TKR), kemudian menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI), dan terakhir mulai tanggal 3 Juni 1947 menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dalam perkembangannya, pada tanggal 21 Juni 1962, TNI pernah mengubah nama menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). ABRI tediri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Laut, dan Kepolisian Republik Indonesia. Namun sejak 2000 ABRI kembali berubah menjadi TNI setelah dikeluarkannya Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam Rapim TNI Tahun 2006, Pre­siden Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan TNI agar tidak cemas menapaki jalannya perubahan reformasi dan justru meminta tentara harus menjadi bagian dari gerakan perubahan itu. Kondisi ini, menggambarkan bahwa adanya gejala kegamangan TNI dalam menyelesaikan masalah-masalah kebangsaan terkait dengan isu supremasi sipil, demokratisasi, dan human security (HAM). Reformasi di mana pun memang memerlukan kesabaran. Dalam perjalanannya terkadang menemui rintangan dan tantangan. Memang mewacanakan militer di Indonesia tidak bisa terlepas dari ikon Tentara Nasional Indonesia (TNI). Disadari atau tidak, bangsa ini masih memiliki pekerjaan yang cukup panjang termasuk membenahi organisasi TNI beserta persoalan eksternalnya. Bangsa ini butuh keamanan dan rasa aman. Tentara merupakan salah satu aset bangsa yang penting dalam mewujudkan mempertahankan wilayah NKRI. Ironisnya ketika kita butuh keamanan, tidak dibarengi dengan perlakuan yang mendukung keberdayaan TNI. Alih-alih memberdayakan, justru sejarah mencatat peran sig­nifikan TNI yang kerap ditarik-ulur oleh pemerintah sipil pada wilayah politik praktis.
Tak bisa dimpungkiri, kekuatan militer merupakan salah satu pilar penting bagi kedaulatan negara. Nyatanya di dunia ini negara yang memiliki daya topang militer yang kuat akan mencuatkan kewibawaan diplomatik dan gengsi politik internasional. Kekuatan militer menjadi salah satu barometer kekuatan suatu negara. Jika militernya kuat, yakinlah negara itu memiliki posisi bargaining yang kuat dengan negara lain. Tentu kekuatan militer saja tidak akan cukup untuk membuat suatu negara survive dan berkembang. Ia pun butuh kekuatan ekonomi dan politik yang kuat sebagai penopangnya.
Persoalannya adalah bagaimana negara kita memiliki TNI yang kuat, solid, dan profesional yang ditopang oleh kekuatan-kekuatan komponen bangsa lainnya? Tidak mudah untuk dijawab. Namun setidaknya kita dapat mengurai dari kondisi nyata TNI saat ini dan flashback sejarah masa lampau.

Aceh : Menuju Damai Seutuhnya
Kesepakatan damai antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005 telah berjalan lebih dua tahun. Secara signifikan situasi di Aceh menunjukkan kemajuan menggembirakan yang sebelumnya hampir mustahil dirasakan rakyat Aceh. Proses demiliterisasi dan politik berlangsung secara baik, sehingga pelaksanaan Pilkada yang sebelumnya menimbulkan kekhawatiran berbagai kalangan, berlangsung secara demokratis dan melahirkan pemerintahan baru yang didukung masyarakat. Namun dalam perjalanannya, perdamaian di Tanah Rencong tidak hanya berisi kisah kesuksesan, berbagai persoalan secara beriringan juga terus bermunculan. Lingkaran persoalan yang muncul saat ini bukan hanya berada dalam wilayah politik, akan tetapi juga meluas ke dalam wilayah keamanan. Di bidang politik, banyak kemajuan yang telah dicapai, terutama setelah UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA) disahkan DPR RI dan Pemerintah Indonesia. Letupan-letupan kecil secara sporadisDi bidang keamanan, dalam beberapa bulan terakhir situasi di Aceh kembali labil akibat munculnya aksi-aksi kekerasan secara sporadis seperti penculikan, perampokan bersenjata, dan lain-lain cukup membuat kekhawatiran. Kekhawatiran tersebut muncul karena semua orang tahu bahwa diktum-diktum perdamaian tidak dapat bekerja pada situasi jika para pihak yang terikat dalam kesepakatan perdamaian bergerak dalam ruang saling mencurigai.
Maraknya kembali aksi kekerasan di Aceh akan berdampak negatif pada geliat ekonomi di Aceh yang mulai bangkit. Bangkitnya ekonomi Aceh akan berimplikasi multiplier effect, yang secara langsung menumbuhkan tingkat pendapatan masyarakat. Pihak-pihak terkait di Aceh harus lebih peduli pada upaya menjaga keamanan dan memelihara perdamaian. Kalau tidak, obsesi untuk menghadirkan para investor dari berbagai negara akan sulit diwujudkan.
Pihak-pihak yang bertanggungjawab melalui pendekatan sosiologi hukum, percematan atas situasi di Aceh tersebut akan memunculkan pertanyaan pihak mana saja yang harus berperan dalam memelihara dan menumbuhkan kedamaian di Aceh dan pihak mana saja yang dirugikan/diuntungkan. Langkah-langkah TNI yang secara cepat memproses anggotanya yang terlibat pelanggaran hukum, merupakan langkah yang tepat dan perlu mendapat apresiasi. Demikian pula, langkah-langkah pihak kepolisian dalam memberantas tindak kriminalitas, siapa pun pelakunya, merupakan wujud tanggungjawab mereka atas keamanan dan ketertiban di Aceh.
Langkah-langkah tersebut diharapkan diikuti pemerintah Aceh yang notabene kewenangannya atas ketertiban dan ketenteraman masyarakat Aceh secara tersurat telah ditegaskan UU PA. maka, harapan ke depan kondisi Aceh menjadi semakin sejuk dan damai, masing-masing pihak (TNI, Polri, KPA, dan masyarakat) dapat saling menghargai dan bertindak sesuai dengan ketentuan yang ada, sehingga harmonisasi hubungan antar-masyarakat dapat terwujud. Dengan demikian, setiap tugas dan peran yang di laksanakan oleh TNI dan Polri sebagai sesama instrumen kekuatan nasional dalam upaya menjaga perdamaian tersebut harus didasarkan kepada keputusan politik yang dibuat oleh otoritas politik. Dalam konteks ini perlu pengaturan yang tegas oleh otoritas politik tentang siapa, berbuat apa, kapan, dan di mana serta bagaimana.
Akhirnya, menjadi tugas kita semua untuk menjaga masa depan perdamaian ini untuk terciptanya masyarakat Aceh yang adil, sejahtera dan damai. Kesepakatan damai mesti dikawal dengan upaya membangun kepercayaan yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat Aceh.

Tulisan ini disampaikan pada Majalah Fokus Kodam Iskandar Muda, Oktober 2007



**) Penulis adalah Sekretaris Umum Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam (Badko HMI) Nanggroe Aceh Darussalam

HARI-HARI TERAKHIR RAMADHAN

Oleh : AMIRUZZAHRI


Tema ini kami angkat dari dari sebuah tema kecil dalam buku yang ditulis oleh Dr.A’id Al-Qarni, MA yang berjudul Ramadhan Agar Puasa Tak Sekedar Lapar dan Dahaga. Menurut kami tema ini relevan untuk kita angkat, mengingat kita sedang berada pada saat-saat akan berpisah dengan sang tamu Allah yang mulia dan sangat agung yakni ramadhan.
Bagaimana seharusnya melepas kepergian ramadhan?.
Marilah kita lihat contoh kecil dalam kehidupan kita sehari-hari dalam hal menyambut dan melepaskan kepergian tamu bila kita kedatangan tamu di rumah. Sikap kita sebagai tuan rumah tentunya beragam, ada yang menyambut kehadiran tamu dengan wajah dan perasaan biasa-biasa saja, ada tamu yang kita sambut dengan raut wajah dan perasaan yang terpaksa dan ada pula kedatangan tamu yang kita sambut dengan penuh kegembiraan dan penuh kerinduan. Kesan dalam menyambut kedatangan tamu juga menentukan bagaimana sang tuan rumah melepas kepergian tamunya.
Dalam hal menyambut dan melepaskan kepergian tamu agung yang bernama ramdhan kami fikir tidak jauh-jauh bedanya dari bagaimana cara kita menyambut kerabat dan handaitolan yang bertamu kerumah.Ada sebagian hamba Allah yang menyambut kedatangan ramadhan biasa-biasa saja karena dianggap tamu agung ini sudah tidak asing lagi kerana kedatangannya setiap setahun sekali artinya tamu ini tidak perlu disambut dengan perlakuan istimewa biar pun setahun sekali namun setiap tahun bulan ini tetap akan datang maka hamba tersebut melepas kepergiannya juga dengan cara-cara biasa-biasa saja pula. Ada lagi Hamba Allah yang menyambut tamu agung ini dengan cara cuek aliyas no peremen spay ( hana peremeun sapu/tidak perduli apa-apa ) artinya dia tidak mau ambil pusing dengan kedatangan tamu agung ini, malah dia tidak peduli sama sekali sibuk dengan rutinitasnya sehari-hari. Tapi tidak bagi hamba Allah yang paham akan keagungan tamu Allah ini, mereka akan menyambutnya dengan segenap perasaan kerinduan dan penuh penantian akan kehadirannya, hamba Allah yang seperti akan meninggalkan segenap rutinitas dan semua kesibukannya demi menghargai dan menyambut kedatangan tamu yang ditunggu-tunggunya selama sebelas bulan, karena dia paham bahwa tamu agungnya ini bukan sembarangan tamu dan tidak sedikitpun menambah beban baginya malah kehadirannya membawa berjuta rahmat dan berkah serta keuntungan yang tidak ternilai oleh dunia dan seisinya.
Dalam kitab Fadhail Amal diceritakan bahwa apabila ramadhan akan berakhir atau saat terakhir tamu Allah ini akan meninggalkan kita semua, maka langit dan bumi beserta isinya menangis melepas kepergian ramadhan yang mulia, hanya saja manusia tidak bisa memahami dan mendengar tangisan dan kesedihan ciptaan Allah tersebut dengan panca indera kita. Ada dua hal yang menyebabkan mereka menangisi kepergian ramdhan,pertama : mereka menangisi kepergian ramadhan karena terharu dan bahagia bahwa dengan kedatangan ramdhan ummat Muhammad SAW menjadi manusia yang kembali kepada fitrah, bersih dari noda dan dosa serta terbebas dari azab api neraka. Kedua: mereka menangis karena setelah tamu allah kembali kepadanya maka manusia kembali berbuat kemaksiatan, bergelimang dengan dosa-dosa, berlaku sombong dan melampaui batas diatas permukaan bumi allah, asbab inilah maka bumi menangisi kepergian bulan yang penuh rahmat, ampunan dan ittiqum minnar ini.

Kalaulah langit dan bumi beserta isinya semua menangisi kepergian ramadhan, lalu bagaimana dengan kita yang seharusnya derai air mata lebih banyak kita tumpahkan saat-saat akan berpisah dengan ramadhan. Namun sayang beribu sayang kita belum sampai kesana kepahaman kita akan keagungan ramadhan sehingga benarlah dalam hadist yang sabdakan junjungan kita baginda Rasulullah SAW “ Seandainya ummatku paham akan keagungan puasa Ramadhan, sungguh mereka akan meminta semua bulan dalam setahun menjadi bulan puasa” asbab kita tak pahamlah sehingga saat kita berada di penghujung ramadhan kita disibukkan dengan hal yang bersifat keduniwian, konsentrasi tidak lagi pada ibadah akan tetapi hari-hari terakhir ramadhan kita disibukkan dengan persiapan menghadapi idul fitri, sehingga pasar-pasar tempat perbelanjaan pakaian dan aneka kue-kue lebaran penuh sesak, sementara mesjid-mesjid menjadi sepi baik siang maupun malam. Padahal Nabi menuntun kita untuk mengikat ikat pinggang sekuat-kuat nya dan menghabiskan masa sepuluh akhir ramadhan dengan beri’tikaf di dalam mesjid.
Dr. Aid Al-Qarni dalam bukunya Ramadhan agar tak Sekedar lapar dan Dahaga berpesan bahwa sesungguhnya, segala amal ditentukan oleh akhirnya. Segeralah berupaya untuk membebaskan diri dalam malam-malam terakhir ini, perbanyaklah bershalawat kepada Nabiyullah Al-Musthafa SAW, perbanyaklah taubat dan istiqfar, lalu bersegeralah beramal baik.
Ibnu Rajab Rahmatullah A’laih mengatakan, diriwayatkan dari abu Hurairah r.a. ia menuturkan “ Ghibah itu merobek puasa dan istiqhfar menambalnya. Siapa diantara kalian yang mampu datang dengan membawa puasa yang tambal, maka lakukanlah “.
Umar bin Abdul Azis Rahmatullah A’laih menulis kepada wali negeri-negeri untuk memerintahkan mereka supaya menutup bulan ramadhan dengan istiqhfar dan zakat fitrah.
Siapa tahu, bisa jadi dosa besar yang telah kita perbuat hanya bisa diampuni pada malam-malam tersebut, bergegaslah untuk membebaskan diri kita, angkatlah kedua tangan kepada Allah Azza Wajalla, karena kita tidak tahu, boleh jadi, bulan ramadhan tidak akan datang lagi kepada kita.
Setiap kita bersalah dan berdosa, setiap kita fakir dan miskin, setiap kita lemah dan kekurangan.kita khawatir amal-amal kita dirasuki rasa riya’ dan sum’ahsehingga Allah menolaknya sejak pertama dan terakhir.
Mahasuci Allah yang membentangkan neraca keadilan bagi orang-orang adil, mahasuci Zat yang menebar penerimaan bagi orang-orang yang diterima; Mahasuci Zat yang telah membukakan pintu taubat bagi orang-orang yang bertaubat. Dengan kebijaksanaannya, ada orang yang diterima dan ditolak, ada yang bahagia dan celaka, adapula orang yang bertaubat dan berkhianat. Kami mohon kepada zat yang di tangannya kunci-kunci hati, semoga dia buka hati kita semua. Agar dia membebaskan kita dari neraka, dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang diterima shalat,shaum,zikir, dan tahajud serta bacaan Al-Qur’annya.
Betapa gembiranya jika amal kita diterima, sehingga kita bisa keluar pada hari raya dengan rasa gembira,senang,suka ria dan bercahaya. Sebaliknya, betapa sedihnya jika amal kita ditolak, yang menyebabkan kita meninggalkan bulan ini dalam kebinasaan, kekecewaan, keletihan dan penyesalan.
Ya Allah terimalah apa yang terbaik dari apa yang kami kerjakan, hapuslah dosa-dosa kami, bersama para penghuni surga. Suatu janji yang benar yang dijanjikan kepada mereka.
Selamat tinggal wahai bulan shaum dan shalat, selamat tinggal hari-hari yang indah, yang kami lalui dengan berzikir dan tilawah Al-Qur’an. Kita tidak tahu, apakah seluruh amal kita di bulan ramadhan diterima, ataukah tidak? Wallahu A’lam Bisshawab.


Penulis adalah Ketua Umum Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam (BADKO HMI) Nanggroe Aceh Darussalam 2006-2008

07 Oktober 2007

MAHASISWA DALAM RANAH PERGERAKAN


(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Serambi Indonesia, 31 Juli 2007)

Tuntutan mahasiswa juga tuntutan rakyat, karenanya tuntutan tersebut tidak bersifat praktis dan jauh pula dari maksud mengejar kepentingan pribadi, karena itu pula tidak tergolong politik praktis” (Delier Noer).


Agen pembaruan dan kontrol sosial, adalah kalimat yang melekat pada mahasiswa, identik dengan kelompok muda berpendidikan, benarkah? Katanya; mahasiswa juga kelompok yang peka terhadap kondisi masyarakat, apakah itu benar? Jawabannya benar, itu kalau kita melihat mahasiswa tempoe doeloe; tidak benar untuk mahasiswa sekarang yang eklusif, apatis, dan hedonisme. Suatu kekwatiran yang dilontarkan M Jais Rambong (Serambi, kolom opini, Rabu/4/7/2007).
Mahasiswa mempunyai sejarah perjuangan panjang. Komponen mahasiswa adalah orang-orang berpendidikan tinggi dan mempunyai tanggungjawab besar terhadap masyarakat. Mahasiswa dianggap bergensi, penuh nuansa intelektual, bebas dan tidak absen dalam setiap gejolak perubahan sosial yang terjadi di negaranya. Tri dharma perguruan tinggi, menjadi pilar gerakan mahasiswa. Pendidikan (education), dituntut mahasiswa untuk mampu mentransformasikan ilmunya kepada masyarakat, melakukan penelitian terhadap objek yang ingin dikaji serta pengabdian terhadap masyarakat.
Ironinya, nilai kemahasiswaan semacam itu mengalami degadasi sehingga cetat-biru peran strategis mahasiswa hanya tercatat dalam buku panduan semata tanpa aksi konkrit sebagaimana harapan masyarakat. Mahasiswa cenderung diposisikan hanyalah kelompok politik yang mengesankan demonstrasi dan frontalisasi. Diskusi-diskusi politik secara masal pun cenderung pada penguatan gerakan mahasiswa yang berpotensi radikalisme. Status oposisi menjadi label mahasiswa oleh pemerintah.
Mestinya belajar pada keyataan sejarah, mulai zaman pergerakan dimasa transisi kepemimpinan, pergerakan kemerdekaan sehingga terpilihnya presiden Soekarno, peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto hingga gerakan reformasi yang dipelopori oleh organisasi mahasiswa. Sebutlah Budi Utomo pada 1908, 1966, 1974 yang popular dengan peristiwa Malari, 1978 sampai mencapai suatu klimak pada tahun 1998 melalui peristiwa reformasi. Tahun 1966, konflik politik di tingkat elite yang termanifestasi antara militer-PKI, saat itu mahasiswa adalah sebagai ujung tombak dari kekuatan politik militer.
Tumbangnya orde baru (21 Mei 1998) adalah peran nyata mahasiswa, sehingga mengurangi militer dalam perpolitikan nasional. Era transisi demokrasi tersebut, kritikan dan hujatan masyarakat terhadap TNI/POLRI menjadi makanan keseharian, hal ini diakibatkan oleh dosa orde baru sehingga terjadinya krisis yang dialami bangsa ini baik sosial, ekonomi maupun politik (Tim Penyususun Puslit IAIN Syarif Hidayatullah “Pendidikan Kewarganegaraan; Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani). Mahasiswa Kembali ke Rakyat Tri dharma perguruan tinggi (pendidikan dan pengajaran, penelitan, dan pengabdian masyarakat) semestinya diaplikasikan mahasiswa dalam situasi dan kondisi bagaimanapun.
Karena itu adalah cita sekaligus pencitraan mahasiswa. Inilah yang sekarang cenderung pudar dari pergerakan mahasiswa di Aceh, khususnya. Kelompok akademis yang disematkan rakyat segala harapan, aspirasi dan pengaduan nasib rakyat ini. Memang tidak bisa dinafikan peran peran kejuangan atas rakyat itu ada dilakukan. Buktinya sejak 1998 mahasiswa Aceh ikut juga berjuang menumbangkan tirani orde baru. Namun tidak semua mahasiswa secara representatif melakukan perjuangannya semata untuk membela rakyat. Karena mahasiswa juga dihadapkan pada persoalannya sendiri yang harus studi sehingga ruang geraknya menjadi terbebani oleh persialan survival tersebut.
Keadaan kemudian menggiring mahasiswa pada situasi caost dengan tidak ambil pusing dengan berbagai problematika yang dihadapi oleh masyarakat. Bila kita cermati lingkaran yang melilit mahasiswa sehingga mempengaruhi terhadap tanggungjawab dan peran sebagai agen sosial dan agen pembaruan, dilihat dari aspek ekonomi dapat dikatagorikan pada tiga faktor. Pertama, mahasiswa ansic yang hanya “digaji” orangtua untuk kuliah walaupun mereka tidak begitu serius dalam kuliahnya. Kedua, mahasiwa yang memiliki tugas ganda, selain ia harus mendapatkan nilai yang baik juga harus bisa bertahan hidup sehingga dipaksa secara finansial sehingga harus mencari nafkah untuk menyelesaikan studi. Ketiga, mahasiswa yang aktif pada organisasi internal maupun eksternal kampus dengan harapan bisa berbuat untuk masyarakat.
Faktor finansial menjadi hal utama yang menyebabkan mahasiswa apatis atau cuek terhadap keadaan di sekilingnya. Untuk bisa survival, mahasiswa harus rela menjadi seorang kuli bangunan untuk membayar SPP, atau bekerja di NGO termasuk BRR sekarang ini, melamar jadi PNS karena dianggap sebagai jaminan masa depan. Inilah kemudian menjadikan mahasiswa tidak peduli terhadap realita sosial. “Bagaimana bicara idealis, naik robur saja (Rp 500) tidak punya uang, belum lagi lainnya seperti uang kuliah yang terus dinaikan setiap periode secara sepihak oleh rektorat, meskipun tidak tahu kemana uang miliaran itu digunakan,” ketus seorang mahasiswa.
Mahasiswa adalah generasi bangsa yang siap menjawab semua tantangan di masa depan. Namun itu hanya jargon dan saat ini mesti dipertanyakan kembali. Reformasi yang digalangkan oleh mahasiswa, apa yang telah dapat dicapai. Sembilan tahun reformasi di negeri ini, paradigma praktik bisnis yang curang, pengangkangan atas hukum dan berbagai stagnasi sosial terus saja terjadi. Mulai soal kesehatan yang buruk, pendidikan tidak bermutu, eksploitasi keuangan yang mengatasnamakan biokrasi, penjarahan terhadap lingkungan hidup, sampai tingkat pengangguran dan kemiskinan semakin tinggi.
Refiormasi kemudian bukan mengubah keadaan negeri menjadi lebih baik, malahan makin menjerat rakyat menjadi hilang harapan. Para akademisi tidak lagi mencerahkan masyarakat dalam kajian dan riset bersama mahasiswanya, tapi berkutat pada bisnis sempalan atasnama akademis atau nyambi di sejumlah NGO dengan teori-teori elegan, namun tak berpihak rakyat. Universitas yang lebih suka menerima riset pesanan birokrasi atau dunia bisnis ketimbang mengukur kedalaman demokrasi dan keadilan untuk rakyat dimana mereka berdiri. Masih eksiskah mahasiswa? Jawabnya ada pada nurani mahasiswa. Sudah saatnya mahasiswa (Aceh) kembali ke rakyat tanpa kepentingan, melainkan kebutuhan untuk sebuah pembaruan masyarakat.

Penulis adalah:
Ketua Bidang PTKP HMI Cabang Banda Aceh,
Kandidat Ketua Umum BADKO HMI Aceh Periode 2008-2010,
Alumnus Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry

05 Oktober 2007

Epistemologi Islam

Oleh : Rudhy Suharto


Pertanyaan paling mendasar dalam dunia ilmu pengetahuan adalah bagaimana bentuk epistemologi Islam itu? Dewasa ini berbagai usaha telah dilakukan sebagai upaya untuk memahami kerangka dasar epistemologi Islam agar dapat dibedakan dengan Barat. Usaha ini menuntut perhatian dan motivasi yang lebih untuk membedah permasalahan ini. Dan akan lebih berhasil guna jika pendekatan analitis kritis seperti ini dilestarikan dengan memberikan definisi yang jelas dan tegas tentang konsep-konsep yang digunakan di dalam epistemologi.Dalam teori ilmu pengetahuan Islam, terma yang sering digunakan untuk istilah ilmu pengetahuan adalah ‘ilm. Terma ‘ilm dalam bahasa Arab berkonotasi lebih luas dibandingkan sinonimnya dalam bahasa Inggris dan bahasa-bahasa lain yang digunakan di Eropa.
Dalam terma Inggrisnya ‘ilm biasa disebut knowledge yang cakupan makna dan konotasinya lebih miopik. Knowledge yang digunakan di dunia Barat berarti keterangan tentang sesuatu baik bersifat ilahiah atau ragawi. Sedangkan ‘ilm, menurut Wahid Akhtar, adalah meliputi seluruh aspek yang terdiri dari teori, aksi dan edukasi. Terma ‘ilm ini bagi peradaban Islam dan Muslimin memberikan satu nuansa tersendiri.Dalam konsep Islam ‘ilm adalah Islam, Islam adalah ilmu. Meskipun kaum teolog memiliki keragu-raguan untuk menerima validitas kesetaraan itu. Namun pada kenyataannya dalam diskusi-diskusi mereka tentang konsep kesetaraan ilmu itu menerima bahwa betapa fundamentalnya konsep seperti itu bagi peradaban Islam. Dapat dikatakan bahwa Islam adalah titian ilmu pengetahuan.
Tidak satupun agama atau ideologi yang menekankan sedemikian rupa tentang betapa pentingnya ilmu pengetahuan bagi kelangsungan peradaban ummat manusia.Di dalam kitab suci al-Quran, menurut Wahid Akhtar (Tawhid, Vol.XII, No.3, Teheran), terma ‘alim disebutkan pada 140 tempat, sedangkan ‘ilm pada 27 tempat. Secara keseluruhan total ayat yang menyinggung masalah ‘ilm atau derivatif dan kata-kata yang berhubungan dengannya disebut sebanyak 704 kali. Media ilmu pengetahuan semisal buku ( al-Kitab ), pena (qalam) dan tinta ( midad )dan sebagainya disebutkan hampir sebanyak terma ‘ilm didalam al-Quran. Qalam diulang pada dua tempat, al-kitab pada 230 ayat dimana al-kitab dengan menggunakan terma al-Quran dinyatakan dalam 81 ayat. Kata-kata yang sehubungan dengan penulisan termaktub dalam 319 ayat. Sementara kita tahu bahwa dalam rangka pencapaian ilmu pengetahuan media buku dan pena sangat esensial dan wahyu yang mula-mula diturunkan berisi titah ilahi untuk membaca. Terma iqra (bacalah!) sebagai wahyu pertama yang diwahyukan kepada Rasulullah saw.
Berdasarkan al-Quran, Allah paling awal mengajarkan pada Adam nama-nama segala sesuatu. Allah merupakan guru yang pertama dan pemandu mutlak bagi manusia. Pengetahuan diberikan secara khusus pada Adam dan tidak diberikan secara merata pada makhluk-makhluk Tuhan lainnya bahkan malaikat sekalipun. Dalam kitab hadis Usul al-Kafi dikisahkan sebuah hadis dari Imam Musa al-Kazim as. bahwa ‘ilm itu terdiri dari tiga jenis, yaitu: ayatun muhkamah (ayat-ayat Tuhan yang tak-terbantahkan), faridatun ‘adilah (kewajiban-kewajiban), sunnat al-qaimah (sunnah Rasulullah saw). Hadis ini menyiratkan bahwa ‘ilm adalah suatu pencapaian dimana diwajibkan atas kaum muslimin untuk mencarinya meliputi teologi, filsafat, ilmu hukum, ilmu etika, ilmu politik dan ilmu hikmah yang diwariskan oleh baginda Rasulullah Saw.Selain dinyatakan dalam ratusan ayat akan urgensinya ilmu pengetahuan, kita juga mendapatkan dalam ratusan hadis Rasulullah saw. yang menekankan pentingnya pencarian ilmu pengetahuan dari manapun sumbernya.
Kaum Muslimin – selama masa keterbelakangan dan keterpurukannya – memberikan batasan pencapaian ilmu pengetahuan hanya pada ilmu teologi saja suatu sikap yang secara umum menggejala namun merupakan suatu blunder besar bagi peradaban Islam.Dalam hal ini al- Ghazali termasuk salah seorang yang patut disalahkan atas kejatuhan ini, dimana ia hanya menonjolkan dimensi spiritual Islam saja dengan mengabaikan dimensi intelekual dan filosofis Islam. Meskipun begitu, al-Ghazali pernah melewati masa skeptisme yang penuh gejolak namun sejatinya ia dalam pencarian suatu keniscayaan (certainity) yang ia temukan didalam pengalaman mistisnya tidak dalam dunia ilmu pengetahuan. Atas upaya seperti itu, harus diakui bahwa al-Ghazali telah membuka garda bagi kaum muslimin dalam pembebasan dari taklid buta dan membantu kaum muslimin melakukan pendekatan kepada tujuan dari ilmu pengetahuan itu.
Dalam dunia Islam, istilah ma’rifat (gnosis) dipisahkan dengan ilmu pengetahuan dalam artian pencapaian informasi melalui proses logis. Dalam dunia non-Islam yang didominasi oleh tradisi Yunani, hikmah ( wisdom ) dipandang lebih tinggi derajatnya dibanding dengan ilmu pengetahuan. Akan tetapi dalam Islam ‘ilm bukan sekedar ilmu pengetahuan namun ‘ilm bersinonim dengan ma’rifat . Ilmu pengetahuan ( knowledge ) dianggap memiliki derivasi dari dua sumber yakni : aql dan ilmu hudhuri ( ilmu pengetahuan yang dicapai melalui pengalaman spiritual ).Patut untuk diperhatikan bahwa dalam al-Quran dan hadis Rasulullah saw menyatakan perlunya kerja-kerja intelektual, khususnya pada masalah ijtihad. Dalam madzhab Sunni qiyas ( suatu metode deduksi analogis yang diajukan oleh Imam Abu Hanifah) digunakan sebagai instrumen ijtihad, namun guru dan pembimbing spritualnya yakni Imam Dja’far al-Shadiq as. memberikan spektrum yang luas bagi akal dalam melakukan ijtihad. Pada seluruh literatur fiqh dan usul al-fiqh ditemukan bahwa peranan akal dalam ijtihad lebih ditekankan ketimbang qiyas, karena qiyas hanyalah bentuk argumen logika yang semu (quasi-logical argument) sedangkan akal mencakup totalitas fakultas rasional yang dimiliki manusia.Olah-latih intelektual (akal) ditegaskan secara signifikan dalam seluruh literatur Islam dimana akal memainkan peranan penting dalam pengembangan berbagai ilmu pengetahuan – baik yang bercorak ilmiah maupun tidak – dalam dunia Islam.
Pada abad ke-duapuluh seorang pemikir Islam asal India bernama Muhammad Iqbal dalam bukunya Reconstruction of Religius Thought menandaskan bahwa ijtihad adalah prinsip dinamis dalam raga ummat Islam.Dalam dunia Islam tidak terdapat adanya perbedaan antara hikmah dan ilmu pengetahuan. Mereka yang membuat dikotomi seperti itu telah menjerumuskan kaum Muslimin untuk tidak bercorak pemikiran Islami. Para filosof seperti al-Kindi, al-Farabi dan Ibnu Sina dipandang sebagai hakim (filosof) dan dalam kapasitas seperti ini mereka lebih superior ketimbang ‘ulama’ dan fukaha. Miskonsepsi seperti ini telah menggiring al-Ghazali untuk menyerang dan mengkritik Para filosof tersebut.Islam adalah agama yang mengajak ummatnya untuk berfikir kritis, analitis dan melakukan olah intelektual serta menjadikannya kendaraan untuk sampai pada kebenaran hakiki.
Meskipun kita lihat para pemikir Islam menggunakan berbagai jalan dalam rangka mencapai tujuan. Seperti para filosof yang mendedikasikan diri mereka pada metode berfikir logis dan ilmiah dan hal ini mengakibatkan adanya cibiran oleh para sufi. Walaupun beberapa filosof diantara mereka semisal Ibnu Sina, al- Farabi, dan al-Ghazali menempuh jalan spiritual dalam mencari kebenaran dalam beberapa stasiun (maqam). Sebagaimana telah disebutkan bahwa ‘ilm tidak dapat diterjemahkan hanya sekedar ilmu pengetahuan, ‘ilm seyogyanya diterjemahkan juga sebagai ma’rifat ( gnosis)Dalam mengkaji ilmu pengetahuan, pertanyaan penting yang menyeruak yaitu bagaimana seseorang dapat mengatasi keraguannya tentang doktrin ke-Tuhanan, kesemestaaan dan kemanusiaan. Diyakini secara umum bahwa dalam Islam – menurut orang-orang beriman – tidak satu tempat pun untuk meragukan dan menanyakan akan eksistensi Tuhan, kerasulan Muhammad Saw., injunksi Tuhan dan Islam mengharuskan para pemeluknya melakukan penghambaan totalitas atas apa yang diperintahkan keatasnya.
Keyakinan yang bersifat umum ini merupakan sebuah temaram dalam pancaran sinar ilmu Islam dalam memandang akal.Dalam persfektif usuluddin, setiap muslim diharuskan untuk menerima tawhid, nubuwwah, dan ma’ad (dalam keyakinan fundamental syiah termasuk didalamnya keadilan Ilahi (a’dl) dan imamah ) dengan menggunakan kriteria rasional dan landasan pengalaman eksistensial seseorang. Konsep semacam ini menubuwatkan skeptisisme dan keraguan dalam Islam sebelum sampai pada stadium keniscayaan dalam keyakinan beragama.Term ‘ilm bila dirujukkan dengan banyak ayat al-Quran diartikan sebagai cahaya (nur), dan Allah juga diatributkan sebagai puncak cahaya (ultimate light). Hal ini berarti bahwa ‘ilm secara umum sinonim dengan cahaya Allah. Dan cahaya ini tidak seluruhnya menyinari orang-orang beriman. Jika cahaya itu kemudian menjadi temaram maka ini disebabkan karena seringnya awan keraguan menyelimuti domain pemikiran manusia. Kesangsian atau keraguan sering ditafsirkan dalam al-Quran sebagai kegelapan, begitupun keawaman juga dideskripsikan sebagai kegelapan dalam banyak ayat suci al-Quran.
Bila Allah digambarkan sebagai cahaya dan ilmu pengetahuan disimbolisasikan sebagai cahaya Tuhan. Maka natijahnya adalah keawaman (kebodohan) adalah kegelapan sementara makrifat (baca: ‘ilm) adalah cahaya. Dalam ayat kursi Allah berfirman: Allah adalah cahaya bagi langit dan bumi …. Allah adalah pemimpin orang-orang beriman dan Dia membimbing orang-orang beriman dari kegelapan kepada cahaya. Kegelapan sering kali ditafsirkan sebagai penafian ( kekufuran ) dan cahaya sebagai penerimaan ( keyakinan ) pada Tuhan. Kita juga jumpai didalam banyak ayat suci al-Quran serta hadis-hadis Rasulullah saw yang menekankan bahwa cahaya hanya dapat digapai oleh mereka yang berjuang mengentaskan kegelapan.Dan kebanyakan para filosof Islam mengembara untuk menemukan keniscayaan hakiki dengan menggunakan pendekatan skeptisisme.
Skeptisisme dalam pengertian umum sejatinya tidak selaras dengan ajaran Islam. Jalan skeptisisme masih dapat diterima hanya bila ia menuntun kita dari kesangsian pada keyakinan. Metode skeptikal di atas memiliki dua aspek, yaitu: penafiannya terhadap ilmu pengetahuan dan penerimaannya untuk mengatasi kesangsian. Para filosof Islam telah melewati aspek yang kedua, dikarenakan adanya seruan untuk tidak bersikap taklid buta dengan pakem yang ada.Dalam Islam ‘ilm tidak direstriksi hanya pada pencapaian ilmu pengetahuan, tetapi ‘ilm mencakup aspek sosio-politik dan moral. Ilmu pengetahuan tidak hanya pewartaan atau informasi namun ia menuntut orang-orang beriman untuk memanifestasikan keyakinannya dan berjuang untuk mewujudkan cita-cita Islam. Teori ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam tidak hanya terpaku pada teori epistemologi.Namun Islam memadukan insight (pengetahuan yang dalam ), ilmu pengetahuan, dan amal sosial dalam satu rumusan untuk dikonsumsi oleh ummat manusia.
Rasulullah saw mengatakan: suatu waktu malaikat Jibril as mendatangi Adam as. Ia menawarkan pada Adam iman, moralitas (haya) dan rasio dan meminta Adam untuk memilih salah satunya. Ketika Adam memilih rasio ( akal ), maka moralitas dan iman diminta untuk kembali ke Surga. Moralitas dan iman berkata pada Jibril bahwa mereka diperintahkan oleh Allah untuk menyertai rasio kemanapun ia pergi. Hadis ini mengindikasikan betapa komprehensifnya arti intelegensia dan ilmu pengetahuan dan betapa kuat korelasi antara fakultas rasio, iman dan moralitas dalam Islam.Gagasan kesetaraan bahwa ‘ilmu adalah Islam, menurut Wahid Akhtar, terbukti memberikan kontribusi besar bagi perkembangan dan penyebaran berbagai cabang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan fenomena sosial dan fisikal serta proses argumentasi logis dalam pengambilan hukum dan justifikasi doktrin Islam yang bersumber dari al-Quran dan sunnah Rasulullah saw. Ilmu pengetahuan ilmiah yang meliputi ilmu pengetahuan fisikal dan natural dicari dan dikembangkan oleh ahli sains dan matematika Islam secara meluas pada dekade-dekade awal abad pertama hijriyah. Upaya ilmiah ini menemukan momentumnya pada pendirian bayt al-hikmah dibawah rezim emperium abbasiyah pada masa khalifah al-Ma’mun.
Dengan demikian tuduhan yang direka oleh para orientalis Barat yang menyatakan bahwa al-Quran dan Sunnah tidak mengandung konsep sains dan filsafat. Sebagaimana yang telah dikatakan sebelumnya bahwa kaum Muslimin tidak hanya berlandaskan al-Quran dan Hadis saja atau bahkan mewajibkan kaum Muslimin merujuk pada berbagai sumber namun mereka juga dibekali dengan piranti panduan prinsipil yang menyediakan landasan aman bagi perkembangan ilmu-ilmu agama dan ilmu yang bercorak sekularistik.Dalam beberapa hadis bahkan dikatakan tentang prioritasnya usaha pembelajaran daripada melakukan ibadah ritual keagamaan. Dan hadis-hadis yang mengindikasikan bahwa tidurnya seorang ulama lebih berharga dibandingkan perjalanan haji seorang awam dan partisipasinya dalam jihad fii sabilillah. Tinta seorang ulama lebih sakral ketimbang tetesan darah seorang martir (syuhada). Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib as bersabda bahwa ganjaran keimanan seorang beriman akan diberikan pada hari pembalasan kelak diukur dengan derajat kelimuan dan penyebaran ilmunya.Islam tidak pernah mentolerir pernyataan bahwa hanya ilmu teologi yang bermanfaat sedangkan ilmu pengetahuan empiris memiliki kesia-siaan.
Konsep semacam ini umumnya dikemas oleh para ulama semi-literal dan skripturalis atau oleh mereka yang menghendaki lestarinya kegelapan dalam Islam dan taklid buta agar mereka tidak memberontak terhadap elite penguasa tiran atau pada ulama yang terkooptasi dengan kekuasaan. Sikap ini kemudian melahirkan hujatan dan kecaman tidak hanya pada ilmu pengetahuan empiris tetapi juga pada ilmu kalam dan metafisika, dengan penghujatan seperti ini berekses pada keterpurukan dan kejatuhan ummat Islam dalam percaturan sosial dan politik.Bahkan hingga hari ini dapat kita temukan menggejalanya sindroma ini pada sebagian besar dalam segmen komunitas Islam berasal dari orang umum atau kalangan ulama. Sindroma dan sikap anti ilmu pengetahuan seperti ini melahirkan beberapa pergerakan yang dianggap elementer (beranggapan ilmu teologi sudah adekuat bagi kaum Muslimin) yang menjabarkan asimilasi dan disseminasi ilmu pengetahuan empiris yang oleh mereka dapat melemahkan keimanan kaum Muslimin.
Meskipun Islam belahan timur mengalami kerterpurukan dalam ranah filasafat dan sains, akan tetapi pada masa pemikir-pemikir Islam yang bermukim di Barat, filsafat dan sains kemudian bermekaran karena usaha-usaha yang tak kenal lelah dari para pemikir Islam seperti Ibnu Rushd, Ibnu Tufail, Ibnu Bajah dan Ibnu Khaldun yang merupakan bapak sosiologi dan sejarah filsafat. Sejarah filsafat dan masyarakat karya Ibnu Khaldun merupakan peletak batu pertama atas pemikir Islam dalam dunia ilmu etika dan politik yang muncul kemudian seperti Miskaway, al-Dawwani dan Nasiruddin al-Tusi. Sedang al-Farabi memberikan perhatian penuh pada filsafat sosio-politik yang tertuang dalam senarai karya-karyanya antara lain Madinat al-fadilah, Ara’ ahl al-madinat, al-Millah al-fadilah, Fusul al-madang, Sirah al-Fadilah, K. al-Siyasah al-madaniyyah dan sebagainya.Ummat Islam adalah komunitas yang tidak pernah mengabaikan masalah sosial, ekonomi dan politik yang terjadi didalam masyarakat. Mereka menyumbangkan banyak hal terhadap peradaban dan pemikiran manusia melalui penelusuran dan pengkajian mendalam terhadap ragam ilmu pengetahuan meskipun dengan berbagai resiko seperti dihujat sebagai ahli bid’ah atau bahkan dituduh pagan.
Muslim sejati dan teguh dalam menjaga kredonya seperti al-Ghazali, Ibnu Rushd, Ibnu Bajah, al-Haytam, Ibnu ‘Arabi dan Mulla Sadra atau pemikir-pemikir Islam abad dua puluh seperti Muhammad Iqbal, Sayyid Ahmad Khan dan Abu ‘ala Al-Mawdudi adalah orang-orang yang tidak terlepas dari fatwa pagan (kufur) oleh mereka yang bertaklid buta dan menentang prinsip ijtihad, riset dan pikiran-pikiran kritis.Dengan demikian tidaklah berlebihan bahwa epistemologi Islam telah berjasa bagi tumbuh suburnya kultur kuriositas dan cara berpikir rasional bagi keberlangsungan atmosfer sehat dalam pencarian ilmu pengetahuan yang mencakup praktek sekaligus teorinya.

Posted by
http://www.hupelita.com/