22 Januari 2008

Memaknai HMI Back To Campus ; Telaah penguatan profesional kader

Galih Endradita M


HMI merupakan organisasi kemahasiswa Islam yang telah lama eksis. Sejak didirikan lebih dari setengah abad yang lalu, hari ini HMI telah melahirkan begitu banyak alumni yang berkiprah dalam berbagai sektor pemerintah dan non pemerintah
Tak heran rasanya, HMI menjadi sebuah metode komunikasi yang mendekatkan berbagai elit pimpinan pemerintah dan non pemerintah untuk saling bicara, mereka saling bicara bagaimana perjuangan mereka saat berada di HMI dan apa yang bisa mereka silaturahmikan hari ini dan besok. Dalam berbagai konteks hal ini adalah wajar adanya, sebuah ikatan kekerabatan yang tak akan pernah hilang walaupun telah lama meninggalkan organisasi HMI secara formal.Namun, bagaimana HMI hari ini ? HMI dalam pandangan penulis adalah sebuah organisasi yang lengkap dan dewasa secara struktural. Periode evolusi organisasi yang begitu lama telah melahirkan sebuah organisasi yang begitu kompleks karena HMI telah mampu menjawab banyak pertanyaan forma lorganisasi. Pertanyaan yang mendasar salah satunya HMI telah mampu menjawab makna idealisme mahasiswa dan makna profesionalisme mahasiswa. Kedua hal ini menunjukkan HMI telah melihat dua dimensi mata uang mahasiswa.Idealisme mahasiswa tentu berujung pada kesadaran HMI sebagai bagian anak bangsa dan anak umat yang mempunyai tanggungjawab memberikan andil terbaiknya dalam wilayah pemikiran dan gerakan mahasiswa yang berpihak pada kebenaran dan keadilan. Sedangkan dimensi profesional berujung pada penguatan kapasitas keilmuan yang diharapkan mampu melahirkan sosok profesional yang dapat memberikan inovasi terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat. Kedua dimensi inisaling bertautan dan tidak dapat dipisahkan, ibarat 2sisi mata uang logam.Ketika menilik makna ini, dan melahirkan pertanyaan.Maka HMI hari tetap pada wilayah ini ? Pada kesempatan yang lalu, muncul sebuah jargon yaitu HMI back to campus atau HMI kembali ke kampus. Apakah jargon ini muncul menyikapi kondisi hari ini bahwa HMI telah meninggalkan kampus dan memasuki sebuah wilayah yang bukan wilayah kemahasiswaan. Ini yang harus kita perjelas kembali.Secara pribadi saya tidak bersependapat manakala HMI back to campus dimaknai sebagai bagaimana HMI meraih posisi sebagai ketua senat mahasiswa atau ketua dewan mahasiswa dan presiden BEM. Posisi sebagai ketua Dewan ataupun Presiden BEM merupakan aktualisasi kader HMI secara personal, bukan aktualisasi diri HMI karena pada kajian apapun HMI merupakan organisasi ekstrakampus yang mempunyai kesetaraan dengan organisasi intra kampus. Apabila HMI mempunyai kepentingan menguasai struktural kampus maka tentulah HMI menempatkan dirinya lebih rendah dari organisasi intra kampus.Akan lebih elegan apabila makna HMI back to campus adalah bagaimana program kerja HMI Komisariat, HMI Cabang dan PB HMI hari bersinergis terhadap kebutuhan mahasiswa hari ini. Oleh karenanya perlu dibuka kembali apakah HMI mampu menjawab kebutuhan mahasiswahari ini.

Bakornas LKMI PB HMI (pbhmi)

10 Januari 2008

Menguatkan Katalisator Peradaban

Muhammad Dayyan, S.Ag


Aceh berada di persimpangan jalan. Kondisi transisi memiliki tiga pilihan, akankah Aceh kembali kemasa lalu yang kelam? Atau akan terus stagnan (quo vadis) seperti ini terus? Atau Aceh akan menuju ke masa depan meraih kejayaan peradabannya yang modern dan Islami? Ketiga jalan tersebut memiliki peluang untuk dijalani. Kalau para elit yang dulunya berjuang untuk kejayaan masyarakat Aceh yang hari ini diberi kepercayaan untuk mengemban amanah mengkhiatinya dengan memperkaya diri. Kemudian masyarakatnya mulai lupa pada ruh peradabannya yang Islami. Maka jalan pertama mulai dijalani.
Demikian juga jika amanah rakyat hanya dipenuhi seadaanya, masyarakat tidak peduli dengan kondisinya maka itu adalah jalan yang stagnan. Tentu kita semua ingin keluar dari masa lalu yang kelam dan kondisi stagnan yang membosankan. Misal birokrasi yang berwatak kapitalistik (memberi pelayanan jika mendapat keuntungan pribadi). Program pembangunan yang menghabiskan uang, umpama proyek yang bisa mendatangkan keuntungan kepada pejabat yang bersangkutan. Proyek fiktif alias siluman dan ditangani oleh yang bukan ahlinya.
Biasanya penempatannya melihat kepada berapa fee yang akan diberikan, mendapatkan jabatan berdasarkan pendekatan, bukan keahlian. Pilihan ketiga untuk mencapai kejayaan peradaban masyarakat Aceh yang modern dan Islami memiliki sejumlah tantangan yang harus disikapi secara serius. Mulai birokrasi yang disebutkan diatas dan realitas sosial. Di antara tantangan sosial itu adalah prilaku pragmatisme (kelompok yang selalu mengambil manfaat saja) yang menodai akidah dengan menjadikan materi sebagai tuhannya .
Aliran ini tidak memperhatikan apa efek negatif di masa mendatang bahkan mengabaikan penderitaan orang lain. Yang penting kelompoknya mendapatkan keuntungan, kesenangan, kepuasan tidak peduli ada pihak yang terzalimi. Disisi lain sistim pendidikan yang sekuler (memisahkan antara ilmu agama dengan ilmu akhirat) masih dipertahankan. Padahal ilmu itu satu sumbernya dari Allah kenapa kita pisah- pisahkan? Maka menjadi keniscayaan menarik sejarah kehaluan yang baik dengan risalah Ilahiyah yang membentengi bangunan peradaban Aceh dari kehancuran. Membangun peradaban yang maju bertumpu pada ilmu pengetahuan yang utuh (tidak ada dualisme).
Sistim pendidikan di Aceh tidak boleh lagi sama dengan daerah lain. Misal, SD, SMP, SMA, STM, SMK sampai Universitas kurang bahkan tidak ada pelajaran bahasa Arab yang menjadi alat untuk memahami literatur Islam. Dan sekolah agama pun mulai dari MIN, MTsN, MAN kurikulumya juga beda tipis dengan sekolah umum. Ironi memang? Dan sangat kontras bila kita bandingkan realitas masyarakat Aceh hari ini yang baru keluar dari kegegelapan, sarat dengan kemundurannya. Tapi kita mulai melakukan tindakan-tindakan yang mencedrai harmonisasi sosial (kriminalitas, kemaksiatan, dan kemungkaran).
Bagaimanakah jalan untuk memutar arah sejarah pada poros kejayaan kembali yang diridhai Allah swt? Salah satunya adalah memahami ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda alam/sunnatullah). Dalam hidup ini berlaku sunnatullah (hukum alam) di mana mau tidak mau kita harus mampu membacanya sebagaimana firman Allah swt; ...dan demikianlah masa kejayaan dan kehancuran itu Kami pergilirkan diantara manusia agar mereka mendapat pelajaran... (QS Ali Imran:140). Allah sudah memeperlihatkan kepada kita dalam kisah-kisah yang di ceritakan dalam Al-Quran.
Sejarah telah mengajarkan bahwa banyak peradaban dipermukaan bumi ini yang jatuh silih berganti, sebagaimana firman Allah swt; Dan berapa banyak penduduk negeri yang telah Kami binasakan, yang sudah bersenang-senang dalam kehidupannya... (QS Alqashas ayat 58). Kemunduran umat ini merupakan bagian dari sunatullah. Mampukah kita mengambil pelajaran dari sejarah itu? Masyarakat Aceh baru selesai dari episode sejarahnya yang kelam, butuh terapi secara permanen menyembuhkannya. Karenanya harus segera dibangunkan kembali dari tidurnya dan banyak latihan, dan pemimpin harus menggiring rakyat untuk bersegera menggapai janji Allah swt agar menjadi umat akhir zaman yang terbaik dan menjadi saksi bagi umat manusia seluruhnya.
Simaklah sejarah, bagaimana bangsa Jepang bangkit dari keterpurukannya. Lihatlah bagaimana Malaysia mampu mengejar ketertinggalannya. Kita harus mampu mendiagnosa apa yang menjadikan masyarakat ini sakit, agar kita bisa melakukan akselerasi (percepatan) untuk segera bangkit. Sebab Allah swt berfirman; Segala musibah yang menimpamu adalah kesalahanmu sendiri . Kesalahan apakah itu? Bisa jadi kesalahan itu adalah karena kita terbuai dengan segala nikmat yang telah dianugrahkan Allah dan tidak pernah mensyukurinya. Terjadi pengrusakan hutan, korupsi, iri dengki, pertikaian, kezaliman, maksiat dan kemungkaran lainnya yang tidak sesuai dengan Alquran dan assunnah.
Katalisator peradaban
Malik bin Nabi, seorang pemikir abad ke-20 asal Aljazair yang bergelut di bidang filsafat dan peradaban. Dalam bukunya Syarat Kebangkitan Peradaban, sebagaimana ditulis oleh Nurfarid (Opini Republika 14/09/2007) menunjukan kepada kita beberapa jalan menuju kebangkitan. Pertama, kita harus memahami unsur-unsur pembentuk peradaban yang terdiri dari manusia, tanah, dan waktu. Manusia sebagai unsur utama, karena ia adalah pelaku sejarah dan pencipta peradaban. Sedangkan tanah, merupakan sumber daya alam yang dengannya manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Adapun waktu, yang dimaksud Malik adalah nilainya dalam kehidupan manusia dan hubungannya dengan sejarah, kebangkitan ilmu, produktivitas, dan pencapaian peradaban. Kedua, walaupun kita sudah memiliki ketiga unsur tadi dan sudah mengelolanya dengan baik, tetap saja itu tidak menjamin akan terbentuknya suatu peradaban. Sebagai contoh, dulu bangsa Arab sebelum turunnya Alquran tidak lain adalah masyarakat Badui yang hidup di padang pasir, pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Oleh karena itu, harus ada katalisator yang akan mematangkannya. sebagaimana oksigen dan hidrogen tidak akan membentuk air kalau tidak ada katalisator yang menghubungkannya.
Katalisator dalam peradaban adalah agama (Islam). Hal ini juga pernah ditulis oleh Ibnu Khaldum jatuh bangunnya suatu bangsa ditentukan oleh apakah masyarakat itu mau mendayagunakan karunia Allah sesuai dengan petunjuk-Nya sebagai katalisator. Ketiga, Kita harus memiliki metodologi berpikir dan bekerja tersendiri yang sesuai dengan metodologi Islam. Sebab menurut Malik setiap peradaban memiliki dasarnya masing-masing yang akan berpengaruh pada cara berpikir dan bekerja. Peradaban Barat dasarnya adalah peradaban Romawi. Sedangkan Peradaban Islam dasarnya adalah akidah tauhid yang bersumber dari wahyu Ilahi. Keempat, Malik mengajak Muslimin agar memiliki etos kerja yang tinggi sehingga mampu menghasilkan komoditas sendiri.
Maka pemerintah berkewajiban memberi perhatian yang serius terhadap intensitas pengkajian Islam, perbaikan sistim dan kurikulum pendidikan, yang mampu membangun pemahaman ilmu Allah (ilmu umum dan agama) secara utuh adalah salah satu strategi memperkokoh katalisator peradaban Aceh yang modern dan Islami.

*) Penulis adalah Alumnus Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry, Biro Riset Kajian YICM dan Mantan Ketua Umum HMI Banda Aceh

Zakat dan Pemerintahan Bersih

Muhammad Dayyan, S.Ag


Tulisan ini ingin mendorong optimalisasi zakat sebagai usaha mewujudkan tata pemerintahan yang bersih. Prinsip bersih antara lain, akuntabel (dapat diminta tanggung jawab), transparan (bisa di akses/lihat oleh semua) dan partisipatif (melibatkan semua pihak yang berkepentingan). Pemerintahan yang bersih dijalankan dengan tatakelola yang berorientasi pada kesejahteraan publik/rakyat dengan cara-cara yang diridhai Allah swt.
Kesejahteraan tidak hanya mencakup masalah kesejahteraan ekonomi, melainkan juga mencakup persaudaraan manusia dan keadilan sosial-ekonomi, kesucian kehidupan, kehormatan individu, kehormatan harta, kedamaian jiwa dan kebahagiaan, serta keharmonisan kehidupan keluarga dan masyarakat. Realisasi tujuan kesejahteraan dilihat dari perwujudan tingkat solidaritas sosial yang dicerminkan pada tingkat tanggungjawab bersama dalam masyarakat, khususnya pemerintah. Jaminan atas hak anak-anak, usia lanjut, orang sakit dan cacat, fakir miskin, keluarga yang bermasalah, dan penangulangan kenakalan remaja, kriminalitas, dan kekacauan sosial.
Pemerintahan harus dapat menjamin kesejahteraan masyarakat dengan menyediakan lingkungan yang sesuai untuk aktualisasi pembangunan dan keadilan melalui implementasi syariat Islam. Hal itu harus terwujud dalam pembangunan dan pemerataan distribusi kekayaan yang dilakukan untuk kepentingan bersama dalam jangka panjang. Suatu masyarakat dapat saja mencapai puncak kemakmuran dari segi materi, namun tidak akan mampu bertahan lama jika lapisan moral individu dan sosial sangat lemah, terjadi disintegrasi keluarga, ketegangan sosial di tengah masyarakat meningkat, serta pemerintah tidak dapat berperan sesuai dengan porsi secara semestinya. Bila kita ingat janji Irwandi-Nazar saat kampanye dulu yang berkomitmen menjalankan pemerintahan bersih yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta berorientasi pada kepentingan kesejahteraan rakyat.
Setengah tahun perjalanan pemerintahan Aceh duet Irwandi-Nazar sejak dilantik Februari 2007 sudah membuat sejumlah gebrakan, misal, pelayanan satu atap, membuka kran investasi dalam dan luar negeri, moratorium logging (penghentian penbangan hutan sementara), dan program kredit pemakmu nanggroe. Gebrakan itu belum dapat dikatakan birokrasi pemeritahannya berorientasi pada kesejahteraan rakyat, karena sampai saat ini masyarakat masih mengeluh dengan sistim birokrasi pemerintahan yang masih kental dengan mental budak kapitalistik. Mental ingin dilayani, ingin diberi pelicin, kurang disiplin, tidak produktif, kurang inovatif, angkuh, tidak transparan dan ngilimet bila berurusan.
Di sinilah pentingnya kesadaran bahwa pemerintah harus memiliki kebijakan yang menjamin berjalannya sistim pemerintahan yang bersih, halal, dan barakah. Yaitu pemeritahan yang dijalankan dengan prinsip-prinsip profetik/kenabian. Zakat menjadi salah satu intrumen sekaligus alat ukur bahwa pemerintahan itu dijalankan dengan prisip kenabian. Zakat secara bahasa berarti mensucikan, bertambah, berkembang, dan produktif. Sejatinya harus menjadi orientasi birokrasi pemerintahan Aceh yang berkomitmen menerapkan syariat Islam. Zakat menempati posisi keempat dalam rukun Islam sebagai instrumen mengukur komitmen iman dalam bentuk amal sosial yang diperintahkan beriringan dengan kewajiban shalat. Zakat disyariatkan sejak di Mekkah untuk mendobrak sistim sosial yang kapitalistik, moral serakah/kanibal dan prilaku jahiliyah lainnya (baca; Surat Adh-Dhuha, al-Muddatsir, al-Ma’aarij/al-Haqqah, al-Ma’un). Selanjutnya ajaran zakat disempurnakan di Madinah secara lebih rinci, sistemik bahkan ceramah pertama Rasulullah di Madinah setelah hijrah berisi kewajiban zakat dan infak (Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah, hal. 118).
Makna zakat
Zakat bukan sekedar kemurahan hati orang-orang kaya, tapi kewajiban yang bersifat mamaksa. Ingat pada masa Islam di bawah kepemimpinan Abubakar Siddiq memerangi orang yang enggan membayar zakat. Alquran sangat keras peringatannya bagi yang enggan menunaikan zakat (QS. At-Taubah ayat 34), dan Rasulullah dalam hadisnya mengingatkan, ”...yang tidak melaksanakan kewajiban zakat tidak mendapatkan ganjaran apapun kecuali dipanggang dengan api neraka...”(HR.Bukhari Muslim).
Zakat berfungsi sirkulator (mesin perputaran) yang dapat membuat sehatnya kehidupan sosial dan ekonomi. Sebagai sirkulator akan menjadikan harta-harta berputar dengan bagus dan menghilangkan kesenjangan sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Karena terpenuhinya kebutuhan bagi yang mengeluarkan dan bagi yang menerimanya. Sesungguhnya zakat memiliki implikasi lebih dalam bagi terbangunnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Zakat dengan makna kesucian meniscayakan adanya sifat amanah dalam menjalankan tugas atau kewajiban seluruh aparatur pemerintah dalam melayani masyarakat. Dengan orientasi zakat seluruh aparatur pemerintahan akan berusaha mendapatkan rizki yang halal dan barakah sebagai syarat sahnya zakat.
Selanjutnya semangat itu ditransforamsikan lebih luas dengan membebaskan rakyat dari kelompok peneria zakat, selanjutnya menjadi pembayar zakat mal. Mengutip pandangan Iwan Triyuwono, guru besar akutansi syariah Universitas Brawijaya (buku: Akutansi Syari’ah), mengatakan orientasi zakat dapat membangun keseimbangan antara materialistik (cinta harta) dengan sifat spiritualistik (imani). Keseimbangan tersebut menumbuhkan sifat empati pada realitas sosial (altruistik) dan melumpuhkan keangkuhan (egoistik) yang cendrung menghalalkan segala cara. Andai saja zakat menjadi prinsip pemerintahan di Aceh (mulai tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan sampai gampong), sungguh kesenjangan sosial, ekonomi akan cepat teratasi.
Gilirannya pemerintah akan menjadi bersih, kuat dan berwibawa. Sebab orientasi zakat memiliki makna: Pertama, terdapat transformasi dari bekerja untuk mendapat keuntungan dan kepuasan pribadi, kepada pencapaian zakat (pensucian). Kedua, dengan zakat sebagai tujuan, maka segala bentuk kebijakan, aktifitas, prilaku pemerintahan harus tunduk pada aturan main yang sesuai dengan syari’at Islam.
Ketiga, adanya keterpaduan karakter kemanusiaan yang seimbang antara egois dan sosial--mementingkan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi. Kepentingan egoistik bahwa aparatur pemerintah bekerja untuk mendapatkan gaji, tunjangan, kenaikan pangkat dan lain-lain tetap diperkenankan. Sedangkan altuistik (sosial) mempunyai arti bahwa aparatur pemerintah juga mempunyai kepedulian yang sangat tinggi terhadap kesejahteraan rakyat, alam, lingkungan yang semuanya tercermin dalam kedisiplinan menunaikan zakat. Keempat, zakat mengandung nilai emansipatoris yaitu semangat membebaskan manusia dari ketertindasan ekonomi, sosial, intelektual dan pembebasan alam dari penindasan dan eksploitasi manusia sebagaimana peruntukan zakat (senif).
Kelima, zakat adalah jembatan penghubung antara aktifitas manusia yang duniawi dengan keberadaan manusia yang suci (ukhrawi). Sebagai jembatan akan memberikan kesadaran fundamental (ontologis) bagi diri manusia bahwa segala bentuk kegiatan duniawi selalu terkait erat dengan kedudukan manusia di hadapan Tuhan kelak. Di sini pentingnya dalam jangka pendek, pemerintah memperkuat posisi baitul mal sebagai amil zakat yang secara hukum sudah ada dalam UUPA. Hanya saja perlu sistim praktis operasional dalam bentuk qanun. Selanjutnya struktur dan sumberdaya pengelola perlu segera diberdayakan untuk lebih profesional. Perlu dibentuk baitul mal mulai tingkat provinsi sampai gampong yang selama ini tidak maksimal. Kekuatan baitul mal sangat dipengaruhi oleh political will (iktikad baik pemerintah). Semoga.

*) Penulis adalah kepala Biro Kajian dan Riset YICM, pernah menjadi mahasiswa pascasarjana program ekonomi dan keuangan syariah, Universitas Indonesia

Syariat Islam Dalam Sorotan

Muhammad Dayyan, S.Ag


”Katakanlah, sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku (syariat Islam), sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan sebanyak itu pula” (QS; Alkahfi ayat 109).
Membicarakan syariat Islam ibarat berlayar di samudra tak bertepi. Luasnya melampaui semesta yang hanya diketahui oleh sang Pencipta.
Tulisan Anton Widyanto, Simplikasi Syari’at Islam (Opini Searambi 06/07/2007) yang menilai gagasan saya tentang “Perlunya Qanun Antimaksiat” (opini Serambi, 08/06/2007), banyak kerancuan khususnya dalam persoalan logika hukum. Anton mengkhawatirkan dapat mempersempit dan menodai kekaffahan syariat Islam itu sendiri. Saya sangat apresiatif atas kritikan Anton. Namun, sayangnya tidak memberi gagasan baru atas masalah itu, malah cenderung berceloteh dengan sejumlah pertanyaan. Siapa pun setuju bahwa implementasi syariat Islam tidak mudah dan butuh waktu, keseriusan seluruh stakholder (pihak).
Namun tetap terbuka memberi advis dan gagasan alternatif. Karena setiap muslim berkewajiban mencari, memahami hakikat dan hikmah dari syariat agamanya. Alquran surat Alkahfi di atas mengandung pesan sangat kuat dan tegas bahwa syariat Islam perlu terus dihujjah dalam upaya menjawab multidimensi masasalah ummat. Mencari format ideal di tengah sistem hukum nasional kadangkala membuat kita tidak sabar, saling menyalahkan dan saling menghujat. Menyatukan persepsi melalui kajian, tulisan opini dari beragam pemahaman tentang bagaimana syariat Islam yang luas itu dapat diformalkan dalam bentuk qanun, perlu upaya serius.
Gagasan qanun antimaksiat yang terkesan menyederhanakan masalah, salah satu usaha memberi gagasan ketika pelaksanaan syariat Islam itu sering kontraprduktif dengan semangat ke-Islaman. Misal, sweping maksiat yang dilakukan kelompok “swata” yang kadangkala mendatangkan maksiat lain (caci maki, kekerasan, menghancurkan tempat usaha kelompok ekonomi lemah dan lain-lain). Bahkan yang sangat memprihatinkan ada remaja yang mengaku WH melakukan pemerkosaan yang justru melanggar syariat (Serambi 12/07/2007). Menurut saya, di sini fungsi dan tugas ulama, dan cendikiawan muslim mempertegas rambu-rambu. Memperjelas segala macam bentuk maksiat agar tidak menolak satu maksiat dengan membiarkan maksiat. Atau penegakan syariat dengan maksiat.
Setiap kita sejatinya tidak perlu sok suci, arogan, saling menghujat, dan klaim kebenaran yang melahirkan kekerasan atas nama syariat. Kita berkeinginan jangan ada lagi penegakan syariat dengan melanggar syariat. Itu sama halnya menegakkan HAM dengan mengabaikan HAM orang lain atau menciptakan damai dengan memusnahkan manusia lain melalui perang. Mengutip Prof Dr H Alyasa’ Abubakar MA, guru besar hukum Islam IAIN Ar-Raniry dalam satu diskusi di YICM 26 Mei 2007, beliau mengatakan ”Bicara hukum termasuk syariat Islam sesungguhnya bicara bagaimana setiap orang dapat menunaikan kewajibannya pada saat bersamaan setiap orang juga mendapatkan haknya secara adil”.
Hukum, kata Prof Alyasa’, harus memenuhi empat aspek, demikian juga dalam penerapan syariah Islam. Pertama, adanya norma hukum, menyangkut materi hukum yang jelas dan meminilisir interpretasi dan resistensi (penolakan) oleh banyak orang. Kedua, bagaimana bentuk atau jenis hukuman yang akan dijatuhkan bagi yang mengabaikan (melanggar) ketentuan yang terdapat dalam materi hukum. Ketiga, adanya aparatur yang berhak menegakkan hukum (mulai dari penyidik, jaksa penuntut, sampai lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengadili). Keempat, adanya hukum acara sebagai prosedur dalam membuktikan atas dugaan pelanggaran hukum tersebut.
Akibat bersentuhan dengan budaya barat selama berabad-abad, hukum pidana syariah Islam belum pernah berlaku secara sungguh-sungguh. Dari kajian YICM, pelaksanaan syariat Islam di Aceh baru pada fase sosialisasi dan pengawasan (dinas Syari’at Islam via Wilayatul Hisbah) dan mahkamah Syari’ah.
Sedangkan penyidik dan jaksa penuntut serta hukum acara peradilan masih tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku Nasional yang non syariah (non Islami). Di sinilah kadangkala masyarakat sering menyalahkan dinas syariat Islam dan WH bila tidak bisa maksimal menindaklanjuti setiap pelanggar syariah. Padahal kewenangan kedua intitusi tersebut terbatas pada sosialisasi dan pengawasan dan tidak punya kewenangan sedikitpun untuk meneruskan proses hukum (menahan, menyidik yang kewenangannya ada pada polisi dan jaksa) setelah pelaku pelanggar syariat ditangkap untuk diajukan ke hadapan mahkamah syariah.
Maka pelaksanaan syariat Islam di Aceh terhadap pidana khalwat, judi, maisir masih terikat dengan peraturan lain yang ada di Indonesia.
Dilematis memang. Satu sisi Aceh diizinkan merumuskan dan merancang hukum positif (qanun syariat). Namun di sisi lain tidak diperbolehkan memilih dan merancang aparat penegak hukumnya yang benar-benar berada dalam satu sistim hukum syariah itu sendiri. Jadi, belum ada mekanisme untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam suatu sistim yang totalitas syariah, melainkan berada dalam sub-sistim hukum nasional. Apa yang berlaku di nasional itu juga yang berlaku di Aceh.
Menarik mengutip pendapat Abdul Moqsith Ghazali dosen Universitas Paramadina dalam dialog yang dilaksanakan YICM akhir Mei 2007 lalu, bahwa penerapan syariah Islam di Aceh tidak semuanya berasal dari nash (sumber, red) yang dipahami dari Alquran. Dan itu tidak salah dan sangat lumrah. Menurutnya, ada suatu pra-kondisi yang telah berlangsung lama dalam sistim hukum positif Nasional yang diadopsi dari Belanda sebelumnya. Karenanya dibutuhkan waktu untuk sosialisasi dan terus mencari solusi perbaikan pelaksanaan syariat Islam sehingga bisa memperbaiki kondisi dan taraf hidup masyarakat yang menjadi objek dari pelaksanaan Syariat Islam itu sendiri. Melihat kondisi sosial saat ini yang masih dalam sistem dan struktur hukum, ekonomi, terjadi kecenderungan mempermanenkan kemiskinan dari ketidakadilan distribusi pendapatan terhadap masyarakat.
Miskinnya moral aparatur pemerintah yang tidak menjadi teladan bagi masyarakatnya juga turut memicu berbagai pelanggaran syariah. Kemaksiatan dalam sistim birokrasi yang korup, sistim politik yang rakus dan hedonis, ekonomi yang melahirkan pemilik modal yang kikir dan bakhil. Saya setuju, pelaksanaan syariat Islam tidak bisa ”bimsalabim abrakadabra”. Karenanya menjadi penting setiap qanun syariah Islam yang akan diberlakukan perlu adanya kajian ilmiah yang intens yang melibatkan partisipasi publik (ulama, cendikia, dan elemen masyarakat dari berbagai profesi) secara lebih maksimal. Jangan hanya mencomot hukum yang diterapkan di daerah atau negara lain. Diharapkan dapat meminimalisir kontradiktif dan resistensi dalam masyarakat. Beberapa qanun yang telah diterapkan saat ini (Aqidah, Ibadah, syi’ar Islam, khalwat, judi maisir) meniscayakan untuk direvisi karena banyaknya kelemahan.
Terutama istilah yang digunakan telah memberi celah multiinterpretasi umat, maka perlu ada batasan konkrit. Misal, ada pasal yang menyebutkan pelaksanaan syariat Islam juga menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat--tidak jelasnya batasan, sehingga memberi peluang terjadinya aksi pengadilan jalanan oleh masyarakat sering berperan sebagai polisi, penyidik dan hakim sekaligus. Di sini batasan harus ada, sejauhmana tanggungjaab dan kewenangan masing-masing (pemerintah dan masyarakat). Sejatinya kajian perlu terus menerus mencari solusi atas berbagai kendala. Sebagaimana disinyalir Sofyan Saleh, kepala Mahkamah Syariah Provinsi Aceh dalam satu diskusi YICM. Katanya, meskipun mayoritas masyarakat Aceh adalah muslim namun banyak tantangan syariat Islam diterapkan.
Masih ada masyarakat yang phobia (alergi) terhadap syari’at Islam, banyak persoalan khilafiah di kalangan umat dan kurangnya perhatian terhadap kebijakan di bidang hukum; banyaknya anggota eksekutif (selaku yang mengusulkan qanun), parlemen (yang membahas dan mensahkan qanun) tidak mengerti hukum Islam. ”Disi lain perjuangan umat belum sinergis, dan rendahnya pemahaman serta rendahnya kesadaran masyarakat muslim terhadap Syari’at,” tukasnya. Tentu sebagai umat Islam terus berjuang dan bertanggungjawab supaya syariat Islam dilaksanakan secara adil dan membawa kemashlahatan umat di daerah ini. Lima tahun penerapan syariat Islam di Aceh, ternyata hanya sarat ephoria dengan simbolis, seremonial dan slogan. Wajar saja hal itu belum mampu memuaskan semua elemen masyarakat.
Saat ini bagaimana syariat Islam dapat menghentikan massif dan intensitas kejahatan di Aceh. Mulai kejahatan lingkungan, kriminal, dan kejahatan struktural. Kecuali itu pemerintah Aceh yang kini dipimpin gubernur Irwandi-Nazar, pasangan pilihan rakyat Aceh, bisa mengimplementasi dalam visi dan misi membangun Aceh secara nyata. Wallahua’lam

*) Penulis adalah Alumnus Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry, Biro Riset Kajian YICM dan Mantan Ketua Umum HMI Banda Aceh

Perlu Qanun Anti Maksiat

Muhammad Dayyan, S.Ag


Syariat Islam di Aceh masih berkutat pada soal memberantas khalwat, judi, maisir dan menertibkan perempuan tidak berjilbab yang dianggap biang kemunkaran atau maksiat. Semua pun (mulai Ormas sampai lembaga pemerintah) sibuk membicarakan sanksi. Seperti salah satu Ormas Islam yang meminta pemerintahan Irwandi-Nazar untuk menegakkan Syari’at Islam dengan menyerahkan cambuk sebagai bentuk pelaksanaan Syari’at Islam (baca Serambi, 13/02/2007, hal 20). Mengenai penerapan syariat Islam di Aceh, terkesan umat Islam sendiri mempersempitnya. Ini bahaya karena bisa menggiring umat pada paradigma sekuler yang menganggap Islam hanya beberapa ritual ibadah; selebihnya menghindari ketiga jenis maksiat (khalwat, maisir, judi dan tidak pakai jilbab, red). Padahal Islam sangat luas melampaui samudera yang tak seorang pun bisa mengklaim bahwa dia lebih paham tentang syariat Islam.

Kesan kedua, syariat Islam sebagaimana diatur UU Nomor 11/2006 hanya suatu ketentuan (formalitas). Padahal penerapannya lebih pada kesadaran sebagai muslim. Artinya, sebagai tuntutan atas keprihatinan terhadap hukum yang ada di Indonesia sebagai hukum warisan Belanda sebut Prof Alyasa’ Abubakar (Dialog public yang difalisitasi YICM akhir Mei 2007 di Banda Aceh). Qanun sebagai usaha rekayasa sosial masyarakat sejatinya juga sebagai kesadaran masyarakat. Pada tataran konsepsi hukum hanya sebagai kumpulan pendapat, gagasan yang sangat kaya, tapi pada tataran praktik seakan miskin dan gersang dan jauh dari rasa keadilan. Di sini, aparatur penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) sejatinya ketika berhadapan dengan kasus, harus memutuskan secara jelas dan tegas.

Pelaksanaan syariat Islam dalam kontek kebangsaan, belum ada contoh di tempat lain kecuali baru diterapkan di Aceh yang polanya masih mencari bentuk ideal. Maka akan terus diuji melalui diskursus dan kritik agar pelaksanaan ke depan akan lebih baik, benar-benar menjadi rahmatan lil alamin. Sebab bicara syariat Islam, tidaklah berada dalam ruang kosong tapi terkait dengan konteks sosio-kultural masyarakat. Pada masa Nabi, pencuri pernah dilepas dan Nabi marah pada yang menangkapnya karena ada kondisi yang memaksa seseorang berbuat demikian. Syariah Islam ajaran yang sangat komprehensif, mengutamakan kesejahteraan semua, ketika semua diimplementasikan.

Penerapan kebijakan unsur-unsur syariat Islam di Aceh masa sekarang sebagai interpretasi kreatif dari sistem negara. Karenanya, perlu ada ijtihad hukum dari para ulama, cendikia terhadap kebijakan syariat Islam di Aceh. Selanjutnya dibuat dalam suatu qanun yang bisa diikuti oleh semua lapisan masyarakat muslim yang berdomisili di Aceh. Kalaulah kita memang ingin menghentikan maksiat sebagai implementasi syariat Islam di Aceh, mestinya memenuhi unsur keadilan dan menyeluruh. Bukan dengan menghentikan sebagian maksiat tapi melakukan, membiarkan, dan mendukung maksiat yang lain. Ini sangat kontra produktif.

Apa makna maksiat?

Secara umum, maksiat merupakan suatu bentuk perbuatan munkar karena merugikan diri dan orang lain sehingga mendapat kemurkaan Allah Swt. Karenanya perlu hanya satu qanun, yaitu qanun anti maksiat. Baru kemudian disusun sistematika dan mekanismenya sevata konprehensif. Mulai bentuk, cara pencegahannya dan jenis sanksi hukum yang akan ditetapkan yang dibuat dalam beberapa kitab atau buku qanun. Cukup satu qanun saja dibuat kalau mau menerapkan syariat Islam kaffah di Aceh. Qanun ini mencakup seluruh perbuatan berkait maksiat. Sedangkan petunjuk teknis dan pelaksana (juknis/juklak)nya dibuat dalam buku qanun lengkap dengan pasal dan ayatnya. Buku satu, mengatur tentang maksiat khalwat, zina, onani, homoseksual, lesbian dan menuduh orang lain berbuat zina, perkosaan dalam rumah tangga.

Buku dua, tentang maksiat pencurian, korupsi, penipuan, kecurangan, pencucian uang, perampokan, pencopetan, makan harta anak yatim, uang mesjid, uang takziah, tidak bayar zakat dan lainnya yang menyebabkan kerugian materil bagi pihak lain atau negara. Buku tiga tentang maksiat perjudian, lottre, adu binatang (ayam, kerbau, lembu dll). Buku empat, tentang maksiat merusak lingkungan mulai dari penebangan liar, membuang limbah/sampah sembarangan, merusak lahan, merokok, merusak biota laut/sungai/danau, mengganggu/membunuh satwa fauna yang menyebakan terganggunya keseimbangan ekosistim, termasuk ngebut-ngebutan di jalan. Buku lima, maksiat tentang pembunuhan, penganiayaan, penyiksaan, kekerasan fisik dan psikologis yang mengancam jiwa seseorang (baik yang terjadi dalam masyarakat maupun rumah tangga).

Buku enam, maksiat yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (mulai pelaggaran hak cipta, penipuan ilmiah, plagiat, hacker, perusakan website, membuat/menyebarkan situs porno, dan beragam jenis kemaksiatan lainnya) yang semakin canggih dalam dunia maya. Buku tujuh, maksiat tentang politik (mulai money politik, mengkhianati suara rakyat, mengabaikan amanah, penyalahgunaan wewenang, nepotisme, kongkalikong, menjual agama untuk kepentingan politik, surat tupai dan sebagainya). Buku delapan, tentang maksiat dalam ekonomi seperti penimbunan barang, penipuan harga, curang, menjual barang yang diharamkan syarii, mengkorupsi aspal atau semen, mengurangi takaran, menggunakan kekayaan untuk bermewah-mewah di tengah saudaranya yang miskin dan lapar.

Buku sembilan tentang maksiat lahir bathin, riya, ujub, takabur, iri, dengki, khianat, fitnah, hasud, suka mengintip, membuka aib orang lain, durhaka pada orangtua/suami/istri dan sebagainya. Buku sepuluh, tentang maksiat dalam bidang ibadah berupa, meninggalkan shalat, puasa, haji, zakat dan lain-lainnya. Tentu, masih banyak bentuk dan jenis maksiat lainnya yang perlu dirumuskan oleh para ulama dan cendikia muslim di Aceh. Misal, mana lebih maksiat korupsi yang dilakukan seorang pejabat dengan judi yang dilakukan beberapa orang-orang? Adanya qanun anti (segala macam) maksiat yang disusun secara komprehensif itu akan mudah melihat aspek apa saja yang kemudian perlu penekanan pelaksanaannya.

Dapat dengan mudah menganalisis batasan maksiat apa saja yang bisa ditanggulangi oleh pemerintah, masyarakat, keluarga, dan individu sebagai bentuk tanggung jawab atas keberlansungan pelaksanaan syariat Islam. Dan juga perlu kejelasan batasan tanggung jawab yang diberikan kepada masyarakat, sehingga tidak terjadi lagi aksi jalanan yang bisa berperan sebagai polisi, jaksa dan hakim secara sekaligus. Dalam memberantas maksiat, Rasullulah Saw mengilustrasikan ibarat kita naik kapal laut; “meskipun sudah membeli tiket dan berhak atas tempat duduk masing-masing namun penumpang wajib mencegah bila salah satu penumpang mencoba membocorkan kapal meskipun di bawah tempat duduknya”.

Apa pun jenis maksiatnya tetap mengundang azab Allah dan menenggelamkan tidak hanya pelaku maksiat. Sudah kita rasakan bagaimana bencana ditimpakan berupa kerusakan lingkungan yang mengakibatkan banjir bandang, gempa dan tsunami. Semua itu karena ulah segelintir manusia yang senantiasa inkar kepada Allah-Rasul, lebih mengedepankan nafsu untuk bermaksiat dengan berbagai bentuk dalam mengikuti “syariat” Iblis yang dilaknat Allah. Na’uzubillah!



*) Penulis adalah alumnus IAIN Ar-Raniry dan Devisi Kajian YICM Aceh

Syariat Islam Kita

Muhammad Dayyan, S.Ag


Mengapa syariat Islam sulit diterapkan dan terkesan terus ditentang justru di tengah komunitas muslim? Inilah kesan sekaligus menjadi catatan kecil ketika ikut konfrensi internasional “syariat Islam dan tantangan global” yang berlangsung 20 Juli 2007 lalu di Banda Aceh. Pelaksanaan syariat Islam di bumi Aceh, serambi mekkah, sejatinya ibarat embun di padang tandus nan memberi harapan bagi tanaman yang kering kerontang. Namun fakta masih mimpi karena syariat terpinggir oleh birokrasi berwajah garang. Kemolekan syariat berubah pucatpasi karena ambisi pemeluknya terutama elit di Aceh.
Wajah syariat terbenamkan oleh arogansi politik. Ayunan cambuk bukan menyentuh jiwa yang bebal, ilmu hanya menjadi milik ulama dan cendikia, si miskin terus saja merintih dalam kezaliman, keadilan menjadi barang mahal meskipun pemimpin silih berganti, namun tidak menjadi teladan. Aceh adalah notaben masyarakat muslim. Senyatanya syariat bergelora dalam setiap jiwa sekaligus menjadi inspirasi setiap kebijakan yang ada. Namun apa dinyata, beragam maksiat dalam modusnya makin merajalela. Perampokan, pembunuhan dan perzinaan dan maksiat terus menghiasi halaman media. Kasus KKN, pengabaian simiskin hanya formula baru dari kebiasaan lama dalam birokrasi kita.
Diskriminasi, ketidakadilan masih saja bersembunyi di bawah meja pengadilan. Ironisnya, kita sebagian memarahi syariat Islam. “Apa salah syariat Islam?” Sebagian lain menjadi hakim jalanan bak pendekar. Siapa yang salah? Dari catatan konfrensi itu, ada tiga hal membuat syariat terus ditentang. Pertama, rendahnya pemahaman masyarakat terhadap syariat Islam. Biar keroknya adalah kesenjangan pendidikan kita, terutama pendidikan agama ditengah masyarakat. Juga dualisme pendidikan dan keringnya muatan agama disetiap jenjang pendidikan. Pada sisi lain sistim pendidikan yang sedang berjalan masih jauh dari tujuan pendidikan itu sendiri (baca: pendidikan).
Abduh Imam, guru besar hukum Islam Al-Azhar Kairo Mesir, mengatakan, apabila kita (umat Islam) ingin mengembalikan kejayaan Islam, maka kita harus mengembalikan kepribadian muslim sebagaimana yang dicontohkan pada generasi pertama. Yaitu menjadikan Islam sebagai petunjuk, akidah, pemikiran, perasaan, konsepsi, cita-cita, tujuan, tingkah laku dan perbuatan seorang muslim dalam hidupnya. Jalan ini hanya mampu dilalui oleh masyarakat muslim dengan memahami Alquran dan sunnah Rasullah. “Bab ilmu didahulukan dari bab ucapan dan perbuatan”, kata Imam Bukhari dalam kitab al-‘Ilm yang dikutip Prof Abduh Imam Menurut Syekh Abduh, untuk menciptakan masyarakat yang mampu melaksanakan syariat Islam, maka pemerintah berkewajiban menciptakan sekolah-sekolah dan masjid-masjid dengan fasilitas yang memadai sebagai tempat dimana generasi muslim akan dididik.
Seluruh elemen masyarakat harus saling membantu bukan saling menyalahkan. Membantu agar tumbuh tunas unggul dengan teratur dalam masyarakat. Ibarat tubuh yang sehat, yang puncaknya dapat menegakkan kebenaran dan berhukum dengan syariat Allah. Kedua, syariat lebih menonjolkan sisi sangarnya yang cenderung garang pada masyarakat kecil. Hampir semua yang mengerti syariat mendakwahkan ajaran yang serba haram dengan sejumlah sanksi. Sedikit sekali yang memberikan solusi atas berbagai persoalan keseharian yang dihadapi oleh masyarakat.
Menarik menyimak kembali pandangan syekh Abduh Imam, bahwa syariat bersifat ideal, global dan kekal yang berisi dasar-dasar pensyariatan, akhlak yang dapat mengangkat manusia ke derajat kesempurnaan. Datang dari Allah kepada semua suku bangsa dan semua generasi. Karena syariat Islam memenuhi maslahat (jalan keluar) manusia di setiap tempat maupun masa. Syariat menyentuh semua aspek kehidupan bukan hanya soal jilbab, khalwat, judi, maisir. Sifatnya universal, global dengan menggunakan cara-cara yang manusiawi secara sempurna untuk transformasi kemanusiaan secara total--dari masa kemasa, dari sistim ke sistim yang lain, dengan menggunakan Alquran dan Sunnah sebagai pijakan utama.
Abduh Imam mengutip pandangan Ibnu Taimiyah, mengatakan syariat Islam dan tantangan dunia global, sebagaimana risalah Muhammad Saw adalah risalah yang global bagi seluruh manusia. Apakah bangsa Arab maupun ajam, raja maupun hamba sahaya, ulama maupun orang biasa termasuk bangsa jin. Risalah ini akan terus kekal hingga hari kiamat. Tidak seorangpun luput dari kewajiban mengikuti dan mentaati risalah ini, melaksanakan apa yang telah disyariatkan dan apa yang telah disunnahkan dengan melakukan perintah dan meninggalkan larangan.
Bahkan para Nabi terdahulu sekalipun, jika mereka masih hidup juga wajib mengikuti dan mentaatinya. Demikian sebaliknya kalau melanggar akan mendapatkan ganjaran sesuai ketentuan tanpa diskriminasi. Ketiga, pemerintah dan seluruh aparaturnya pada seluruh level, saat ini sangat miskin keteladanan. Padahal rakyat rindu keteladanan dari pemimpinnya. Rindu akan sikap yang ramah setiap berurusan dengan aparatur pemerintah. Rindu prilaku pemimpin yang melayani rakyat dengan amanah, jujur, cepat dan tranparan. Sekarang ini murid masih sulit menemukan keteladanan dari gurunya, anak-anak dan remaja tidak mendapatkan keteladanan dari keluarganya.
Memberi keteladanan
Bahwa satu sisi pemerintah ingin syariat Islam tegak dengan ditaati oleh masyarakat dalam seluruh aspek kehidupannya. Namum pemerintah sendiri tidak memberi keteladanan dalam pelayanan publik. Ini kemudian menimbulkan resistensi makin menajam terhadap pelaksanaan syariat Islam. Kunci utama optimalnya implementasi syariat Islam adalah tergantung pada keteladanan dari pemimpin, ulama, guru, cendikiawan. Ditentukan akhlak dan keluhuran budipekerti yang ditampilkan mereka pada seluruh aspek sistim pemerintahan dan kesehariannya.
Akhlak adalah kemolekan Islam (the beuty of Islam) yang belum tampak dalam implementasi syariat Islam di Aceh, ujar Adiwarman Karim yang menjadi salah seorang narasumber konferensi Internasional syariat Islam itu. Sesungguhnya akhlak melahirkan magnit yang membuat orang tunduk pada ajakan pemimpin tanpa harus dipaksa. Allah ‘azza wajalla berfirman “...sekiranya kamu bersikap keras niscaya mereka lari dari sisimu” (QS.AliImran, 159). Misi Rasul Saw adalah menyempurnakan akhlak melalui keteladanannya. Dengan akhlak itu akan diikuti umat sampai saat ini. “Apabila telah datang pertolongan Allah maka kamu lihat manusia berduyun-duyun menuju kepada kemenangan...” (QS.Al Fath,1-4).

Penulis adalah Alumnus Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry

Syariat Islam Jalan Pencerahan






Menarik menyimak tulisan Muhammad Thalal (MT) tentang Pro Kontra Syariat Islam di Aceh--Cacatan untuk Mashudi SR--(Serambi Indonesia 13/2/2006), yang memberi kesan kekhawatiran mendalam terhadap pemikiran pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Kekhawatiran pertama Saudara MT terhadap semakin berkembangnya wacana syariat Islam dengan sudut pandang perbedaan yang menajam dan dikhawatirkan akan lahir sekte Islam baru di Aceh dan berujung pada pertumpahan darah di kalangan ummat.

Hal tersebut didasarkan pada kenyataan sejarah yang menunjukkan banyak korban akibat perbedaan faham dalam agama. Sebenarnya korban timbul bukan karena perbedaan faham agama akan tetapi lebih kepada adanya pemaksaan terhadap suatu faham yang tidak bisa menerima perbedaan, seperti yang dilakukan oleh khalifah al-Makmun dalam dinasti Abbasiyah yang memaksa imam Malik untuk menyetujui Kitab al-Muwatha’ untuk menjadi mazhab resmi negara, dan pemaksaan pemikiran mu’tazilah saja yang boleh berkembang. Sebagaimana kita juga mengalami saat rezim Orba berkuasa, memaksa pengamalan Pancasila serta tafsirnya dan tidak memberi ruang bagi perbedaan pemahaman sehingga negara dapat melakukan tindakan kekerasan dam pembunuhan atas nama Pancasila.

Demikian juga yang terjadi di kalangan kristen di Eropa yang memaksa tunduk pada tafsir injil oleh elit agama dan mengabaikan kebenaran penelitian ilmuan. Perbedaan faham adalah fakta yang besifat sunnatullah dan Rasulullah sendiri menghargai perbedaan pendapat sebagai rahmat Allah bagi manusia khususnya ummat Islam. Saya haqqul yakin walaupun Pak Fuad Mardhatillah mencetuskan Islam Protestan tidak akan mendirikan sekte Islam dan membuat masjid sendiri, tapi idenya masih dalam konteks pencerahan di tengah stagnasi kemapanan pemikiran yang jumud, elitisme pemikiran agama, dan menolak penyeragaman pemikiran khususnya dalam wilayah politik, dimana agama sering dijadikan komoditi.

Selanjutnya menyangkut transformasi syariat Islam dengan jalan demokrasi yang dikhawatirkan akan masuk nilai-nilai Barat ke Aceh secara terbuka dengan menyandarkan pada pendapat Saifuddin Duhri lulusan Al-Azhar Kairo, yang mengatakan bahwa Islam tidak boleh dipahami dengan menggunakan pendekatan subjektifitas Barat (demokrasi). Pendapat ini mungkin relevan dan benar jika kita mengundang orang barat ke Aceh dan meminta mereka untuk menafsirkan syariat Islam di Aceh seperti yang dilakukan tuan Snouck Hurgronje sehingga syariat Islam akan rusak sesuai selera dan budaya mereka. Padahal saat ini kita terjebak dalam Snouckiesme yang hanya mengagung-agungkan simbol-simbol agama. Akan tetapi dengan mengambil metode demokrasi dalam rangka membangun kemaslahatan dengan melibatkan cendikiawan, ulama, dan masyarakat Aceh menjadi sangat mustahil syariat Islam akan rusak. Satu hal bahwa fakta hari ini stika tidak stika demokrasi sudah berjalan di Aceh dan itu diakui oleh siapapun bahwa demokrasi bila dipakai oleh orang Islam, maka ia akan menjadi Islami (damai, saling menghargai dan dimenangkan oleh orang Islam).

Karena tidak mungkin ketika demokrasi diterapkan di Negara Islam yang berdaulat adalah orang Barat yang sekuler, sebagaimana dikutip oleh Mashudi dalam tulisannya Menuju Syariat Islam Demokratis (Serambi Indonesia 9/2/2007). Islam dan demokrasi bukan untuk dipertentangkan. Sebab keduanya saling menghargai dan menerima perbedaan.

Islam tidaklah identik dengan Timur dan demokrasi dengan Barat, karena Timur tidaklah lebih mulia dari Barat. Kebenaran itu bisa saja datang dari Barat atau dari Timur, bagaimana kemudian kita dapat memilih mana kebenaran yang memberi manfaat sebagai suatu hikmah sebagaimana pesan Nabi; ’ambillah hikmah dari manapun datangnya meskipun dari mulut anjing’. Kemudian menyangkut dengan kekhawatiran transformasi syariat yang mengandalkan akal bisa menyebabkan salah kaprah bahkan berbahaya, merupakan kekhawatiran yang berlebihan.

Akal adalah sesuatu yang bersifat ilahiyah dan suci sebagai anugerah Allah kepada manusia sebagai perangkat untuk memahami pesan-pesan Allah, baik berupa ayat-ayat qauliyah (Quran dan Hadist) maupun ayat-ayat kauniyah (alam semesta). Sehingga mendapat pencerahan sebagai ulul albab dalam menjalankan tugas kekhalifahan di muka bumi. Maka akal umat Islam hampir bisa dipastikan akan dibimbing oleh wahyu sebagai fondasi nilai-nilai Islam, apalagi bicara soal syariat Islam sangat tidak mungkin orang melepaskan diri dari wahyu.

Syariat yang secara etimologis (bahasa) bermakna jalan menuju mata air dalam makna ini sesungguhnya mengandung filosofi bahwa syariat Islam adalah jalan menuju pencerahan penjernihan dan pembebasan dari segala kekumuhan, kejumudan, kebodohan ummat. Syariat yang bersifat mutlak dan absolut ketika singgah dalam pemahaman manusia, menjadi relatif kebenarannya dan besifat nisbi, karena hakikat dari syariat hanya Allah yang tau sebagai kebenaran mutlak.

Manusia hanya bisa berusaha mendekatinya dengan akal yang dianugerahkan kepadanya yang kemudian dirumuskan dalam bentuk hukum. Memahami teks Quran dan Sunnah terdapat berbagai tingkatan lafazd teks yaitu, jelas, lebih jelas, sangat jelas, dan paling jelas. Tingkatan ini juga menunjukkan relatifitasnya pemahaman teks itu oleh para fuqaha (ahli fiqh). Maka tidak heran kemudian dalam Islam muncul banyak mazhab, Hanafi Maliki Syafi’i, Hambali di kalangan sunny, dan Mazhab Jakfary di kalangan Syi’ah sebagai konsekwensi dari perbedaan yang tidak mungkin dihindari.

Perbedaan pemahaman itu sendiri dipengaruhi oleh latar belakang tingkungan sosial polititik mereka dan kebutuhan serta problem ummat saat itu di tempat mereka hidup. Sesungguhnya dengan semakin banyak orang yang mendiskusikan tentang syari’at Islam baik dalam seminar lokakarya, diskusi publik, media massa, maupun di warung kopi pos jaga dan tempat lainnya merupakan suatu hal positif yang mencerahkan. Hal ini menunjukkan masyarakat punya kepedulian untuk mengetahui memahami--semoga ada kesadaran-- mengamalkan syariat bagi pedoman kehidupan dan menghindarkan mereka dari taqlid buta.

Perbedaan ”pro dan kontra” sudut pandang mana wilayah privat dan publik yang akan diformalkan dari syariat mesti diperdebatkan agar mencapai satu produk qanun yang bisa dipahami oleh semua orang di Aceh dan tidak perlu dikhawatirkan. Yang mengkhawatirkan adalah ketika satu sarana lain mengklaim pemahamannyalah yang benar dan menjadi berbahaya ketika menghakimi seseorang telah menentang syariat atau kafir, apalagi sampai harus ada yang dikorbankan. Membebaskan ummat dari kegegelapan menuju pencerahan qanun syariat Islam saat ini baru mengatasi gejala dari penyakit sosial yang nampak kepermukaan, tapi masih jauh dari akar masalah sehingga belum bisa mengamputasi biang kemungkaran di tengah masyarakat yang sejatinya mendapat jawaban dari pelaksanaan syariat Islam.

Sesungguhnya akar permasalahan ummat yang sudah lama terjerembab dalam lembah kemiskinan dan kebodohan adalah lemahnya rasionalitas dalam memahami Alquran secara metodelogis dan operasional untuk menciptakan sistem sosial yang berkeadilan dan berperadaban. Sistem dan struktur saat ini cendrung mempermanenkan kemiskinan dari ketidakadilan distribusi pendapatan terhadap masyarakat. Tentu dari miskinnya moral pemerintah dan aparaturnya dalam mengelola anggaran dan pelayanan publik--yang miskin tambah miskin dan yang kaya semakin kaya--berimplikasi pada munculnya penyakit kebodohan dari sulitnya akses pendidikan terhadap simiskin, dari sistem maupun kurikulum yang belum mampu mencerdaskan masyarakat. Kebodohan telah memenjara jiwa-jiwa yang miskin dalam lorong-lorong yang gelap yang melahirkan tindakan-tindakan nekad dan bodoh semacam perjudian, minum khamar, dan jenis kejahatan lainnya.

Realitas inilah yang perlu disadari dan pahami oleh pembuat kebijakan untuk merumuskan satu sistem dalam bentuk qanun yang dapat memangkas akar masalah yang menjadi biang kemungkaran menuju pencerahan ummat yang berperadaban (bertamaddun). Maka kegelapan yang masih menyelimuti negeri kita mulai dari birokrasi yang korup, pemusatan kekuasaan di tangan kekuatan politik yang rakus, pemilik modal yang kikir dan bakhil. Sehingga tidak jelas lagi mana kepentingan publik dan mana kepentingan pribadi.

Keberagamaan yang simbolis dan seremonial tidak bisa menghentikan massif dan ekstensifnya kejahatan terhadap pengrusakan lingkungan. Kejahatan struktural inilah yang menjadi biang kemungkaran yang ditunggu jawabannya oleh masyarakat dengan qanun syariat Islam. Sehingga membuka jalan menuju pencerahan ummat yang berkeadilan dan kemakmuran materil sekaligus spiritual. Semoga!



*) Penulis adalah alumni Fakultas Syari’ah lAIN Ar-Raniry, pernah menjadi Mahasiswa Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam bidang Ekonomi dan Keuangan Syari’ah Universitas Indonesia.

Syariat Islam Jalan Pencerahan



Menarik menyimak tulisan Muhammad Thalal (MT) tentang Pro Kontra Syariat Islam di Aceh--Cacatan untuk Mashudi SR--(Serambi Indonesia 13/2/2006), yang memberi kesan kekhawatiran mendalam terhadap pemikiran pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Kekhawatiran pertama Saudara MT terhadap semakin berkembangnya wacana syariat Islam dengan sudut pandang perbedaan yang menajam dan dikhawatirkan akan lahir sekte Islam baru di Aceh dan berujung pada pertumpahan darah di kalangan ummat.
Hal tersebut didasarkan pada kenyataan sejarah yang menunjukkan banyak korban akibat perbedaan faham dalam agama. Sebenarnya korban timbul bukan karena perbedaan faham agama akan tetapi lebih kepada adanya pemaksaan terhadap suatu faham yang tidak bisa menerima perbedaan, seperti yang dilakukan oleh khalifah al-Makmun dalam dinasti Abbasiyah yang memaksa imam Malik untuk menyetujui Kitab al-Muwatha’ untuk menjadi mazhab resmi negara, dan pemaksaan pemikiran mu’tazilah saja yang boleh berkembang. Sebagaimana kita juga mengalami saat rezim Orba berkuasa, memaksa pengamalan Pancasila serta tafsirnya dan tidak memberi ruang bagi perbedaan pemahaman sehingga negara dapat melakukan tindakan kekerasan dam pembunuhan atas nama Pancasila.
Demikian juga yang terjadi di kalangan kristen di Eropa yang memaksa tunduk pada tafsir injil oleh elit agama dan mengabaikan kebenaran penelitian ilmuan. Perbedaan faham adalah fakta yang besifat sunnatullah dan Rasulullah sendiri menghargai perbedaan pendapat sebagai rahmat Allah bagi manusia khususnya ummat Islam. Saya haqqul yakin walaupun Pak Fuad Mardhatillah mencetuskan Islam Protestan tidak akan mendirikan sekte Islam dan membuat masjid sendiri, tapi idenya masih dalam konteks pencerahan di tengah stagnasi kemapanan pemikiran yang jumud, elitisme pemikiran agama, dan menolak penyeragaman pemikiran khususnya dalam wilayah politik, dimana agama sering dijadikan komoditi.
Selanjutnya menyangkut transformasi syariat Islam dengan jalan demokrasi yang dikhawatirkan akan masuk nilai-nilai Barat ke Aceh secara terbuka dengan menyandarkan pada pendapat Saifuddin Duhri lulusan Al-Azhar Kairo, yang mengatakan bahwa Islam tidak boleh dipahami dengan menggunakan pendekatan subjektifitas Barat (demokrasi). Pendapat ini mungkin relevan dan benar jika kita mengundang orang barat ke Aceh dan meminta mereka untuk menafsirkan syariat Islam di Aceh seperti yang dilakukan tuan Snouck Hurgronje sehingga syariat Islam akan rusak sesuai selera dan budaya mereka. Padahal saat ini kita terjebak dalam Snouckiesme yang hanya mengagung-agungkan simbol-simbol agama. Akan tetapi dengan mengambil metode demokrasi dalam rangka membangun kemaslahatan dengan melibatkan cendikiawan, ulama, dan masyarakat Aceh menjadi sangat mustahil syariat Islam akan rusak. Satu hal bahwa fakta hari ini stika tidak stika demokrasi sudah berjalan di Aceh dan itu diakui oleh siapapun bahwa demokrasi bila dipakai oleh orang Islam, maka ia akan menjadi Islami (damai, saling menghargai dan dimenangkan oleh orang Islam).
Karena tidak mungkin ketika demokrasi diterapkan di Negara Islam yang berdaulat adalah orang Barat yang sekuler, sebagaimana dikutip oleh Mashudi dalam tulisannya Menuju Syariat Islam Demokratis (Serambi Indonesia 9/2/2007). Islam dan demokrasi bukan untuk dipertentangkan. Sebab keduanya saling menghargai dan menerima perbedaan.
Islam tidaklah identik dengan Timur dan demokrasi dengan Barat, karena Timur tidaklah lebih mulia dari Barat. Kebenaran itu bisa saja datang dari Barat atau dari Timur, bagaimana kemudian kita dapat memilih mana kebenaran yang memberi manfaat sebagai suatu hikmah sebagaimana pesan Nabi; ’ambillah hikmah dari manapun datangnya meskipun dari mulut anjing’. Kemudian menyangkut dengan kekhawatiran transformasi syariat yang mengandalkan akal bisa menyebabkan salah kaprah bahkan berbahaya, merupakan kekhawatiran yang berlebihan.
Akal adalah sesuatu yang bersifat ilahiyah dan suci sebagai anugerah Allah kepada manusia sebagai perangkat untuk memahami pesan-pesan Allah, baik berupa ayat-ayat qauliyah (Quran dan Hadist) maupun ayat-ayat kauniyah (alam semesta). Sehingga mendapat pencerahan sebagai ulul albab dalam menjalankan tugas kekhalifahan di muka bumi. Maka akal umat Islam hampir bisa dipastikan akan dibimbing oleh wahyu sebagai fondasi nilai-nilai Islam, apalagi bicara soal syariat Islam sangat tidak mungkin orang melepaskan diri dari wahyu.
Syariat yang secara etimologis (bahasa) bermakna jalan menuju mata air dalam makna ini sesungguhnya mengandung filosofi bahwa syariat Islam adalah jalan menuju pencerahan penjernihan dan pembebasan dari segala kekumuhan, kejumudan, kebodohan ummat. Syariat yang bersifat mutlak dan absolut ketika singgah dalam pemahaman manusia, menjadi relatif kebenarannya dan besifat nisbi, karena hakikat dari syariat hanya Allah yang tau sebagai kebenaran mutlak.
Manusia hanya bisa berusaha mendekatinya dengan akal yang dianugerahkan kepadanya yang kemudian dirumuskan dalam bentuk hukum. Memahami teks Quran dan Sunnah terdapat berbagai tingkatan lafazd teks yaitu, jelas, lebih jelas, sangat jelas, dan paling jelas. Tingkatan ini juga menunjukkan relatifitasnya pemahaman teks itu oleh para fuqaha (ahli fiqh). Maka tidak heran kemudian dalam Islam muncul banyak mazhab, Hanafi Maliki Syafi’i, Hambali di kalangan sunny, dan Mazhab Jakfary di kalangan Syi’ah sebagai konsekwensi dari perbedaan yang tidak mungkin dihindari.
Perbedaan pemahaman itu sendiri dipengaruhi oleh latar belakang tingkungan sosial polititik mereka dan kebutuhan serta problem ummat saat itu di tempat mereka hidup. Sesungguhnya dengan semakin banyak orang yang mendiskusikan tentang syari’at Islam baik dalam seminar lokakarya, diskusi publik, media massa, maupun di warung kopi pos jaga dan tempat lainnya merupakan suatu hal positif yang mencerahkan. Hal ini menunjukkan masyarakat punya kepedulian untuk mengetahui memahami--semoga ada kesadaran-- mengamalkan syariat bagi pedoman kehidupan dan menghindarkan mereka dari taqlid buta.
Perbedaan ”pro dan kontra” sudut pandang mana wilayah privat dan publik yang akan diformalkan dari syariat mesti diperdebatkan agar mencapai satu produk qanun yang bisa dipahami oleh semua orang di Aceh dan tidak perlu dikhawatirkan. Yang mengkhawatirkan adalah ketika satu sarana lain mengklaim pemahamannyalah yang benar dan menjadi berbahaya ketika menghakimi seseorang telah menentang syariat atau kafir, apalagi sampai harus ada yang dikorbankan. Membebaskan ummat dari kegegelapan menuju pencerahan qanun syariat Islam saat ini baru mengatasi gejala dari penyakit sosial yang nampak kepermukaan, tapi masih jauh dari akar masalah sehingga belum bisa mengamputasi biang kemungkaran di tengah masyarakat yang sejatinya mendapat jawaban dari pelaksanaan syariat Islam.
Sesungguhnya akar permasalahan ummat yang sudah lama terjerembab dalam lembah kemiskinan dan kebodohan adalah lemahnya rasionalitas dalam memahami Alquran secara metodelogis dan operasional untuk menciptakan sistem sosial yang berkeadilan dan berperadaban. Sistem dan struktur saat ini cendrung mempermanenkan kemiskinan dari ketidakadilan distribusi pendapatan terhadap masyarakat. Tentu dari miskinnya moral pemerintah dan aparaturnya dalam mengelola anggaran dan pelayanan publik--yang miskin tambah miskin dan yang kaya semakin kaya--berimplikasi pada munculnya penyakit kebodohan dari sulitnya akses pendidikan terhadap simiskin, dari sistem maupun kurikulum yang belum mampu mencerdaskan masyarakat. Kebodohan telah memenjara jiwa-jiwa yang miskin dalam lorong-lorong yang gelap yang melahirkan tindakan-tindakan nekad dan bodoh semacam perjudian, minum khamar, dan jenis kejahatan lainnya.
Realitas inilah yang perlu disadari dan pahami oleh pembuat kebijakan untuk merumuskan satu sistem dalam bentuk qanun yang dapat memangkas akar masalah yang menjadi biang kemungkaran menuju pencerahan ummat yang berperadaban (bertamaddun). Maka kegelapan yang masih menyelimuti negeri kita mulai dari birokrasi yang korup, pemusatan kekuasaan di tangan kekuatan politik yang rakus, pemilik modal yang kikir dan bakhil. Sehingga tidak jelas lagi mana kepentingan publik dan mana kepentingan pribadi.
Keberagamaan yang simbolis dan seremonial tidak bisa menghentikan massif dan ekstensifnya kejahatan terhadap pengrusakan lingkungan. Kejahatan struktural inilah yang menjadi biang kemungkaran yang ditunggu jawabannya oleh masyarakat dengan qanun syariat Islam. Sehingga membuka jalan menuju pencerahan ummat yang berkeadilan dan kemakmuran materil sekaligus spiritual. Semoga!

*) Penulis adalah alumni Fakultas Syari’ah lAIN Ar-Raniry, pernah menjadi Mahasiswa Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam bidang Ekonomi dan Keuangan Syari’ah Universitas Indonesia.

Bahaya Materialisme



Harta sering menyeret manusia menjadi budak. Apapun akan dilakukan untuk mendapatkan harta meskipun kehormatan harus digadaikan. Seperti pepatah Aceh; “Bak peng gadoh janggot”. Ironisnya itu terjadi pada kita yang banyak harta. Kita disibukkan oleh harta dan merasa selalu tidak berkecukupan, ibarat sedang kehausan ditengah laut. Memenuhi keinginan yang tanpa batas telah menjadi tujuan hidup utama, missal, pornografi, fashion hura hura dan permintaan terhadap barang barang mewah menjadi sumber kesenangan terbesar. Itu pula yang menjadi ukuran prestasi tertinggi dalam hidup.
Menurut Dr. Umer Capra pakar ekonomi Islam, dalam bukunya Islam dan tantangan Ekonomi Global, paham ini disebut materialisme yang segala sesuatu dijelaskan dengan logika materil. Karena itulah kekayaan, kepuasan jasmaniah, dan kesenangan sensasi merupakan satu satunya nilai terbesar bagi manusia. Meterialisme telah menyediakan fondasi bagi kultur komersial/konsumerisme yang dari waktu kewaktu semakin kokoh dan telah berhasil melipatgandakan jumlah keinginan manusia melampaui kemampuan sumberdaya untuk memenuhinya. Dan faham materialisme yang melahirkan prilaku konsumerisme hobi belanja semakin menggejala di Aceh.
Buktinya semakin tingginya permintaan terhadap sepeda motor, mobil dengan merk dan mode yang bergengsi, seperti double cabin (Serambi 16/11/2007 hal. 3). Meningkatnya jumlah mobil dan sepeda motor membuat jalan jalan utama semakin sempit, sehingga hak pejalan kaki sering dirampas. Fenomena konsumerisme juga terlihat saban hari memenuhi pusat pusat perbelanjaan di perkotaan. Ini memang tidak bisa ditarik satu kesimpulan bahwa masyarakat Aceh sudah bebas dari kemiskinan. Lalu apa yang salah dengan fenomena konsumerisme? Prilaku ini terkait dengan pemamfatan harta baik sedikit maupun banyak. Pemahaman kita tentang harta hanya sebatas kesenangan hidup.
Hal ini berdampak pada kesenjangan sosial yang berimplikasi pada disharmonisasi sosial. Seringkali bagi orang kaya baru menjadi berubah sikapnya manakala dia sudah banyak harta. Rumahnya mulai dibangun tembok pagar, sikapnya menjadi acuh pada saudara dan teman., bicaranya sudah angkuh. Seolah olah orang yang datang ke tempat dia mau minta uang. Maka menjadi penting bagi kita memahami bagaimana sebenarnya konsep harta dan cara cara memperoleh harta secara benar? Supaya membawa kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik secara pribadi, masyarakat,bangsa khususnya dunia dan akhirat. Harta merupakan sesuatu yang digandrungi oleh tabiat manusia. Sehingga manusia dalam seluruh aktifitasnya mengumpulkan harta guna memenuhi kebutuhan hidup dan kesenangannya.
Sebagian kita terpaksa atau terjerumus untuk melakukan korupsi, mencuri, menipu, merampok, dan cara cara yang tidak benar untuk memperoleh harta yang kadangkala mendepak dan menzalimi orang lain. Mengenai tabiat manusia terhadap harta Allah berfirman QS: Alkahfi ayat 46, “harta dan anak anak adalah perhiasan kehidupan dunia”. Lebih lanjut Allah menjelaskan; “menjadikan indah menurut pandangan manusia kecintaan kepada apa apa yang diingini, yaitu wanita wanita, anak anak, harta yang banyak dari emas, perak, kuda pilihan, binatang binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup didunia dan disisi Allah lah tempat kembali yang baik” (QS: Ali Imran ayat: 14).
Hal ini menunjukkan kebutuhan, tabiat atau kesenangan manusia terhadap harta adalah kebutuhan mendasar. Sebagaimana firman Allah; “…dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberi kecukupan”(QS: Adh Dhuha ayat 6). Namun Allah juga telah memperingatkan! Harta disamping sebagai perhiasan, juga berkedudukan sebagai amanat/cobaan/fitnah, sebagaimana firman Nya; “Hai orang orang beriman, sesungguhnya diantara istri istrimu dan anak anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati hatilah kamu terhadap mereka. Sesungguhnya hartamu dan anak anakmu hanyalah cobaan dan disisi Allahlah pahala yang besar” (QS: At Taghabun ayat. 14 15). Dalam hal ini kita sebagai manusia sering lupa bahwa harta itu hakikatnya sebagai titipan. Kelupaan itu pula yang sering menjerumuskan kita pada lembah kehinaan yang menjadi budak harta.
Dalam hal ini Rasul Muhammad saw memperingatkan secara keras dalam hadisnya; “Celakalah orang yang menjadi hamba dinar (uang), orang yang menjadi hamba dirham, orang yang menjadi hamba toga atau pakaian, jika diberi ia bangga, bila tidak diberi, ia marah, mudah mudahan ia celaka dan merasa sakit, jika kena suatu musibah dia tidak akan memperoleh jalan keluar” (HR Bukhari). Dalam hadis lain Rasul mengutuk prilaku konsumerisme pragmatisme “terkutuk orang yang menjadi hamba dinar dan terkutuk pula orang yang menjadi hamba dirham” (HR Turmudzi). Hakikatnya kita tidak ada hak kepemilikan terhadap harta secara mutlak sebagaimana firman Allah swt; “Apa-apa yang ada dilangit dan dibumi adalah milik Allah”(QS: Albaqarah ayat 284). “Dan kepunyaan Allahlah kerajaan di langit, di bumi, dan diantara keduanya, dan kepada Allah lah kembali segala sesuatu”(Al Maidah ayat 18). “Kepunyaan Allahlah dan apa yang ada diantara bumi dan langit dan Allah Maha kuasa atas segala sesuatu” (QS: Albaqarah ayat 120) Sehingga harta yang kita miliki memiliki ada bagian orang lain, seperti zakat harta, qurban, wakaf, shadaqah dan yang lainnya.
Allah mengajarkan “Dan berilah kepada kerabat, orang orang miskin, ibnu sabil (orang yang sedang menuntut ilmu) akan haknya, dan janganlah kamu menghambur hamburkan hartamu secara boros” (QS: Al Isra’ ayat 26). Sejatinya harta menjadi sarana bagi kesuksesan akhirat; “Bukanlah orang baik, yang meninggalkan masalah dunia untuk masalah akhirat, dan meninggalkan akhirat untuk urusan dunia, sehingga seimbang diantara keduanya, karena masalah dunia adalah menyampaikan manusia kepada masalah akhirat”. Bukan sebaliknya menjadi sarana kesengsaraan akhirat sebagaimana firman Nya; “Dan orang orang yang menyimpan emas dan perak dengan tidak menafkahkan pada jalan Allah, maka berilah kabar gembira dengan siksa yang pedih”(QS: At Taubah ayat 34).
Dengan demikian mendapatkan harta juga harus dengan cara cara yang mengarah pada kemakmuran bersama. Tidak dibenarkan menikmati manfaat tapi mendatangkan mudharat bagi orang lain seperti pencurian, perampokan, pencopetan, korupsi, manipulasi, menebang hutan tanpa batas, mengekploitasi alam secara serakah dan lain lain. Allah memperingatkan; ”Janganlah sebagian kamu memakan sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil”(QS: Al Baqarah ayat 188). Ketika harta itu mampu dipahami sebagaimana hakikatnya Allah akan memberi jaminan kehidupan yang harmonis. Keresahan terhadap beberapa fenomena kekianian lebih disebabkan prilaku manusia yang tidak menjalankan dan memamfaatkan harta sesuai fungsinya. Disamping sebagai sarana ibadah, harta juga untuk mengemmbangkan dan menegakkan ilmu, memutarkan peranan kehidupan antara sikaya dan si miskin, menumbuhkan silaturrahim, sehingga harta itu jangan hanya beredar diantara orang orang kaya saja diantara kita (QS: Al Hasyr ayat 7). Wallahualam.

*) Penulis adalah Dosen STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa dan Karo Riset & Kajian Yayasan Insan Cita Madani (YICM) Aceh

Kapan Birokrasi Aceh Bersyari’at?



Banyak yang mengeluhkan kenapa birokrasi pemerintah Aceh belum menunjukkan karakter syariah? Asumsi ini muncul ketika pelayanan birokrasi masih terkesan mengabdi pada kepentingan kapitalistik (mengutamakan orang yang bermodal). Prilaku buruk yang sudah berlangsung lama dalam pemerintahan Aceh, seperti, program pembangunan yang hanya menghabiskan uang, melahirkan proyek yang mendatangkan keuntungan kepada segelintir golongan. Kemudiaan apa yang disebut proyek fiktif alias siluman dan ditangani oleh yang bukan ahlinya.
Biasanya penempatannya melihat kepada berapa fee yang akan diberikan, mendapatkan jabatan berdasarkan pendekatan, bukan keahlian. Aceh dengan karakter Islam sejatinya mampu menunjukkan identitas ke-Islam-annya dalam sistim birokrasi tata pemerintahannya. Syariat tidak hanya dalam bentuk hukum (qanun) namun harus sampai pada prilaku birokrasi yang Islami. Yaitu birokrasi yang ditampilkan dalam bentuk pelaksaan pekerjaan yang rapi, benar, tertib dan teratur, transparan, akuntabel merupakan hal yang di syariatkan.
Rasulullah saw sudah mengajarkan “Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang jika melakukan suatu pekerjaan yang dilakukan secara Itqan (tepat, terarah, jelas dan tuntas)”, (HR Thabrani). Maka landasan birokrasi pemerintahan transparan merupakan sistim yang dicintai Allah dan diinginkan oleh masyarakat. Dalam hadis lain Rasulullah mengajarkan; “Allah mewajibkan kepada kita untuk berlaku ihsan dalam segala sesuatu”(HR Muslim). Ihsan dapat bermakna melakukan segala sesuatu secara maksimal dan optimal (transparan dan dapat dipertanggungjawabkan).
Birokrasi yang transparan dan akuntabel akan membawa pada kemaslahan (kebaikan) bagi yang bersangkutan dan masyarakat. Pekerjaan yang berdampak pada kemaslahatan adalah birokrasi yang sesuai dengan aturan serta memiliki manfaat bagi kemaslahatan umum sebagaimana Rasul mengajarkan “diantara baiknya, indahnya keislaman seseorang adalah yang selalu menjauh dari perbuatan yang tidak ada manfaatnya”(HR Tirmizi). Pekerjaan yang tidak bermanfaat adalah perbuatan yang tidak direncanakan atau pekerjaan yang tidak sesuai rencana (penyelewengan, penyalahgunaan, pengingkaran dan pengkhianatan). Allah sangat menyukai pekerjaan-pekerjaan yang ter-manej dengan baik, sebagaimana firmannya QS: Ash-Shaf ayat 4, “Sesungguhnya Allah sangat menyukai orang-orang yang berjuang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kukuh.” Makna kukuh adanya sinergi yang rapi antara bagian yang satu dengan bagian yang lain sehingga menghasilkan sesuatu yang maksimal. Dalam surat at-Taubah ayat 71 Allah berfirman; “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain.
Mereka menyuruh mengerjakan yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taât kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana”. Pemerintahan akan berjalan baik, jika dikelola dengan baik dan benar, sebagaimana Ali bin Abi Thalib r.a memberi gambaran “kebatilan (kemungkaran) yang terorganisir dengan rapi dapat mengalahkan kebaikan yang tidak diorganisasikan dengan baik”. Di sini Ali mendorong kita agar melakukan sesuatu yang hak, hendaknya ditata dan disusun dengan rapi agar tidak dikalahkan oleh kebatilan yang disusun dengan rapi. Dominasi kemungkaran (korupsi, kolusi, sogok dan manipulasi) dalam birokrasi sering terjadi bukan karena kuatnya kemungkaran tersebut, tapi lebih karena tidak rapi (rapuh)nya kekuatan (sistim) yang haq.
Pemerintahan yang sesuai syariah berupa prilaku birokrasi yang terkait dan dilandasi dengan nilai-nilai keimanan dan ketauhidan. Jika setiap orang yang terlibat dalam pemerintahan dilandasi dengan nilai-nilai tauhid, maka prilakunya akan terkendali dan tidak akan terjadi prilaku KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) karena menyadari akan adanya pengawasan dari yang maha tinggi, yaitu Allah yang akan mencatat setiap amal permuatan yang baik maupun yang buruk sebagaimana firmannya QS: Az-Zalzalah ayat 7-8, “Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah-pun, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah-pun, niscaya dia akan melihat balasannya pula”. Maka prilaku korup selama ini meskipun telah ada pengawasan yang berlapis (mulai dari pimpinan, DPR, BPK, Bawasda, LSM dan segala macam) seolah belum efektif dikarenakan tidak melekat dan banyak celah dari keterbatasan manusia.
Nilai iman dan tauhidlah bila menjadi paradigma yang mengorientasikan seluruh perbuatannya untuk mendapat ridha Allah. Hal tersebut akan bernilai ganda sebagai prestasi di dunia juga sebagai amal shaleh yang bernilai abadi sekaligus. Menurut Prof. Didin Hafifuddin penerapan Syariat dalam manajemen memiliki beberapa aspek; pertama, mengubah paradigma dan memperbaiki prilaku birokrasi dengan bertindak secara benar, konsisten, merasa di awasi oleh Allah ketika melaksanaan pekerjaannya sehingga melahirkan tanggung jawab bukan hanya kepada pemimpin, rakyat, tetapi juga kepada Allah.
Manajemen syariah menekankan kekuatan pada aspek Tauhid sehingga seseorang akan benar, jujur ketika diawasi oleh manusia serta akan tetap benar dan jujur ketika tidak diawasi oleh manusia. Kedua, struktur organisasi merupakan sunnatullah dan struktur yang berbeda-beda merupakan ujian dari Allah sebagaimana firman-Nya QS: Al-An’am ayat 165; “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa dibumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat sisksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Maka dalam mengatur kehidupan dunia, peranan manusia tidak sama karena kepintaran, jabatan juga tidak sama.
Bagaimana kemudian kelebihan yang diberikan dan dipercayakan Allah dapat memberikan kemudahan dan kesejahteraan bagi orang lain. Ketiga, sistim yang disusun berupa keharusan dan larangan (hukum/qanun) harus bersumber dari nilai-nilai Alqran dan hadis sehingga dapat menjadikan prilaku pelakunya berjalan dengan baik. Sistim dimaksud untuk menjamin keselamatan manusia sepanjang hidupnya baik yang menyangkut terpeliharanya agama, diri (jiwa dan raga), akal, harta benda serta keselamatan nasab (keturunan) yang merupakan kebutuhan pokok. Pelaksanaan sistim kehidupan dan pemerintahan yang bersih, konsisten dalam semua lini kegiatan akan melahirkan sebuah tatanan birokrasi pemerintahan yang membawa kehidupan yang baik (hayyatan thayyibah).
Sebagaimana pesan Allah QS: An-Nahl ayat 97, ”Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. Sebaliknya menolak atau tidak ada keinginan mengaplikasikan aturan syariat dalam kehidupan akan melahirkan kekacauan, keburukan, kebangkrutan dan kerusakan dalam kehidupan sekarang---maaisyatan dhankan---atau kehidupan yang sempit, timpang dan kecelakaan di akhirat sebagaimana firman Allah QS: Thaahaa ayat 125-126; ”Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia, ’Ya Tuhanku, mengapa engkau menghimpun aku dalam keadaan buta padahal dahulunya aku seorang yang melihatâ?T. Allah berfirman’. Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami maka kamu melupakannya dan begitu pula pada hari ini kamu dilupakan”.
Sistim pemerintahan yang baik dapat kita contoh sebagaimana dipraktekan khalifah Umar bin Abdul Azis yang memiliki sistim penggajian yang rapi, sistim pengawasan yang baik sehingga pada masanya terkenal dengan clean governance yang berorientasi pada rakyat dan masyarakat. Paling tidak ada empat hal yang penting bagi seorang kepala pemerintahan untuk terwujudnya sistim yang baik. Pertama, ketegasan dalam menentukan sikap dengan argumentasi yang jelas. Kedua, musyawarah untuk mengambil keputusan. Ketiga, transparansi menyangkut pekerjaan, kebijakan bahkan juga menyangkut keuangan dan gizi serta penghasilannya. Keempat, pemahaman yang mendalam terhadap tujuan pemerintahan. Wallahu’alam!
*) Penulis Dosen STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa dan Mantan Ketua Umum HMI Cabang Banda Aceh

Miskin Gagasan dan Inspirasi



Kemiskinan di Aceh belum ada berkurang. Padahal Aceh kaya. Triliunan dana bantuan, APBN plus investasi perbankan mengalir ke daerah ini. Keadaan paradoksal semakin tajam saja. Sepertinya kemiskinan menjadi komoditi bagi elit untuk mengumpulkan dana. Kemiskinan tidak lagi dilihat sebagai suatu realitas dan mencari cara mengentaskannya. Simaklah hasil publikasi media ini (Serambi 27/08/2007), sebanyak Rp 2,2 triliun dana pemerintah Aceh di-SBI-kan. Jutaan rakyat menjerit di tengah sulitnya memenuhi kebutuhan pokoknya. Mulai kebutuhan minyak tanah, minyak goreng, listrik, pupuk sampai tempat tinggal. Belum lagi buruknya pelayanan kesehatan, tingginya biaya pendidikan (terutama SPP bagi mahasiswa di Aceh), lambannya perbaikan infrastruktur jalan, sekolah, jembatan, transportasi dan lainnya. Kenapa bisa begitu? Ada apa dengan elit Aceh?
Kalau dirunut-runut, sesungguhnya pemerintah kita tidak sedang miskin pendapatan. Tapi justru sedang mengalami defisit gagasan dan miskin inspirasi. Dan kemiskinan ini lebih parah, karena menjadi akar dari ketidakmampuan pemerintah dalam merumuskan dan mengimplementasikan dengan baik strategi membebaskan rakyatnya dari kemiskinan secara komprehensif dan berkelanjutan. Karena minus gagasan dan miskin inspirasi, maka wajar pemerintah sampai harus mengemis dana kepada asing untuk membangun Aceh.
Kemiskinan inspirasi dapat dilihat dari keterbatasan strategi pemerintah untuk mempercepat pembangunan. Malahan terjadi kegamangan memenej dana yang ada. Kita khawatir masyarakat menjadi apatis atas pemerintahan baru hasil pilihan rakyat bila Irwandi-Nazar gagal mentransformasi beban sosial ekonomi masyarakat.
Padahal masyarakat mendambakan situasi lain dan tawaran perubahan yang pernah dijanjikan pasangan Irwandi-Nazar untuk membawa situasi kehidupan Aceh baru yang lebih menjanjikan. Belum hilang dalam ingatan bagaimana pemerintahan Irwandi-Nazar beberapa saat setelah dilantik, menjanjikan perbaikan ekonomi rakyat miskin sebagai perioritas utama pemerintahannya. Memang, belum bisa mengatakan bahwa pemerintah sekarang gagal memenuhi janjinya, tapi patut bertanya atas fakta-fakta kegamangan pemerintah untuk capaian sasaran menengah berupa perbaikan yang mendatangkan perbaikan kesejahteraan masyarakat. Lebih pradok ketika banyaknya dana mengendap atau di-SBI-kan. Juga sektor rill belum bergerak dilihat dari tingkat pengangguran yang masih tinggi saat ini.
Pemerintahan hasil pilkada - mulai provinsi sampai kabupaten/kota, yang mulanya adalah harapan baru bagi masyarakat, mulai mengalami defisit gagasan dan miskin inspirasi. Hal ini dapat dilihat dari strategi pemberantasan kemiskinan yang sebenarnya tetap mengulang produk lama dengan nama yang berbeda. Kemiskinan dan pengangguran tidak juga menurun, pelayanan publik masih buruk, pembangunan infrastruktur lamban, dan realisasi bantuan korban koflik makin tak akurat.
Berbagai reaksi masyarakat terlihat dan dapat dibaca dalam diskusi-diskusi, seminar, dan obrolan kecil di kedai-kedai kopi. Muaranya menggambarkan sikap ketidakpuasan masyarakat atas situasi ekonomi yang ada. Pemerintah yang katanya memiliki tim ekonomi, ternyata miskin inspirasi untuk menemukan jawaban atau mana alternatif yang bisa mengeluarkan rakyat dari jerat kemiskinan itu. Yang terjadi hanya ”copy-paste” program pemerintah sebelumnya. Malahan di tengahnya kayanya dana tapi pemerintahnya miskin gagasan.
Siklus antara produk kebijakan pemerintah dengan kebutuhan masyarakat tampak begitu menggelikan. Padahal rakyat yang telah memilih pemimpinnya memerlukan perbaikan situasi ekonomi. Kegagalan pemerintah memenuhi kebutuhan masyarakat ini adalah ruang konflik baru, apalagi ditopang realitas semakin melebarnya kesenjangan sosial. Masyarakat mulai melihat munculnya elit baru yang tak jauh beda dengan gaya lama. Sehingga ada adagium di level rakyat dengan kata ”saban cit” alias sama saja seperti dulu. Lahirnya elit baru bukan berarti masyarakat sudah merasakan hasil distribusi pendapatan secara adil. Kebijakan yang ditawarkan pemerintah belum secara jelas merumuskan karakteristik produk alternatifnya.
Program peningkatan kesejahteraan masyarakat sepanjang waktu masih produk lama. Padahal pengalaman penerapan produk tersebut menunjukkan kegagalannya dalam memenuhi kebutuhan alternatif. Implikasinya tentu saja pada dua hal yaitu defisit dari sisi demokratisasi dalam bentuk kegagalan dalam mendorong harmonisasi sosial bahkan yang lebih parah adalah semakin meningkatnya pengangguran serta kemiskinan dengan sejumlah kerawanan sosial. Mengapa pemerintah tidak memiliki alternatif baru pemberantasan kemiskinan sehingga produk yang ditawarkan adalah produk lama yang telah gagal dan ditolak oleh konsumen? Akar dari hal ini adalah miskinnya gagasan dan inspirasi pemerintah khususnya tim ekonomi dalam wujud kegagalan dalam merumuskan strategi pemberantasan kemiskinan alternatif. Masyarakat tersandera oleh elit baru dari tidak adanya alternatif lain dalam pemberantasan kemiskinan selain mengulang strategi lama dengan label yang berbeda.
Jalan keluar
Miskin gagasan dan inspirasi tidak hanya terjadi di level pemerintah provinsi, kabupaten, tapi hampir menjadi kenyataan umum. Maka lembaga masyarakat sipil jangan hanya mendidik masyarakat untuk berfikir dan bersikap kritis. Namun jauh lebih penting hari ini adalah membangun masyarakat yang bisa berfikir kreatif. Premis ini didasarkan pada kenyataan bahwa pemerintah memiliki kewenangan terbatas dalam sistem ekonomi yang ada saat ini. Globalisasi mendorong semakin kuatnya pengaruh eksternal dalam mempengaruhi ekonomi domestik. Pada sisi lain, liberalisasi ekonomi mendorong semakin besarnya peranan sektor swasta dalam perekonomian domestik.
Sayangnya di tengah ruang yang semakin terbuka seperti ini, gagasan dan inspirasi-inpirasi baru yang lebih segar tidak juga bermunculan. Bangladesh boleh jadi negara miskin tapi setidaknya mampu melahirkan inspirasi segar dalam pemberantasan kemiskinan ala Muhammad Yunus dengan Grameen Banknya yang telah mengangkat 58 persen peminjamnya ke atas garis kemiskinan. Tentu masih banyak inspirasi lain, tapi yang menarik mereka menemukan bahwa masih ada jalan lain pemberantasan kemiskinan dan boleh jadi masih banyak jalan lain yang belum ditemukan.
Saya sendiri juga masih harus belajar memperkaya gagasan dan inspirasi. Patut kita renungkan pesan Allah dalam Alquran; ”Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa, maka Allah akan membuka pintu rizki (solusi) dari jalan yang tidak diduga”. Wallahu’alam!

*) Penulis Dosen STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa dan Mantan Ketua Umum HMI Cabang Banda Aceeh

Menyoal Kebisuan KAHMI Aceh (Memperkuat Silaturahmi Kecendikiaan)



Silaturrahmi Alumni HMI pada buka puasa bersama 10 Ramadhan lalu adalah momentum yang menggugah kebisuan KAHMI. Acara yang diprakarsai oleh alumni “droe keu droe” mengutip istilah Serambi Indonesia (Serambi, 23/09/2007) telah mempertautkan silaturrahim dan menggugah semangat juang yang selama ini terabaikan.
Pertemuan tersebut memberi sinyal yang jelas para alumni pada sebuah kerinduan untuk menyatukan kembali potensi yang terserak untuk meneruskan missi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Misi HMI tanggal 5 Februari 1947 tercermin dalam tujuan pendirian organisasi itu sendiri, yaitu: mempertahankan Negara Republik Indonesia dari penjajahan dan pengkhianatan PKI, mengembangkan syiar dan dakwah Islam, dan menciptakan insan akademis. Tujuan pendirian HMI ini kemudian dikenal sebagai ciri khas HMI, yaitu orientasi pada keislaman, kebangsaan dan keintelektualan. Dengan landasan itulah HMI telah banyak berperan dan memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa Indonesia.
Kini alumni HMI berada dan berprestasi pada setiap level kehidupan, sebagian berada pada jalur pemerintahan, sebagian lagi aktif dalam organisasi kekuatan politik, LSM, akademisi/pendidikan, pengusaha, TNI/POLRI, seniman dan dalam segi kehidupan lainnya. Potensi umat ini terpencar dalam berbagai macam profesi kemudian terhimpun dalam wadah Korp Alumni HImpunan Mahasiswa Islam (KAHMI). Namun keberadaannya di Aceh antara ada dan tiada, disebut tiada tapi ada hanya saja seakan “bisu” dan absent dalam setiap gerak sejarah perubahan di Aceh.
Alumni HMI memiliki tanggungjawab untuk meneruskan cita-cita HMI, sebagaimana disebutkan dalam Mukaddimah Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) KAHMI. Antara lain disebutkan bahwa alumnus HMI sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia masa kini untuk terus berjuang dan mengisi kemerdekaan menuju masyarakat adil dan makmur sebagai pengabdian kepada Allah swt. Lebih jelas lagi disebutkan pula bahwa menginsyafi akan adanya persamaan latar belakang motivasi sejarah perjuangan, identitas dan aspirasi sebagai kelanjutan tujuan HMI, maka para alumni HMI membentuk organisasi KAHMI. Dalam AD KAHMI, pasal 4, 5 dan 6 disebutkan KAHMI adalah organisasi cendekiawan bersifat kekeluargaan dan independen. KAHMI berfungsi sebagai wadah himpunan warga alumni HMI guna mengembangkan ilmu, kepribadian dan ketakwaan kepada Allah swt. serta forum komunikasi bagi warga.
Selain itu terbinanya warga sebagai cendekiawan penalar dengan iman dan Islam yang teguh dan semangat kebangsaan yang kukuh, mengambil bagian dalam usaha mencerdaskan kehidupan dan meningkatkan kesejahteraan bangsa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah swt. Keterpanggilan untuk ikut memperjuangkan misi HMI inilah yang harus dipertegas kembali sehingga keberadaan KAHMI mampu memberi makna lebih sebagai energi sosial dan fungsi strategis di tengah-tengah umat. Yaitu merajut kekeluargaan yang berperan sebagai penguatan masyarakat sipil (civil society).
Gerakan civil society adalah usaha membentuk individu maupun kelompok-kelompok individu yang terorganisasi sebagai entitas yang mandiri/otonom dan mampu membatasi penetrasi negara (state), di mana masyarakat otonom tersebut hidup dalam kebebasan publik dan tetap mendasari hidupnya pada nilai-nilai etik dan hukum. Pemikiran ini mengikuti pandangan Hegel dan Gramsci yang memisahkan antara civil society dan state dalam entitas yang berbeda.
Model ini sangat membantu dalam mempercepat penguatan perdamaian dengan proses demokrasi yang berkualitas di Aceh. KAHMI yang lahir lewat musyawarah alumnus HMI bersamaan dengan Kongres HMI di Solo tahun 1966, adalah paguyuban plus bagi para mantan anggota dan aktivis HMI. Dalam paguyuban ini berbagai masalah nasional dan internasional dikaji bersama, juga masalah-masalah keilmuan. Berbagai temuan baru diharapkan muncul dari sana, dan dapat dijadikan alternatif solusi bagi masyarakat dan pengambil kebijakan.
Menurut Sulastomo, mantan Ketua Umum PB HMI 1963-1966, ide dasar KAHMI adalah untuk mewadahi kebutuhan alumni HMI memelihara silaturahmi setelah menyelesaikan studinya, dan terpencar di berbagai bidang kehidupan. Silaturahmi yang juga bersifat kecendekiawanan ini, sudah tentu tidak menutup kemungkinan untuk saling bekerjasama dan bilamana perlu koordinasi tugas-tugas untuk meningkatkan kualitas pengabdiannya di tempat masing-masing. Amin Purnawan, dosen dan alumnus HMI Unissula, mengatakan KAHMI adalah salah satu pilar civil society. Sebab sebagai organisasi, kelompok ini bukanlah onderbouw partai politik atau interest groups mana pun.
Karenanya, Silaturrahmi pada buka puasa bersama (10 Ramadhan 1428) dapat dijadikan momentum untuk melakukan pertemuan lanjutan guna merefleksikan kembali dan membuat proyeksi ke depan untuk meningkatkan kiprahnya dalam penguatan masyarakat sipil. Sebagai komunitas terdidik, KAHMI harus memiliki kemampuan menawarkan berbagai alternatif pemikiran menyangkut masalah-masalah kebangsaan dan pembangunan daerah.
Masalah-masalah kebangsaan itu seperti pendidikan, kemiskinan, pemberantasan korupsi, pengangguran, konflik sosial, rekonstruksi pascabencana, perdagangan bebas yang sejalan dengan syariat Islam. Hal itu akan memberi pencerahan bagi berkembangnya wacana ke-islaman, demokratisasi, dan peradaban masa depan bangsa khususnya Aceh.
KAHMI bila mampu dimaksimalkan potensinya akan memberi kontribusi besar, misalnya dapat ikut membangun bidang pendidikan melalui pendirian sekolah unggulan dan perguruan tinggi di berbagai kota/kabupaten, atau mengadakan pelatihan-pelatihan kewirausahaan, dengan ditopang sumberdaya insani yang dimilikinya. Untuk itu perlu melihat kembali perjalanan KAHMI Aceh guna memperkaya gagasan keagamaan dalam rangka pengembangan intelektualisme Islam di Aceh. Yakni menemukan pesan syariat Islam dalam konteks perkembangan sosial, budaya dan ekonomi saat ini.
Sejatinya KAHMI bertugas menumbuhkan kesadaran umat untuk menjadi apa yang disebut oleh Hans-Dieter Evers sebagai strategic group (kelompok strategis) yang bertujuan menekan kekuatan the rulling class yang hendak memengaruhi pemerintah dan kekuatan sosial politik demi kepentingan kelasnya sendiri. Rasanya tidak mustahil KAHMI dapat menjalankan misi ini, karena sekarang banyak alumninya memasuki jaringan pemerintahan dan berbagai kelompok kepentingan dalam masyarakat. Tentu saja pemikiran keagamaan Islam perlu terus menerus direkonseptualisasi dan diaktualisasikan dalam berbagai bidang kehidupan untuk menghadapi berbagai persoalan aktual lainnya.
Meningkatnya pendidikan umat Islam di berbagai bidang keilmuan sangat memungkinkan perumusan konsep-konsep baru yang bermanfaat bagi masyarakat. Persoalannya, kiprah KAHMI secara kelembagaan, yang nyata menyentuh kebutuhan masyarakat belum banyak dirasakan. Organisasi ini terkesan elitis dan eksklusif, karena para alumni sibuk dengan bidang pengabdiannya masing-masing. Tidak sedikit juga yang cenderung mandul. Padahal selayaknya potensi KAHMI yang terdiri dari beragam bidang profesi dan keahlian dapat disinergikan lebih optimal lagi. Bukan sekadar wadah arisan dan kangen-kangenan.*)

Penulis adalah Karo Riset dan Kajian Yayasan Insan Cita Madani (YICM) dan alumnus muda HMI Cabang Banda Aceh

Menakar Nasionalisme Kita



Dua tahun damai di bumi Aceh adalah kado ulang tahun ke-62 kemerdekaan RI. Peringatannya sendiri masih menjadi ritual yang gemerlap dengan simbol-simbol sebagai indikasi nasionalisme terhadap republik ini. Untuk memperkuat nasionalisme simbolis itu, kadangkala negara sering memberi bumbu yang beraroma kekerasan. Bagi masyarakat Aceh kedua hari bersejarah tersebut memberi harapan terhadap masa depannya yang lebih bermartabat. Sejatinya, rakyat tidak lagi hidup dalam ketakutan, tidak lagi harus mengemis untuk mendapatkan haknya. Lebih dari itu bagaimana mereka benar-benar berdaulat atas jiwa dan di atas tanahnya.
Indonesia terhimpun dari 17.000 lebih pulau, kaya raya dan dihuni ribuan etnis. Mereka telah membuktikan diri bersatu merebut kemerdekaan karena diikat senasib dan sepenanggungan akibat ditindas kolonial. Itulah modal nasionalisme berjuang mengusir penjajah, dan menyatakan kemerdekaan 17 Agustus 1945 lalu. Cita-cita lulur nasionalisme itu adalah rakyat supaya beroleh keadilan dan kesejahtraan. Rakyat tak lagi bodoh dan terkungkung kemiskinan. Tapi realitas setelah 62 tahun Indonesia merdeka, cita-cita itu belum dirasakan rakyat.
Setiap moment perayaan justru rakyat merasa ketakutan, bahkan tidak mendapatkan keadulatan atas jiwa dan tanah airnya yang merdeka itu. Mulai konflik dan perang hingga musibah bencana. Dimana salahnya? Karena pemahaman kita atas nasionalisme atau bangsa selama ini. Bangsa ini telah mengukur nasionalisme dari fasihnya melafalkan Pancasila, lantangnya mengikrarkan pembukaan UUD ‘45 dan bergemuruhnya nyanyian lagu Indonesia raya. Padahal nasionalisme itu adalah “spirit ideology” yang sejatinya ditancapkan kepada setiap jiwa warga nation itu sendiri. Dan nasionalisme akan cacat jika semata dilihat dari fanatiknya memuja bendera merah-putih, logo burung garuda.
Namun kita tak mampu memperbaiki prilaku supaya tidak menindas, merampas, mengkorupsi, memanipulasi, menggadai hukum, dan menyusahkan rakyat ini. Sepanjang berkehidupan dan berpolitik dalam berbangsa kita menafsir hanya untuk ambisi kelompok dan pribadi. Maka jika sudah begitu, damai dan merdeka, tidak lebih sepotong roti yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir elit di atas meja kemegahan dan keangkuhan kekuasaan. Agaknya penting sekali-kali mereviu amanat proklamasi 1956 oleh Bung Karno, bahwa “Bangsa Indonesia harus mempunyai isi hidup dan arah hidup. Bangsa yang tidak memiliki isi hidup adalah bangsa yang hidupnya tidak dalam, bangsa yang dangkal, bangsa yang cetek. Ia adalah bangsa yang penggemar emas sepuhan, dan bukan emasnya. Ia mengangumkan kekuasaan pentung, bukan kekuasaan moril, ia cinta dengan gebyarnya yang lahir, bukan kepada nurnya kebenaran dan keadilan. Ia kadang-kadang kuat, kuatnya adalah kuatnya kulit, padahal ia melompong di bagian dalamnya”. Dipaksakan Jika kita simak perjalan nasionalisme kita saat ini, terkesan sebagai nasionalis yang dipaksakan dengan simbol-simbol tampa ruh. Dan itu akan menjadi bom waktu dari tersulutnya sumbu konflik, apalagi ketimpangan begitu besar terhadap rakyat kecil saat ini. Banyaknya rakyat tanpa pekerjaan dan miskin serta menjadi obyek penindasan.
Sementara elitnya menikmati hasil kekayaan negara ini dengan jalan kotor lewat praktik korupsi, manipulasi, kolusi, intimidasi. Mereka merdeka di atas keterjajahan ribuan rakyat lainnya. Wahai pemimpin dan aparatur negeri ini, marilah mengulangkaji pemaknaan nasionalisme secara hakiki melalui upaya memastikan bahwa rakyat ini tidak lagi miskin, merasa damai dan merdeka di alam kemerdekaan bangsanya. Karenanya pemerintah mesti memeriksa secara seksama seluruh sistim, apakah berjalan secara baik agar dapat mastikan pula akan pemenuhan kebutuhan rakyat, seperti minyak tanah, beras, minyak goreng, listrik, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan primer lainnya yang sampai hari ini masih banyak rakyat tidak dapat mengakses hak-haknya secara adil. Kebangsaan akan sejati jika semangat dan tekad mewujudkan keadilan di segala sector kehidupan dapat diwujudkan.
Kebangsaan dimana warganya bisa merdeka dari kemiskinan, kebodohan dan hidup sejahtera tanpa ketakutan. Warga bangsa bisa menyatu dalam keragaman dan memainkan perannya tanpa was-was. Sejatinya, ulama dan cendikia mengingatkan tentang kebangkrutan moral, aparat hukum mencegah dan memberatas korupsi dan kriminal, politisi memperjuangkan hak-hak rakyat, tentara meninggalkan niaga untuk fokus memberi rasa aman bagi segenap anak bangsa. Ini baru bisa dikatagorikan nasionalis.
Kualitasnya diukur dari kesungguhan mereka memberi “kemerdekaan” kepada warga bangsanya. Kemerdekaan sebagaimana disebutkan oleh Franklin Delano Roosevelt adalah; kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan menjalankan agama yang diyakini, kebebasan dari ketakukan dan kebebasan dari kemiskinan dan kebodohan. Saat ini mungkin baru memberi kemajuan kemerdekaan mengeluarkan pendapat. Sedangkan ketiga lainnya masih perlu diuji kualitas nasionalisme pemimpin dan aparat negara ini. Seperti kata Muhammad Hatta (tokoh proklamator), bahwa “kualitas pemimpin sepadan dengan caranya mendapatkan makan”. Ketika pemimpin sibuk dengan acara seremonial, pesta, sibuk menaikkan gaji, memenangi proyek konconya, bermegahan di tengah sebagian besar rakyatnya masih dalam kegalauan, ketakutan. Kondisi ini lah yang membuat nasionalisme kehilangan makna di mata sebagian rakyat kita meskipun demokrasi sudah berjalan dengan baik.
Presiden RI pertama, Soekarno juga pernah mengingatkan “Demokrasi hanya dapat dipertahankan apabila pemimpin-pemimpim dan penganut demokrasi itu dapat membuktikan bahwa mereka dapat memberikan kepada negara suatu pemerintahan yang sebaik-baiknya, sesuai dengan kehendak dan kepentingan rakyat”. Dalam kontek kita hari ini, muncul pertanyaan, siapa sebenarnya yang telah meruntuhkan nasionalisme, patroitisme terhadap negara dan bangsa ini? Ini yang penting direnung ulang dalam moment peringatan ke-62 kemerdekaan RI. Merenung sambil menanggalkan nasionalisme semu yang kental dengan kemunafikan, kesewenang-wenangan dan kekerasan. Kita harus keluar dari nasionalisme yang kerdil dan sempit yang mudah dipatahkan dengan memberi isi dan arah hidup baru dalam berbangsa dan bernegara. Wallahu‘alam.

*) Penulis adalah mantan Wasekjend Pengurus Besar HMI Periode 2003-2005.