11 November 2009

Kohati HMI Cabang Lhokseumawe Gelar Seminar

LHOKSEUMAWE - Korp HMIWati (KOHATI) Cabang Lhokseumawe, menggelar seminar sehari dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda, Kamis (29/10). Seminar yang mengangkat tema ‘Peran dan Eksistensi Pemuda dalam Dinamika Kehidupan Kebangsaan’ itu, diikuti 86 peserta yang terdiri dari pelajar, organisasi kepemudaan, dan organisasi mahasiswa. Ketua Umum KOHATI Cabang Lhokseumawe, Fitri, kepada Serambi, mengatakan, seminar menghadirkan dua pemateri yaitu, Direktur Pusat Penguatan Perdamaian, Fahrul Razi, dan Dahlan A Rahman, Pembantu Ketua I STAIN Malikussaleh, Lhokseumawe.

“Dalam seminar banyak dibicarakan tentang peran dan eksistensi pemuda Aceh dalam mengawal perdamaian, mengawal jalannya MoU Helsinki, serta qanun-qanun yang telah disahkan,” kata Fitri.(saf)

02 Agustus 2009

QUO VADIS PUTUSAN MA?

Atmosfer politik Indonesia akhir-akhir ini memanas. Dua gugatan terhadap Keputusan KPU tentang Penetapan Hasil Rekapitulasi Pilpres telah dilayangkan oleh pasangan calon presiden dan calon wakil presiden ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Mereka menengarai hasil penghitungan KPU tidak sah karena terlalu banyak pelanggaran dan kesalahan selama proses pemilihan presiden, baik secara prosedural maupun substansial. Sementara itu, minggu sebelumnya dunia perpolitikan kita lebih dahulu dikejutkan oleh keluarnya putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 15 P/HUM/2009 bertanggal 18 Juni 2009.

MA memutuskan tidak sah dan tidak berlaku untuk umum Pasal 22 huruf c dan Pasal 23 ayat (1) dan (3) Peraturan KPU No 15/2009 terkait cara penghitungan tahap kedua untuk kursi DPR. Memang dalam putusan tersebut MA tidak mengutak-atik perolehan kursi partai politik yang berhak duduk di Senayan, namun secara tidak langsung dipastikan akan memengaruhi perolehan kursi dari banyak partai politik papan menengah.

Implikasinya,menurut CETRO, 66 kursi di DPR RI diperkirakan akan beralih partai! (Seputar Indonesia, 28/7). Karena putusan MA tersebut sangat berdampak pada konfigurasi politik nasional untuk lima tahun ke depan, tak ayal sensitivitas politiknya pun sangat tinggi. Akibatnya, ingar-bingar dan kemelut antara pihak yang diuntungkan dan dirugikan atas putusan tersebut kontan menghiasi berbagai media cetak dan elektronik.

Sayangnya, respons yang keluar dalam menanggapi putusan tersebut justru lebih banyak berhulu pada respons politik, bukan berangkat melalui respons hukum. Sejatinya,suatu produk hukum dan pengadilan harus pula ditanggapi dengan kajian yuridis, bukan justru dihadapkan sekadar dengan analisis dan bumbu politis.

KPU pun kian menjadi sorotan tajam dan berada pada posisi yang dilematis serta terjepit dalam kondisi ini. Di satu sisi KPU wajib menjalankan putusan tersebut, di sisi lain apabila melaksanakan putusan tersebut dapat mengakibatkan guncangnya sendi-sendi sistem politik dan pemilu yang bermuara pada keterpilihan kursi yang telah ditetapkan sebelumnya.

Titik Lemah Putusan

Putusan MA memang sudah dibacakan, namun ruang untuk mengkritiknya dalam koridor hukum tetaplah terbuka lebar. Tetap dengan menghormatinya, paling sedikit terdapat empat titik kelemahan krusial dalam putusan tersebut.

Pertama, permohonan sejenis untuk pengujian materi Pasal 23 ayat (1) Peraturan KPU No. 15/2009 sebenarnya pernah diajukan dan diputus pada 2 Juni 2009 dengan amar putusan menolak permohonan untuk pemohon Hasto Kristyanto dan tidak dapat diterima untuk pemohon A Eddy Susetyo (vide Putusan Nomor 12 P/HUM/2009).

Atas substansi permohonan yang sama dengan komposisi majelis yang sama pula, seyogianya permohonan yang diajukan oleh Zainal Ma’arif (vide Putusan Nomor 15 P/HUM/2009) tidak dapat diuji kembali (nebis in idem) atau setidak-tidaknya menyatakan amar putusan yang serupa, sebab apabila kita perbandingkan dalil dan materi permohonan, sebenarnya tidak ada perbedaan yang mendasar dari keduanya.

Kedua, menafsirkan Pasal 205 ayat (4) UU No 10/2008 dengan cara “Partai politik yang sudah memperoleh kursi pada tahap I karena mencapai BPP harus diikutkan kembali pada penghitungan perolehan kursi pada tahap II tanpa menggunakan sisa suara yang dimilikinya,tetapi secara utuh diperhitungkan semua suaranya,”(vide halaman 8) adalah tafsir yang terlalu dipaksakan.

Dengan cara penghitungan demikian, maka akan terjadi “double counting” dalam penentuan kursi, yaitu dihitung dua kali di tahap pertama dan juga di tahap kedua, hal mana bertentangan dengan prinsip "one person one vote". Tafsir ini pun tidak lagi kompatibel dengan sistem proporsional yang telah diterapkan sejak lama di Indonesia.

Bila pun ada kelemahan karena dianggap tidak adil dalam mengonversi jumlah suara partai dengan jumlah suara kursi, maka hal ini memang sedari awal telah diakui secara sadar namun disepakati untuk tetap diberlakukan, mengingat tidak ada satu sistem pemilu pun yang hadir tanpa celah dan kelemahan masing-masing (Florian Bieber, 2007).

Ketiga, amar putusan a quo juga tidak konsisten dan sinkron antara satu dan yang lain. Angka kedua amar putusan justru memutuskan bahwa Pasal 22 huruf c dan Pasal 23 ayat (1) dan (3) Peraturan KPU No No 15/2009 “Pembentukannya bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dan lebih tinggi yaitu UU No 10/2008,” (vide halaman 16). Dengan kata lain, diputus dalam ranah uji formil, padahal permohonan berbicara pada ranah pengujian materiil yang tentu keduanya memiliki konskuensi putusan berbeda.

Seandainya pun “pembentukannya” yang dianggap bertentangan, maka rujukan seharusnya adalah UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bukan UU No. 10/2008 mengenai Pemilu Legislatif.

Keempat, amar yang memerintahkan KPU untuk merevisi dan menunda pelaksanaan Keputusan KPU No 259/Kpts/KPU/2009 merupakan perintah yang kebablasan (overheated). Memutus permohonan tersebut tidak bisa serta-merta disandingkan dengan putusan yang dikeluarkan oleh MK terkait penerapan Pasal 205, sebab objek dan kewenangan yang sedang dijalankan berada pada ranahnya masing-masing yang berbeda. Lagipula, apabila kita telaah secara cermat, Keputusan KPU Nomor 259/Kpts/KPU/2009 yang diadili oleh MA tanggal 18 Juni 2009 telah dinyatakan batal demi hukum oleh MK sejak 11 Juni 2009, sedangkan putusan MA tersebut diputus kemudian pada 18 Juni 2009.

Tentu masih banyak lagi aspek yang bisa diperdebatkan atas perkara yang diputus oleh MA tersebut. Misalnya berwenang atau tidaknya MA menguji peraturan KPU yang status dan kedudukannya memperoleh tempat khusus dalam peraturan perundang-undangan, atau terhadap keberlakuan surut-tidaknya suatu putusan judicial review.

Upaya Hukum

Tentu kita berharap, apabila terdapat ketidakpuasan atas putusan MA tersebut, para pihak juga dewasa menyikapinya dengan jalur hukum yang tersedia. Putusan MA sejatinya dihormati dengan pelaksanaan. Namun sepanjang masih tersedia upaya hukum dan apabila diperlukan, maka kreativitas yudisial (judicial creativity) berdasar hukum perlu ditempuh baik oleh KPU maupun para pihak yang merasa dirugikan dalam membuka jalur yang buntu.

Begitu pula dengan para hakim, dengan pertimbangan di atas seharusnya tidak perlu ragu melakukan aktivitas yudisial (judicial activism) seandainya bermaksud untuk meluruskan kembali putusan tersebut berdasarkan keadilan dan hati nuraninya (Kermit Roosevelt 2008). Upaya hukum peninjauan kembali ke Mahkamah Agung atau menguji konstitusionalitas dan penafsiran Pasal 205 ayat (4) UU 10/2009 ke Mahkamah Konstitusi, mungkin saja menjadi alternatif jalur solusi hukum yang dapat diambil.

Hanya saja yang perlu dipahami adalah ketika jalur hukum yang tersedia telah habis (exhausted), maka para pihak, suka tidak suka, mau tidak mau,harus tunduk dan patuh serta menghormati pada apapun putusannya nanti. Akhirnya KPU pun tidak perlu lagi merasa cemas atas putusan tersebut, sepanjang respons dan tindakan yang muncul adalah respons hukum, bukan sebaliknya, respons politik yang sering kali hanya berbicara untuk kepentingan sesaat.

27 Juli 2009

M. ZUBIR PIMPIN HMI CABANG BIREUEN

BIREUEN - Muhammad Zubir secara aklamasi terpilih sebagai Ketua Umum HMI Cabang Bireuen Periode 2009-2010 dalam Konferensi Cabang (Konfercab) III, di Aula Kampus Universitas Al-Muslim Peusangan Bireuen, 25-26 Juli. Kepastian itu diperoleh setelah tiga calon lainnya yaitu, Nasrullah, Abdullah dan Meutia Dewi mengundurkan diri setelah diminta kesediaan oleh presidium sidang.

Ketua panitia, Nuruzzahri, mengatakan, kegiatan yang dihadiri ratusan kader HMI setempat tersebut dibuka Kepala BKPP Bireuen, Jamaluddin. Menurutnya, Zubir akan menggantikan M Rizal M Nur, ketua umum periode sebelumnya yang telah habis masa jabatannya. “Alhamdulilah acara ini berjalan sukses,” katanya. Di tempat yang sama, lanjutnya, Mutia Dewi, mahasiswa Unimus Peusangan, terpilih sebagai Ketua Korp Hmiwati (KOHATI) HMI Bireuen periode 2009-2010.

Muhammad Zubi yang ditanyi Serambi, kemarin, mengatakan, setelah mendapat kepercayaan untuk memimpin organisasi itu, dirinya akan berkerja sama dengan semua pengurus untuk menjalankan organisasi HMI sesuai dengan keperluan dan keumatan sebagai khittahnya HMI. “Semoga Allah meridhai rencana saya dan teman-teman menjalankan kepengursan HMI ini dengan baik di masa mendatang,” ujarnya.(muk)

Sumber : http://www.serambinews.com/news/zubir-pimpin-hmi-bireuen

HMI Cabang Bireuen Kritisi Dua Tahun Kepemimpinan Nurdin

BIREUEN – Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bireuen mengkritisi dua tahun kepemimpinan Bupati Bireuen Nurdin Abdul Rahman dan Wakil Bupati Busmadar Ismail yang dilantik 25 Juli 2007 lalu. Menurut M Rizal M Nur selaku Ketua HMI Cabang Bireuen dalam siaran persnya yang diterima Serambi, Jumat (24/7), selama dua tahun kepemimpinan Nurdin-Busmadar, kedua petinggi Bireuen itu belum bisa berbuat banyak. Pembangunan pun belum dirasakan oleh masyarakat banyak.

“Tahun pertama melakukan beberapa kali mutasi, memasuki tahun kedua, Bupati Nurdin sering ke luar daerah, namun belum jelas output dan kontribusinya bagi kemajuan Bireuen,” tulis Rizal dan M Zoebir, pengurus teras HMI Bireuen, dalam press release mereka. Seringnya pejabat nomor satu Bireuen itu ke luar daerah atau tidak berada di tempat, menurut M Rizal cs, memberi kemungkinan bagi para bawahan berpeluang melakukan kebijakan di luar kontrol atasan.

Berdasarkan amatan HMI Cabang Bireuen, kinerja pemkab setempat selama dua tahun dianggap bermasalah dalam mengelola keuangan daerah. “Pemkab Bireuen telah mengecewakan masyarakat karena roda pemerintahan dipenuhi berbagai ketidakseimbangan, sehingga kesejahteraan masyarakat terabaikan,” tulis mereka. APBD Bireuen sejak tahun 2008-2009, dinilai HMI, tidak mengarah kepada pembangunan kesejahteraan rakyat, tapi lebih banyak kepada kepentingan aparatur dan belanja mobiler. Hal itu belum mencerminkan pemihakan kepada kepentingan rakyat kecil.

Belum jelas
Hasil diskusi, monitoring, evaluasi, dan refleksi yang dilakukan HMI Cabang Bireuen menunjukkan kepemimpinan Bireuen selama dua tahun belum jelas hasil kinerjanya. Berdasarkan monitoring dan evaluasi HMI Cabang Bireuen, kata petinggi HMI itu, kebijakan kepala daerah Bireuen itu belum berpihak kepada rakyat, menyetujui dem mobil, dan perencanaan pembangunan masih sebatas wacana tanpa action., Mesin biodiesel malah akan menjadi besi tua dan banyak hal lainnya yang belum berjalan.

Kinerja pemerintahan Bireuen selama dua tahun ini mereka anggap telah gagal dalam mengelola keuangan daerah. “Telah mengecewakan masyarakat Bireuen, karena roda pemerintahan dipenuhi ketidakseimbangan, sehingga kesejahteraan masyarakat terabaikan,” kata siaran pers itu. Kegagalan yang dilakukan dua tahun harus segera diubah. “Bupati diminta jangan menutup mata terhadap kritikan dan saran yang bertujuan membangun daerah,” timpal mereka.

Berangkat dari kondisi yang ada, HMI Cabang Bireuen mendesak kepemimpinan Bupati dan Wakil Bupati Bireuen harus lebih berkualitas, mengambil kebijakan yang tepat dan efektif. Alokasi APBD Bireuen pada tahun mendatang, diharapkan aktivis HMI, agar berpihak kepada rakyat kecil. HMI juga menyarankan kepala daerah melakukan upaya industrialisasi di bidang pertanian secara besar-besaran. Pemkab Bireuen juga diminta memiliki strategi dan formulasi yang jelas dan terukur terhadap perubahan sosial budaya dengan harapan Bireuen semakin maju dan membaik di masa mendatang. (yus)

Sumber : Harian Serambi Indonesia, 26 July 2009

20 Juli 2009

Pemuda dan Krisis Peradaban Dunia; Menjawab Tantangan Fundamentalisme Pasar dan Agama

Ahmad Nasir Siregar (Sekretaris Jenderal PB HMI)


“Moderates all over the world, unite!”—Profesor Johan Galtung

Overview: Pemuda Indonesia dan Tantangan Dunia

Sejak merdeka, Indonesia sebagai negara-bangsa, senantiasa menghadapi konteks politik dan tantangan zaman yang berbeda-beda. Para pendiri bangsa seperti Sukarno, Hatta dan Sjahrir dan yang lainnya telah melaksanakan tugasnya secara baik, yakni berjuang untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara bangsa yang merdeka (creation), dengan segenap tantangan situasi nasional ataupun internasional di awal abad XX.

Sementara, sekarang ini kompleksitas permasalahan dan tantangan dunia telah berbeda. Sehingga dibutuhkan kesiapan semua anak banga untuk melakukan pengembangan atau pembaruan bangsa (renewal) agar senantiasa tercapai cita-cita mulia yang diwariskan oleh founding fathers Indonesia. Cita-cita itulah yang menopang seluruh elemen bangsa Indonesia untuk mampu bukan saja bertahan dalam menghadapi tantangan-tantangan dinamis zaman ini, tetapi juga menghantarkan Indonesia menjadi negara maju yang disegani masyarakat dunia. Artinya, perbedaan kondisi zaman yang ada tidak lantas melenyapkan cita-cita.

Jika kita belajar dari sejarah, terbuktilah pemuda menjadi aktor penting dari perjalanan historis perjuangan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, tepat kiranya jika Indonesianis, Benedict Anderson, menyebut, bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah pemudanya. Kehadiran pemudalah, kata Benedict Anderson, yang menciptakan momen sejarah Indonesia masa depan, yakni sejarah terbentuknya sebuah bangsa yang satu, merdeka dari ketertindasan kolonialisme (Revolusi Pemuda: 1988). Kesadaran sejarah inilah yang berfungsi sebagai garis lintas yang dijadikan pemuda untuk selalu memandang ke depan dan menemukan kontektualisasi peran dan bentuk perjuangan dengan situasi hari ini maupun masa depan.

Warisan ideologi dan semangat perjuangan para pemuda pendahulu bangsa, yang terpatri di dalam nilai-nilai Sumpah Pemuda hendaknya diingat pada setiap waktu dan tempat. Seperti diungkap Bung Karno saat peringatan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1956 yang diambil dari sumber Harian Rakjat, 1956 : “Presiden menjatakan bahwa diperingatinja hari 28 Oktober kali ini adalah suatu opfressing, suatu freshing up, suatu penjegaran bagi semangat persatuan jang akhir-akhir ini terganggu. Presiden menjatakan bahwa sudah selajaknya Sumpah Pemuda diperingati, bahkan djangan hanja setiap tahun, tetapi tiap-tiap hari, tiap-tiap djam, tiap-tiap menit, tiap-tiap detik. Persiapan ideologis, jaitu Sumpah Pemuda, memerlukan penjelenggaraan praktis itu” (Keith Folucher, Sumpah Pemuda : The Meaning of a symbol of Indonesian Nationhood, hal. 47)

Menggali kembali nilai-nilai Sumpah Pemuda seperti ini tentu saja bukan hanya sekedar bertolak dari semangat romantisme masa lalu semata, tetapi justru merupakan stand point bagi semangat untuk menjawab masalah-masalah terkini untuk menciptakan masa depan bangsa yang lebih baik.Setiap kaum muda Indonesia memiliki tanggungjawab untuk senantiasa mereflesikan dan mencarikan jalan keluar dari seluruh permasalahan dan tantangan dunia, dan lebih spesifik krisis yang melanda Indonesia sejak 1998.

Indonesia adalah negara kaya, dengan sumber daya alam dan keanekaragaman agama, budaya, bahasa, adat istiadat, etnis, dan lainnya. Namun, sayangnya kekayaan itu belum bisa membuat Indonesia bangkit dari krisis. Justru sebaliknya, korupsi semakin merajalela, kemiskinan dan pengangguran terus meningkat, pelayanan kesehatan dan pendidikan memprihatinkan, utang terus membebani rakyat, dan konflik-konflik berbasis SARA belum juga usai.

Kenyataan ini telah membuat kaum muda Indonesia semakin prihatin. Di tahun 2006 yang lalu, berbagai elemen dan organisasi pemuda yang tergabung dalam Lingkar Muda Indonesia (LMI), pernah menyikapi situasi yang berkembang di negeri ini, dengan menyebut ada dua sumber penyebab Indonesia gagal untuk bangkit dari krisis, yakni kecenderungan fundamentalisme pasar dan fundamentalisme agama.

Lingkar Muda Indonesia menyebut “fundamentalisme pasar dengan kekuatan korporasi global tengah melahirkan pemiskinan, ketidakadilan sosial, pendangkalan hidup, penyeragaman, dan mengancam kedaulatan negara lewat jebakan utang dan kesepakatan global yang tak adil. Kekuasaan korporasi global telah melumpuhkan kekuasaan negara dan pemerintahan. Pemerintah sebagai lembaga utama negara semakin kehilangan kapasitas untuk mengurus kepentingan publik…”(Kompas, Senin, 22 Mei 2006).

Sedangkan, fundamentalisme agama dengan kekuatan kelompok sektarian telah memaksa kehendaknya dengan melakukan “…tindak kekerasan dengan mengatasnamakan nilai- nilai agama, konflik horizontal antar kelompok berlabel agama, etnis, dan golongan” (Kompas, Senin, 22 Mei 2006).

Alhasil, kedua kekuatan fundamentalisme itu sama-sama mengingkari cita-cita Indonesia yang dibangun demi kesejahteraan seluruh rakyat berdasarkan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Kelompok fundamentalisme pasar menjarah kekayaan alam Indonesia dan akan terus melakukan praktik pemiskinan kepada rakyat. Sementara kelompok fundamentalisme agama “memerangi individu dan kelompok yang dinilai tak bermoral, menyimpang, murtad, berbeda keyakinan, aliran, dan pandangan.”

Dogma Ganda Fundamentalisme

Besarnya pengaruh kecenderungan praktek fundamentalisme pasar dan agama yang bakal mengancam Indonesia sebagai bangsa yang telah disinyalir oleh Lingkar Muda Indonesia (LMI), diperkuat kembali oleh B. Herry-Priyono, yang menjadi salah satu pemakalah dalam Kongres Pancasila 2009, yang diselenggarakan Universitas Gadjah Mada dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, di Yogyakarta, 30 Mei – 1 Juni 2009.

Menurut B. Herry-Priyono, fundamentalisme pasar dan agama adalah dua faktor besar yang menandai cuaca sejarah dewasa ini, yang disebutnya sebagai “dua gelombang dogma raksasa”, yang sangat berpengaruh terhadap lemahnya kehendak, daya intensionalitas dan kesengajaan untuk membentuk atau membaharui Indonesia sebagai bangsa (Agenda Indonesia, Sebuah Bangsa hanya Dibentuk dengan Sengaja, 2009).

Kedua fundamentalisme itu, tulis B. Herry-Priyono, beroperasi dengan modus kinerja berbeda. “Jika fundamentalisme agama beroperasi dengan melakukan totalisasi cara kerja seluruh bidang kehidupan masyarakat atas dasar doktrin agama, fundamentalisme pasar ingin menciptakan tatanan masyarakat (social order) melalui anarki pengejaran kepentingan-diri tiap orang atas dasar prinsip harga (price). Dengan kata lain, fundamentalisme agama adalah bentuk totalitarianisme, sedangkan fundamentalisme pasar merupakan bentuk anarkisme”(Agenda Indonesia…2009).

Dengan lebih lugas, B. Herry-Priyono menyebut : “konsep ‘harga’ pasar pada akhirnya menyangkut urusan kemampuan daya-beli warga (purchasing power). Itu sama dengan agenda untuk menciptakan ‘kewarganegaan’ (citizenship) melalui rute penciptaan ‘konsumen’ (consumership). Prinsip kewarganegaraan adalah hak dan kewajiban politik, sedangkan prinsip konsumen adalah daya-beli. Dari sini penyingkiran warga-negara yang berdaya-beli rendah (kaum miskin) segera terjadi. Dengan kata lain, cita-cita membentuk tatanan (Indonesia) melalui rute ketidaksengajaan anarkisme pasar punya konsekuensi yang tidak kurang ganas dibandingkan penyingkiran melalui fundamentalisme agama” (Agenda Indonesia…2009).

Sebetulnya, berkembangnya kritik atas mainstream fundamentalisme pasar dan agama di dunia, telah dikemukakan jauh hari oleh Professor Johan Galtung, Ahli Sosiologi, pemenang Nobel Perdamaian dan Penganjur Jurnalisme Perdamaian. Di hadapan ribuan orang pendukung gerakan perdamaian Jerman, di Kota Koeln, untuk memperingati setahun tragedi 11 September 2001, Galtung menungkapkan tiga kekuatan fundamentalis dunia. Pertama, fundamentalis faksi Wahabi Osama bin Laden, kedua, fundamentalisme faksi puritan Protestan, dan ketiga fundamentalisme pasar.

Mereka yang berada dibelakang fundamentalisme jenis pertama dan kedua, kata Galtung, yang bertanggung jawab di belakang tragedi 11 September dan pengeboman Afghanistan serta Irak dengan korban puluhan ribu warga sipil tak berdosa. Di tempat inilah seruan Galtung yang terkenal menyeruak ke dunia : “Moderates all over the world, unite!”
Ketika berkesempatan berkunjung ke Indonesia tahun 2002 atas undangan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dalam lokakarya “penanganan konflik sosial” dengan peserta yang berasal dari kalangan aktivis resolusi konflik sejumlah negara di Asia Tenggara, Harian Kompas sempat mewawancarainya di sela-sela acara tersebut. Dalam salah satu satu petikan wawancaranya, Galtung menyebut bahwa alasan fundamentalisme agama melakukan aksi terorisme yang brutal, karena terkait globalisasi atau kebijakan luar negeri AS bukan terhadap demokrasi.

“Kalau Anda melihat peristiwa 11 September, serangan ke World Trade Center, serangan bom mobil ke Departemen Luar Negeri, saya kira menjadi cukup jelas. Mereka mampu menyerang apa saja. Namun, penyerangan itu pasti terkait dengan globalisasi atau kebijakan luar negeri AS; bukan terhadap demokrasi karena mereka tidak menyerang Gedung Kongres; tidak juga kebudayaan, karena mereka tidak menyerang Lincoln Memorial; juga tidak terkait dengan soal kebebasan karena mereka tidak menyerang Patung Liberty,” ucapnya seperti dikutip Kompas, dalam Lebih Jauh dengan Professor Johan Galtung, Minggu, 17 November 2002.

Jika dibandingkan dengan apa yang diperbuat teroris, justru “terorisme negara” yang dilakukan AS jauh lebih berbahaya karena menggabungkan fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar, kata Galtung. “Serangan AS terhadap Afganistan memenuhi kriteria tindakan teroris. AS memasukkan daftar 60 negara sebagai sasaran perang melawan terorisme dan menyatakan diri berhak melakukan operasi di negara-negara tersebut tanpa memberi tahu pemerintahan negara bersangkutan. Hukum-hukum internasional diabaikan.” (Kompas, 17 November 2002)

Fundamentalisme Agama versus Kapitalisme Global

Untuk konteks Indonesia, menurut penulis fenomena gerakan fundamentalisme agama juga mencirikan perlawanan atas penindasan dan ketidakadilan kapitalisme global yang disponsori terutama Amerika Serikat. Persis seperti diungkapkan oleh seorang aktifis prolifik Eko Prasetyo, dalam bukunya Membela Agama Tuhan; Potret Gerakan Islam dalam Pusaran Konflik Global (INSISTPress, 2002). Dalam penulisan buku tersebut, Eko berperan langsung sebagai partisipant observation atau periset yang terlibat, plus dilengkapi dengan wawancara mendalam terhadap aktifis dan aktivitas yang mereka lakukan, khususnya Laskar Jihad dan beberapa organisasi Islam lainnya.

Berdasarkan interaksi dengan gerakan fundamentalis agama ini, Eko berpendapat bahwa sejatinya mereka ingin didengar suaranya dan ingin diakui eksistensinya untuk membangun sebuah peradaban di dunia yang direstui oleh Tuhan. Tapi, sangat disayangkan, fundamentalisme pasar justru menuduh mereka sebagai teroris yang membahayakan perdamaian dunia, persis setelah peledakan gedung WTC dan tragedi peledakan bom Bali dan Kuningan di Indonesia.

Menurut Eko, gerakan yang sering dilabeli dengan fundamentalisme agama ini merasa sebagai kaum tertindas. Pasalnya, sistem ekonomi dan politik dunia telah secara sistematis dihegemoni oleh kapitalisme global. Bahkan, media informasi dan teknologi, telah dikuasai oleh kapitalisme global sehingga gerakan fundamentalisme seakan terjepit. Satu-satunya cara untuk keluar dari kungkungan kapitalisme itu adalah melawan. Maka, wajarlah jika jihad dijadikan sebagai cara untuk menegakkan syariat Islam dan membangun peradaban dunia yang direstui oleh Tuhan.

Dan, secara salah kaprah, kapitalisme Global dalam hal ini Amerika Serikat dan sekutunya menyeruakkan program untuk memerangi jaringan terorisme internasional. Sialnya lagi, orang seperti Huntington melihat fenomena ini sebagai bagian dari benturan antara peradaban (clash of civilizations), yakni antara Timur (Islam) dan Barat (Kristen). Dendam sejarah pun tentang Perang Salib (Crusade) terhadap Islam dikumandangkan. Islam sebagai agama dicap sebagai teroris, Islam agama pedang dan bukan agama perdamaian.

Padahal, seandainya negara-negara di dunia menyadari bahwa aksi terorisme yang dilakukan oleh mereka yang disebut fundamentalis, tak lain karena dunia sekarang ini belum berjalan secara adil. Radikalisme agama di Indonesia, atau di mana pun di dunia, akan terus tumbuh subur karena kemiskinan dan ketidakadilan struktural masih terus berlangsung. Kemiskinan dan ketidakadilan tak lain disebabkan oleh fundamentalisme pasar (ekonomi neoliberalisme) saat ini.

Fundamentalisme pasar jelas saja memiliki keterkaitan dengan berbagai kebijakan IMF dan Bank Dunia yang selama ini menyebabkan program pemiskinan terhadap rakyat. Seperti disebut pemenang Nobel Ekonomi Joseph Stiglitz , fundamentalisme pasar merupakan landasan teori bagi “Konsensus Washington”, “Thatcherisme”, privatisasi dan liberalisasi perdagangan, yang jelas telah ikut menyebabkan hancurnya fundamental ekonomi Indonesia.

Seharusnya, dalam konteks Indonesia, fundamentalisme pasar mesti ditolak karena tidak sesuai dengan konstitusi khususnya Pasal 33 UUD 45 yang jelas menyebut pemanfaatan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat bukan kepada perusahaan MNC asing.

Terorisme, Perang dan Kapitalisme Bencana

Dalam ilmu ekonomi, siapa yang tidak mengenal Milton Friedman penerima Nobel Ekonomi, dan juga suhu ekonomi dari “Chicago School” (Mazhab Chicago), yang pandangan khasnya soal kapitalisme fundamentalis. Milton Friedman percaya bahwa pasar akan bekerja baik ketika dibebaskan dari campur tangan negara. Ia mempromosikan penghapusan subsidi dan bea tarif impor, deregulasi, pajak rendah, swastanisasi/privatisasi, dan program-program liberalisasi ekonomi lainnya.

Penerapan konsep ekonomi gaya Friedman hanya mungkin dilakukan jika negara dan masyarakat dalam kondisi shock (kejut). Begitu kata Jurnalis Naomi Klein, dalam buku masyhurnya, The Shock Doctrine; The Rise of Disaster Capitalism, yang diterbitkan Penguin Books, London, Inggris (2007). Mengapa?

Menurutnya, ketika ada kondisi shock, baik yang diakibatkan oleh bencana alam, serangan teroris dan perang, maka mereka yang mengalaminya “akan berada pada kondisi seperti anak-anak yang merindukan sosok orang tua pengontrol; serupa dengan itu, masyarakat dalam kondisi shock akan dengan mudah memberikan kuasa kepada para pemimpin dan mengijinkan mereka menghancurkan fungsi mengatur pemerintah” (Larissa MacFarquhar, Outside Agitator: Naomi Klein and the New New Left, www.newyorker.com, 3 Desember 2008).

Dengan kata lain, krisis yang terjadi karena perang, bencana alam, teror, ambruknya pasar modal, atau krisis ekonomi lainnya digunakan untuk mengganti sistem ekonomi yang ada. Artinya, Klein ingin menunjuk bangkitnya fundamentalisme pasar sebagai penyebab kenapa banyak negara terus terpuruk.

Lihatlah misalnya bagaimana Amerika dan sekutunya menginvasi Irak persis tak lama setelah Saddam Hussein memberi konsesi tambang minyak bagi Rusia di Irak. Shell, Halliburton, BP dan ExxonMobil lalu meminta pemerintah AS dan Inggris untuk memerangai Irak tahun 2003. Menurut Klein, ketika Amerika menginvasi Irak, nantinya setelah porak-poranda Amerika bakal membangun sistem ekonomi yang baru, yakni sistem ekonomi kapitalisme yang neoliberal itu.

Setelah invasi Irak berhasil. Betul, undang-undang baru dibuat dengan yang mengizinkan privatisasi aneka industri, listrik, tambang dan asing diperbolehkan dengan leluasa masuk. Ratusan pembangkit listrik yang semula dikuasasi negara dijual ke swasta. Kebijakan ini dilakukan persis dilakukan ketika rakyat Iraq sedang hidup dalam kepanikan dan berusaha untuk bertahan hidup. Irak dipaksa menelan resep ekonomi pasar, dan kapitalisme tak peduli rakyat Irak bakal sengsara.

Watak Amerika yang menganut fundamentalisme pasar tak peduli dengan soal-soal HAM dan demokrasi, meski mereka merasa sebagai sponsor utama, mereka malah ikut terlibat dalam kudeta-kudeta berdarah di seluruh dunia.

Untuk Indonesia, shock doctrine mulai diterapkan setelah masyakat mengalami syok berat akibat terjadinya Pembantaian Massal PKI tahun 1965. Di bawah Presiden Soeharto, modal asing mulai jor-joran masuk ke Indonesia. Soeharto pun mulai mengeluarkan Undang-undang Penanaman Modal Asing.

Sebagai arsitek ekonominya Orde Baru, Amerika lewat Ford Foundation mulai mensponsori kuliah mahasiswa-mahasiswa Indonesia ke Universitas California, Berkeley. Mereka ini belakangan dikenal sebagai Mafia Berkeley.

Krisis moneter yang menerpa Asia pada tahun 1997, juga bagian dari rencana kapitalis untuk mencaplok aset-aset stretegis Indonesia. Lewat paket LoI IMF, maka program privatisasi BUMN strategis, deregulasi, penghapusan bea masuk impor, dan penghapusan subsidi mulai diterapkan di Indonesia.

Shock Doctrine juga diterapkan ketika terjadi bencana alam. Waktu tsunami menghantam Nias dan Aceh 26 Desember 2004. Sepertinya dengan dalih memberi bantuan rekonstruksi pascabencana, kapitalis mulai beraksi di Aceh. Kapal induk USS Abraham Lincoln (CVN 72) Carrier Strike Group (CSG), dikerahkan. Bahkan, Bush menjanjikan 350 juta dollar AS untuk penanganan pasca-bencana dan pemulihan wilayah. Amerika membangun jalan bebas hambatan (highway) antara Banda Aceh dan Meulaboh.

Hingga kini belum ada penelitian yang mendalam, apa saja dampak langsung bantuan Amereka itu yang merubah struktur ekonomi rakyat Aceh. Seperti kata pepatah, “tak ada makan siang gratis”. Mungkinkah Amerika melirik kekayaan sumber-sumber alam, baik yang terbarukan (hutan dan kelautan) dan yang tak-terbarukan (minyak, gas dan mineral) Aceh yang berlimpah ruah itu?

Hanya satu penelitian yang sempat penulis baca yakni laporan Reconstruction of the Aceh Land Administration System (RALAS) di Aceh yang dikerjakan oleh INFID (23 Jun 2008). Seperti diungkap oleh Don K. Marut, Executive Director INFID, bahwa RALAS “hanyalah sebuah contoh dari bagaimana bencana telah dimanipulasi untuk kepentingan aktor-aktor ekonomi global yang tidak akan membutuhkan biaya lagi untuk mengambil alih sumberdaya alam lokal dari para pemilik lokal”. Namun, laporan itu juga tidak mengindisikan apa-apa.

Sepanjang penulis ingat, ketika masa-masa rekonstruksi awal tsunami, Bank Dunia pernah mengusulkan pertanian di Aceh harus dialihkan ke tanaman perdagangan (cash crop), seperti konversi sawah ke kelapa sawit dengan pasar ekspor. Jelas bahwa ini adalah gaya Bank Dunia untuk mengarahkan petani Aceh dalam ekonomi pasar global. Selain itu juga ada proposal Artha Graha untuk membangun kota Meulaboh seperti kota Shanghai. Hingga kini belum ada fakta yang bisa kita rujuk untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya.

Pembangunan, Kerusakan Lingkungan dan Krisis Peradaban

Sejarah dunia kini memasuki era peradaban baru dengan pasar bebas (free market) sebagai pemenangnya. Krisis peradaban dunia persis di depan mata.
Kemajuan peradaban dunia selalu diidentikkan dengan kemajuan dan tingginya pertumbuhan ekonomi. Makanya, kampanye negara-negara Barat kepada negara-negara berkembang selalu menandaskan pembangunan yang berbasiskan pertumbuhan ekonomi. Dengan globalisasi, perdagangan bebas, perluasan MNC, dan tekanan militeristik. Padahal, model pembangunan semacam ini tidak hanya akan merusak lingkungan hidup, bahkan akan membuat krisis peradaban dunia.

Rasanya, merubah dari paradigma pertumbuhan ekonomi ke arah pembangunan berkelanjutan (sustainable development) saja tidak cukup untuk mengatasi hal tersebut, aksi-aksi fundamentalisme seperti “shock doctrine” sebagaimana dilansir Naomi Klein harus segera dihentikan. Amerika dan sekutunya semestinya menghentikan program bencana yang disengaja (perang dan aksi terorisme) ataupun mendompleng kepentingan ketika bencana alamiah terjadi. Seperti kata Johan Galtung patut, untuk mengakhiri terorisme maka Amerika harus mengakhiri terorisme negara: “To end terrorism, end state terrorism”.

Seorang Galtung ternyata tidak hanya dikenal dengan teori strukturalisme atau teori dependensi, ia telah menjadi pemikir sosial atas isu-isu besar dunia semacam perdamaian, pembangunan manusia dan lingkungan hidup. Misalnya saja, Galtung punya pemikiran bahwa manakala negara membiarkan kemiskinan dan ketidakberdayaan warga secara terus-menerus, maka negara telah melakukan tindakan kekerasan secara sistematik.

Pembangunan yang sekedar mengabdi kepada modal hanya akan membuat korban-korban pembangunan itu sendiri. Makanya, wajar saja jika radikalisme dan fundamentalisme itu akan semakin tumbuh subur manakala negara lebih berpihak pada fundamentalisme pasar. Tekanan dan diskriminasi struktural yang diterima rakyat hanya akan membuatnya semakin melawan represifitas pembangunan.

Antisipasi kekerasan itu hanya mungkin dilakukan, jika merujuk paradigma Johan Galtung, manakala wawasan, sumber daya, dan hasil kemajuan tidak disalahgunakan untuk tujuan lain atau tidak dimonopoli segelintir orang saja. Karena begitu ada ketidakadilan maka otomatis akan ada kekerasan dalam sistem itu. Artinya, kekerasan akan senantiasa terjadi jika potensi untuk menepis terjadinya kekerasan itu tak dilakukan.

Rethinking Local : Rural Development, Eco-democracy dan Strateginya

Paradigma pembangunan yang lebih diarahkan kepada konsep sustainable development secara langsung meniscayakan model pembangunan yang bakal lebih banyak melibatkan masyarakat (desentralisasi kekuasaan) dan local wisdom. Dan ini artinya akan lebih menjamin pluralitas anak bangsa. Dengan pendekatan sustainable, pembangunan nasional akan lebih diarahkan pada pengembangan potensi unggulan tiap daerah, serta pemanfaatan indegenous knowledge yang sesuai dengan potensi, nilai budaya daerah tersebut.
Pembangunan Indonesia masa depan adalah pembangunan pedesaan, baik yang berbasiskan pertanian ataupun kelautan (maritim dan pulau-pulau kecil), yang selama ini hampir bisa dikatakan tidak menerima “kue” pembangunan.

Dan, konsep pembangunan pedesaan harus didukung dengan model partasi politik yang dilandasi kosep green politics yang muaranya adalah eco-democracy, yang dalam hal ini secara spesifik disebut sebagai Demokrasi Ekologi Desa. Mengingat UU no 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah memungkinkan masyarakat desa untuk berpartisipasi dalam melestarikan lingkungan melalui kearifan lokal pada beragam desa yang ada di Indonesia.

Jika ditelisik lebih jauh, maka harus diakui bahwa di Indonesia daerah tertinggal itu masih banyak. Data Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) menyebutkan, tahun 2008 terdapat 38.232 (54,14 persen) kategori desa maju, yang terdiri dari 36.793 (52,03 persen) kategori maju dan 1.493 (2,11 persen) kategori sangat maju. Sementara itu, desa tertinggal berjumlah 32.379 (45,86 persen) yang terdiri dari 29.634 (41,97 persen) kategori tertinggal dan 2.745 (3,89 persen) kategori sangat tertinggal (Republika, 28 February, 2008).

Bahkan, desa yang belum dapat dilalui mobil sebanyak 9.425 desa, desa belum ada sarana kesehatan sejumlah 20.435 desa, desa belum ada pasar permamen sebanyak 29.421 desa, desa belum ada listrik sebanyak 6.240 desa. Sementara, rata-rata keluarga miskin di desar tertinggal adalah 46,44 persen dan IPN desa tertinggal sebesar 66,46 persen (Republika, 28 February, 2008). Kenyataan ini menunjukkan betapa timpangnya pembangunan yang kita lakukan selama ini.

Pembangunan pedesaan (rural development), yang salah satunya adalah pembangunan pertanian dan kelautan (perikanan) berkelanjutan, harus menjadi fokus utama pemerintahan terpilih hasil Pilpres mendatang. Mengapa?karena masyarakat miskin yang kini hidup di pedesaan membutuhkan perhatian dan pemihakan semua elemen bangsa. Sudah saatnya kaum muda Indonesia mengambil peran dalam mendorong terwujudnya percepatan pembangunan daerah. Sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di pedesaan.

Penulis masih ingat kutipan wawancara Harian Kompas dengan Johan Galtung, yang menyebut impact terbesar dari fundamentalisme pasar adalah sektor pertanian. “…Yang lebih menderita sebenarnya sektor pertanian akibat pasar bebas. Saat ini perekonomian dunia mendapat tekanan luar biasa dari AS. Akibat neoliberalisme, ratusan ribu orang akan mati karena tidak punya akses pada sandang, pangan, papan, karena subsidi dihapus. Cepat atau lambat ini juga akan terjadi di Indonesia. Ketika 25 persen orang mati karena tidak punya akses ke makanan, 75 persen lainnya mati karena penyakit. Itu karena klinik-klinik gratis dihapus akibat kebijakan IMF, Bank Dunia, dan WTO,” katanya seperti dilansir Kompas, 17 November 2002.

Untuk mengantisipasi itu, minimal ada dua strategi yang mesti diambil oleh kaum muda Indonesia untuk mendukung terlaksananya percepatan pembangunan pedesaan, khususnya pertanian. Pertama, Partisipasi. Pemuda tidak boleh mengambil jarak dalam pembangunan, sehingga terkesan tak mau tahu dengan program pembangunan yang ada. Pemuda harus mendefinisikan diri sebagai subjek pembangunan, bukan sekadara objek pembangunan di desa. Kedua, Pemberdayaan. Semakin berdaya masyarakat, maka partisipasi masyarakat desa akan meningkat pesat. Disinilah peranan penting pemuda sebagai agen pemberdayaan.

Kedua strategi tersebut hanya dapat dilakukan dengan pengkaderan yang terus-menerus sehingga penanaman nilai akan terus berlanjut. Baik partisipasi maupun pemberdayaan tidak akan mungkin dilakukan tanpa ada pengorganisasian yang disiplin dengan arah pengkaderan yang terukur dan ideologi yang tertanam dalam jiwa pemuda. Secara sederhana, strategi tersebut diturunkan dalam aksi perlawanan yang secara tegas menolak fundamentalisme pasar dan agama yang menyewakan kepada kekuasaan yang zalim dan tidak peka. Inilah yang dimaksudkan peran pemuda dan mahasiswa dengan memikirkan untuk membangun peradaban manusia sebagai tugas sejarahnya dan tuntutan masa depannya.

Akhirnya, krisis peradaban modern dunia dihadapkan pada dua kekuatan fundamentalisme, agama dan pasar, yang sama-sama tidak menguntungkan kemanusiaan, sebaliknya yang ada justru pemaksaan dan penyeragaman kehendak untuk mengabaikan kepentingan publik dan keadilan. Dan, karenanya pemuda harus melakukan perlawanan dengan mengambil jalan alternatif bagi pembangunan manusia yang lebih beradab, perdamaian dan lingkungan hidup. Semoga.

04 Juli 2009

PENGURUS BADKO HMI ACEH PERIODE 2006-2008

SUSUNAN PENGURUS
BADAN KOORDINASI HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (BADKO HMI) ACEH PERIODE 2006-2008


KETUA UMUM : AMIRUZZAHRI
Ketua Bidang Internal : Junaidi Poroh
Ketua Bidang Eksternal : Mukhtar Efendi
Ketua Bidang Kewanitaan : Niyyatinur

SEKRETARIS UMUM : YUS EFENDI
Wakil Sekretaris Bidang Internal : Moch. Sulaiman
Wakil Sekretaris Bidang Internal : Juliani Jacob
Wakil Sekretaris Bidang Internal : Mahyaruddin
Wakil Sekretaris Bidang Internal : Sayyid Afif Fakri
Wakil Sekretaris Bidang Internal : Khairul Fajri

Wakil Sekretaris Bidang Eksternal : Teuku Juni Irawan
Wakil Sekretaris Bidang Eksternal : Muzakir M. Kaoy
Wakil Sekretaris Bidang Eksternal : Edi Syahputra
Wakil Sekretaris Bidang Eksternal : Masda Admi
Wakil Sekretaris Bidang Eksternal : Erwin Siddiq

Wakil Sekretaris Bidang Kewanitaan : Harmiati

BENDAHARA UMUM : ZIAUDDINSYAH
Wakil Bendahara Umum : Desi Ariani
Wakil Bendahara Umum : M. Jais Rambong

Departemen-Departemen :

Departemen Penelitian dan Pengembangan Kader : Rudi Bastian
Departemen Pembinaan Aparat Organisasi : Zulfikri Ahmady
Departemen Perguruan Tinggi dan Kepemudaan : Mahbud Azmi
Departemen Kekaryaan dan Komunikasi Umat : Bakhtiar
Departemen Pengkajian Pembangunan Regional : Musriadi Aswad
Departemen Advokasi HAM dan Lingkungan Hidup : Zulfikar Muhammad
Departemen Hubungan Lembaga Wanita : Irma Rahmayanti
Departemen Iptek dan Pengembangan SDM : Destika Gilang Lestari
Departemen Pengkajian Keislaman : Marlaini Hasbi
Departemen Kewirausahaan dan Pengembangan Profesi : Fuadi Ramli


PENGURUS BADAN KOORDINASI
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
(BADKO HMI) ACEH

21 Juni 2009

Menhut Setujui Pembangunan Jalan Trumon-Bulohseuma

TAPAKTUAN - Menteri Kehutanan (Menhut), MS Kaban menegaskan bahwa rencana pembangunan Jalan Keude Trumon-Bulohseuma sepanjang 40 kilometer, bisa terus dilanjutkan guna membuka isolasi daerah. Menhut juga menyatakan siap menghadapi Walhi yang telah melaporkannya ke Mabes Polri terkait perizinan pembangunan jalan tersebut.

Pernyataan tersebut disampaikan Menhut MS Kaban yang didampingi Bupati Aceh Selatan Tgk Husin Yusuf dan sejumlah unsur Muspida setempat lainnya, seusai disambut secara adat oleh masyarakat Trumon di Kantor Camat Trumon dalam serangkaian kunjungan kerjanya meninjau rencana pembangunan jalan Keude Trumon-Bulohseuma, Trumon, Sabtu (20/6) kemarin.

Dikatakannya, laporan Walhi ke Mabes Polri menyangkut perizinan Dephut atas rencana peningkatan pembangunan sarana jalan di kawasan pedalaman Aceh Selatan itu dinilai sah-sah saja. Tapi, ia menyesalkan mengapa Walhi langsung melapor ke Mabes Polri bukan ke Polda Aceh. “Kalau memang bersalah, periksa aja Menhut dan kita siap menghadapinya,” tegas Menhut MS Kaban.

Sebaliknya, tambah Menhut, jika kebijakan peningkatan pembangunan ruas jalan Keude Trumon-Bulohseuma benar berdasarkan undang-undang, maka ia minta agar pihak Walhi juga harus siap menerima gugatan atau tuntutan balik dari pihaknya. “Penegakan hukum harus fair dan tidak ada pilih kasih. Indonesia adalah negara hukum, jadi tidak ada yang kebal hukum,” ujarnya.

Jangan terhenti
Menurut Menhut, rencana peningkatan jalan tersebut jangan terhenti, hanya karena adanya protes dari Walhi yang menyebutkan bahwa sebagian masuk dalam kawasan Suaka Marga Satwa Rawa Singkil. Terlebih, BRR NAD-Nia telah menganggarkan dana Rp 5,2 miliar dan Pemerintah Aceh telah pula mengalokasikan Rp 7 miliar dalam APBA 2009 untuk pembangunan jalan itu. “Anggaran yang sudah tersedia harus dimanfaatkan. Kita harus mengutamakan kepentingan masyarakat,” katanya.

Sebagaimana diketahui, Walhi Aceh telah mengadukan Menhut MS Kaban ke Mabes Polri sehubungan keluarnya perizinan Menhut terhadap pembangunan peningkatan jalan Keude Trumon-Bulohseuma dengan dalih merusak lingkungan dan kawasan Suaka Alam Marga Satwa Rawa Trumon dan Singkil. Padahal perizinan itu dikeluarkan Menhut setelah pihaknya mengirim tim peninjauan ke lapangan tahun lalu dan hasil peninjauan menunjukkan pembangunan jalan tidak terkena wilayah terlarang kecuali beberapa titik dan masih bisa dihindari.

Sementara Bupati Aceh Selatan, Husin Yusuf mengatakan, Pemukiman Buluhseuma yang memiliki tiga desa/gampong merupakan kawasan terpencil di Kecamatan Trumon. Karena belum tersedia sarana perhubungan darat, maka menuju lokasi terpencil yang dihuni sekitar 750 jiwa itu harus melalui laut Samudera Hindia dengan waktu tempuh antara dua hingga tiga jam.

“Peningkatan jalan Keude Trumon-Bolohseuma murni permintaan dan harapan masyarakat. Mereka telah berkomitmen untuk tetap menjaga kawasan hutan,” kata Bupati. Dampak tidak tersedia sarana transportasi darat menyebabkan sarana publik seperti pendidikan, kesehatan serta perekonomian di daerah tersebut sangat memprihatinkan. “Dengan adanya peninjauan Menhut, kita berharap pelaksanaan peningkatan jalan dapat diteruskan,” kata Bupati Husin Yusuf.

Peningkatan jalan Keude Trumon-Bolohseuma ini merupakan prakarsa Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam (BADKO HMI) Aceh Periode 2006-2008 yang saat itu melakukan Bakti Sosial melalui kegiatan Study Work Camp (SWC) ke Bulohsema pada tahun 2007 lalu. Saat itu Ketua Umum Badko HMI yang dijabat Amiruzzahri menggagas Peningkatan jalan Keude Trumon-Bolohseuma sebagai salah satu prioritas untuk diperjuangkan ke Menteri Kehutanan dan Gubernur Aceh, walaupun mendapat pertentangan dari BKSDA Aceh dan Walhi Aceh program ini terus dupayakan advokasi agar masyarakat Bulohsema tida lagi terisolir dengan membangun jalan Keude Trumon-Bolohseuma(nun)

16 Juni 2009

Kesuksesan film Ayat-Ayat Cinta

Kesuksesan film Ayat-Ayat Cinta yang diangkat dari novel Habiburrahman El Shirazy membuat karyanya menjadi incaran selanjutnya untuk di filmkan. Kali ini, rumah produksi Sinemart Pictures milik Leo Sutanto tengah bersiap mengadaptasi novel Kang Abik berjudul “Ketika Cinta Bertasbih”.

Tak tanggung-tanggung, dua nama besar perfilman nasional, Chaerul Umam dan Imam Tantowi akan berduet sebagai sutradara dan penulis skenario. Sangat menarik, mengingat prestasi Chaerul yang telah meraih Piala Citra 1992 di Ramadhan dan Ramona dan penghargaan pada Festifal Film Asia 1977 di film Al Kautsar. Juga Imam Tantowi yang meraih Citra 1991 di Soerabaia’45 untuk sutradara terbaik dan Citra 1989 di Si Badung untuk kategori Penulis Cerita Terbaik.

“Ketika Cinta Bertasbih” yang terdiri atas dua buku (dwilogi) memakai dua setting latar Mesir dan Indonesia. Episode pertama mengenai pengembaraan Khairul Azzam untuk menuntut ilmu di Al-Azhar, Kairo, dan perjuangannya selama sembilan tahun untuk menyelesaikan studi S1 di Al-Azhar sambil mencari biaya pendidikan adik-adiknya di tanah air dengan berjualan bakso dan tempe pada para mahasiswa maupun warga Indonesia di Kairo.

Untuk episode dua mengenai pencarian cinta Khairul Azzam di tanah kelahirannya (Pulau Jawa). Episode dua akan membuat Anda berlinang air mata saat Azzam kehilangan orang yang sangat dicintainya dan kenangan Husna (Adik Azzam) ketika Ayah mereka dipanggil oleh Sang Khalik.

Untuk kepentingan promo, rencananya soft launching akan di gelar pada Selasa (24/3) nanti di The Sultan Hotel (dulu Hilton_red), Jakarta. (Musashi)

13 Juni 2009

HMI Cabang Bireuen Aceh, Gelar LK II Perdana

BIREUEN – Pengurus HMI Cabang Bireuen, sejak Senin (25/5) hingga 31 Mei mendatang, mengadakan latihan kepemimpinan II (LK-II) atau intermediate trainning regional Sumatera. Acara yang berlangsung di SKB Bireuen itu diikuti 40 peserta dari berbagai cabang HMI di Sumatera. Ketua panitia, Muhammad Zubir mengatakan latihan itu merupakan kegiatan perdana yang dilakukan HMI Cabang Bireuen sejak lembaga itu didirikan tahun 2004 lalu. Disebutkan, peserta latihan itu berasal dari utusan cabang-cabang HMI Badko Aceh, HMI Sumatera Utara, Sumatera Barat, Badko Kepulauan Riau-Kepri, dan Sumatera Selatan.

Kegiatan yang dibuka Sekdakab Bireuen, Nasrullah Muhammad itu dihadiri hampir seluruh pengurus HMI dan Kahmi Bireuen, serta utusan dari berbagai organisasi kepemudaan lainnya. Pelatihan dalam penjenjangan organisasi HMI, kata Zubir, adalah bagian terpenting bagi seorang kader. Dengan adanya pelatihan ini, diharapkan muncul kader-kader HMI yang dapat membangun organisasi lebih kuat, memikirkan masalah kemaslahatan umat dan mampu menjadi generasi penerus dalam berbagai sisi pembangunan.(yus)

JK=Obama dari Timur Indonesia?

Oleh : Dominggus A Mampioper

KabarIndonesia - Pasangan JK-Wiranto paling cepat mengumumkan pencalonan sebagai capres dan cawapres sehingga tak heran kalau akhirnya memakai ikon Lebih Cepat Lebih Baik. Capres yang pertama kali mengunjungi pasar Tanah Abang dan pasar-pasar yang lain.

Namun ternyata lebih banyak menuai sindiran ala demokrasi di Indonesia, yang secara tidak langsung menuju ke Capres Nomor 3 ini. Bayangkan mulai dari ungkapan lebih cepat yang dinilai takabur sampai pencalonan pengusaha jadi presiden. Tapi sebagai warga Sulsel yang terkenal dengan perahu Pinisi Nusantaranya dan prinsip para pelaut, meski ombak dan badai di tengah laut.

Pinisi akan tetap berlayar terus melawan gelombang dan badai sebab adalah sangat tabu untuk tidak berlayar maju. Pasangan Nusantara ini menggambarkan majunya seorang tokoh asal daerah yang beda satu jam dengan calon lain di bagian Indonesia Barat. Sebagai keluarga sukses dalam bisnis dan perdagangan JK maju mengukir sejarah di Indonesia.

Memang ada salah seorang Jenderal asal Sulsel alm M.Yusuf yang sangat terkenal ketika menjadi Panglima ABRI di zaman Orde Baru. Beliau selalu dikenang oleh para prajurit karena memperhatikan kehidupan prajurit hingga soal makan dan minum para tentara. Agaknya gaya kepemimpinan JK yang dipadu dengan Win memberikan nuansa baru dalam membawa Indonesia ke depan.

Tulisan ini bukan bermaksud memuji atau membanggakan pasangan ini sebab saya tidak punya hubungan dengan semua pasangan Pilpres. Tapi ini hanya sekadar membanggakan orang dari Timur Indonesia untuk berkompetisi di Indonesia. Memang di bidang sepak bola Persipura dan PSM pernah menjuarai Liga Indonesia dan Indonesia Super Liga.

Tapi beda untuk bertarung jadi Presiden Indonesia dengan mayoritas penduduk di Pulau Jawa. Penulis sendiri sangat kecewa sebab dalam Pemilu Legislatif 2009 lalu tidak terdaftar dan mudah-mudahan dalam Pilpres 2009 ini terdaftar. Padahal 2004 lalu saya terdaftar dan menjadi Wakil Ketua Panwaslu Kabupaten Keerom Provinsi Papua. Begitulah cara cara pendaftaran dalam Pemilu 2009 yang banyak mengorbankan rakyat yang berkemauan untuk ikut menggunakan hak pilihnya.

Sebagai orang yang berasal dari Jawa, Win tampil mendampingi JK sebagai Wapres, padahal beliau adalah mantan Panglima ABRI dan Menhankam serta mantan Capres dari Partai Golkar 2004 lalu. Di sinilah letak kebesaran jiwa patriotis seorang Win yang mau menerima pinangan dari JK. Memang secara politik Partai Hanura tidak mencapai target dan merupakan pilihan realitas dan tahu diri.

Sehingga pasangan Nusantara ini boleh tampil beda dengan menunjukan beginilah Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang terdiri dari banyak suku dari yang sudah maju hingga masih belum maju. Gito, salah seorang pendukung JK-Win asal Jawa Barat yang berdomisili di Makassar, kepada Antara Kamis (11/6) mengatakan masyarakat kelas menengah ke atas menilai pasangan calon presiden dan wakil presiden Jusuf Kalla-Wiranto (JK-Win) sebagai pasangan capres dan cawapres yang mempunyai kesamaan dengan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama.

"Pak Jusuf Kalla sebagai calon presiden periode 2009-2014 itu mempunyai banyak kesamaan dengan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama," ujar Gito. Menurutnya, persamaan antara Jusuf Kalla (JK) dengan Barack Obama yakni sama-sama orang pertama yang mencalonkan diri menjadi presiden. Jika Jusuf Kalla sudah pernah menjabat sebagai Wakil Presiden, lain halnya dengan Barack Obama. Persamaan yang paling mendasar yang bisa dilihat dari kesamaan keduanya, kata Gito, adalah sama-sama sebagai orang yang baru.

"Jika Barack Obama tokoh kulit hitam pertama yang jadi presiden maka Jusuf Kalla pun merupakan orang pertama di luar Pulau Jawa yang akan menjadi presiden pilihan langsung rakyat," katanya. Dia menambahkan, diantara semua pasangan calon presiden, hanya Jusuf Kalla yang dinilai lebih berbobot dan baru dalam kampanyenya untuk menarik simpati masyarakat Indonesia.

"Saya melihat iklan politik JK saat bertemu dengan Wakil Presiden Amerika Joe Biden, di situ saya terkesan saat dia berencana menawarkan bantuan terhadap negara adidaya Amerika, bukannya meminta bantuan," ucapnya kagum. Salah satu bentuk apresiasi Jusuf Kalla terhadap masyarakat Indonesia yakni dengan pemberdayaan masyarakat seperti menanamkan rasa kecintaan terhadap hasil produksi dalam negeri maupun pemanfaatan sumber daya manusia (SDM) rakyat Indonesia.

Ya Obama tampil di tengah krisis ekonomi dan mampu memberikan banyak harapan bagi warga Amerika Serikat. Mampukah JKWin meniru jejak Obama jawabannya tentu di TPS dalam Pilpres nanti?

http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&jd=JK%3DObama+dari+Timur+Indonesia%3F&dn=20090612052531

PUTUSAN SELA PRITA MULYASARI

Putusan Hakim yang membebaskan Prita Mulyasari dari jeratan hukum atas pasal 27 ayat (3) UU ITE dan pasal 310 dan 311 KUHP merupakan tindakan yang tepat. Benar, bahwa Prita Mulyasari tidak memiliki niat untuk mencemarkan nama baik rumah sakit Omni International dan para dokter yang merawatnya. Surat elektronik dari Prita Mulyasari hanya merupakan keluh kesah atau curhat yang dikirimkan secara terbatas kepada beberapa teman, dengan maksud agar mereka berhati-hati sehingga tidak terjadi seperti apa yang menimpanya. Dengan demikian, perbuatan Prita Mulyasari tidak memenuhi unsur pidana dalam Pasal 310 dan 311 KUHP.

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi R.I Nomor 50/PUU-VI/2008 tentang judicial review UU ITE No. 11 Tahun 2008 terhadap UUD 1945, salah satu pertimbangan Mahkamah berbunyi “keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP”. Dengan demikian, karena perbuatan Prita Mulyasari tidak memenuhi unsur pidana dalam Pasal 310 dan 311 KUHP, maka secara otomatis tidak memenuhi pula unsur pidana dalam Pasal 27 ayat (3) jo pasal 45 ayat (1) UU ITE.

Meskipun, Hakim yang menyidangkan kasus Prita Mulyasari memutuskan: membebaskan Prita Mulyasari dari jeratan hukum. Tapi, pendapat hakim yang mengatakan bahwa : UU ITE digunakan dua tahun lagi (21 April 2010) karena itu PRITA tidak bisa dijerat dengan UU ITE, apalagi UU ITE belum memiliki legalitas yang kuat karena belum ada PP merupakan Pendapat yang tidak benar.

UU ITE mulai berlaku sejak diundangkan yaitu 21 April 2008, bukan 21 April 2010. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 54 ayat (1) UU ITE bahwa "Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan". Mengenai Peraturan Pemerintah (PP), Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat(1) UU ITE mengenai larangan distribusi informasi elektronik bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik tidak memerlukan PP, karena UU ITE tidak mengamanatkan untuk mengatur lebih lanjut Pasal 27 ayat (3) UU ITE ke dalam PP.

UU ITE hanya mengamanatkan perlunya Peraturan Pemerintah untuk mengatur :
Lembaga sertifikasi keandalan
1. Tanda tangan elektronik
2. Penyelenggaraan sertifikasi elektronik
3. Penyelenggaraan sistem elektronik
4. Penyelenggaraan transaksi elektronik
5. Penyelenggara agen elektronik
6. Pengelolaan nama domain
7. Tatacara intersepsi
8. Peran pemerintah

Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE mulai berlaku sejak diundangkan yaitu 21 April 2008 dan tidak memerlukan Peraturan Pemerintah (PP).

KEMISKINAN ITU TIDAK MANUSIAWI

Hampir dapat dikatakan bahwa industrialisasi membawa kepada kemakmuran. Atau, dengan sedikit pengecualian, kemakmuran dapat dicapai melalui industrialisasi.

Setiap kenaikan kemampuan material suatu masyarakat adalah bernilai positif, termasuk dari segi peningkatan harkat kemanusiaan masyarakat itu, baik perseorangan maupun kelompok. Sebab harkat atau martabat kemanusiaan adalah pusat kebahagiaannya. Dia akan ditemukan hanya dalam keadaan dapat dengan bebas mengembangkan dirinya. Menurut Goethe, “manusia membawa dalam dirinya tidak hanya pribadinya sendiri tetapi seluruh kemanusiaan—dengan segala potensinya—sekalipun dia dapat mewujudkan potensi-potensi itu hanya dengan cara yang terbatas disebabkan pembatasan-pembatasan dari luar terhadap eksistensi pribadinya.”

Salah satu di antara pembatasan-pembatasan itu, yang terpenting karena yang terkuat, ialah kemiskinan. Dari segi ini, karena industrialisasi membawa kemakmuran, maka ia juga berarti peningkatan kemanusiaan, sehingga membawa humanisasi. Agaknya itulah sebabnya mengapa Lenin, dalam satu slogannya, mengatakan bahwa sosialisme adalah elektrivikasi menyeluruh. Dan sosialisme adalah suatu cita-cita mewujudkan kemanusiaan secara lebih sadar.

Tetapi agaknya memang tidak ada hasil yang bisa dicapai tanpa harga atau pengorbanan. Kemakmuran yang dibawa oleh industrialisasi ternyata meminta korban-korban yang tidak kecil. Dalam tahapnya yang berkelanjutan, pengorbanan yang dituntut itu justru adalah ke-manusiaan itu sendiri.

Sekarang ini, setelah menyaksikan pengalaman-pengalaman negara industri maju, para peninjau dapat mengatakan bahwa pembatasannya Goethe dalam pengembangan kemanusiaan itu justru datang dari industrialisasi yang membawa kemakmuran material tersebut.

Salah satu nilai formal masyarakat industrial ialah birokrasi, yang di dalamnya tersimpul nilai-nilai lain seperti kerutinan, kepastian dan instrumentalisme. Mekanisme itu membuat seseorang berada dalam posisi tanpa pilihan, sehingga menjadi fatal. Hal itu berarti bahwa seseorang telah kehilangan dirinya sendiri. Ia hanya merupakan suatu fungsi dari suatu keseluruhan permesinan, yang apabila berdiri sendiri atau sendirian, maka tidak akan mempunyai arti apa-apa. Ia digunakan atau dibuang semata-mata berdasarkan fungsi yang mungkin dilakukan; dengan perkataan lain, nilai instrumentalistisnya. Sedangkan kemanusia-annya yang intrinsik seringkali tidak menjadi hitungan.

Di sinilah mulai timbul masalah makna hidup. “Hidup ini untuk apa?” adalah pertanyaan yang tidak menentramkan, justru bagi mereka yang makmur secara material di negara industri yang mengakibatkan dehumanisasi seperti di atas. Kita harus ingat bahwa selama kekuatan-kekuatan produktif belum berkembang—selama masyarakat masih dalam kemiskinan—maka keharusan untuk bekerja dan mempertahankan hidup itu saja sudah cukup memberi makna hidup bagi seseorang. Memang, menemukan makna hidup adalah suatu keharusan kemanusiaan. Tetapi jika penemuan itu hanya terbatas pada bagaimana mempertahankan hidup itu sendiri maka malah menjadi tidak sempurna, kalau bukan penipuan psikologis. Karena itu, meskipun kemiskinan membuat orang tidak perlu mempertanyakan apa makna hidup ini karena ia menemukannya dalam berjuang untuk hidup itu sendiri, namun hal itu bukanlah suatu keadaan yang humanistis. Kemiskinan tetap nonhumanistis, tidak manusiawi.

MENGENANG PEMBARUAN ISLAM CAK NUR

Mengenang sosok almarhum tidak bisa dipisahkan dari munculnya gerakan pembaruan pemikiran Islam pada 35 tahun silam. Mengenang gerakan itu kurang pas jika tak menyebut nama besar Cak Nur. Mengabaikan Cak Nur sama seperti garam tanpa asin.

Dia dinisbatkan sebagai gerbong pembaruan karena pada awal dekade 70-an menggelontorkan gagasan rasionalisasi-agama sebagai jargon dari gerakan pembaruan-Islam. Pada acara halalbihalal organisasi muda Islam, Cak Nur memberikan ceramah berjudul Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat di Jalan menteng Raya No 58, Jakarta Pusat. Gagasan yang ditebarkan cukup menggetarkan karena tak lazim. Dia bicara soal rasionalisasi, sekulerisasi, desakralisasi, modernisasi-Islam, dll.

Menurut Cak Nur, sekulerisasi berarti rasionalisasi-agama, dalam arti mengartikulasi pesan-pesan moral agama pada tataran realitas kehidupan. Sementara itu, modernisasi tidaklah identik dengan westernisasi, tetapi merupakan spirit yang hendaknya memacu umat Islam untuk berbuat seperti dalam kemajuan-pencerahan yang terjadi di Barat (Tarekat Nurcholisy: 2001).

Gagasan-gagasan itu kemudian mendapatkan kritik dan serangan bertubi-tubi dari kelompok skripturalis-tekstualis muslim, di antaranya dari kelompok Dewan Dakwah. H M. Rasjidi merupakan salah satu pentolannya. Rasjidi adalah seorang sarjana muslim dari Universitas di Prancis dan penerjemah buku-buku bahasa Prancis ke dalam bahasa Indonesia.

Sebaliknya, kritik bertubi-tubi tak membuat surut Cak Nur. Gagasannya di awal 1970-an, misalnya, dipertegas lagi setelah Cak Nur merampungkan studi di Universitas Chicago awal dekade 80-an.

Pada saat itu, Cak Nur banyak menawarkan pendekatan baru yang dianggap "tak lazim" dalam ajaran Islam, yaitu kesemuanya lahir dari tafsir dan konsekuensi terhadap gagasan rasionalisasi-agama. Sebuah gagasan R. William Liddle (1995) yang mereduksi dari Robert N. Bellah, seorang sosiolog-agama kenamaan dari Amerika. Gagasan itu, menurut Liddle, dielaborasi Cak Nur dalam makalah kerjanya ketika berada di perjalanan dari Chicago.

***
Setelah pulang dari Chicago, lantas banyak kalangan skripturalis-tekstualis muslim yang merasa tak salah menduga bahwa Cak Nur memang agen orientalis. Sebab, kampus Chicago di dunia Islam terkenal sebagai sarang para orientalis kenamaan, seperti Wilfred Cantwell-Smith, Marshal G. S. Hodgson. Selain itu, di sana juga ada pemikir muslim yang menjadi gerbong modernisasi dan pembaruan-Islam karena mendekati agama dengan jalan rasional, seperti Fazlur Rahman.

Cak Nur, sebagai salah satu mantan murid Rahman, seperti juga Amien Rais dan Syafii Maarif, secara otomatis mengikuti gaya pemikiran Rahman yang rasional. Tampaknya dari Rahman itulah, bukan dari Bellah seperti pendapat Liddle, Cak Nur mendapat inspirasi awal mengenai gagasan rasionalisasi agama.

Gayung pun bersambut. Cak Nur rupanya tak hanya dikritik. Namun, banyak pula sambutan hangat yang datang dari kalangan-kalangan yang sepaham dengannya. Kalangan yang sepaham itu, pada substansinya, adalah orang-orang yang tidak mau lagi memahami Islam secara mainstream dan selama itu dianggap otoritatif.

Pendekatan terhadap Islam nonmainstream yang dianggap tak otoritatif itu, ternyata, lebih menyegarkan dan relevan dengan gejolak pemikiran-pemikiran liar di kalangan aktivis muda Islam khususnya. Keliaran pemikiran terjadi akibat persinggungan tradisi dan khasanah pemikiran modern dari Barat.

Pengikut Cak Nur yang setia dan paling awal datang dari kalangan aktivis-muslim, katakanlah seperti Djohan Effendi, M. Dawam Rahardjo, Utomo Dananjaya, Adi Sasono, Eki Syachrudin dan orang-orang yang pernah bergabung di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) atas latar pemikiran yang sejalan dengan Cak Nur.

Mereka dikatakan seperti itu karena tak sedikit juga di HMI yang tak sejalan dengan gagasan-gagasan pembaruan Cak Nur. Oleh Greg Barton (1999) kemudian dipilah orang-orang yang masuk kelompok neomodernis dan orang-orang yang dikategorikan substansialis. Namun, keduanya sama-sama memperjuangkan gerakan pembaruan-Islam di Indonesia.

Kelompok neomodernis dinisbatkan karena telah memperbarui kalangan modernis-muslim yang menggelontorkan gagasan modernisasi-Islam. Tokohnya adalah Fazlur Rahman. Kelompok neomodernis, menurut Barton, terbentuk karena mereka tak hanya punya akses dalam khasanah tradisi intelektual Barat-modern. Namun, juga punya akses yang cukup luas dari khasanah tradisi klasik-pesantren.

Kelompok substansialis, menurut Barton, punya akses besar terhadap khasanah intelektual Barat-modern, tapi kurang mendapatkan akses khasanah intelektual klasik-Islam. Kelompok neomodernis diwakili oleh orang seperti Cak Nur sendiri, kemudian Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Yang mewakili kelompok substansialis adalah M. Dawam Rahardjo, Adi Sasono, dll.

***
Dalam perjalanannya, gerakan pembaruan-Islam Cak Nur dianggap bukan suatu barang baru. Sebab, lama sebelum Cak Nur memelopori gerakan pembaruan, Muhammadiyah sebagai salah satu ormas Islam terbesar juga mengklaim sebagai gerakan pembaru.

Kategori umum mengenai gerakan pembaruan lantas juga merujuk pada gerakan salafi-Wahabi di Arab yang kemudian membentuk Kerajaan Saudi pengklaim penjaga dua kota suci Makkah-Madinah. Jika dirujuk masa awalnya, gerakan pembaruan dipelopori Rifaat Tahtawi, Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasdyid Ridha di Mesir.

Menurut Thoha Hamim, ciri umum gerakan pembaruan, antara lain, kembali kepada ajaran Quran, sunnah, dan tradisi salaf, menolak praktik-praktik taklid (ittiba’), berpikir rasional yang menafsir sumber-sumber ajaran Islam secara aktual, dan yang paling menonjol tentu saja memerangi bidah dan khurafat. (Thoha Hamim, Moenawar Chalil’s Reformist Thought, 2000)

Memang, geneologi gerakan pembaruan beserta ciri umumnya itu turut serta menginspirasi gerakan pembaruan Cak Nur. Namun, untuk menggeneralisasi kesamaan secara menyeluruh juga tak dapat dibenarkan. Jadi di sini, model pembaruan di Mesir berbeda dengan pembaruan ala Wahabi di Arab Saudi, begitu pula pembaruan ala Wahabi berbeda dengan Muhammadiyah di Indonesia. Akhirnya, gerakan pembaruan Muhammadiyah berbeda pula dengan pembaruan Cak Nur.

Meski semua gerakan pembaruan itu mengklaim pewaris generasi salafi, salafi di Arab Saudi berbeda dengan salafi Muhammadiyah. Jika salafi di Arab Saudi berarti Wahabisme fanatik, radikal, dan tak toleran serta tak akomodatif dengan mazhab di luar mazhab Wahabi itu sendiri, salafi Muhammadiyah justru sebaliknya. Yakni, bersifat moderat, tradisional, dan akomodatif-demokratis.

Bahkan, organisasi terbesar lainnya, seperti Nahdlatul Ulama (NU) "saudara kandung Muhammadiyah" tak hanya akomodatif, tapi juga oportunis dalam soal komparasi mazhab fikih.

Berbeda jauh dengan itu, salafi pembaruan Cak Nur bahkan melampaui salafisme Muhammadiyah maupun NU sekalipun. Salafi pembaruan Cak Nur lazimnya bersinggungan dengan modernitas Barat yang didapat dari hasil persinggungan dengan dunia akademis-nontradisional.

Karena pembaruan Cak Nur lahir dari kampus, maka konsekuensinya, dalam jumlah masif, banyak "Cak Nur muda" di masa sekarang yang mengikuti jejak langkahnya. Dalam pelbagai warna, pembaruan Cak Nur ditafsirkan oleh mereka sehingga lahir pula tafsir yang lebih mengerucut terhadap pembaruan Cak Nur, entah mereka yang kemudian menamakan kelompok postradisionalisme-Islam (Postra), Islam-liberal (Islib) maupun Islam-progresif.

Yang jelas, pembaruan Cak Nur dikatakan cukup berhasil karena tak hanya memperkenalkan model rasionalitas berpikir dalam mendekati agama, tapi juga berhasil mengelaborasi, mendemonstrasi, dan mengaktualisasikannya dalam realitas kekinian. Karena itu, tak hanya pengkritiknya, pengikutnya pun terus ada dan tetap eksis sampai kapan pun.***

MENELUSURI ORISINALITAS GAGASAN SEKULARISASI NURCHOLIS MADJID

Gagasan sekularisasi di Indonesia sulit dilepaskan dari nama Nurcholish Madjid, yang pada tanggal 2 Januari 1970 meluncurkan gagasannya dalam diskusi yang diadakan oleh HMI, PII, GPI, dan Persami, di Menteng Raya 58. Ketika itu, Nurcholish meluncurkan makalah berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Gagasan itu kemudian diperkuat lagi dengan pidatonya di Taman Ismail Marzuki Jakarta, pada tanggal 21 Oktober 1992, yang dia beri judul "Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia". Setelah itu, berjubellah para propagandis sekularisasi di Indonesia.

Tulisan berikut ini menelusuri jejak gagasan sekularisasi dalam pemikiran Nurcholish Madjid: apakah gagasan itu orisinal ataukah “impor” dari kalangan pemikir Kristen Barat?

Penelusuran ini sangat penting, sebab gagasan sekularisasi kemudian berujung kepada penolakan terhadap penerapan syariat Islam dalam wilayah publik dan kenegaraan. Bahkan, dalam beberapa hal, kemudian gagasan ini dikembangkan ke sana kemari, pada tataran teologis dengan penerimaan terhadap konsep Teologi Inklusif dan Pluralisme Teologis. Secara terbuka, seorang tokoh Islam Liberal, misalnya, menyatakan, bahwa konsep negara sekular adalah lebih unggul, karena bisa menampung energi kesalehan dan energi kemaksiatan sekaligus. (Majalah Tempo, 19-25 November 2001).

Hasil penelusuran terhadap gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid menunjukkan, bahwa gagasan tokoh “pembaharu” Islam di Indonesia itu ternyata “tidak orisinal”. Sebagian besar gagasannya diadopsi dari pemikiran Harvey Cox dan Robert N. Bellah, yang mengelaborasi gagasannya dari konsepsi dan sejarah Kristen. Memang, gagasan Cox dan Bellah dimodifikasi oleh Nurcholish Madjid dan dicarikan justifikasinya dari dalam ajaran Islam. Namun, sayangnya, Nurcholish mengabaikan perbedaan prinsip antara konsepsi dan sejarah Kristen dengan konsepsi dan sejarah Islam.

Istilah Sekularisasi
Menurut Nurcholish, pendekatan dari segi bahasa akan banyak menolong menjelaskan makna suatu istilah. Tentang etimologi sekularisasi, dia berpendapat:

Kata-kata “sekular” dan “sekularisasi” berasal dari bahasa Barat (Inggris, Belanda dan lain-lain). Sedangkan asal kata-kata itu, sebenarnya, dari bahasa Latin, yaitu saeculum yang artinya zaman sekarang ini. Dan kata-kata saeculum itu sebenarnya adalah salah satu dari dua kata Latin yang berarti dunia. Kata lainnya ialah mundus. Tetapi, jika saeculum adalah kata waktu, maka mundus adalah kata ruang”.1

Pendapat Nurcholish mengenai etimologi sekular ini dapat ditelusuri dari pemikiran Harvey Cox, yang pada tahun 1960-an, sudah lebih dahulu menjelaskan secara rinci, bahwa istilah Inggeris secular berasal dari bahasa Latin saeculum yang berarti zaman sekarang ini (this present age). Ada satu kata lain dalam bahasa Latin yang juga menunjukkan makna dunia yaitu mundus, yang kemudian di Inggriskan menjadi mundane. Kata saeculum lebih menunjukkan masa (time) berbanding mundus yang menunjukkan makna ruang (space). Kata saeculum sepadan dengan kata aeon dalam bahasa Yunani kuno dan kata mundus sepadan dengan kata cosmos juga dalam bahasa Yunani kuno.

Menurut Harvey Cox, disebabkan kata “dunia” di dalam bahasa Latin memiliki dua istilah yang berbeda, yaitu mundus dan saeculum, maka kata dunia di dalam bahasa Latin menjadi suatu kata yang ambivalent. Ambivalensi kata “dunia” ini, menurut Cox, sebenarnya mengungkapkan problem teologis yang dapat ditelusuri kembali dari perbedaan konsep antara Yunani dan Ibrani. Orang Yunani kuno memandang realitas itu sebagai suatu ruang, sementara dalam bahasa Ibrani, dunia itu menunjukkan suatu masa. Bagi orang Yunani, dunia adalah sebuah ruang, sebuah tempat. Event–event terjadi di dalam (within) dunia, tetapi tiada satu pun yang penting terjadi kepada (to) dunia. Sebaliknya, dalam bahasa Ibrani, esensi dunia adalah sejarah. Peristiwa yang terjadi secara berurutan, bermula dari penciptaan dan menuju kesempurnaan.2 Yahudi menganggap bahwa dunia ini diciptakan Tuhan supaya manusia mencintainya dan membawa kesempurnaan.3 Jadi, jika orang Yunani kuno memandang realitas itu menurut ruang, maka orang Yahudi memandang realitas itu menurut masa. Ketegangan konsep antara keduanya kemudian berdampak terhadap teologi Kristen sejak awal pembentukannya.4

Setelah mengungkap etimologi kata “sekular”, Nurcholish berpendapat bahwa kata dunia adalah istilah yang paralel dalam bahasa Yunani kuno, Latin, dan bahasa Arab (al-Quran). Nurcholish kemudian menjelaskan:

“Itulah sebabnya, dari segi bahasa an sich pemakaian istilah sekular tidak mengandung keberatan apa pun. Maka, benar jika kita mengatakan bahwa manusia adalah makhluk duniawi, untuk menunjukkan bahwa dia hidup di alam dunia sekarang ini, dan belum mati atau berpindah ke alam baka. Kemudian, kata “duniawi” itu diganti dengan kata “sekular”, sehingga dikatakan, manusia adalah makhluk sekular. Malahan, hal itu tidak saja benar secara istilah, melainkan juga secara kenyataan.”5

Jadi, secara etimologis, kata Nurcholish, tidak ada masalah menggunakan kata sekular untuk Islam, karena memang manusia adalah makhluk sekular. Dia jelaskan lagi:

“Dalam permulaan pemakaiannya, istilah sekular memang lebih banyak menunjukkan pengertian tentang dunia, yang secara tersirat tergambarkan sifat-sifatnya yang rendah dan hina. Tetapi, lama kelamaan pengertian yang tidak adil itu, dalam dunia pemikiran Barat, menjadi berkurang dan menghilang. Pengertian bahwa dunia ini adalah alam yang rendah dan hina merupakan tanggungjawab filsafat-filsafat hidup yang berlaku umum di dunia Barat waktu itu.”6

Sayangnya, Nurcholish tidak menyebutkan perubahan makna terhadap kata sekularisisasi. Padahal, penjelasan perubahan makna ini sebenarnya sudah diungkapkan lebih terperinci oleh Cox. Menurut Cox, pengaruh kepercayaan Ibrani terhadap dunia Hellenistik, melalui perantara orang-orang Kristen awal, adalah “mentemporalisasikan” (temporalize) realitas. Hasilnya, dunia menjadi sejarah, cosmos menjadi aeon, mundus menjadi saeculum. Jadi, kata secular sebenarnya adalah korban pertama dari ketidakinginan orang Yunani kuno untuk menerima historisitas Ibrani. Demikian simpul Harvey Cox, seorang teolog dan sosiolog Harvard University.7

Jadi, disebabkan pengaruh Ibrani itu, konsep sekular menunjukan “kondisi” (condition) dunia ini, pada zaman ini (this age), atau ‘masa sekarang’ (now). Zaman ini atau masa sekarang berarti peristiwa-peristiwa di dunia ini, dan ini juga bermakna peristiwa-peristiwa kontemporer. Penekanan makna yang ditentukan oleh masa atau periode tertentu dianggap sebagai proses sejarah (historical process). Jadi, inti dari makna “sekular”, adalah bahwa konteks dunia berubah terus-menerus. Akhirnya, berujung pada kesimpulan, bahwa nilai-nilai keruhanian adalah relatif.

Cox kemudian meneliti perubahan makna yang terjadi pada kata sekularisasi. Menurut Cox, sejak awal, disebabkan pengaruh Helenistik, makna kata sekular sudah merujuk kepada sesuatu yang inferior. Sekular sudah bermakna perubahan di “dunia ini” bertentangan dengan “dunia agama” yang kekal-abadi. Implikasinya, dunia agama yang kekal-abadi, yang tidak berubah adalah benar. Karena itu, ia lebih hebat dari dunia “sekular” yang berlalu (passing) dan bersifat sementara (transient).

Makna kata sekular semakin memiliki konotasi negatif ketika terjadinya sintesis pada abad pertengahan antara Yunani kuno dan Ibrani (Hebrew). Sintesis itu ialah bahwa dunia ruang (spatial world) lebih tinggi dan lebih agamis, sedangkan dunia sejarah yang berubah adalah lebih rendah atau dunia “sekular”. Ini sebenarnya pengaruh filsafat Hellenistik kepada ajaran Kristen, simpul Cox.

Padahal, Bible sudah menegaskan bahwa di bawah kekuasaan Tuhan segala kehidupan tergambar di dalam limbo sejarah. Ajaran Bible menyatakan bahwa kosmos tersekularkan. Tapi, pernyataan ini telah kehilangan gaungnya. Kata sekularisasi, yang pertamanya memiliki makna yang sangat sempit dan khusus, kemudian perlahan-lahan meluas. Sekularisasi yang pada awalnya bermakna proses pindahnya tanggung-jawab pendeta “yang agamis” menjadi seorang parokia, semakin meluas menjadi pemisahan kekuasaan antara Paus dan Kaisar. Sekularisasi bermakna pembagian antara institusi spiritual dan sekular. “Sekularisasi” bermakna pindahnya tanggung-jawab tertentu dari Gereja ke kekuasaan politik.

Makna yang sudah meluas ini terus berlanjut dalam periode Englihtenment dan Revolusi Perancis. Bahkan sekarang pun makna seperti ini tetap digunakan di negara-negara yang mewarisi budaya Katolik. Konsekwensinya, proses pindahnya sebuah sekolah atau sebuah rumah sakit dari Gereja ke administrasi publik, misalnya, disebut sekularisasi. Makna ini kemudian berubah akhir-akhir ini. Sekularisasi bermakna gambaran sebuah proses pada level budaya, yang paralel dengan level politik. Sekularisasi berarti hilangnya diterminasi agamis terhadap simbol-simbol integrasi budaya. Sekularisasi budaya adalah hal yang lazim dan tak dapat dihindari dari sekularisasi politik dan sosial.8

Jadi, menurut Cox, dunia ini tidak lebih rendah dari dunia agamis. Karena itu, sekularisasi adalah proses penduniawian hal-hal yang memang bersifat duniawi. Penjelasan Cox ini identik dengan penjelasan Nurcholish tentang “sekularisasi” dan “penduniawian”. Menurut Nurholish, konsep tentang dunia sebagai tempat hidup yang bernilai rendah dan hina bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, umat Islam tidak diperbolehkan curiga kepada kehidupan duniawi ini, apalagi lari dari realitas kehidupan duniawi. Sehingga, sekularisasi adalah proses penduniawian.9

Sekularisme dan Sekularisasi
Salah satu argumentasi Nurcholish yang terkenal dalam mempertahankan pendapatnya adalah pembedaan antara “sekularisasi” dan “sekularisme”. Dalam hal ini, Nurcholish mengutip pendapat Harvey Cox.10 Memang, menurut Cox, sekularisasi mengimplikasikan proses sejarah, hampir pasti tak mungkin diputar kembali. Masyarakat perlu dibebaskan dari kontrol agama dan pandangan hidup metafisik yang tertutup (closed metaphysical worldviews). Jadi, intinya, sekularisasi adalah perkembangan yang membebaskan (a liberating development). Sebaliknya, sekularisme adalah nama sebuah ideologi. Ia adalah sebuah pandangan hidup baru yang tertutup yang fungsinya sangat mirip dengan agama. Selain itu, lanjut Cox, sekularisasi itu berakar dari kepercayaan Bible. Pada taraf tertentu, ia adalah hasil otentik dari implikasi kepercayaan Bible terhadap sejarah Barat. Oleh sebab itu, sekularisasi berbeda dengan sekularisme -- yaitu idiologi (isme) yang tertutup. Bagi Cox, sekularisme membahayakan keterbukaan dan kebebasan yang dihasilkan oleh sekularisasi. Oleh sebab itu, sekularisme harus diawasi, diperiksa dan dicegah untuk menjadi idiologi negara.11

Sedangkan Nurcholish menjelaskan tentang ini, dengan menyatakan, pembedaan antara “sekularisasi” dan “sekularisme” semakin jelas jika dianalogikan dengan pembedaan antara rasionalisasi dan rasionalisme. Seorang Muslim harus bersikap rasional, tetapi tidak boleh menjadi pendukung rasionalisme. Rasionalitas adalah suatu metode guna memperoleh pengertian dan penilaian yang tepat tentang suatu masalah dan pemecahannya. Rasionalisasi adalah proses penggunaan metode itu. Analoginya, lanjut Nurcholish, sekularisasi tanpa sekularisme, yaitu proses penduniawian tanpa paham keduniawian, bukan saja mungkin, bahkan telah terjadi dan terus akan terjadi dalam sejarah. Sekularisasi tanpa sekularisme adalah sekularisasi terbatas dan dengan koreksi. Pembatasan dan koreksi itu diberikan oleh kepercayaan akan adanya Hari Kemudian dan prinsip Ketuhanan. Sekularisasi adalah keharusan bagi setiap umat beragama, khususnya ummat Islam.12

Justifikasi Sekularisasi
Dalam menggulirkan gagasan sekularisasinya, Nurcholish mencari justifikasi dari ajaran-ajaran Islam. Ia, misalnya, menyatakan, gagasan sekularisasi dapat dijustifikasi dari dua kalimat syahadat, yang mengandung negasi dan afirmasi. Menurut tafsirannya, kalimat syahadat menunjukkan bahwa manusia bebas dari berbagai jenis kepercayaan kepada tuhan-tuhan yang selama ini dianut, kemudian mengukuhkan kepercayaan kepada Tuhan yang sebenarnya. Dan Islam dengan ajaran Tauhidnya yang tidak kenal kompromi itu, telah mengikis habis kepercayaan animisme. Ini bermakna dengan tauhid, terjadi proses sekularisasi besar-besaran pada diri seorang Animis. Manusia ditunjuk sebagai khalifah Tuhan di bumi karena manusia memiliki intelektualitas, akal pikiran, atau rasion. Dengan rasion inilah, manusia mengembangkan diri dan kehidupannya di dunia ini. Oleh karena itu terdapat konsistensi antara sekularisasi dan rasionalisasi Kemudian, terdapat pula konsistensi antara rasionalisasi dan desakralisasi.

Nurcholish melanjutkan argumentasinya, di dalam Islam ada konsep “Hari Dunia” dan “Hari Agama”. Hari agama ialah masa di mana hukum-hukum yang mengatur hubungan antara mannusia tidak berlaku lagi, sedangkan yang berlaku ialah hubungan antara manusia dan Tuhan. Sebaliknya, Pada Hari Dunia yang sekarang kita jalani ini, belum berlaku hukum-hukum akhirat. Hukum yang mengatur perikehidupan ialah hukum-hukum kemasyarakatan manusia.

Nurcholish melanjutkan argumentasinya, bahwa kalimat Basmallah (Atas nama Tuhan), juga menunjukkan bahwa manusia adalah Khalifah Tuhan di atas bumi. Selain itu, al-Rahman menunjukkan sifat kasih Tuhan di dunia ini (menurut ukuran-ukuran duniawi), sedangkan al-Rahim menunjukkan sifat Kasih itu di akhirat (menurut norma-norma ukhrawi). Penghayatan nilai/spiritualkeagamaan bukanlah hasil kegiatan yang serba rasionalistis. Demikian pula sebaliknya, masalah-masalah duniawi tidak dapat didekati dengan metode spiritualistis. Keduanya mempunyai bidang yang berbeda, meskipun antara iman dan ilmu itu terdapat pertalian yang erat.13

Sebelum Cak Nur menjustifikasi bahwa akar sekularisasi ada dalam ajaran Islam, Harvey Cox sebelumnya juga sudah berpendapat bahwa akar sekularisasi ada di dalam ajaran-ajaran Bible.14 Cox menjustifikasi gagasan ini dengan mengutip pandangan Friedrich Gogarten, seorang teolog Jerman, yang mengatakan, bahwa sekularisasi, “adalah konsekwensi sah dari implikasi keimanan Bible terhadap sejarah”.15 Cox menambahkan terdapat tiga komponen penting dalam Bible yang menjadi kerangka asas kepada sekularisasi, yaitu: ‘disenchantment of nature’ yang dikaitkan dengan penciptaan (Creation), ‘desacralization of politics’ dengan migrasi besar-besaran (Exodus) kaum Yahudi dari Mesir dan ‘deconsecration of values’ dengan Perjanjian Sinai (Sinai Covenant).16

Sekularisasi: Keharusan Kristiani
Sekularisasi sebenarnya bermula dari penafsiran baru teolog Barat terhadap Bible.17 Penafsiran baru ini menolak penafsiran lama yang menyatakan bahwa ada alam lain yang lebih hebat dan lebih agamis dari alam ini. Penafsiran baru ini juga membantah peran dan sikap Gerejawan yang mengklaim bahwa Gereja memiliki keistimewaan sosial, kekuatan, dan properti khusus.18 Penafsiran atau teologi baru inilah yang kemudian dirangkai menjadi teologi sekular; yang mengkritik posisi Gereja dengan teologi lamanya yang dianggap ideal. Khususnya, pada saat institusi Gereja memiliki kekuasaan dan peran sentral pada abad pertengahan Eropa.

Sejarah peradaban Barat menunjukkan bahwa dominasi Gereja menghambat kemajuan ilmiah. Akibatnya, terjadi konflik antara akal dengan Bible. Barat menyebut sejarah zaman pertengahan itu sebagai zaman kegelapan (dark ages). Saat itu, akal disubordinasikan di bawah Bible. Karena itu, mereka menamakan sejarah peradaban Eropa pada abad ke-15 dan 16 sebagai zaman kelahiran kembali (renaissance), karena akal bebas dari Bible. Mereka juga kemudian menyebut abad ke-17 sampai abad ke-19 sebagai zaman Pencerahan Eropa (European Enlightenment) yang sebenarnya adalah kesinambungan renaissance. Periode ini ditandai dengan semaraknya semangat rasionalisasi oleh Barat. Para filosof, teolog, sosiolog, psikolog, sejarawan, politikus dan lain-lainnya menulis tentang berbagai karya yang menitikberatkan aspek kemanusiaan, kebebasan, dan keadilan.

Jadi, gagasan sekularisasi muncul karena tidak sanggupnya doktrin dan dogma agama Kristen berhadapan dengan Barat yang terdiri dari beragam unsur. Hasilnya, para teolog Eropa dan Amerika seperti Ludwig Feurbach, Karl Barth, Dietrich Bonhoeffer, Paul van Buren, Thomas Altizer, Gabriel Vahanian, William Hamilton, Woolwich, Werner and Lotte Pelz, dan beberapa lainnya, menggagas revolusi teologi radikal. Cox menggelari mereka sebagai para “teolog kematian Tuhan” (death-of God theologians). Mereka menegaskan bahwa untuk menghadapi sekularisasi, ajaran Kristiani harus disesuaikan dengan pandangan hidup saintifik modern.19

Ludwig Feurbach menegaskan bahwa prinsip filsafat bukanlah Substansi-nya Spinoza, atau Ego-nya Kant dan Fichte, bukan juga Identitas Absolut-nya Schelling, bukan juga Akal Absolut-nya Hegel, bukan pula konsep wujud yang abstrak, tetapi realitas wujud yang benar, yaitu Manusia. Oleh sebab itu, manusia merupakan prinsip filsafat yang paling tinggi. Sekalipun agama atau teologi menyangkal, namun hakikatnya agama yang menyembah manusia (religion that worships man). Agama sendiri yang menyatakan: Tuhan adalah manusia dan manusia adalah Tuhan (God is man, man is God). Jadi, agama akan menafikan Tuhan yang bukan manusia. Makna sebenarnya dari teologi adalah antropologi (The true sense of Theology is Anthropology). Agama adalah mimpi akal manusia (Religion is the dream of human mind).20

Pemikiran Feurbach kemudian sangat mewarnai para sosiolog dan teolog seperti Karl Barth, Martin Buber dan Karl Marx. Karl Barth, misalnya, menegaskan bahwa “agama sebagai ketidakpercayaan” (Religion as Unbelief). Gagasan ini kemudian dilanjutkan oleh muridnya, Dietrich Bonhoeffer. Bonhoeffer mendesak para teolog Kristen agar menyampaikan risalah Kristiani kepada manusia sekular sekarang dengan ungkapan: “kita sedang menuju ke suatu masa yang tiada agama sama sekali… Bagaimana agar kita berbicara mengenai Tuhan tanpa agama… Bagaimana supaya kita berbicara dengan gaya sekular yang baru tentang Tuhan?” Bagi Bonhoeffer, seorang Pastor Jerman yang dieksekusi oleh SS Nazi, agama harus dipisahkan dari kepercayaan (faith). Dia selanjutnya mengatakan dengan frasenya yang paradoks: “sudah tiba saatnya bagi Kristen tanpa agama” (a religionsless Christianity).

Seirama dengan Barth dan Bonhoeffer, Gabriel Vahanian, seorang Teolog Neo-Calvinis juga mengatakan: “sekular adalah keharusan seorang Kristiani”. Bagi Vahanian, kematian Tuhan adalah peristiwa agama dan budaya sekaligus. Dalam masyarakat yang modern dan saintifik, peristiwa-peristiwa dalam Bible dianggap sebagai mitos, sudah lapuk, dan tidak terpakai lagi. Werner and Lotte Pelz juga mengumandangkan “Tuhan tiada lagi” (God is no more). Woolwich dengan nada yang sama juga berpendapat bahwa “Tuhan tanpa Tuhan” (God without God).

Dengan pendapat-pendapat seperti itu, tidak berarti para teolog tersebut menjadi atheis, karena mereka masih mempercayai wujudnya Tuhan. Menurut mereka, di dalam zaman modern ini, Tuhan sudah tidak berperan lagi dalam kehidupan masyarakat. Inilah yang terjadi di masyarakat Kristen Barat. Tuhan diposisikan sebagai di luar urusan kehidupan manusia. Tuhan tidak berhak campur tangan dalam kehidupan manusia. Manusia harus mengatur hidupnya sendiri, dengan hokum-hukum yang mereka buat sendiri. God is no more!.

Memang ada sebagian teolog konservatif -- seperti E. L. Mascal -- yang setia berpegang teguh kepada “tradisi” Kristen. Namun, pendapat ini tidak berpengaruh terhadap kehidupan realitas mayasrakat Kristen. Harvey Cox -- dengan teologi sekularnya -- ingin menjembatani dua kubu yang paradoks secara ektrims, yakni teologi konservatif dan teologi radikal. Cox mengkritik pendapat para teolog kematian Tuhan, karena mereka keliru karena dua faktor. Pertama, Mereka telah menjadikan pandangan hidup saintifik modern sebagai parameter, padahal humanisme saintifik modern itu beraneka-ragam. Selain itu, para saintis pun mengakui bahwa metodologi saintifik bersifat operasional dan berada dalam ruang lingkup yang terbatas. Oleh sebab itu, metodologi saintifik tidak menawarkan “pandangan hidup’. Kedua, pendapat teolog radikal terhadap teologi Kristen tidak kritis dan ahistoris. Mereka menganggap isi doktrin Kristen tidak berubah, maka perlu dibuang.21

Namun, Cox juga tidak konsisten. Cox sendiri memuji konsep teologi Bonhoeffer. Cox mengatakan: kita masih sangat jauh untuk “melintasi Bonhoeffer” (we are very far from being “beyond Bonhoeffer”).22 Jadi, sebenarnya teologi sekular dan ‘teologi kematian Tuhan’ adalah dua sisi dari mata koin yang sama. Pada tahap awal, Teologi secular tampak seolah-olah membela agama dan menempatkan agama posisi terhormat dan suci (karena tidak campur tangan dalam urusan profan), tetapi konsep ini sebenarnya membunuh agama, sebagaimana konsepsi para teolog kematian Tuhan itu.

Bebas Agama
Dunia, kata Cox, perlu dikosongkan dari nilai-nilai ruhani dan agama. Dalam istilah Cox, ini disebut ‘disenchantment of nature’, berasal dari terjemahan die Entzauberung der Welt, yang diambil dari gagasan Max Weber, seorang sosiolog Jerman.23 Sains bisa berkembang dan maju, jika dunia ini dikosongkan dari tradisi atau agama yang menyatakan bahwa ada kekuatan supernatural yang menjaga dunia ini. Disebakan kekuatan ghaib itulah, maka bagi tokoh-tokoh agama konservatif, dunia ini tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang. Padahal, pembebasan dunia ini dari nilai-nilai gaib itu menjadi syarat penting bagi usaha-usaha urbanisasi dan modernisasi. Manusia harus mengeksploitasi alam seoptimal mungkin, tanpa perlu dibatasi oleh pandangan hidup agama apa pun. Jika dunia ini dianggap sebagai manifestasi dari kuasa supernatural, maka sains tidak akan maju dan berkembang. Jadi, dengan cara apa pun, semua makna-makna ruhani keagamaan ini mesti dihilangkan dari alam. Maka, ajaran-ajaran agama dan tradisi harus disingkirkan. Jadi, alam tabi’i bukanlah suatu entitas suci (divine entity).24

Konsep sekularisasi dalam politik diistilahkan dengan ‘Desacralization of politics’, yang bermakna bahwa politik tidaklah sakral (desakralisasi politik). Jadi, unsur-unsur ruhani dan agama harus disingkirkan dari politik. Oleh sebab itu juga, peran ajaran agama ke atas institusi politik harus disingkirkan. Ini menjadi syarat untuk melakukan perubahan politik dan sosial yang juga akan membenarkan munculnya proses sejarah. Segala macam kaitan antara kuasa politik dengan agama dalam masyarakat apa pun tidak boleh berlaku karena dalam masyarakat sekular, tidak seorang pun memerintah atas otoritas ‘kuasa suci’. (Dari gagasan ini bisa dipahami, jika kaum sekular menolak mati-matian penerapan syariat Islam dalam kehidupan politik).

Sebagaimana halnya sekularisasi dalam dunia dan politik, sekulariasi juga terjadi dalam kehidupan dengan penyingkiran nilai-nilai agama (deconsecration of values/dekonsekrasi nilai-nilai). Mereka akan menyatakan, bahwa kebenaran adalah relatif. Tidak ada nilai yang mutlak. Sistem nilai manusia sekular harus dikosongkan dari nilai-nilai agama. Karena perspektif seseorang dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya, maka tidak ada seorang pun yang berhak memaksakan sistem nilainya ke atas orang lain. Manusia sekular mempercayai bahwa ‘wahyu langit’ bisa difahami karena terjadi dalam sejarah, yang dibentuk oleh kondisi sosial dan politik tertentu. Jadi, sebenarnya, semua sistem nilai, terbentuk oleh sejarah yang mengikuti ruang dan waktu dan tertentu. Sekularisasi meletakkan tanggungjawab ke dalam otoritas manusia untuk membina sistem nilai. Sekularisasi akan menjadikan sejarah dan masa depan cukup terbuka untuk perubahan dan kemajuan karena manusia akan bebas membuat perubahan serta pro-aktif dalam proses evolusi. Dengan konsep ini, manusia sekuler bisa tidak akan mengakui kebenaran Islam yang mutlak. Mereka akan menolak konsep-konsep Islam yang tetap (tsawabit), karena semuanya dianggap relatif. Kebenaran bagi mereka adalah yang “berlaku di masyarakat” dan bukan yang dikonsepkan dalam al-Quran.

Gagasan sekularisasi yang dipopulerkan Cox, mendapatkan sambutan hangat oleh para pemikir Kristen Barat pada tahun 60-an. Robert N. Bellah, yang dipengaruhi gagasan Marxist, juga tidak terlepas dari pemikiran Cox. Karyanya ‘Beyond Belief’ memiliki banyak kesejajaran dengan apa yang telah diungkapkan Cox. 25 Bellah juga melanjutkan gagasan sekularisasi dalam bidang politik dengan gagasan ‘civil religion’.26 Konsep sekularisasi yang dianut Bellah juga kepanjangan gagasan sekularisasi yang dikembangkan Cox. Bellah mengutip pendapat Cox ketika mendiskusikan Tradisi Islam dan Problem-Problem Modernisasi.27

Kesimpulan
Fakta-fakta yang telah terungkap menunjukkan, gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid banyak mengadopsi gagasan yang dikembangkan Harvey Cox – yang berangkat dari konsep dan pengalaman sejarah agama Kristen. Banyak yang menyebutkan, bahwa sekularisasi sudah merupakan keharusan bagi dunia, karena kuatnya dominasi Barat. Seharusnya, ilmuwan Muslim bersikap kritis saat mengadopsi gagasan-gagasan seperti ini, karena konsep sekularisasi memang bertentangan dengan konsep Islam. Sejarah Islam juga tidak pernah mengalami pengalaman pahit dalam hubungan antara agama dengan negara, atau pertentangan antara agama dengan sains seperti dalam sejarah Kristen. Karena itu, tidak bijak, jika konsep dan gagasan sekularisasi ini kemudian diadopsi dan diterapkan dalam masyarakat Muslim, yang memiliki pandangan hidup sendiri.

"LEGAL PROCESS OUTSOURCING (LPO)", BELAJAR DARI PENGALAMAN INDIA

Pelayanan jasa industri hukum di Amerika Serikat kini diperkirakan sebesar US$ 200 juta, di mana sektor ini sebanding pula besarannya di belahan benua Eropa. Menurut suatu penelitian Forrester terbaru, Amerika Serikat akan menggunakan tenaga hukum asal India sebanyak 25.000 pada tahun 2010 dan jumlah tersebut akan meningkat mendekati 30.000 pada tahun 2015.

Tentunya kita akan bertanya, mengapa negara-negara maju tersebut justru kini melirik tenaga hukum asal India? Analisa penulis, ada dua hal yang melatarbelakangi keinginan tersebut, pertama karena tenaga hukum India adalah tenaga yang siap pakai dengan kualitas kerja tinggi dan penguasaan bahasa global yang baik; kedua, biaya yang dikeluarkan oleh para pengguna tenaga hukum tersebut akan relatif jauh lebih murah dibandingkan dengan tenaga hukum asal negaranya masing-masing.

Sebagai perbandingan pembiayaan, pelayanan yang diberikan oleh tenaga hukum Amerika Serikat, termasuk lulusan hukum terbaru, dapat mengeluarkan pembiayaan sebesar US$ 250.000 hingga US$ 300.000 per tahun. Sedangkan untuk di India hanya sebesar US$ 6000 hingga US$ 15.000. Hal ini berarti ketika para pengacara dan ahli hukum (selanjutnya disebut lawyers) menghasilkan US$ 400 hingga US$ 600 per jam, maka rekan kerja mereka asal India hanya akan menghasilkan maksimum sebesar US$ 50 hingga US$ 70 per jam. Namun perlu diingat, jika kita bandingkan dengan negara Indonesia, angka tersebut ternyata masihlah terlalu jauh di atas penghasilan rata-rata para lawyers Indonesia.

Studi terbaru mengenai hal ini memperkirakan bahwa India mempunyai potensi yang cukup besar terhadap jasa pelayanan hukumnya yang akan menghasilkan sekitar US$ 4,5 juta di tahun 2010. Skenario pasar ini telah membuka kesempatan besar untuk spesialisasi karir kepada para lawyers di India. Saat ini India mempunyai lebih dari 850.000 praktisi hukum.

Kemudian, sebanyak 500 sekolah hukum India, yang dimotori oleh National Law School University of India (NLSUI), Bangalore; National University of Juridical Science (NUJS), Calcutta; NALSAR, Hyderabad; Delhi University (DU), New Delhi; Jodhpur and Gujarat National Law University, Gandhinagar, selalu memproduksi sebanyak 20.000 lulusan hukum setiap tahunnya. Dari lulusan tersebut sebesar 30% bergabung dengan kantor hukum (law firm), 50% memilih jalur praktis, 10% melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan sisanya bergabung dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM/NGO).

Pentingnya Spesialisasi Bidang

Sebenarnya, walaupun sebagian besar dari para praktisi hukum India telah terjun pada jalur pengacara, namun masih banyak pengacara muda dan bermutu bergerak lambat untuk menguasai ilmu teknologi dan kesempatan outsourcing dari hal tersebut. Sekarang ini, para lawyers India mulai menyadari pentingnya spesialisasi dari ilmu hukum yang dimilikinya. Information and Technology (IT) dan outsourcing adalah kesempatan global yang sangat baik, di mana hal ini dapat memberikan pilihan karir yang gemilang, menjadi pembuka kesempatan global lainnya, kesempatan untuk membuat transaksi dan kontrak internasional, dan tentunya penghasilan yang tidak sedikit.

Mengutip pendapat Pavan Douggal, pakar ahli cyber-law dan juga advokat pada Mahkamah Agung India, pada surat kabar The Times of India, bahwa IT adalah ruang yang sangat ideal bagi para lawyers India untuk dijadikan satu spesialisasi ilmu hukum. Pengalamannya dapat menjadikan mereka menjadi profesional kelas dunia, dipercaya untuk melakukan transaksi bisnis antar negara, pembuat kerangka peraturan, cyber laws, kemanan data dan privasi hukum, hukum transaksi elektronik yang berasal dari berbagai belahan dunia seperti, Amerika, Inggris, Kanada, Australia dan Eropa.

Sepertinya kita tidak perlu mengelus dada untuk belajar dari pengalaman India melakukan teknik legal outsourcing-nya, di mana para lawyers Indonesia juga sudah seharusnya memiliki spesialisasi ilmu tersendiri, sehingga tenaga hukum asal Indonesia pun di masa yang akan datang siap pula untuk bersaing di pasar Internasional. Walaupun penuh dengan kesemerawutan masalah penduduknya, namun India selalu mampu menguasai bidang-bidang strategis di seluruh belahan dunia, khususnya di bidang Ekonomi, IT, dan Hukum. Tapi mengapa, disadari atau tidak, hingga kini Indonesia selalu merasa enggan untuk belajar darinya. Mari kita renungi kembali pepatah kuno, “Don’t judge a book from its cover”. Semoga pada nantinya para ahli hukum Indonesia mampu bersaing di pentas dunia. (Yef)