12 Desember 2010

Pasrah

 
SEANDAINYA Musa as hidup kembali, lalu dihadirkan di tengah-tengah untuk diajukan satu pertanyaan, “Wahai Nabi Allah Musa, agama apa yang engkau anut?” Kira-kira apa jawaban Musa? Akankah ia menjawab agama Yahudi seperti klaimnya orang-orang Yahudi? Tidak, karena kata “Yahudi” atau “Judaisme” sendiri diambil dari nama Yehuda, anak Nabi Ya’qub, cicit Musa yang lahir sekitar 500 tahun setelah Musa meninggal.

Musa tidak pernah mendengar kata “Yahudi” ketika ia hidup, pun tidak pernah tersebut dalam Taurat maupun Talmud. Jika demikian, apa agama Nabi Musa as? Jawaban yang akan dia berikan adalah, “agama saya adalah agama berserah diri, pasrah, tunduk dan patuh secara tulus dan ikhlas kepada Tuhan yang satu”. Satu kata untuk jawaban indah dan panjang ini, dalam bahasa arab, disebut “Islam”.

Pemerintahan “Tuha Nanggroe”

ACEH mulai berani mengembangkan konsep pemerintahannya sendiri yang unik. Hal ini terlihat dari Rancangan Qanun (Raqan) Wali Nanggroe yang sudah disepakati dalam Rapat Paripurna V Masa Persidangan III menjadi Raqan usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) (Serambi Indonesia, 4/12/2010). Raqan Wali Nanggroe yang dirumuskan DPRA periode ini dalam banyak hal memiliki perbedaan-perbedaan mendasar dari Raqan Wali Nanggroe yang disusun DPRA periode sebelumnya (2004-2009). Terutama pada aspek wilayah (wewenang), cara pemilihan dan pengukuhan, dan masa jabatan. Dengan Raqan Wali Naggroe saat ini, semangat “self-government” Aceh mulai berusaha mengambil ruang dalam tata kelembagaan pemerintahan, setelah sekian lama hanya bertahan pada isu pembagian wewenang antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Indonesia. Tampaknya Raqan Wali Nanggroe kini merupakan deklarasi politik lebih lantang terkait eksistensi “pemerintahan sendiri” Aceh yang seharusnya nyata dan berbeda. 

14 November 2010

Noer Fajriansyah Terpilih Sebagai Ketua Umum PB HMI 2010-2012

DEPOK : Kongres Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Ke-27 di Depok, Jawa Barat yang digelar sejak Sabtu (6/11) memilih Noer Fajriansyah, sebagai Ketua Umum Pengurus Besar (PB) HMI periode 2010-2012.

Fajri merupakan Wakil Sekjen PB HMI 2008-2010 yang kuliah S.2 di Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 2009, S.3 di Fakultas Sospol Universitas Indonesia sampai sekarang.

"Setelah terjadi tarik menarik yang cukup alot, Noer Fajriansyah terpilih sebagai Ketua Umum PB HMI yang baru, mengantongi 252 suara," terang Rozy Fahmi Wakil Divisi Acara Non Persidangan Kongres HMI Ke-27, kepada Media Indonesia, di Jakarta, Minggu (14/11).

Noer Fajriansyah yang akrab dipanggil Fajri, bersaing ketat dengan Ahmad Nasir Siregar yang hanya berhasil meraup 119 suara. Kedua kandidat tersebut lolos putaran kedua, setelah deadlock berjam-jam.

"Putaran pertama diikuti oleh 12 kandidat. Dimulai sejak pukul 23.00 WIB Sabtu (13/11) dan baru selesai pada pukul 04.00. Setelah ditunda berjam-jam, putaran kedua yang hanya diikuti oleh dua kandidat yaitu Fajri dan Nasir, berakhir pada pukul 13.30," tuturnya.

Berdasarkan nomor urut pada putaran pertama, ke-12 kandidat Ketua Umum PB HMI 2010-1012 adalah M Syahril Wasahua (Cabang Ambon), Andi Sukmono Kumba (Makassar), Ari Juniarman (Jambi), Jubir Darsun (Makassar), Suardi Heri (Makassar), Bambang M Fajar (PB HMI), Zaenal A Latar (Bogor). Lalu, Noer Fajriansyah (Jakarta Timur), M Rifai (Jayapura), Ahmad Nasir Siregar (Bulaksumur Sleman), Rahmat Rifki (Cilegon), dan Aulia Kosasih (Depok).

13 November 2010

Fitriani Jadi Ketum Kohati PB HMI

DEPOK – Fitriani Ismail (23), mantan Ketua Umum (Ketum) Kohati Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Lhokseumawe, Minggu (7/11) dini hari terpilih sebagai Ketua Umum (Ketum) Kohati Pengurus Besar (PB) HMI Periode 2010 -2012 dalam Musyawarah Nasional (Munas) Ke-20 lembaga tersebut di Graha Insan Cinta, Depok, Jawa Barat.

Perempuan asal Alue Jamok, Kecamatan Baktiya, Aceh Utara tersebut mewakili Badan Koordinasi (Badko) HMI Aceh berhasil mengalahkan dua rivalnya dengan mengantongi 83 suara. Sedangkan dua calon lainnya yaitu Dinah Muhiddin (mantan pengurus PB HMI, Badko HMI dari Ciputat dan Megayana Ahmad, mantan Wasekum PB HMI.

Majelis Pengawas dan Konsultasi (MPK) PB HMI Anwar Puteh kepada Serambi, Minggu (7/11) menyebutkan, kegiatan itu diikuti utusan dari 154 HMI Se-Indonesia termasuk sembilan cabang dari Aceh yaitu Banda Aceh, Jantho, Tapaktuan, Meulaboh, Takengon, Bireuen,  Lhokseumawe, Sigli, dan Langsa. Menurutnya, Munas yang berlangsung 1-7 Novermber 2010 itu dibuka Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Gumelar.

“Terpilihnya kader HMI dari Aceh di tingkat PB HMI merupakan yang pertama kali selama 20 kali munas. Keberhasilan itu tak lepas dari dukungan semua tokoh Aceh di Jakarta dan pemerintah Daerah,” ujar Anwar.

Keberhasilan kader Aceh menjadi orang nomor satu di PB HMI itu, tambahnya, diharapkan menjadi motivasi bagi pemuda lain yang ada di daerah untuk mengharumkan nama Aceh di tingkat nasional dalam berbagai organisasi dan kegiatan.(M.Jafar)

01 Oktober 2010

KAHMI: Densus 88 Langgar UU Kepolisian

JPNN - Padang Today

Sorotan tajam terhadap kinerja Densus 88 Antiteror Mabes Polri dalam pengerebekan sejumlah lokasi yang diduga sarang teroris terus mengalir. Pasukan khusus kepolisian itu dianggap telah melanggar Undang-undang Kepolisian

Ketua Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Sumatera Utara, Benny Harahap menyatakan Densus telah melecehkan agama tertentu, karena tidak menghormati prosesi ibadah.

24 September 2010

Pemimpin Harus Wujudkan Cita Bangsa

Banda Aceh ( Berita ) :  Mantan Ketua DPR RI Akbar Tanjung mengemukakan pemimpin bangsa wajib memiliki nilai dan wawasan kebangsaan secara utuh, agar mampu mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945.
“Pemimpin bangsa harus memiliki nilai-nilai kebangsaan secara utuh, wawasan kebangsaan, dan jangan mementingkan kelompok di atas kepentingan rakyat,” katanya saat memberi materi kepada peserta latihan kader (LK)-3 tingkat nasional HMI di Banda Aceh, Rabu [14/07]. Menurut mantan Ketua Umum PB HMI itu, pemimpin yang memiliki nilai dan wawasan kebangsaan pasti akan berpihak kepada rakyat dan kejujuran. “Setiap warga negara yang maju untuk mendapatkan jabatan politik seperti prsediden, gubernur, bupati, DPR, DPD juga harus dilandasi kesadarannya untuk mewujudkan cita-cita bangsa, jangan hanya untuk kepentingan kelompoknya saja,” ujar Ketua Dewan Pertimbangan DPP Partai Golkar ini.

24 Juli 2010

RELEVANSI SISTEM PENGKADERAN HMI DALAM TATA INDONESIA MASA DEPAN

OLEH : I D R I S
(Ketua Bidang PTKP HMI Cabang Banda Aceh Periode 2006-2007)

Kilas Balik..,
Sejarah mungkin berulang. Ketika seorang Jenderal besar berbicara yakni Jenderal Soedirman mengatakan “HMI bukan saja Himpunan Mahasiswa Islam, tetapi HMI juga Harapan Masyarakat Indonesia” itulah secerca harapan yang hendak penulis coba paparkan lewat tulisan ini, dimana ketika pergerakan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) beberapa puluh tahun yang silam menjadi harapan masyarakat Indonesia ketika perlawanan megusir penjajah dari bumi Ibu Pertiwi. Kader HMI yang dari dulu sampai dengan sekarang telah ikut berperan aktif diberbagai lapisan kehidupan masyarakat serta memberi kontribusi yang sangat besar pengaruhnya terhadap pembagunan di negeri ini yang tidak bisa dilupakan begitu saja dalam sejarah perjalanan bangsa ini. Lembaga yang telah banyak melahirkan para cendikiawan yang berfikir kearah perubahan ini dididik dari berbagai disiplin ilmu yang didapatkan dari perguruan tinggi yang merupakan almamaternya pertama, dan HMI sendiri sebagai almamaternya yang kedua tidak bisa melepaskan tanggung jawabnya begitu saja terhadap kemajuan umat hari ini.
Baik orang dalam maupun luar mengakui bahwa kader HMI adalah sosok anak negeri yang banyak menjawab berbagai persoalan dan tantangan yang dihadapi oleh bangsa ini. Bulan Mei mendatang kita akan memperigati sewindu reformasi (Mei 1998-Mei 2006) apa yang telah kita capai selama delapan tahun reformasi di negeri kita Indonesia. Praktik bisnis yang curang, penegakan hukum yang berat sebelah alias pincang ibarat pisau tajam kebawah tumpul keatas, perawatan kesehatan yang asal-asalan, pendidikan yang tidak bermutu, eksploitasi keuangan yang mengatas namakan biokrasi, penjarahan terhadap lingkungan hidup, pembengkakan terhadap pengangguran, dan persoalan yang paling berat saat ini yang dihadapi oleh bangsa kita adalah persolan kemiskinan.
Perjalanan reformasi bagaikan sebuah BUS yang menabrak tumpukan bukit sehingga mencederai banyak penumpang, inilah fenomena yang terjadi saat ini yang membuat rakyar menghela nafas panjang kekecewaan terhadap buah yang dihasilkan oleh reformasi, bukan mengubah keadaan negeri ini menjadi lebih baik akan tetapi sebaliknya menjerat rakyat jelata. Para penguasa dinegeri ini tertawa diatas kesedihan rakyat kecil yang seolah-olah mereka berpihak kepada kepentingan masyarakat, namun setelah mereka mendapatkan kursi empuk di parlemen atau menjadi pejabat Negara, meraka berubah menjadi koruptor kelas kakap.
Jelas-jelas bahwa kenyataannya reformasi yang digulirkan, hari ini telah gagal mencapai tujuannya untuk mengubah nasib rakyat kecil menjadi lebih baik. Sebetulnya, harapan rakyat tidak terlalu muluk-muluk, rakyat hanya perlu pendidikan murah, lapangan pekerjaan yang luas sehingga tidak ada lagi pengangguran, tersedia makanan yang murah, dan masyarakat yang hidup damai sentosa bukan masyarakat yang butuh akan sebuah kekayaan. Akan tetapi siapa kini yang akan menjawab dan memimpin serta membawa sebuah perubahan kepada rakyat. Apakah para pakar, yang sekarang lebih tergoda mengolok-olok model komunikasi politik pemerintah, ataukah tokoh LSM yang sekarang telah jarang berpromosi terhadap HAM karena kurang biaya, ataukah Universitas yang lebih suka menerima riset pesanan birokrasi dan dunia bisnis ketimbang mengukur kedalaman demokrasi dan keadilan, ataukah mereka yang berada di parlemen yang sekarang amat gembira memagari diri dari gangguan rakyat, cuma hanya ada-harapan dan harapan yang hadir dalam benak rakyat itu sendiri.
Apa Masalahnya..?
Berdasarkan kilas balik permasalahan diatas, penulis ingin mengkaji lebih lanjut tetang beberapa permasalahan yang hari ini mungkin kita lupakan. Atau barang kali ketika mengenal yang namanya ORGANISASI, kita salah dalam mendefinisikannya, sehingga ketimpangan-ketimpangan dengan nyata kita rasakana. Mungkin perlu kita pertanyakan kembali terhadap hal-hal yang sifatnya mendasar bagi kita sebagai seorang organisator, mengapa semuanya sangat bertentangan dengan apa yang kita perjuangkan dulu??? Mari kembali kita bertanya kepada diri kita masing-masing :
1. Mengapa Kita Harus Berorganisasi ?
2. Bagaimana Yang Dimaksud Dengan Ideologi ?
3. Bagaimana prinsip-prinsip Organisasi?
Apa itu ORGANISASI
Kebanyakan orang mulai berorganisasi jika keinginan-keinginannya dipenuhi oleh organisasi tersebut. Berbagai latar belakang mendorong orang masuk dalam organisasi. Ada yang berlatar belakang heroisme, patriotisme, karir, ikut-ikutan, ingin tahu, dendam atau apapun juga sebagai motivasi awal. Namun sesuai dengan perkembangannya, organisasi akan mengarahkan setiap anggotanya sesuai dengan kemampuan masing-masing agar berguna buat kepentingan dan tujuan organisasi.
Sebagai sebuah organisasi perjuangan, sebuah organisasi revolusioner sangat ditentukan oleh kekuatan massa rakyat, anggota dan kepemimpinannya. Tapi diatas semua itu, politik dan ideologilah yang akan lebih banyak menentukan watak perjuangan setiap anggota dan organisasi itu sendiri. Sebanyak apapun anggotanya, sekuat apapun fasilitas yang dimiliki oleh organisasi, ia akan tumpul dan tidak menjadi senjata perjuangan yang ampuh jika tidak dipimpin oleh ideologi dan politik.
Organisasi adalah alat untuk mencapai ideologi dengan politik atau cara tertentu. Untuk mencapai tujuan (ideologi) dan melalui cara (politik) tertentu tidak mungkin dilakukan secara sendiri-sendiri tanpa kepemimpinan, anggota atau tanpa dukungan massa rakyat yang luas. Maka sebuah organisasi diperlukan sebagai alat yang menyatukan kekuatan setiap anggotanya, massa rakyat dan kepemimpinan dalam satu komando bersama.
Secara mudah untuk mengerti kesatuan antara pimpinan, anggota dan massa rakyat dalam sebuah organisasi adalah dengan mengambil perumpamaaan. Seperti sebuah kereta api, organisasi memelurkan lokomotif yang akan menarik dan memimpin perjalanan gerbong-gerbong (Cabang-ranting-anggota-kader) yang berisikan penumpang (massa rakyat). Kereta api tersebut memerlukan cara atau jalan untuk mencapai tujuan akhirnya. Ia harus mampir dibeberapa stasiun, mengisi bahan bakar, memperbaiki mesin, menambah atau mengurangi gerbong, menambah atau mengurangi penumpang, sesuai dengan kekuatannya.
Organisasi juga dapat dilihat sebagai sebuah pedang, alat tempur untuk mengalahkan musuh-musuh rakyat. Kekuatan dan ketajaman pedang sangat tergantung pada kemampuan pimpinan, anggota dan massa rakyat yang sedang melawan kezaliman dan ketidak adilan. Organisasi seperti pedang, kalau tidak terus diasah dan digunakan akan menjadi karatan dan tidak berguna. Oleh karena itu kekuatan organisasi sebenarnya sangat tergantung pada pertentangan kritis didalam tubuh organisasi dan pertempuran nyata melawan penindasan yang akan semakin membuat organisasi semakin kuat dan tajam.
What is IDEOLOGI
Ideologi adalah tujuan akhir yang diinginkan. Sistem massa rakyat macam apa yang dicita-citakan. Sampai sekarang ideologi yang menjadi jelas bagi perjuangan adalah ideologi yang berisikan nilai-nilai kerakyatan, keadilan dan demokrasi. Keinginan dan dorongan untuk membentuk masyarakat yang semulia-mulianya demikian itulah yang menjadi batu bara bagi kereta api perjuangan kita. Ideologi itulah yang sebagai bahan dasar terbentuknya pedang.
Kekuatan sebuah pedang akan sangat ditentukan oleh bahan dasarnya. Jika bahan dasarnya tidak kuat dan mudah rusak maka pedang tersebut pun akan mudah rusak atau terpatahkan oleh lawan. Jika pedang tersebut terbuat dari baja yang tidak terkalahkan maka pedang tersebut tidak akan rusak dan patah oleh pedang apa pun juga IDEOLOGI adalah baja yang membentuk pedang untuk perjuangan.
Prinsip-Prinsip Dasar Organisasi:
Dalam organisasi dikenal prinsip-prinsip organisasi yang berlaku secara keseluruhan disetiap tingkatan dan lini organisasi. Prinsip-prinsip ini melekat di setiap anggota, pimpinan dan organ-organ didalam organisasi. Ada lima prinsip penting yang menjadi landasan utama, yaitu:
Apa Makna Disiplin dan Demokratis
Disiplin adalah bersifat utama dan strategis sedangkan demokratis adalah bersifat sekunder dan taktis untuk menuju disiplin. Untuk menjalankan organisasi maka yang utama adalah kesepakatan-kesepakatan yang harus dipatuhi secara disiplin agar roda demokrasinya dapat berjalan dan menguatkan organisasi. Disiplin harus dijalankan dan ditegakan oleh setiap anggota. Semua keputusan diambil dalam forum demokratis berdasarkan suara mayoritas. Kalau sudah menjadi keputusan maka harus dijalankan oleh seluruh orang yang mengambil keputusan tersebut. Walaupun minoritas tidak setuju namun dia pun harus ikut menjalankan, sampai saat yang ditentukan untuk meninjau ulang keputusan tersebut. Prinsip disiplin-demokratis adalah prinsip yang menjaga agar organisasi tidak terjebak ke dalam birokratisme dan liberalisme.

Tentang Disiplin Organisasi

Sebagai sebuah organisasi revolusioner, kita tidak bisa lepas dari hukum sosial tentang kehidupan kolektif. kita, seperti organisasi-organisasi kebanyakan, terdiri dari kumpulan orang-orang yang berbeda-beda kepribadiannya. Secara teoretik, setiap kader dan simpatisan organisasi revolusioner menganut garis ideologi revolusioner proletarian. Dalam praktiknya, watak-watak kelas yang dimiliki para kader dan simpatisan kita seringkali menghambat penyaluran total aspirasi ideologis dalam benak mereka. Terjadilah kesenjangan antara teori dan praktik.
Dibesarkan dalam keluarga borjuis atau borjuis kecil, dipengaruhi lingkungan yang penuh dengan hegemoni kapitalisme, sangat sulit untuk mematerialkan kesadaran ideologis yang diperoleh hanya dari sekadar membaca atau berdiskusi. Ideologi tidak mungkin tertanam lewat diskusi semata atau berdialektika dengan bacaan-bacaan. “Belum dapat dikatakan beriman seseorang sehingga Kami uji (dengan aktivitas revolusioner),” firman Tuhan dalam kitab suci. Kunci keyakinan ideologi seorang kader terletak pada hasil perbenturan (kontradiksi) antara teori dan realitas dalam praktek. Inilah kebenaran filsafat materialisme-dialektik yang kita pelajari dalam kurpol.
Ujian seorang kader dan simpatisan adalah melalui perjuangan mempropagandakan kesadaran bergerak, membentuk wadah-wadah perlawanan struktural, melakukan aksi-aksi revolusioner. Untuk menjaga liberalitas kader dan simpatisan (karena memang sudah fitrah sejarah), ada mekanisme disiplin organisasi yang dapat mempertahankan kolektif. Manusia, seperti makhluk-makhluk hidup kebanyakan, mempunyai watak sosial yang kuat bersumber dari naluri menghadapi kekerasan lingkungan. Seperti halnya semut harus menghadapi gangguan pemangsanya, maka semut membentuk organisasi sosial yang sangat kolektif. Di dalamnya terdapat pembagian kerja yang sangat ketat: ada semut pekerja (pencari makan), semut prajurit (menjaga komunitas semut dari marabahaya), dan ratu semut (memperbanyak jumlah semut). Sebuah organisasi makhluk hidup yang kolektif ternyata mempunyai daya tahan yang lebih besar daripada makhluk hidup yang berwatak libertarian, tidak kolektif. Semut dapat bertahan jutaan tahun sejak kemunculannya di muka bumi. Dunia serangga adalah yang paling kolektif di antara makhluk hidup yang pernah ada, dan mereka bertahan dari proses seleksi alam. Sebaliknya, jenis-jenis primata (orang utan dan kera) yang kurang kolektif, mudah sekali tersapu oleh evolusi alam, tersisa sebagai fosil-fosil belaka.
Apa Makna Kolektivisme
Kolektivisme erat hubungannya dengan kepemimpinan. Artinya kepemimpinan organisasi tidak bisa berdasarkan individual namun merupakan kerjasama dalam sebuah kolektif baik dari tingkatan paling atas maupun ditingkatan paling rendah. Bahkan setiap anggota yang bekerja dikalangan massa rakyat (yang melakukan pengorganisiran) hendaknya mempraktekan kepentingan kolektif tersebut. Kolektivisme juga menyangkut pada persoalan kehidupan sehari-hari anggota. Setiap anggota adalah bagian dari sebuah kolektif atau bahkan lebih dari satu. Kesulitan seorang kawan adalah kesulitan bersama dan harus dipecahkan secara bersama-sama. Persoalan kolektif adalah persoalan setiap anggota kolektif. Kolektivitas adalah kunci pertahanan diri terhadap lingkungan
Kolektif hanya bisa dibangun dengan melakukan disiplin organisasi yang ketat. Ada bermacam-macam modus pendisiplinan dalam masyarakat, dengan intensitas yang berbeda-beda. Ada pendisiplinan di tubuh organisasi militer, di pabrik, di sektor-sektor jasa (distribusi, utilitas dan sebagainya), di ladang pertanian, di perkebunan, di kapal nelayan, di sektor informal, di sekolah dan perguruan tinggi, di dalam keluarga, di dalam lembaga-lembaga formal (institusi), dsb. Hubungan antara manusia dengan alat-alat produksi menentukan watak kolektif dalam organisasi. Misalnya, di pabrik kelas buruh dikondisikan untuk bekerja dalam irama mesin. Lalai sedikit, produk yang dihasilkan oleh sistem produksi yang serba otomatis bisa berantakan. Sanksinya adalah pemotongan upah atau bahkan pemecatan. Buruh bekerja dalam shift, dan mereka hanya diperbolehkan meninggalkan tempat kerja ketika buruh shift berikutnya datang untuk menggantikan kedudukannya. Kerja di pabrik selama berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun, dengan irama kerja mekanis, membentuk disiplin dalam diri buruh. Mereka harus bangun pagi-pagi sebelum jam kerja, harus menjaga waktu istirahat dengan waktu rekreasi, mengatur pengeluaran dari upah sebulan, dsb. Disiplin pabrik menciptakan disiplin pribadi.
Disiplin pabrik juga menciptakan watak kolektif antara sesama pabrik. Di pabrik, mereka bertemu dan berinteraksi setiap hari. Mereka mengerjakan alat-alat yang sama. Mereka menyadari bahwa mereka adalah satu kesatuan, tiap bagian menentukan keseluruhan proses produksi. Karena itu, aksi mogok spontan buruh sangat mudah terjadi. Solidaritas sesama buruh bisa memicu perlawanan dalam bentuk massa. Kolektivitas terbangun ketika ada norma-norma sosial yang mengikat, dalam hal buruh pabrik adalah peraturan pabrik yang mengikat kerja-kerja mereka.
Sekolah menerapkan disiplin secara lebih longgar, dan lebih longgar lagi adalah perguruan tinggi. Sekolah mengharuskan pelajar masuk tiap hari, dari jam tujuh pagi sampai jam dua siang. Pelajar harus duduk tenang di kelas ketika guru mengajar.
Ada etika pelajar yang ditanamkan sejak pertama kali masuk sekolah dasar, bahkan di TK. Dalam selang catur wulan, mereka harus siap-siap untuk mengikuti ujian, sehingga mereka dipaksa untuk mengatur waktu sedemikian rupa agar tidak tinggal kelas. Tinggal kelas adalah cacat besar bagi pelajar, jauh dibandingkan dengan beban SPP yang harus dibayar. Kolektivitas di sekolah cukup kuat. Tawuran-tawuran antar-sekolah menunjukkan solidaritas pelajar yang sangat kuat di tiap sekolah. Mereka membanggakan sekolahnya masing-masing. Biasanya ada acara-acara lomba antar-sekolah untuk menciptakan kompetisi, dan dibentuk pulalah solidaritas sekolah.
Perguruan tinggi, karena ikatannya lebih longgar, mahasiswanya susah dipersatukan. Mahasiswa secara inisiatif membentuk wadah-wadah sendiri dalam bentuk himpunan, unit kegiatan dan senat mahasiswa. Tiap organisasi mempunyai karakter sendiri, dengan tingkat kolektivitas beragam. Karenanya tidak heran, senat-senat mahasiswa rata-rata tidak mengakar ke massa, karena fragmentasi yang sangat besar di massa mahasiswa. Begitu banyak organisasi di kampus yang menawarkan kolektivitas yang lebih menyenangkan. Belum lagi adanya disiplin perkuliahan yang menuntut perhatian ekstra mahasiswa[1]. Solidaritas di sektor informal, pertanian, jasa dan lain-lain lebih lemah daripada pabrik, tetapi bukan berarti tidak cukup kuat. Relasi mereka dengan alat-alat produksi yang berbeda dengan buruh menciptakan model solidaritas kolektif yang berbeda pula. Petani mempunyai ikatan kuat dengan tanah garapan dan alat-alat pertaniannya, melebihi solidaritas dengan sesama petani lainnya. Perdukuhan yang letaknya berjauhan, dipisahkan oleh bentangan sawah, mencegah interaksi yang lebih kohesif antara petani di satu dukuh dengan dukuh lainnya. Maka tidak heran perlawanan petani dalam sejarahnya selalu muncul dalam bentuk aksi-aksi lokal. Tetapi letak mereka yang terpencar, tersebar di semua tanah-tanah subur di seluruh negeri, menyebabkan aksi-aksi lokal membentuk skala nasional dan bisa mengancam kekuasaan. Jika ada organisasi tani yang mampu menyatukan mereka, perlawanan petani bisa diarahkan ke dalam revolusi sosial. Contohnya adalah kemenangan Partai Komunis Cina 1949, perlawanan petani Kediri di bawah pimpinan Ken Arok, sedangkan pemberontakan petani di bawah pimpinan PKI 1926-1927 gagal karena tidak ada jaringan nasional yang kuat.
Kaum miskin kota menganut tipe solidaritas kolektif yang lain lagi. Mereka tentu saja lebih kohesif ketimbang petani desa, karena kota memungkinkan interaksi yang lebih intensif. Tetapi kota juga menciptakan keterasingannya sendiri. Gedung-gedung besar tinggi menjulang, berdampingan dengan rumah-rumah kumuh, bahkan rumah-rumah kardus di tepi kali. Mall supermewah berdiri dengan latar belakang perkampungan kaum miskin kota. KMK bekerja mengusahakan sektor informal, dengan berdagang di kakilima atau perempatan jalan, di pasar tradisional, menjadi sopir angkutan kota, dan sebagainya.
Sifat-sifat dasar yang harus dimiliki organizer adalah :
q Sungguh-sungguh, hati-hati dan penuh semangat dalam perjuangan.
q Kesediaan dan tanpa rasa takut mengangung resiko, termasuk resiko perjuangan dan penderitaan. Seorang organizer harus menerima kenyataan bahwa pengorbanan dan penderitaan tidaklah dapat dihindarkan dalam perjuangan melawan kaum penindas yang memiliki mesin-mesin penindas. Seorang organizser harus siap menerima resiko demi pencapaian cita-cita perjuangan berupa pegorabanan dan penderitaan. Keberanaian seorang organizser bukan keberanian yang membabi buta, tapi keberanian yang penuh dengan kesadaran.
q Bersatu dengan kehangatan perkawanan bersama organizser lainya. Perjuangan bagi organizer bukanlah seperti mesin, ia harus berkawan agar dirinya tetap menjadi manusia.
q Menerima dengan terbuka dan lapang dada kritikan dari kawan, dan selalu siap memperbaiki diri sendiri.
q Jujur dalam bekerja bersama kawan. tanpa kejujuran, seorang organizer tidak akan dipercaya oleh kawan dan massa.
q Punya rasa humor, dengan rasa humor, seorang organizer tidak akan tenggelam dalam kepahitan hidup. Justru, ia akan bisa menarik pelajaran dari kepahitan hidup yang dialami, sehingga bisa bangkit.
q Punya banyak akal, atau disebut juga kreatif. Dalam melaksanakan tugas-tugasnya seorang organizer mesti mempunyai banyak akal. Bila gagal melakukan tugasnya dengan satu cara, maka ia akan mempergunakan cara lain. Tidak pernah seorang organizer kehilangan akal, sehingga berputus asa dalam menjalankan tugasnya.
q Bersikap rendah hati terhadap massa. Tidak pernah menyombongkan diri, juga tidak tengelam dalam massa. Tapi bila didepan memberikan teladan, bila ditengah bekerja penuh, bila dibelakang memberi semangat.
Demokrasi adalah prinsip kita dalam membentuk dan menjalankan organisasi. Prinsip ini menjamin bahwa kita akan bergerak sebagai satu kesatuan yang terorganisir. Demokrasi berarti memperhitungkan segala sesuatu berdasarkan seluruh kepentingan dan kondisi organisasi,
a. Perorangan berada dibawah organisasi
b. Minoritas tunduk dibawah mayoritas
c. Organ yang lebih rendah berada di bawah organ yang lebih tinggi
d. Organ yang lebih rendah berhak mengontrol dan memberikan masukan pada organ yang lebih tinggi secara demokratis.
Kritik Oto Kritik (KOK)
Kritik adalah penunjukkan kesalahan orang lain dengan cara membandingkan antara prinsip perjuangan dengan praktek yang dilakukan.
Sedangkan Otokritik adalah penunjukkan kesalahan diri sendiri, dengan cara membandingkan antara prinsip perjuangan dengan praktek yang dilakukan. Kritik berbeda dengan fitnah, bedanya ialah :
a. Kritik berdasarkan fakta, sedangkan fitnah berdasarkan dusta.
b. Kiritk disampaikan pada orang/pihaknya secara langsung pada pertemuan, sedangkan fitnah disebarluaskan kepada umum.
Fitnah harus dijauhkan dari cara kerja organisasi, sebab dari fitnah akan menuju pada perpecahan dan berujung pada kehancuran organisasi. Kritik-Otokritik harus dilakukan dalam suatu pertemuan, agar bisa meningkatkan kualitas orang dikritik. Seorang yang dikritik haruslah menerima dengan lapang dada walaupun ia menyesal, kerena ia percaya menjadi pejuang adalah belajar seumur hidup.
Semangat yang terkandung dalam kritik-otokritik adalah mencari dan menemukan kebenaran yang berdasarkan fakta dari praktek-praktek perjuangan dan belajar dari kesalahan-kesalahan masa lalu untuk mencegah kesalahan masa depan. Sebagai organisasi perjuangan, setiap kader/organizer harus selalu siap untuk melakukan kritik terhadap pandangan-pandangan dan gagasan yang keliru serta praktek praktek yang salah.
Dalam prinsip organisasi, juga ada yang namnya Prinsip Kemandirian. Dalam menghadapi tantangan-tantangan, setiap organisasi dituntut secara cepat dan tepat menjawab kebutuhan perjuangan massanya, apakah massa petani buruh miskin kota atau lainnya. Dengan demikian, diperlukan organisasi-organisasi lokal untuk menjawab hal tersebut. Setiap organisasi lokal mempunyai kemandirian dalam menjawab persoalan-persoalan wilayah tanpa harus meminta izin dari organisasi yang lebih tinggi. Pertannggung jawaban organisasi atas apa yang telah dilakukannya bisa dilakukan dalam pertemuan-pertemuan organisasi.
Prinsip kemandirian ini sangat dibutuhkan terutamna pada pekerjaan pengorganisasian massa rakyat dan pekerjaan pendidikan serta aksi-aksi kongkrit. Selain itu, dalam rangka pelaksanaan keputusan-keputusan organisasi yang lebih tinggi, prinsip-prinsip ini akan membuat organisasi yang lebih rendah kreatif menerapkan di wilayah kerjanya, sehingga organisasi yang lebih rendah dapat menterjemahkan dan menerapkan secara tepat setiap keputusan, sesuai dengan perkembangan kondisi massa dan kemauan riil yang ada.
Dalam pelaksanaanya, keluwesan merupakan unsur pokok yang dituntut ada pada setiap diri organizer. Kemampuan itu dimungkinkan berkembang jika dilakukan dengan cara memberikan kemandirian bagi organisasi yang lebih rendah tingkatannya.
Dalam proses integrasi ini, beberapa hal akan dialami oleh seorang organizer :
a. Ia harus mulai mengahargai rakyat dan melihat aspek pembebasan dari budaya mereka yang mampu memberikan mereka kekuatan berjuang. Apa yang dinamakan kebudayaan bisu adalah abstraksi dari para sosiolog.
b. Organizer harus melilhat bagaimana analisis sosial yang mungkin ia lakukan mengenai situasi nasional, bisa menyatu (kohesif) dalam kehidupan rakyat. Ia harus bisa melihat seberapa jauh analisa sosial tersebut benar atau tidak. Ia harus belajar dari kenyataan bahwa juga analisa sosial cuma sebuah abstraksi. Kenyataan jauh lebih rumit dan padat.
c. Pada akhirnya ia harus bisa diterima sebagai warga dari masyarakat tersebut.
d. Akhirnya niali-nilai serta gaya hidup sang organizer harus berubah, ia harus menjadi lebih toleran dan berpengertian, lebih penuh penyerahan diri dan realis.
Untuk berintegrasi dengan baik, para organizer sedikitnya pada permulaan latihan mereka harus hidup di lingkungan rakyat desa atau kota yang miskin selama enam bulan.
Integrasi memberikan jaminan bahwa keprihatinan seseorang untuk merubah sebuah masyarakat, sesuai dengan apa yang diinginkan rakyat mengenal sebuah perubahan dan bukan menurut contoh-contoh teoritis. Integrasi merupakan dasar dari langkah-langkah selanjutnya. Jika para organizer tidak menyatu dengan rakyat, mereka tidak akan pernah memperlajari dimensi lain sesungguhnya dari persoalan rakyat atau bagaimana merangasang mereka untuk berubah.
PENYELIDIKAN SOCIAL ORGANISASI
Penyelidikan social adalah sebuah proses yang sistematis mencari masalah-masalah, disekeliling rakyat yang diorganisir. Sang orgainsir larut dalam masyarakat, mencari permasalahan-permasalahan yang sangat dirasakan rakyat untuk diperkembangakan sehingga mereka mau bertindak.
Bagaimana melakukan penyelidikan sosial ?
Secara umum ada tiga cara :
q Mempelajari catatan dan laporan yang membicarakan permasalahan rakyat.
q Belajar dari rakyat itu sendiri bagaimana mereka merasakan sebuah permasalahan, bagaimana mereka merasakan sebuah permasalahan, komplikasi serta maknanya.
q Mempelajari sebuah permasalahan sebagaimana yang ditentukan oleh bangunan kekuasaan dari masyarakat terikat pada sebuah permasalahan.
Ketiga cara tersebut haruslah dilakukan secara paralel.
Sebuah Catatan
Kepemimpinan ialah orang atau sekelompok orang yang berasal dari rakyat itu sendiri yang karena jabatan dan kekuasaanya, menjalankan kekuasaan itu mengorganisasikan rakyat, mengadakan rapat, megajukan pendapat-pendapat, memimpin utusan sebagai pembicara sehingga ia mampu mendidik rakyat untuk berfikir dan merasa sebagai satu kekuatan. Akan tetapi organisasi harus menentang setiap usaha yang mengarahkan organisasi menjadi sebuah organisasi pemimpin yang hanya mengatasnamakan massa rakyat.
Organiser (CO) adalah orang yang selalu bersama rakyat, mengatasi rakyat dan kemudian mendaptkan partisipasi rakyat, tidak memegang jabatan formal dan tidak menjalankan sendiri kekuasaan, tidak memimpin rakyat, tidak berbicara atas nama rakyat melainkan sebagai pembantu pemimpin dan rakyat untuk mengembangkan kekuasaan mereka. Organizer harus selalu mengarahkan segala pikiran, perasaan dan tindakannya untuk perjuangan. Hal ini tidaklah mudah, karena masing-masing organizer masih membawa pikiran, perasaan dan tindakan yang mementingkan diri sendiri. Jadi terdapat pertentangan antara kepentingan perjuangan dengan kepentingan diri sendiri.
Menghadapi pertentangan tersebut, setiap organizer dituntut untuk mengubah dirinya sendiri, mengubah pikiran, perasaan dan tindakan yang mementingkan diri sendiri, menuju pikiran, perasaan dan tindakan yang mementingkan perjuangan. Mengubah diri sendiri tidak semudah membuka baju, perubahan diri ini membutuhkan waktu panjang sejalan dengan perjuangan itu sendiri.
Hanya Sekedar Saran…
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) telah mengidentifikasikan diri sebagai organisasi pengkaderan dan perjuangan yang mencakup pembinaan kader menjadi insan Ulil Albab, harus mampu memperjuangkan kepentingan umat hari ini, sehingga terwujudnya masyarakat madani yang diridhoi oleh Allah SWT. Oleh karena itu, setiap kader HMI harus mampu memilah-milahkan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan umat, jangan kepedulian kita hari ini menjadi bom waktu bagi kita sendiri.
HMI hari ini dan masa yang akan datang, harus bisa menjadi transformasi social yaitu sebagai perubahan sistem kehidupan secara totalitas kearah IDEOLOGI yang tepat. Karena itulah dibutuhkan suatu dinamisasi dari orientasi perjuangan yang berkesinambungan. Hal ini untuk memperlebar ruang gerak dalam memilih peran social dengan dasar ajaran Dien Al-Islam. Searah dengan perkembangan zaman, HMI harus selalu sadar untuk melakukan reorientasi dokrin-dokrin organisasi, sehingga suatu saat kader-kader HMI bisa berfikir radikal dan bergerak secara revolusioner.
HMI hari ini memerlukan sebuah tinjauan (review), analisis mendalam, dan penilaian lengkap atas semua perjalanan organisasi serta sepak terjang HMI di masa lalu, baik dengan melihat caranya bersikap dan berbuat di masa kebangkitan Nasional kedua ini meneruskan pola masa lalu melaksanakan perbaikan (improvement) mendasar, dimulai dari struktur organisasi dan konsep serta cara pencapaian misi, bahkan bila perlu sebuah perombakan pengelolaan organisasi dan tujuan serta perangkatnya. Jika tidak dikhawatirkan akan dapat membawa HMI dalam lingkaran tradisional konvensional dan berjalan di tempat maka sangat dibutuhkan dengan segera usaha peyelamatan sehingga eksitensinya tidak terancam punah sebelum tujuan mulianya tercapai tujuan. Dengan pembaharuan atau inovasi, dengan cara yang baru dan kreatif dalam seleksi, organisasi dan penggunaan sumber-sumber manusia dan material yang kita harapkan akan meningkatkan hasil, berkenaan dengan tujuan yang telah dirumuskan.
Pembaharuan tidak selalu berarti menciptakan hal-hal yang baru, tetapi memandang sesuatu dari segi yang lain dari pada yang biasanya. Dalam pendidikan, pembaharuan tidak selalu berkaitan dengan penemuan yang baru akan tetapi sering merupakan penyesuaian dengan apa yang dilakukan di sekolah lain yang berbeda dari apa yang lazim dikerjakan,
Untuk memperbaiki kemunduran HMI sangat dibutuhkannya ide dan aplikasi secara berkelanjutan, dalam perjalanannya kedepan bagi ke-Islaman/keummatan, kebangsaan dan kemahasiswaan maka perlu adanya usaha antara lain :
Renaissance dari komunitas sendiri, baik dari Komisariat, Cabang, Badko HMI dan harus dimulai dari sekarang. PB-HMI nantinya akan terikut apabila perubahan yang terjadi dari Grass root. HMI merupakan organisasi yang paling lengkap dibandingkan dengan oraganisasi lain, memiliki PB HMI, 17 Badko tersebar 164 Cabang Kota/ Kabupaten di seluruh Indonesia 3 Badan Khusus LPL, Balitbang & KOHATI. HMI juga memiliki pengkaderan yang paling baik dan memiliki kader yang cerdas dan pintar, pengalaman telah membuktikan HMI lahir dan besar dalam sebuah perjuangan yang penuh dengan halangan dan tantangan.
Selain itu perlu pengembangan riset potensi yang dimiliki anggota di tingkat PB-HMI, riset potensi yang dimiliki anggota ke Badko, Korkom dan Cabang. Selain itu juga Lembaga Dakwah, Lembaga Pers, perlu dikembangkan untuk mempertajam pelaksanaan program yang sudah direncanakan. Ini merupakan fokus yang akan menjadi keunggulan kompetitif tersebut, tidak lain adalah pengembangan kualitas manusia HMI.
Kualifikasi kader sebagai “Problem Solver” HMI harus menggeser kualifikasi kader “Politikus Praktis” yang hanya mengandalkan kemampuan (bergaining), kader “problem solver” lah yang akan mampu mencari “celah- celah” yang akan berbuat demi HMI dalam partisipasi pembangunannya. Kader ini tercermin dari penguasaan profesi dengan keutuhan visi ideologisnya, sehingga istilah-istilah seperti Muslim, intelektual, profesional, tidak terjatuh menjadi sekadar cargon.
Komunikasi dan Interaksi yang lebih luas. Dalam proses pembaharuan ruh idiologi ini, HMI perlu juga membangun komunikasi dan interaksi yang lebih luas tanpa harus kikuk oleh perbedaan bendera dengan organisasi ataupun komunis lain. Sesungguhnya antara HMI dengan organisasi lain memiliki ide dan cita-cita yang sama tujuannya, namun untuk mencapai sebuah tujuan tersebut hanya sistem dan teknisnya saja yang berbeda. Keterbelahan HMI dengan organisasi lain dewasa ini tidak lain ektensi kelompok, dengan kata lain HMI menjadi organisasi inklusif, organisai yang tidak mengedepankan ego dan mau menyediakan ruang pengakuan akan adanya kebenaran di luar kebenaran yan didefinisikan oleh HMI sendiri. Kemampuan akademis sesuai jurusan memerlukan perhatian khusus dalam pembinaan kader, bukan saja kemampuan berprofesi nampak lebih safety dibandingkan dengan profesi politik yang tidak pasti.

Sumber : http://idrisalabdya.wordpress.com/2008/04/19/relevansi-sistem-pengkaderan-hmi-dalam-tata-indonesia-masa-depan/

Mukrojat Pimpin HMI Cabang Takengon

Takengon - Melalui Mekanisme pemilihan yang berlangsung demokratis, akhirnya Mukrojat terpilih sebagai Ketua HMI Aceh Tengah periode 2010-2011, menggantikan ketua sebelumnya Mizan Adli. Prosesi Pengukuhan yang dilakukan oleh Ketua Badko HMI Aceh Sendi Majafara berlangsung di Gedung Bale Pendari Inen Mayak Teri Takengon, Jumat (30/4).

Turut juga dihadiri Bupati Aceh Tengah yang diwakili Asisten Tata Pemerintahan dan Adminstrasi Kesra Setdakab Aceh Tengah, Karimansyah I SE,MM, serta sejumlah pimpinan organisasi kemahasiswaan.

Dalam sambutannya Ketua Badko HMI Aceh Sendi Majafara mengharapkan organisasi kemahasiswaan ini dapat memberikan kontribusi dalam memajukan daerah terutama dalam membantu program pemerintah dalam mewujudkan masyarakat Aceh Tengah yang sejahtera.

Sementara itu, Bupati Aceh Tengah Ir H Nasaruddin MM dalam arahannya tertulisnya yang di bacakan Asissten Tata Praja dan Adminstrasi Kesra, Karimansyah I SE MM mengatakan, HMI dalam perjalanannya hngga kini masih eksis di tengah tengah masyarakat dan lingkungan mahasiswa.

Ditambahkan Bupati, di tengah usia HMI yang telah mencapai 63 tahun, merupakan usia yang cukup matang bagi sebuah organisasi, yang secara umum telah banyak memberikan kontribusi srategis kepada pemerintah dan masyarakat termasuk untuk membangun tanoh Gayo Aceh Tengah, tegas Karimansyah.

Sebagai organisasi kader, sebut Bupati, HMI telah banyak melahirkan kader-kader yang tersebar di seluruh nusantara bahkan di manca Negara. Kehadiran HMI di tengah–tengah masyarakat dalam mengemban misi Islam dan kemanusiaan sungguh tidak di ragukan lagi

Di hadapan para Mahasiswa yanng menghadiri acara tersebut, mantan Sekwan Aceh Tengah ini juga menggambarkan hampir seluruh dinamika kebangsaan terutama intelektual, muslim menjadi garda terdepan dalam mengartikulasikan dan memformulasikan Islam dalam kancah kehidupan masyarakat.

“Hampir disemua lini pemerintahan, dunia usaha lingkungan legislatif dan yudikatif kader-kader HMI memegang pucuk pimpinan” tegas Karimansyah yang disambut tepuk tangan dari kader HMI Aceh Tengah. Diakhir sambutannya Bupati juga mengingatkan agar para kader-kader HMI ini tidak lupa diri atas prestasi yang sudah di raih oleh para senior mereka.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Badko HMI Aceh Sendi Majafara, juga berkesempatan melantik kepengurusan organisasi Korf HMI wati Aceh perode 2010-2011, duduk sebagai ketua Suryani, menggantikan kepengurusan lama yan sebelumnya dipimpin oleh Isnani.

30 April 2010

HMI Komisariat FE Unsyiah Gelar LK I Kelas Khusus Internasional

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Ekonomi Unsyiah gelar Basic Training/LKI dengan kelas khusus yaitu kelas Internasional. Peserta yang akan direkrut oleh panitia adalah mahasiswa/i yang mampu berbahasa inggris dengan baik. Penyampaian materi Basic Training yaitu dalam bahasa inggris. Pelaksanaan Basic Training ini telah dibuka pada tanggal 29 April 2010, di Gedung Insan Cita HMI Aceh.

Basic training dengan menggunakan bahasa pengantar Inggris adalah ide yang brilian, dan patut diacungi jempol serta baik didukung. Tentu hal ini berkaitan dengan kesiapan kader untuk menghadapi kondisi global yang tidak mungkin dibendung dari hari kehari. Namun dalam beberapa hal karena pentingnya inti dari pengkaderan maka bahasa Indonesia masih juga penting untuk digunakan bahkan bahasa Aceh sekalipun.

Kelas internasional dan internasionalisasi oleh negara-negara yang menggunakan bahasa inggris dan non inggris adalah kelas dimana mereka berusaha mendapatkan mahasiswa dari luar negaranya dan kemudian mengajarkan bahasa dan kulturnya, hal tersebut dikarenakan rasa nasionalisme yang tinggi dari negara-negara tersebut. Sebagai contoh jerman mengajarkan bahasanya, Inggris, Australia dan Amerika dengan inggrisnya, juga disini di Taiwan dan cina daratan dengan bahasa mandarinnya. Lain halnya ditempat kita, hal tersebut diartikan sebagai merekrut warga negara sendiri (bukan orang luar negeri) dan mengajarkan mahasiswa kita dengan menggunakan bahasa asing.

Maka tidak salahlah kalau basic training yang akan akan dilaksanakan dicampur kata pengantarnya, ada materi bahasa inggrisnya, bahasa Indonesianya, bahkan bahasa aceh. Dengan demikian akan timbul jiwa kebangsaan dan cinta pada tanah air yang tinggi pada kader yang paham dan sadar juang terhadap nilai dasar perjuangan dalam menghadapi persaingan global dimasa yang akan datang.

Untuk pemateri/instruktur melibatkan kanda-kanda KAHMI yang punya pengalaman terbang international dan mampu berbahasa inggris dengan baik. Diharapkan kegiatan ini akan memacu semua komisariat di Indonesia melakukan hal yang sama. Semoga kegiatan menjadi sebuah ikhtiar agar HMI relevan dengan perkembangan dunia global.

Teungku Daud Beureueh

CERITA ini bermula pada sebuah dokumen rahasia. Tak ada yang tahu isinya dengan persis. Di kalangan tentara Darul Islam Aceh-gerakan pemberontakan yang mencuatkan nama Teungku Daud Beureueh sebagai ikon perlawanan dari Serambi Mekah-ia hanya disebut sebagai “les hitam”.

Sejarawan Belanda Cornelis van Dijk menyebutnya “daftar hitam”. Selebihnya, dalam sengkarut revolusi yang membakar Tanah Jeumpa pada awal 1950-an, ia bahan gunjingan yang hangat. Pengirimnya disebut-sebut adalah pemerintah Ali Sastroamidjojo melalui Jaksa Tinggi Sunarjo, yang membawanya ke Medan. Tapi ada juga yang menyebutnya warisan kabinet Sukiman. Yang terang, isinya menggambarkan puncak perseteruan pemerintah Jakarta dengan rakyat Aceh: Jakarta berencana membunuh 300 tokoh penting Aceh-sumber lain menyebut 190 tokoh-melalui sebuah operasi rahasia. Keputusan ini diambil setelah Jakarta memastikan kawasan di ujung barat Sumatera akan menggelar pemberontakan melawan pusat.

Tapi tak ada yang bisa memastikan keberadaan dokumen itu. Sejarawan Belanda lainnya, B.J. Boland, dalam bukunya The Struggle of Islam in Modern Indonesia, menyebutkan sebetulnya surat itu tak pernah ada. “Desas-desus itu diembuskan oleh politikus sayap kiri di Jakarta untuk menghantam gerakan Islam di Aceh,” katanya. Secara tersirat Van Dijk menduga dokumen itu ada. “Daftar nama itu barangkali sengaja dibocorkan dengan tujuan tertentu. Orang Aceh terkemuka merasa mereka mungkin akan ditangkap dan, karena itu, memutuskan lari ke gunung,” kata Van Dijk.

Tapi Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dalam rapat paripurna DPR pada 2 November 1953 menyangkal telah menyusun daftar itu. Tak penting benar apakah dokumen itu ada atau tidak. Yang pasti, rumor tentang rencana pembunuhan itu membuat pemberontakan Darul Islam di Aceh menemukan momentumnya. Aktivis Darul Islam langsung pasang kuda-kuda. Teungku Daud Beureueh, salah satu orang yang disasar oleh dokumen tersebut, segera mengacungkan kapak perang. “Les hitam adalah bukti yang menimbulkan kecurigaan kita bahwa pencetus peristiwa berdarah itu adalah permainan lawan-lawan politik Teungku Daud Beureueh untuk menghancurkan beliau dan kawan-kawan,” kata Nur el-Ibrahimy, menantu Beureueh sekaligus saksi sejarah Aceh yang kini berusia 94 tahun. Setelah itu, kita tahu, sembilan tahun Daud Beureueh memimpin sebuah gerakan perlawanan dengan bendera Darul Islam. Gerakan itu menjadi pembuka kisah perlawanan Aceh pasca-era kolonial-sesuatu yang hingga kini belum juga berakhir-dan memunculkan Daud Beureueh, tokoh besar yang sulit dilupakan sejarah. “Les hitam” bukan satu-satunya alasan mengapa peristiwa itu ada.

Membela Republik di masa perjuangan kemerdekaan, Daud Beureueh merasa dikhianati Sukarno. Divisi X TNI di Aceh dibubarkan dan pada 23 Januari 1951 status provinsi bagi Aceh dicabut. Ada yang menyebut kabinet Natsir yang melakukannya. Tapi ada yang berpendapat itu hasil kabinet sebelumnya. Apa pun, yang terang Aceh dipaksa lebur dalam Provinsi Sumatera Utara (lihat Di Bawah Kibaran Darul Islam).

Van Dijk bercerita. Dua hari setelah keputusan itu diambil, pemerintah Jakarta melantik Abdul Hakim menjadi Gubernur Sumatera Utara dengan Medan sebagai ibu kota pemerintahan. Beureueh, yang saat itu adalah gubernur jenderal yang meliputi kawasan Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, bahkan tak tahu perihal pengangkatan gubernur baru tersebut. “Semua surat yang dialamatkan ke residen koordinator dikembalikan ke Medan tanpa dibuka atas perintah Daud Beureueh,” tulis Van Dijk. Kesumat tak hanya muncul karena wewenang kekuasaan yang dilanggar.

Telah lama Aceh merasa dipinggirkan penguasa Republik. Ekonomi rakyat tak diperhatikan, pendidikan morat-marit, dan Jakarta dalam pandangan Beureueh hanya sibuk bertikai dalam sistem politik parlementer. Dan yang terpenting, status otonomi khusus-yang memungkinan Aceh memiliki sistem pemerintahan sendiri dengan asas Islam-tak kunjung dipenuhi Bung Karno.

Itulah sebabnya Beureueh lalu bergandengan tangan dengan Kartosoewirjo, pemimpin Darul Islam di Jawa Barat, yang lebih dulu mengibarkan bendera perang. Tak jelas benar siapa yang lebih dulu “membuka kata” untuk sebuah kongsi yang bersejarah ini. Menurut sebuah dokumen rahasia yang belakangan terungkap, Beureueh dan orang kepercayaannya, Amir Husin al-Mujahid, pernah berunding dengan Karto di Bandung pada 13 Maret 1953. Utusan Karto, Mustafa Rasyid, pernah pula dikirim ke Aceh untuk membicarakan hal yang sama. Mustafa ditangkap tentara Indonesia ketika kembali ke Jawa pada Mei 1953.

Kemarahan Beureueh ini mendapat dukungan publik Aceh. Dalam kongres ulama Aceh di Medan, yang dilanjutkan dengan kongres Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA)-lembaga yang dipimpin oleh Beureueh-di Langsa, April 1953, menggumpallah iktikad melawan Jakarta. Orang-orang Jawa dan Medan mereka sebut sebagai “kafir yang akan merebut Aceh.” Sukarno mereka sebut sebagai presiden yang hanya akan memajukan agama Hindu. Puncaknya adalah maklumat perang yang ditulis Beureueh pada September 1953. “Dengan lahirnya proklamasi Negara Islam Indonesia Aceh dan daerah sekitarnya, lenyaplah kekuasaan Pemerintah Pancasila di Aceh,” demikian bunyi makmulat yang dikirim hingga ke desa-desa.

Jakarta bukan tak bergerak. Sebelum tentara dikirim, Sukarnolah yang mendatangi Aceh untuk mendinginkan suasana. Tapi, seperti kunjungannya pada 1951, kunjungan menjelang perang berkobar itu disambut dingin. Pengamat politik Herbert Feith dalam artikelnya di jurnal Pacific Affairs pada 1963 mencatat betapa Sukarno tak berdaya disambut poster-poster antipresiden. “Kami cinta presiden tapi lebih cinta agama,” begitu bunyi salah satu poster.

Wakil Presiden Hatta, yang punya latar belakang keislaman, relatif lebih berhasil. Dalam kunjungan pada Juli 1953, ia berhasil berunding dengan Beureueh dan pulang ke Jakarta dengan keyakinan bisa mengatasi keadaan. Tak seperti Sukarno, Hatta adalah orang yang sejak awal percaya bahwa pemberontakan daerah hanya bisa diatasi dengan menerapkan otonomi khusus dan federalisme. Tapi Hatta justru dikepung oleh kritik politikus sekuler, terutama PKI. Hatta dianggap ceroboh karena telah menggunakan pengaruhnya kepada Perdana Menteri Wilopo sehingga pemerintah tak mengambil tindakan apa-apa menghadapi Aceh hingga 1953. Pertempuran akhirnya memang tak terhindarkan di Aceh. Dan Daud Beureueh berdiri dalam pusaran konflik yang berkepanjangan.

Dilahirkan di Beureueh, Sigli, pada 1898, Muhammad Daud adalah lelaki yang tak pernah mengenal sekolah formal. Ia mengecap pendidikan di beberapa pesantren di Sigli. Salah satunya milik Teungku Muhammad Hamid-orang tua Farhan Hamid, anggota DPR asal Partai Amanat Nasional. Pada usia 33 tahun, Daud mendirikan Madrasah Sa’adah Abadiah di Blang Paseh, Sigli. Daud adalah ulama yang disegani. Majalah Indonesia Merdeka dalam terbitannya pada 1 Oktober 1953 menulis betapa Daud bisa menyihir orang dalam ceramahnya yang berjam-jam di masjid.

Tak hanya memukau, Daud tak segan melontarkan kritik keras kepada mereka yang meninggalkan akidah Islam. “Lidah Teungku Daud sangat enteng mengeluarkan vonis haram dan kafir kepada orang yang tak disukainya ketika ia berkhotbah di masjid, dalam rapat, atau di mana saja tempat yang dianggapnya perlu,” tulis Indonesia Merdeka. Karena karismanya itu, Beureueh dipercaya memimpin tentara Indonesia dalam pertempuran melawan Belanda. Beureueh juga menjadi orang yang bisa menyatukan laskar-laskar perang di Aceh ketika mereka hendak digabungkan menjadi Tentara Rakyat Indonesia (TRI).

Itulah sebabnya, meski ia tak mengenal sekolah, Wakil Presiden Muhammad Hatta mengangkatnya menjadi gubernur militer dengan pangkat jenderal mayor tituler. Tapi Daud bukankah tokoh tanpa kontroversi. Salah satu yang terpenting adalah kiprahnya dalam PUSA-lembaga yang didirikannya pada 1939-terutama kaitannya dengan kaum uleebalang yang didukung pemerintah Belanda.

Telah lama sebetulnya ada hubungan yang tak harmonis antara kalangan ulama dan kaum pamong praja di Aceh. Kalangan ulama menunding uleebalang hanya menjadi boneka penjajah. Puncaknya adalah Perang Cumbok yang terkenal itu (lihat Cumbok, Sepotong Sejarah Gelap Aceh). Van Dijk mencatat, menjelang revolusi Darul Islam 1953, perang dingin di antara keduanya sudah terlihat. Pada 8 April 1951, kaum uleebalang membentuk Badan Keinsjafan Rakjat (BKR). Secara resmi lembaga ini bertujuan menegakkan pemerintahan yang bersih. Tapi, melihat statemen-statemen yang dikeluarkannya, jelas badan ini bertujuan menggugat PUSA.

Badan Keinsjafan, misalnya, meminta pemerintah pusat membersihkan panitia Pemilu 1955 dari “anasir-anasir” PUSA. Kunjungan pejabat Jakarta ke Aceh masa itu kerap disambut oleh demonstrasi pendukung keduanya. Salah satu poster yang dibentangkan BKR misalnya berbunyi, “‘Teungku Daud Beureueh Pengisap Darah Rakyat’,” tulis Van Dijk. Van Dijk malah menuding gerakan PUSA tak independen. Persenjataan PUSA ketika bertempur, misalnya, tak lain berasal dari Jepang. Tapi tudingan ini dibantah El-Ibrahimy. Menurut dia, mereka berperang dengan menggunakan sisa-sisa senjata milik Jepang yang disita rakyat. Menurut El-Ibrahimy, serangan kepada Beureueh dan PUSA memang beragam. Tak hanya itu, gerakan kepanduan milik PUSA, Kasysyafatul Islam, pernah disebut-sebut menerima bantuan 4.000 pakaian dari Borsumij, sebuah perusahaan Belanda. “Bagaimana masuk akal kami menerima sumbangan dari musuh?” tulis El-Ibrahimy dalam buku Teungku Daud Beureueh: Peranannya dalam Pergolakan di Aceh.

Pemberontakan Daud Beureueh berlarut-larut: sebagian pimpinan DI/TII menjalin kontak dengan pusat dan turun gunung, sementara itu rakyat lelah oleh perang. Pada 1961, ia menyerahkan diri kembali ke pangkuan Republik, selepas menjalani pemberontakan yang panjang. Dalam surat-menyuratnya dengan Kolonel M. Jassin, Panglima Kodam I Iskandar Muda, yang diutus untuk membujuk Beureueh, ia menyatakan kesediaannya untuk turun gunung dengan lebih dulu diberi kesempatan bermusyawarah dengan kalangan ulama. Ia bukan lagi pejabat, bukan pemimpin pemberontak, tapi pengaruhnya tak menyusut banyak.

Awal Mei 1978, ia bahkan diasingkan ke Jakarta oleh pemerintah Orde Baru untuk mencegah karismanya menggelorakan perlawanan rakyat Aceh. Di Jakarta, meski dipinjami kendaraan pribadi dan biaya hidupnya ditanggung pemerintah, Beureueh menderita. Kesehatannya merosot tajam. “Tak ada penyakit yang serius yang diidap Teungku Daud kecuali penyakit rindu kampung halaman,” kata El-Ibrahimy. Ia tutup usia di tanah Aceh pada 1987. Napasnya berhenti hanya dua tahun sebelum pemerintah menetapkan Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM)-masa yang membuat luka di Tanah Rencong kembali terbuka.

Sumber : http://serbasejarah.wordpress.com

TJOET NJAK DIEN

Aceh merupakan daerah yang banyak melahirkan pahlawan perempuan yang gigih tidak kenal kompromi melawan kaum imperialis. Cut Nyak Dien merupakan salah satu dari perempuan berhati baja yang di usianya yang lanjut masih mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda sebelum ia akhirnya ditangkap.
Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran Lampadang, Aceh, tahun 1848, ini sampai akhir hayatnya teguh memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini, juga bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya dan Teuku Umar suami keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan bahkan juga Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

TJOET NJAK DIEN lahir pada 1848 dari keluarga kalangan bangsawan yang sangat taat beragama. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, uleebalang VI Mukim, bagian dari wilayah Sagi XXV. Leluhur dari pihak ayahnya, yaitu Panglima Nanta, adalah keturunan Sultan Aceh yang pada permulaan abad ke-17 merupakan wakil Ratu Tajjul Alam di Sumatra Barat. Ibunda Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang bangsawan Lampagar.
Sebagaimana lazimnya putri-putri bangsawan Aceh, sejak kecil Tjoet Njak Dien memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan agama. Pendidikan ini selain diberikan orang tuanya, juga para guru agama. Pengetahuan mengenai rumah tangga, baik memasak maupun cara menghadapi atau melayani suami dan hal-hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari, didapatkan dari ibunda dan kerabatnya. Karena pengaruh didikan agama yang amat kuat, didukung suasana lingkungannya, Tjoet Njak Dhien memiliki sifat tabah, teguh pendirian dan tawakal.
Tjoet Njak Dien dibesarkan dalam lingkungan suasana perjuangan yang amat dahsyat, suasana perang Aceh. Sebuah peperangan yang panjang dan melelahkan. Parlawanan yang keras itu semata-mata dilandasi keyakinan agama serta perasaan benci yang mendalam dan meluap-luap kepada kaum kafir.

Tjoet Njak Dien dinikahkan oleh orang tuanya pada usia belia, yaitu tahun 1862 dengan Teuku Ibrahim Lamnga putra dari uleebalang Lam Nga XIII. Perayaan pernikahan dimeriahkan oleh kehadiran penyair terkenal Abdul Karim yang membawakan syair-syair bernafaskan agama dan mengagungkan perbuatan-perbuatan heroik sehingga dapat menggugah semangat bagi yang mendengarkannya, khususnya dalam rangka melawan kafir (Snouck Hourgronje, 1985: 107). Setelah dianggap mampu mengurus rumah tangga sendiri, pasangan tersebut pindah dari rumah orang tuanya. Selanjutnya kehidupan rumah tangganya berjalan baik dan harmonis. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki.

Jiwa pejuang memang sudah diwarisi Cut Nyak Dien dari ayahnya yang seorang pejuang kemerdekaan yang tidak kenal kompromi dengan penjajahan. Dia yang dibesarkan dalam suasana memburuknya hubungan antara kerajaan Aceh dan Belanda semakin mempertebal jiwa patriotnya.

Ketika perang Aceh meletus tahun 1873, suami Tjoet Njak Dien turut aktif di garis depan sehingga merupakan tokoh peperangan di daerah VI Mukim. Karena itu Teuku Ibrahim jarang berkumpul dengan istri dan anaknya. Tjoet Njak Dien mengikhlaskan keterlibatan suaminya dalam peperangan, bahkan menjadi pendorong dan pembakar semangat juang suaminya. Untuk mengobati kerinduan pada suaminya yang berada jauh di medan perang, sambil membuai sang buah hatinya ia menyanyikan syair-syair yang menumbuhkan semangat perjuangan. Ketika sesekali suaminya pulang ke rumah, maka yang dibicarakan dan dilakukan Tjoet Njak Dien tak lain adalah hal-hal yang berkaitan dengan perlawanan terhadap kaum kafir Belanda.
Begitu menyakitkan perasaaan Cut Nyak Dien akan kematian suaminya yang semuanya bersumber dari kerakusan dan kekejaman kolonial Belanda. Hati ibu muda yang masih berusia 28 tahun itu bersumpah akan menuntut balas kematian suaminya sekaligus bersumpah hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu usahanya menuntut balas tersebut. Hari-hari sepeninggal suaminya, dengan dibantu para pasukannya, dia terus melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda.

Dua tahun setelah kematian suami pertamanya atau tepatnya pada tahun 1880, Cut Nyak Dien menikah lagi dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya. Sumpahnya yang hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu menuntut balas kematian suami pertamanya benar-benar ditepati. Teuku Umar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang terkenal banyak mendatangkan kerugian bagi pihak Belanda. 

Perlawanan terhadap Belanda kian hebat. Beberapa wilayah yang sudah dikuasai Belanda berhasil direbutnya. Dengan menikahi Tjoet Njak Dien mengakibatkan Teuku Umar kian mendapatkan dukungan. Meskipun telah mempunyai istri sebelumnya, Tjoet Njak Dien lah yang paling berpengaruh terhadap Teuku Umar. Perempuan inilah yang senantiasa membangkitkan semangat juangnya, mempengaruhi, mengekang tindakannya, sekaligus menghilangkan kebiasaan buruknya.

Sekilas mengenai Teuku Umar. Teuku Umar terkenal sebagai seorang pejuang yang banyak taktik. Pada tahun 1893, pernah berpura-pura melakukan kerja sama dengan Belanda hanya untuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang. Setelah tiga tahun berpura-pura bekerja sama, Teuku Umar malah berbalik memerangi Belanda. Tapi dalam satu pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899, Teuku Umar gugur.

Sejak meninggalnya Teuku Umar, selama 6 tahun Tjoet Njak Dien mengordinasikan serangan besar-besaran terhadap beberapa kedudukan Belanda. Segala barang berharga yang masih dimilikinya dikorbankan untuk mengisi kas peperangan. Cut Nyak Dien kembali sendiri lagi. Tapi walaupun tanpa dukungan dari seorang suami, perjuangannya tidak pernah surut, dia terus melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman Meulaboh. Dia seorang pejuang yang pantang menyerah atau tunduk pada penjajah. Tidak mengenal kata kompromi bahkan walau dengan istilah berdamai sekalipun.

Perlawanannya yang dilakukan secara bergerilya itu dirasakan Belanda sangat mengganggu bahkan membahayakan pendudukan mereka di tanah Aceh, sehingga pasukan Belanda selalu berusaha menangkapnya tapi sekalipun tidak pernah berhasil.

Keterlibatan Tjoet Njak Dien dalam perang Aceh nampak sekali ketika terjadi pembakaran terhadap Mesjid Besar Aceh. Dengan amarah dan semangat yang menyala-nyala berserulah ia, “Hai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu mesjid kita dibakarnya! Mereka menentang Allah Subhanahuwataala, tempatmu beribadah dibinasakannya! Nama Allah dicemarkannya! Camkanlah itu! Janganlah kita melupakan budi si kafir yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa si kafir yang serupa itu? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda?” (Szekely Lulofs, 1951:59).

Lama-lama pasukan Tjoet Njak Dien melemah. Kehidupan putri bangsawan ini kian sengsara akibat selalu hidup di dalam hutan dengan makanan seadanya. Usianya kian lanjut, kesehatannya kian menurun, seiring dengan bertambahnya usia, Cut Nyak Dien pun semakin tua. Penglihatannya mulai rabun dan berbagai penyakit orang tua seperti encok pun mulai menyerang. Di samping itu jumlah pasukannya pun semakin berkurang, ditambah lagi situasi yang semakin sulit memperoleh makanan. Tapi, ketika Pang Laot Ali, tangan kanan sekaligus panglimanya, menawarkan untuk menyerah sebagai jalan pembebasan dari kehidupan yang serba terpencil dan penuh penderitaan ini, Tjoet Njak Dien menjadi sangat marah. Pang Laot Ali tetap tak sampai hati melihat penderitaan pimpinannya. Akhirnya ia menghianatinya. Kepada Belanda ia melaporkan persembunyiannya dengan beberapa syarat, di antaranya jangan melakukan kekerasan dan harus menghormatinya.

Begitu teguhnya pendirian Cut Nyak Dien sehingga ketika sudah terkepung dan hendak ditangkap pun dia masih sempat mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda. Pasukan Belanda yang begitu banyak akhirnya berhasil menangkap tangannya. 

Ketika tertangkap wanita yang sudah tak berdaya dan rabun ini, mengangkat kedua belah tangannya dengan sikap menentang. Dari mulutnya terucap kalimat, “Ya Allah ya Tuhan inikah nasib perjuanganku? Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir”.

Tjoet Njak Dien marah luar biasa kepada Pang Laot Ali. Sedangkan kepada Letnan Van Vureen yang memimpin operasi penangkapan itu sikap menentang mujahidah ini masih nampak dengan mencabut rencong hendak menikamnya.

Tapi walaupun di dalam tawanan, dia masih terus melakukan kontak atau hubungan dengan para pejuang yang belum tunduk. Tindakannya itu kembali membuat pihak Belanda berang sehingga dia pun akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat. yang berati mengingkari salah satu butir perjanjiannya dengan Pang Laot Ali.

DI SUMEDANG tak banyak orang tahu perempuan ini. Tua renta dan bermata rabun. Pakaiannya lusuh, dan hanya itu saja yang melekat di tubuhnya. Sebuah tasbih tak lepas dari tangannya, juga sebuah periuk nasi dari tanah liat. Dia datang ke Sumedang bersama dua pengikutnya sebagai tahanan politik Belanda, yang ingin mengasingkannya dari medan perjuangannya di Aceh pada 11 Desember 1906.

Perempuan tua itu lalu dititipkan kepada Bupati Sumedang Pangeran Aria Suriaatmaja, yang digelari Pangeran Makkah. Melihat perempuan yang amat taat beragama itu, Bupati tak menempatkannya di penjara, tetapi di rumah H. Ilyas, seorang tokoh agama, di belakang Kaum (masjid besar Sumedang). Di rumah itulah perempuan itu tinggal dan dirawat.
Di antara mereka yang datang banyak membawakan makanan atau pakaian, selain karena mereka menaruh hormat dan simpati yang besar, juga karena Ibu Perbu tak bersedia menerima apapun yang diberikan oleh Belanda.

Keadaan ini terus berlangsung hingga 6 November 1908, saat Ibu Perbu meninggal dunia. Dimakamkan secara hormat di Gunung Puyuh, sebuah komplek pemakaman para bangsawan pangeran Sumedang, tak jauh dari pusat kota Sumedang. Sampai wafatnya, masyarakat Sumedang belum tahu siapa sesungguhnya perempuan yang banyak memberikan manfaat bagi masyarakat itu, bahkan hingga kemerdekaan Indonesia.

Ketika masyarakat Sumedang beralih generasi dan melupakan Ibu Perbu, pada tahun 60-an berdasarkan keterangan dari pemerintah Belanda baru diketahui bahwa Tjoet Njak Dhien, seorang pahlawan wanita Aceh yang terkenal telah diasingkan ke Pulau Jawa, Sumedang, Jawa Barat. Pengasingan itu berdasarkan Surat Keputusan No. 23 (Kolonial Verslag 1907:12). Akhirnya dengan mudah dapat dipastikan bahwa Ibu Perbu tak lain adalah Tjoet Njak Dhien yang diasingkan Belanda bersama seorang panglima berusia 50 tahun dan seorang kemenakannya bernama Teungku Nana berusia 15 tahun.

Perjuangan Tjoet Njak Dien menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing, sehingga banyak buku yang melukiskan kehebatan pejuang wanita ini. Zentgraaff mengatakan, para wanita lah yang merupakan de leidster van het verzet (pemimpin perlawanan) terhadap Belanda dalam perang besar itu. Aceh mengenal Grandes Dames (wanita-wanita besar) yang memegang peranan penting dalam berbagai sektor.

sumber :
http://serbasejarah.wordpress.com

31 Januari 2010

T. Aan Fariza Pimpin HMI Cabang Banda Aceh

BANDA ACEH - Sebanyak 32 pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Banda Aceh periode 2009-2010 dibawah kepemimpinan Teuku Aan Fariza dilantik di Anjong Monmata, Banda Aceh, Sabtu (16/1) malam. Pelantikan dilakukan PB HMI yang di wakili Ketua Umum Badko HMI Aceh, Sendy Majafara, untuk menggantikkan pengurus lama dibawah kepemimpinan Zainal Fikri.

Walikota Banda Aceh, Mawardy Nurdin dalam sambutannya mengharapkan kepada pengurus HMI, supaya membantu Pemerintah Kota Banda Aceh dalam berbagai bidang. Selain itu, walikota mengajak anggota HMI supaya berperan aktif untuk mendukung Banda Aceh sebagai bandar wisata Islami. “Pemkot sangat mengharapkan dukungan semua pihak sehingga Banda Aceh terus berkembang dalam segala bidang,” ujarnya.

Ketua Umum HMI Cabang Banda Aceh, Teuku Aan Fariza mengatakan, dibawah kepengurusannya akan fokus meningkatkan perkaderan dikalangan mahasiswa. Melalui perkaderan ini, harapnya, bisa melahirkan generasi muda yang punya wawasan luas dan Islami. Sebab, ditengah perkembangan zaman yang modern ini sangat diperlukan generasi muda yang berjiwa Islami dan berpikiran modern. “Aceh masih membutuhkan intelektual muda yang islami untuk membangun negeri yang kita cintai ini,” ujarnya.(hd)  

Serambi Indonesia, 18 Januari 2010

Badko HMI Aceh: Status Sabang Harus Dipertahankan

BANDA ACEH – Pengurus Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam (Badko HMI) Aceh meminta agar status Sabang sebagai kawasan perdagangan bebas (free trade zone) dan pelabuhan bebas (free port), sebagaimana diatur dalam UU No.37 Tahun 2000 supaya tetap dipertahanakan. Karena status tersebut bisa meningkatkan pendapatan masyarakat setempat dan perekonomian Aceh secara keseluruhan.

Permintaan tersebut disampaikan Ketua Umum Badko HMI Aceh, Sendy Majafara dalam siaran pers kepada Serambi Kamis (28/5), menanggapi proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Kawasan Ekonomi Khusus (RUU KEK) di DPR RI. Seperti diberitakan kemarin, status Sabang sebagai kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas sedang terancam, setelah sebagian besar fraksi di DPR RI menyetujui perubahan status Sabang.

Sendy menyatakan, status Sabang telah dilindungi UU Nomor 11 Tahun 2006, Pasal 169 UUPA. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa Pemerintah bersama Pemerintah Aceh mengembangkan Kawasan Perdagangan Sabang sebagai pusat pertumbuhan ekonomi regional melalui berbagai bidang kegiatan. Seperti bidang perdagangan, jasa, industri, pertambangan dan energi, transportasi dan maritim, pos dan telekomunikasi, perbankan, asuransi, pariwisata, pengolahan, pengepakan, dan gudang hasil pertanian, perkebunan, perikanan, dan industri dari kawasan sekitarnya. “Jika RUU KEK disahkan, ini sama dengan mengabaikan UUPA,” tegasnya.

Untuk itu, Sendy mengharapkan kepada Pemerintah Aceh, Pemerintah Kota Sabang, Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS), DPRK Sabang, dan DPR Aceh agar segera duduk bersama membahas persoalan ini dan mendesak pemerintah pusat supaya tidak mencabut status Sabang. “Justru ke depan perlu mendesak pemerintah pusat untuk bekerjasama dengan Pemerintah Aceh membangun Sabang menjadi pelabuhan yang bertaraf internasional,” ujarnya.

Keberadaan kawasan Sabang, harap Sendy, bisa menjadi pintu ekspor-impor yang berskala nasional dan internasional dengan menghubungkan 23 kabupaten/kota di Aceh. Sehingga kawasan Sabang bisa berfungsi untuk mendongkrak perekonomian Aceh secara keseluruhan. “Ini menjadi tantangan Pemerintah Aceh, dan Pemerintah Kota Sabang agar status yang sudah berlaku hampir sepuluh tahun ini bisa membawa manfaat bagi kesejahteraan dan kemajuan Aceh,” ujarnya.(hd) 

www.serambinews.com on 29 May 2009, 10:15

03 Januari 2010

AMIRUZZAHRI, MoT Intermediate Training (LK II) HMI Cabang Takengon

TAKENGON - Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Takengon menggelar Intermediate Training atau Latihan Kader II (LK-II) Regional Sumatera di Hotel Buntul Kubu, Takengon, Aceh Tengah. Pelatihan itu dibuka oleh Bupati Aceh Tengah Ir H Nasaruddin MM, Minggu (1/11) di Bale Pendari Takengon. Training yang akan berlangsung hingga 6 November 2009 itu diikuti oleh utusan tujuh HMI Cabang di bawah Badan Koordinasi (Badko) HMI Sumatera Utara dan Aceh.

Ketua HMI Cabang Takengon, Mizan Adli, Senin (2/11) mengatakan, LK-II HMI Regional Sumatera itu dikuti empat HMI Cabang di bawah Badko HMI Sumut yakni HMI Cabang Medan, HMI Cabang Pematang Siantar, HMI Cabang Langkat dan HMI Cabang Labuhan Batu. Sedangkan tiga HMI Cabang di bawah Badko HMI Aceh yakni HMI Cabang Tapak Tuan, HMI Cabang Meulaboh, dan HMI Cabang Takengon.

Selama pelatihan, sebanyak 26 orang peserta digembleng oleh Master of Training Badko HMI Aceh, Amiruzzahri. Mizan Adli mengatakan, LK-II bertujuan untuk membantu pemerintah dalam upaya meningkatkan pengetahuan generasi muda sebagai generasi penerus bangsa. Di samping itu, mahasiswa sebagai aset bangsa harus dibekali dengan berbagai pengetahuan, sehingga akan terbentuk generasi penerus yang memiliki wasasan dan intelektual yang dibutuhkan untuk membangun bangsa Indonesia ke depan.(min)