SEANDAINYA Musa as hidup kembali, lalu dihadirkan di tengah-tengah untuk diajukan satu pertanyaan, “Wahai Nabi Allah Musa, agama apa yang engkau anut?” Kira-kira apa jawaban Musa? Akankah ia menjawab agama Yahudi seperti klaimnya orang-orang Yahudi? Tidak, karena kata “Yahudi” atau “Judaisme” sendiri diambil dari nama Yehuda, anak Nabi Ya’qub, cicit Musa yang lahir sekitar 500 tahun setelah Musa meninggal.
Musa tidak pernah mendengar kata “Yahudi” ketika ia hidup, pun tidak pernah tersebut dalam Taurat maupun Talmud. Jika demikian, apa agama Nabi Musa as? Jawaban yang akan dia berikan adalah, “agama saya adalah agama berserah diri, pasrah, tunduk dan patuh secara tulus dan ikhlas kepada Tuhan yang satu”. Satu kata untuk jawaban indah dan panjang ini, dalam bahasa arab, disebut “Islam”.
Suatu ketika Nabi Isa as kembali hadir ke dunia ini, kita akan mendapat satu kesempatan untuk bertanya, “Wahai Ruhullah Isa as, apa agama mu?” Berharapkah kita mendengar Isa as menjawab “Kristen”? Tidak, karena kata “Kristen” tidak pernah ada ketika Isa masih hidup. Kata ini berasal dari bahasa Yunani “Christos”, terjemahan dari “alMasikh” atau “yang diberkati”. Kristus adalah nama Yunani yang diberikan untuk Isa setelah Isa tidak ada lagi. Jadi tidak mungkin Nabi Isa beragama Kristen karena agama ini sendiri tidak diberi nama oleh Isa, tetapi oleh orang lain yang tidak pernah ia kenal. Jadi apa agama Kristus? Jika ini nanti kita tanyakan kepada beliau, maka jawaban yang diberikan adalah, “agama saya adalah agama berserah diri, tunduk dan patuh secara tulus dan ikhlas kepada Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. Jawaban indah dan panjang ini dalam bahasa arab disingkat dengan: “Islam” (Deedat, “Islam, Judaism and Christianity”, a lecture in Geneve, 1987).
Jelas bahwa, “berserah diri”, “tunduk patuh”, atau “pasrah” kepada Tuhan adalah inti ajaran para nabi. Muhammad saw pun mengajarkan hal yang sama, dengan sejumlah penyempurnaan sesuai kebutuhan zaman modern dan periode terakhir kenabian.
Karena hidup ini adalah pilihan, maka hidup yang benar adalah untuk pasrah kepada Kebenaran, yaitu Allah. Sebab, jika kita tidak mau pasrah kepada Allah maka kemungkinan kita akan pasrah kepada iblis, nafsu, ego, harta, tahta, dan kawan-kawannya. Hanya dengan pasrah kepada aturan Tuhan lah kita akan mencapai keselamatan, kedamaian dan kebahagiaan dunia akhirat. Oleh sebab itu, di sisi Allah, agama yang benar adalah agama yang berserah diri, pasrah, tunduk patuh kepada-Nya, yaitu Islam (Ali Imran:19).
Ilustrasi pasrah
Pengalaman naik pesawat memperlihatkan drama tentang makna “pasrah” (Islam). Di sini tergambar dua ekstrim sikap manusia: sebagai makhluk yang angkuh, gagah, serta sebagai makhluk yang berserah diri kepada Allah. Saat berada di dalam pesawat, sikap merasa gagah dan terhormat pelan-pelan mengendur. Penumpang mulai terduduk hening. Semua patuh, mematikan telepon genggam dan sungguh-sungguh mengencangkan sabuk pengaman. Doa keselamatan yang tak pernah diucapkan selama hidup, kini mulai bermunculan. Begitu pesawat perlahan mulai bergerak, jantung pun ikut berdetak. Seiring dengungan mesin yang menghujam telinga, penumpang mulai mejamkan mata. Untuk mengurangi rasa takut, sebagian pura-pura tertidur. Tangan berpegangan erat pada pinggiran kursi. Pesawat pun bergetar hebat ketika melaju di landasan pacu. Doa dan dzikir mulai intensif. Ketakutan semakin menjadi-jadi ketika roda pesawat perlahan meninggalkan bumi.
Perasaan takut semakin hebat, membayangkan bagaimana mungkin pesawat mengangkat dirinya yang sangat berat. Belum sempurna take-off, pesawat malah memutar haluan. Di saat seperti ini, detak jantung mendekati kecepatan pesawat. Bayangan jatuh mulai terkumpul di benak. Tasbih, tahmid, tahlil dan takbir semakin tak terbendung dari mulut manakala pesawat yang sedang take-off mengalami goyangan dan guncangan.
Di saat seperti inilah manusia merasa dirinya hampa. Sifat ke-aku-an yang tadi pamer diri di bandara, kini membeku di udara. Gubernur lupa kalau dirinya gubernur. Bupati tidak tahu lagi jika dirinya bupati. Semua orang di saat take-off kehilangan identitas dunia. Semua berserah diri dan merasa dirinya bukan siapa-siapa. Satu-satunya yang coba diingat hanyalah Tuhan. Otak hanya diisi oleh pikiran positif tentang-Nya.
“La haula wala quwwata illa billah”, tidak ada daya dan upaya selain dengan izin Allah. Inilah saat dimana harta dan kedudukan tidak berguna. Sebagian mulai membayangkan detik-detik kematian. Yang teringat hanyalah amal yang telah dilakukan. Pada kondisi kritis seperti ini, semua merasa amalannya sedikit dan berharap telah melakukan lebih banyak. Sebagian penumpang mulai memohon keampunan kepada Allah atas dosa-dosa terdahulu dan berjanji akan lebih baik lagi jika selamat dari penerbangan.
Itulah contoh sempurna sikap pasrah, berserah diri atau Islam. Sebuah sikap jiwa yang muncul untuk sepenuh hati menggantungkan diri kepada Allah. Sikap ini mampu menghilangkan seluruh ego atau ke-aku-an yang sering mendominasi manusia. Pikiran sepenuhnya tertuju kepada Pencipta.
Sikap pasrah ini menyebabkan orang tunduk dan patuh kepada semua aturan yang memang diracang untuk keselamatan manusia. Orang yang berserah diri sepenuhnya sadar, Dia lah pemilik segalanya dan berhak mengambil semua miliknya kapan saja dia kehendaki.
Sikap pasrah terus berlanjut sepanjang perjalanan udara. Setiap ada guncangan, penumpang kembali bershalawat. Sikap pasrah semakin tinggi manakala langit pekat, petir menyambar, pesawat turun naik dalam udara kosong. Rasa takut senantiasa muncul. Semua patuh pada perintah pilot dan pramugari. Penumpang yakin, kepatuhan lah sumber keselamatan. Rasa takut positif inilah yang disebut dengan “taqwa”.
Ilustrasi naik pesawat ini menggambarkan bagaimana sikap Islam (pasrah) terbentuk. Namun, sikap tunduk dan patuh atau berserah diri kepada Allah ini tidak sustainable. Hanya muncul mendadak saat naik pesawat, lalu hilang ketika mendarat. Lihat saja kalau tidak percaya, pesawat belum berhenti sempurna, penumpang sudah melepaskan sabuk pengaman dan menghidupkan telepon genggam. Dasar manusia. Sifat ingkar, angkuh, dan ke-aku-an selalu muncul ketika merasa dirinya sudah aman. Kita lupa, bumi tempat kita menginjakkan kaki juga sebuah “pesawat”, benda langit tak berlandasan, melayang-layang di angkasa sejak ia tercipta. Suatu saat bumi ini akan kehilangan keseimbangan dalam sebuah turbulensi dahsyat yang disebut kiamat.
Hakikatnya, kita adalah partikel kecil yang melayang-layang di angkasa Tuhan. Allah lah satu-satunya landasan tempat kita semua akan mendarat. Selama masih melayang-layang menunggu kematian, maka “pasrah”, “berserah diri”, atau tunduk dan patuh yang berkelanjutan kepada Allah swt adalah satu-satunya pilihan agar hidup menjadi benar, baik, dan indah. Wallahu a’alam.
Musa tidak pernah mendengar kata “Yahudi” ketika ia hidup, pun tidak pernah tersebut dalam Taurat maupun Talmud. Jika demikian, apa agama Nabi Musa as? Jawaban yang akan dia berikan adalah, “agama saya adalah agama berserah diri, pasrah, tunduk dan patuh secara tulus dan ikhlas kepada Tuhan yang satu”. Satu kata untuk jawaban indah dan panjang ini, dalam bahasa arab, disebut “Islam”.
Suatu ketika Nabi Isa as kembali hadir ke dunia ini, kita akan mendapat satu kesempatan untuk bertanya, “Wahai Ruhullah Isa as, apa agama mu?” Berharapkah kita mendengar Isa as menjawab “Kristen”? Tidak, karena kata “Kristen” tidak pernah ada ketika Isa masih hidup. Kata ini berasal dari bahasa Yunani “Christos”, terjemahan dari “alMasikh” atau “yang diberkati”. Kristus adalah nama Yunani yang diberikan untuk Isa setelah Isa tidak ada lagi. Jadi tidak mungkin Nabi Isa beragama Kristen karena agama ini sendiri tidak diberi nama oleh Isa, tetapi oleh orang lain yang tidak pernah ia kenal. Jadi apa agama Kristus? Jika ini nanti kita tanyakan kepada beliau, maka jawaban yang diberikan adalah, “agama saya adalah agama berserah diri, tunduk dan patuh secara tulus dan ikhlas kepada Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. Jawaban indah dan panjang ini dalam bahasa arab disingkat dengan: “Islam” (Deedat, “Islam, Judaism and Christianity”, a lecture in Geneve, 1987).
Jelas bahwa, “berserah diri”, “tunduk patuh”, atau “pasrah” kepada Tuhan adalah inti ajaran para nabi. Muhammad saw pun mengajarkan hal yang sama, dengan sejumlah penyempurnaan sesuai kebutuhan zaman modern dan periode terakhir kenabian.
Karena hidup ini adalah pilihan, maka hidup yang benar adalah untuk pasrah kepada Kebenaran, yaitu Allah. Sebab, jika kita tidak mau pasrah kepada Allah maka kemungkinan kita akan pasrah kepada iblis, nafsu, ego, harta, tahta, dan kawan-kawannya. Hanya dengan pasrah kepada aturan Tuhan lah kita akan mencapai keselamatan, kedamaian dan kebahagiaan dunia akhirat. Oleh sebab itu, di sisi Allah, agama yang benar adalah agama yang berserah diri, pasrah, tunduk patuh kepada-Nya, yaitu Islam (Ali Imran:19).
Ilustrasi pasrah
Pengalaman naik pesawat memperlihatkan drama tentang makna “pasrah” (Islam). Di sini tergambar dua ekstrim sikap manusia: sebagai makhluk yang angkuh, gagah, serta sebagai makhluk yang berserah diri kepada Allah. Saat berada di dalam pesawat, sikap merasa gagah dan terhormat pelan-pelan mengendur. Penumpang mulai terduduk hening. Semua patuh, mematikan telepon genggam dan sungguh-sungguh mengencangkan sabuk pengaman. Doa keselamatan yang tak pernah diucapkan selama hidup, kini mulai bermunculan. Begitu pesawat perlahan mulai bergerak, jantung pun ikut berdetak. Seiring dengungan mesin yang menghujam telinga, penumpang mulai mejamkan mata. Untuk mengurangi rasa takut, sebagian pura-pura tertidur. Tangan berpegangan erat pada pinggiran kursi. Pesawat pun bergetar hebat ketika melaju di landasan pacu. Doa dan dzikir mulai intensif. Ketakutan semakin menjadi-jadi ketika roda pesawat perlahan meninggalkan bumi.
Perasaan takut semakin hebat, membayangkan bagaimana mungkin pesawat mengangkat dirinya yang sangat berat. Belum sempurna take-off, pesawat malah memutar haluan. Di saat seperti ini, detak jantung mendekati kecepatan pesawat. Bayangan jatuh mulai terkumpul di benak. Tasbih, tahmid, tahlil dan takbir semakin tak terbendung dari mulut manakala pesawat yang sedang take-off mengalami goyangan dan guncangan.
Di saat seperti inilah manusia merasa dirinya hampa. Sifat ke-aku-an yang tadi pamer diri di bandara, kini membeku di udara. Gubernur lupa kalau dirinya gubernur. Bupati tidak tahu lagi jika dirinya bupati. Semua orang di saat take-off kehilangan identitas dunia. Semua berserah diri dan merasa dirinya bukan siapa-siapa. Satu-satunya yang coba diingat hanyalah Tuhan. Otak hanya diisi oleh pikiran positif tentang-Nya.
“La haula wala quwwata illa billah”, tidak ada daya dan upaya selain dengan izin Allah. Inilah saat dimana harta dan kedudukan tidak berguna. Sebagian mulai membayangkan detik-detik kematian. Yang teringat hanyalah amal yang telah dilakukan. Pada kondisi kritis seperti ini, semua merasa amalannya sedikit dan berharap telah melakukan lebih banyak. Sebagian penumpang mulai memohon keampunan kepada Allah atas dosa-dosa terdahulu dan berjanji akan lebih baik lagi jika selamat dari penerbangan.
Itulah contoh sempurna sikap pasrah, berserah diri atau Islam. Sebuah sikap jiwa yang muncul untuk sepenuh hati menggantungkan diri kepada Allah. Sikap ini mampu menghilangkan seluruh ego atau ke-aku-an yang sering mendominasi manusia. Pikiran sepenuhnya tertuju kepada Pencipta.
Sikap pasrah ini menyebabkan orang tunduk dan patuh kepada semua aturan yang memang diracang untuk keselamatan manusia. Orang yang berserah diri sepenuhnya sadar, Dia lah pemilik segalanya dan berhak mengambil semua miliknya kapan saja dia kehendaki.
Sikap pasrah terus berlanjut sepanjang perjalanan udara. Setiap ada guncangan, penumpang kembali bershalawat. Sikap pasrah semakin tinggi manakala langit pekat, petir menyambar, pesawat turun naik dalam udara kosong. Rasa takut senantiasa muncul. Semua patuh pada perintah pilot dan pramugari. Penumpang yakin, kepatuhan lah sumber keselamatan. Rasa takut positif inilah yang disebut dengan “taqwa”.
Ilustrasi naik pesawat ini menggambarkan bagaimana sikap Islam (pasrah) terbentuk. Namun, sikap tunduk dan patuh atau berserah diri kepada Allah ini tidak sustainable. Hanya muncul mendadak saat naik pesawat, lalu hilang ketika mendarat. Lihat saja kalau tidak percaya, pesawat belum berhenti sempurna, penumpang sudah melepaskan sabuk pengaman dan menghidupkan telepon genggam. Dasar manusia. Sifat ingkar, angkuh, dan ke-aku-an selalu muncul ketika merasa dirinya sudah aman. Kita lupa, bumi tempat kita menginjakkan kaki juga sebuah “pesawat”, benda langit tak berlandasan, melayang-layang di angkasa sejak ia tercipta. Suatu saat bumi ini akan kehilangan keseimbangan dalam sebuah turbulensi dahsyat yang disebut kiamat.
Hakikatnya, kita adalah partikel kecil yang melayang-layang di angkasa Tuhan. Allah lah satu-satunya landasan tempat kita semua akan mendarat. Selama masih melayang-layang menunggu kematian, maka “pasrah”, “berserah diri”, atau tunduk dan patuh yang berkelanjutan kepada Allah swt adalah satu-satunya pilihan agar hidup menjadi benar, baik, dan indah. Wallahu a’alam.
* Penulis adalah pemerhati sosial keagamaan.
Sumber : http://www.serambinews.com/news/view/44403/pasrah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kirimkan Komentar, kesan dan pesan anda untuk memjadi bahan agar situs ini makin baik kedepan...