Anggapan orang barat bahwa Islam sebagai faktor penghambat pembangunan ekonomi sampai sekarang tidak bisa dibuktikan kebenarannya karena pada dasarnya elemen terpenting dari strategi Islam untuk mencapai tujuan-tujuan Islam adalah terintegrasinya semua aspek kehidupan keduniaan termasuk pembangunan ekonomi, dengan aspek spriritual untuk menghasilkan suatu peningkatan moral manusia dan masyarakat dimana ia hidup. Tanpa adanya peningkatan moral tidak akan mungkin tercapai kesejahteraan manusia yang hakiki, walaupun kebutuhan materil telah terpenuhi.
Hal ini telah terbukti bahwa tanpa peningkatan moral juga akan menimbulkan bencana besar, brutalitas manusia modern, keacuhan terhadap penderitaan sesama, potensi untuk melakukan bencana berskala missal, nafsu kebinatangan dan mungkin masih banyak bencana lain yang ditimbulkan karena perkembangan ekonomi maupun sosial politik yang tidak dibarengi dengan perbaikan moral. Dalam konteks ini klaim Islam mulai berarti bagi mereka yang pernah menafikan keberadaan Islam sebagai suatu ajaran yang memberikan sumbangsih pemikiran dalam segala aspek kehidupan dan tidak hanya bergerak dalam bidang ritual keagamaan saja.
Namun demikian, walaupun Islam merupakan ajaran yang komprehensif dan universal, akan tetapi sudah cukup lama umat Islam baik di Indonesia maupun dibelahan dunia Islam lainnya mengalami berbagai kendala dalam pengembangan potensi dan pembangunan ekonominya. Hal ini disebabkan oleh penyakit dualisme ekonomi syari’ah yang cukup kronis. Dualisme ini muncul sebagai akibat dari ketidakmampuan umat Islam untuk menggabungkan dua disiplin ilmu ekonomi dan syari’ah, yang seharusnya saling mengisi dan menyempurnakan. Di satu pihak kita memiliki para ekonom, bangkir dan businessman yang aktif dalam menggerakkan roda pembangunan, tetapi “lupa” membawa pelita agama karena memang tidak menguasai syari’ah, terlebih lagi fiqh muamalat secara mendalam. Di lain pihak kita juga menemukan para kyai dan ulama yang menguasai konsep fiqh, ushul fiqh, ulumul Qur an secara mendalam, akan tetapi mereka kurang menguasai dan memantau tentang fenomena ekonomi dan gejolak bisnis yang terjadi disekelilingnya.
Yang diinginkan Islam adalah para ekonom, bankir, businessman bisa menguasai syari’ah khususnya fiqh muamalah, yang berbicara tentang hubungan manusia yang satu dengan manusia yang lain, yang menyangkut didalamnya masalah ekonomi. Begitu juga para kyai dan ulama bisa menguasai masalah-masalah yang terjadi disekelilingnya, sehingga roda pembangunan seperti yang diharapkan Islam bisa berjalan lancar. Pembangunan ekonomi bertumpu pada pembangunan manusia, dimana pembangunan ekonomi baru berjalan lancar dan sesuai dengan yang diharapkan kalau seandainya pembangunan sumber daya manusianya telah berhasil dilakukan, karena roda pembangunan ekonomi itu sendiri dijalankan oleh manusia.
Pembangunan ekonomi yang diharapkan oleh masyarakat adalah pembangunan yang berkonsep pada keadilan yang bisa memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi semua pihak tanpa menzalimi dan memudharatkan orang lainnya. Letak keadilan adalah pada sikap manusia, bukan pada konsep, karenanya Islam menekankan bahwa tiang pembangunan adalah manusianya. Betapapun idealnya sebuah konsep dan agungnya konsep yang ditawarkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah tentang ekonomi, tidak akan berjalan sesuai dengan yang diinginkan tanpa adanya keadilan dan manusialah yang akan menegakkannya. Dalam perspektif Islam, pembangunan ekonomi itu bersifat universal, artinya ajaran Islam dapat diterapkan kapanpun waktunya, dimanapun tempatnya dan pada siapapun objeknya, yang akan menguntungkan semua pihak.
Dalam pembangunan ekonomi Islam terdapat beberapa ajaran dasar, pertama : pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada dimuka bumi ini termasuk harta benda adalah Allah SWT. Oleh karenanya manusia dalam mengolah alam semesta ini harus dengan keadilan bagi seluruh manusia serta tidak semena-mena karena status harta yang dimiliki manusia adalah : (1). Harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT. Manusia hanya pemegang amanah, karena memang manusia tidak dapat mengadakan sesuatu yang tiada menjadi ada, (2). Harta sebagai perhiasan hidup, yang memungkinkan manusia untuk menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan, (3). Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya, (4). Harta sebagai bekal ibadah. Yakni untuk melaksanakan perintah-Nya dan melaksanakan muamalah diantara sesama manusia, melalui kegiatan zakat, Infaq, dan shadaqah. Kedua : harta kekayaan (modal) hendaknya berputar diantara manusia melalui mekanisme yang ada, misalnya pewarisan, jual beli, zakat infaq, shadaqah, hadiah dan laun sebagainya, sehingga jurang pemisah antara si kaya dan si miskin dapat dihindarkan. Ketiga :kegiatan-kegiatan ekonomi dibolehkan atas prinsip-prinsip saling menolong dan saling menanggung, serta tidak melakukan transaksi-transaksi yang bersifat merugikan satu sama lain, seperti penipuan dalam perdagangan, monopoli, dan lain sebagainya. Keempat : kepemilikan harta dapat dilakukan dengan cara yang halal dan dilarang menempuh usaha yang haram, seperti kegiatan riba, perjudian, mencuri, merampok, jual beli minuman keras dan lain sebagainya. Kelima :campur tangan pemerintah terhadap pasar adalah campur tangan bersifat moral, diantaranya adalah sistem dan mekanisme kawalan terhadap tingkah laku para pelaku pasar, sehingga pasar dapat berjalan dengan sehat.
Dari beberapa ajaran dasar tersebut, dapat kita ketahui bahwa tujuan yang ingin dicapai Islam melalui pembangunan ekonomi yaitu:
1. Kesejahteraan ekonomi dalam kerangka norma-norma Islam.
Islam berprinsip bahwa pencapaian kesejahteraan ekonomi harus menjadi salah satu tujuan ekonomis masyarakat Islam karena hal itu merupakan manifestasi dari usaha terus menerus melalui riset dan pengembangan tehnologi untuk memanfaatkan sumber daya yang disediakan Allah SWT, guna kepentingan dan peningkatan kualitas hidup manusia. Upaya tersebut telah dibingkai dengan indah melalui norma-norma yang digaris oleh Islam. Dengan demikian akan menunjang usaha untuk mencapai tujuan diciptakan manusia, yaitu hasanah di dunia dan hasanah di akhirat (konsep al-falah).
2. Persaudaraan dan keadilan universal.
Islam bertujuan membentuk suatu tertib sosial dimana semua orang diikat dengan tali persaudaraan dan kasih sayang seperti dalam satu keluarga. Persaudaraan yang dibangun adalah persaudaraan yang universal dan tidak picik. Konsep persaudaraan ini berhubungan erat dengan keadilan, karena keadilan merupakan salah satu tujuan utama ajaran Islam. Keadilan dalam Islam mempunyai implikasi sebagai berikut : (a). Keadilan sosial; Islam menganggap umat manusia sebagai suatu keluarga, sama derajat dihadapan Allah hukum yang diwahyukan oleh-Nya. Tidak ada perbedaan antara si kaya dengan si miskin, antara yang berpangkat tinggi dan yang berpangkat rendah, antara yang berkulit hitam dan yang berkulit putih. Secara sosial yang membedakan satu sama lain adalah ketaqwaan, ketulusan hati, kemampuan dan pelayanannya kepada mnusia. (b). keadilan ekonomi; Konsep persaudaran dan perlakuan yang sama tidak berarti apa-apa, kalau tidak disertai dengan keadilan. Dengan keadilan ekonomi, setiap individu akan mendapatkan haknya sesuai dengan konstribusi masing-masing kepada masyarakat. Setiap individu pun harus terbebaskan dari eksploitasi individu lainnya. Konsep keadilan ekonomi dalam Islam mengharuskan setiap orang mendapatkan haknya dan tidak mengambil hak orang lain.
3. Distribusi pendapatan yang adil.
Kesenjangan pendapatan dan kekayaan alam yang dalam masyarakat berlawanan dengan semangat serta komitmen Islam terhadap persaudaraan dan keadilan ekonomi. Kesenjangan harus diatasi dengan menggunakan cara yang ditekankan Islam, diantaranya yaitu dengan : (a). Menghapuskan monopoli, kecuali oleh pemerintah untuk bidang-bidang tertentu, (b). Menjamin hak dan kesempatan semua pihak untuk aktif dalam proses ekonomi baik produksi, distribusi maupun konsumsi, (c). Menjamin basic needs fulfillment (Pemenuhan kebutuhan dasar hidup) setiap anggota masyarakat, (d). Melaksanakan amanah dimana yang mampu menanggung yang tidak mampu.
Islam membenarkan seseorang memiliki kekayaan lebih dari yang lain sepanjang kekayaan tersebut didapatkan dengan cara yang halal dan yang bersangkutan telah menunaikan kewajibannya bagi kesejahteraan masyarakat, baik dalam bentuk zakat, maupun amal kebajikan lain seperti infaq dan sadaqah. Dengan cara itu, standar kehidupan setiap individu lebih terjamin. Sisi manusiawi dan kehormatan setiap individu akan lebih terjaga sesuai dengan martabat yang sudah melekat pada manusia, yaitu khalifah Allah di muka bumi.
Konsep keadilan Islam dalam distribusi pendapatan serta konsep keadilan ekonomi, menghedaki setiap individu mendapatkan imbalan sesuai dengan amal dan kerjanya. Ketidak samaan pendapatan dimungkinkan dalam Islam karena kontribusi masing-masing orang kepada masyarakat berbeda-beda. Jika seluruh ajaran Islam termasuk pelaksanaan syari’ah serta norma keadilan diterapkan, kesenjangan kekayaan serta pendapatan yang mencolok tidak akan terjadi pada masyarakat.
4. Kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan sosial.
Manusia dilahirkan merdeka, tidak ada seorangpun bahkan negara manapun yang berhak mencabut kemerdekaan tersebut. Dalam konsep ini setiap individu berhak menggunakan kemerdekaannya tersebut, sepanjang kebebasan tersebut dapat dipertanggungjawabkan, baik secara sosial maupun dihadapan Allah SWT. Islam mengakui pandangan universal, bahwa kebebasan individu bersinggungan atau bahkan dibatasi oleh kebebasan individu orang lain. Hal ini berbeda sekali dengan pendapat Adam Smith yang mengatakan “bahwa melayani kepentingan diri sendiri oleh setiap individu pada gilirannya adalah melayani kepentingan sosial”. Pendapat ini jelas keliru karena kedua kepentingan tersebut tidak selalu seirama. Misalnya susatu pengurangan substsnsial dari konsumsi barang mewah dari si kaya sangat diperlukan untuk meningkatkan tabungan yang akan memberikan efek pemenuhan kebutuhan secara umum dan kesempatan kerja penuh, akan tetapi hal ini tidak secara langsung menjadi keinginan si kaya. Begitu pula mencegah polusi air sungai di suatu negara adalah kepentingan masyarakat, tetapi tidak selalu memberikan kepuasan duniawi kepada sang produsen, sebab hal ini akan meningkatkan biaya produksi dan akan mengurangi keuntungannya.
Menyangkut dengan masalah hak individu dalam kaitannya dengan masyarakat, Islam memiliki beberapa prinsip yaitu : (a). Kepentingan masyarakat yang lebih luas harus didahulukan dari pada kepentingan individu, (b). Melepaskan kesulitan harus diprioritaskan dibandingkan memberikan manfaat, meskipun keduanya sama-sama merupakan tujuan syariah, (c). Kerugian yang lebih besar tidak dapat diterima untuk menghilangkan kerugian yang lebih kecil. Manfaat yang lebih besar tidak dapat dikorbankan untuk manfaat yang lebih kecil. Sebaliknya bahaya yang lebih kecil harus dapat diterima atau diambil untuk menghindarkan bahaya yang lebih besar, sedangkan manfaat yang lebih kecil dapat dikorbankan untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar. Kebebasan individu dalam kerangka etika Islam diakui, selama tidak bertentangan dengan kepentingan sosial yang lebih besar atau sepanjang individu itu tidak melangkahi hak-hak orang lain.
Dari pembahasan tersebut diatas, dapat disimpulkan, bahwa dalam pembangunan ekonomi Islam menundukkan manusia dan segala aktivitasnya di bawah pengawasan moral, dan spritual. Manusia dipandang sebagai makhluk yang mempunyai kepribadian moral, karenanya ilmu ekonomi tidak mungkin bebas dari dimensi moral itu sendiri, berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis, yang menawarkan prinsip ekonomi, adanya kebebasan memiliki harta secara individual dan persaingan bebas, tanpa harus mengindahkan segi moral, sehingga terjadinya kesenjangan antara si pekerja dengan si pemilik modal sebagai pelaku ekonomi yang memegang kebijakan ekonomi, selain itu persaingan bebas juga akan melahirkan individu-individu yang berusaha untuk kepentingan diri sendiri tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat, dan akan menghalalkan segala cara, sehingga kekayaan hanya dimiliki oleh segelintir orang sedangkan yang lain hidup dalam kemiskinan. Kalau hal itu terjadi maka pembangunan ekonomi tidak akan tercapai, karena pembangunan ekonomi dengan keadilan tidak akan bisa tanpa pembangunan moral pada sumber daya manusianya.
Pembangunan ekonomi juga tidak akan bisa berjalan, kalau seandainya kebebasan individu dikekang, sehingga ruang gerak individu dalam kegiatan ekonomi menjadi sempit. Dan kemajuan tidak akan tercapai. Kebebasan individu dalam Islam juga diakui, tapi kebebasan dalam artian tidak semena-mena tetapi kebebasan yang tidak bersinggungan dengan hak orang lain, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara sosial dan dihadapan Allah SWT. Tidak ada seperti dalam konsep ekonomi sosialis, bahwa harta adalah milik negara dan adanya persamaan dalam bidang ekonomi serta tidak mengakui adanya kebebasan individu dalam berbuat, baik berpikir maupun bertindak. Walaupun kebutuhan sandang, pangan dan papan dapat dipenuhi karena telah disediakan oleh negara, tetapi tawar menawar sangat susah dilakukan masyarakat yang terpaksa mengorbankan kebebasan pribadinya dan hak dalam harta yang dimilikinya.
Pembangunan tidak harus pertumbuhan dalam rata-rata pendapatan perkapita, tetapi juga reduksi dalam kemiskinan (Dr. Umer Chapra. Hal. 53, 2000). Hal ini sudah sangat jelas, bahwa output yang besar yang dihasilkan oleh suatu negara, belum bisa dikatakan bahwa negara tersebut telah mengalami pembangunan ekonomi, karena pada intinya, pembangunan ekonomi hanya bertujuan untuk kesejahteraan masyarakatnya. Dan kesejahteraan itu tidak akan didapatkan, kalau kemiskinan masih merajalela, dan adanya ketidakmerataan. Keadilan dan kesejahteraan itu baru bisa dicapai dengan adanya pembenahan pada manusianya, sehingga keadilan bisa diwujudkan dan kemiskinan serta ketidakmerataan dapat diminimalkan.
*) Penulis adalah Wakil Sekretaris Umum Bidang Internal Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam NAD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kirimkan Komentar, kesan dan pesan anda untuk memjadi bahan agar situs ini makin baik kedepan...