Ahmad Nasir Siregar (Sekretaris Jenderal PB HMI)
“Moderates all over the world, unite!”—Profesor Johan Galtung
Overview: Pemuda Indonesia dan Tantangan Dunia
Sejak merdeka, Indonesia sebagai negara-bangsa, senantiasa menghadapi konteks politik dan tantangan zaman yang berbeda-beda. Para pendiri bangsa seperti Sukarno, Hatta dan Sjahrir dan yang lainnya telah melaksanakan tugasnya secara baik, yakni berjuang untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara bangsa yang merdeka (creation), dengan segenap tantangan situasi nasional ataupun internasional di awal abad XX.
Sementara, sekarang ini kompleksitas permasalahan dan tantangan dunia telah berbeda. Sehingga dibutuhkan kesiapan semua anak banga untuk melakukan pengembangan atau pembaruan bangsa (renewal) agar senantiasa tercapai cita-cita mulia yang diwariskan oleh founding fathers Indonesia. Cita-cita itulah yang menopang seluruh elemen bangsa Indonesia untuk mampu bukan saja bertahan dalam menghadapi tantangan-tantangan dinamis zaman ini, tetapi juga menghantarkan Indonesia menjadi negara maju yang disegani masyarakat dunia. Artinya, perbedaan kondisi zaman yang ada tidak lantas melenyapkan cita-cita.
Jika kita belajar dari sejarah, terbuktilah pemuda menjadi aktor penting dari perjalanan historis perjuangan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, tepat kiranya jika Indonesianis, Benedict Anderson, menyebut, bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah pemudanya. Kehadiran pemudalah, kata Benedict Anderson, yang menciptakan momen sejarah Indonesia masa depan, yakni sejarah terbentuknya sebuah bangsa yang satu, merdeka dari ketertindasan kolonialisme (Revolusi Pemuda: 1988). Kesadaran sejarah inilah yang berfungsi sebagai garis lintas yang dijadikan pemuda untuk selalu memandang ke depan dan menemukan kontektualisasi peran dan bentuk perjuangan dengan situasi hari ini maupun masa depan.
Warisan ideologi dan semangat perjuangan para pemuda pendahulu bangsa, yang terpatri di dalam nilai-nilai Sumpah Pemuda hendaknya diingat pada setiap waktu dan tempat. Seperti diungkap Bung Karno saat peringatan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1956 yang diambil dari sumber Harian Rakjat, 1956 : “Presiden menjatakan bahwa diperingatinja hari 28 Oktober kali ini adalah suatu opfressing, suatu freshing up, suatu penjegaran bagi semangat persatuan jang akhir-akhir ini terganggu. Presiden menjatakan bahwa sudah selajaknya Sumpah Pemuda diperingati, bahkan djangan hanja setiap tahun, tetapi tiap-tiap hari, tiap-tiap djam, tiap-tiap menit, tiap-tiap detik. Persiapan ideologis, jaitu Sumpah Pemuda, memerlukan penjelenggaraan praktis itu” (Keith Folucher, Sumpah Pemuda : The Meaning of a symbol of Indonesian Nationhood, hal. 47)
Menggali kembali nilai-nilai Sumpah Pemuda seperti ini tentu saja bukan hanya sekedar bertolak dari semangat romantisme masa lalu semata, tetapi justru merupakan stand point bagi semangat untuk menjawab masalah-masalah terkini untuk menciptakan masa depan bangsa yang lebih baik.Setiap kaum muda Indonesia memiliki tanggungjawab untuk senantiasa mereflesikan dan mencarikan jalan keluar dari seluruh permasalahan dan tantangan dunia, dan lebih spesifik krisis yang melanda Indonesia sejak 1998.
Indonesia adalah negara kaya, dengan sumber daya alam dan keanekaragaman agama, budaya, bahasa, adat istiadat, etnis, dan lainnya. Namun, sayangnya kekayaan itu belum bisa membuat Indonesia bangkit dari krisis. Justru sebaliknya, korupsi semakin merajalela, kemiskinan dan pengangguran terus meningkat, pelayanan kesehatan dan pendidikan memprihatinkan, utang terus membebani rakyat, dan konflik-konflik berbasis SARA belum juga usai.
Kenyataan ini telah membuat kaum muda Indonesia semakin prihatin. Di tahun 2006 yang lalu, berbagai elemen dan organisasi pemuda yang tergabung dalam Lingkar Muda Indonesia (LMI), pernah menyikapi situasi yang berkembang di negeri ini, dengan menyebut ada dua sumber penyebab Indonesia gagal untuk bangkit dari krisis, yakni kecenderungan fundamentalisme pasar dan fundamentalisme agama.
Lingkar Muda Indonesia menyebut “fundamentalisme pasar dengan kekuatan korporasi global tengah melahirkan pemiskinan, ketidakadilan sosial, pendangkalan hidup, penyeragaman, dan mengancam kedaulatan negara lewat jebakan utang dan kesepakatan global yang tak adil. Kekuasaan korporasi global telah melumpuhkan kekuasaan negara dan pemerintahan. Pemerintah sebagai lembaga utama negara semakin kehilangan kapasitas untuk mengurus kepentingan publik…”(Kompas, Senin, 22 Mei 2006).
Sedangkan, fundamentalisme agama dengan kekuatan kelompok sektarian telah memaksa kehendaknya dengan melakukan “…tindak kekerasan dengan mengatasnamakan nilai- nilai agama, konflik horizontal antar kelompok berlabel agama, etnis, dan golongan” (Kompas, Senin, 22 Mei 2006).
Alhasil, kedua kekuatan fundamentalisme itu sama-sama mengingkari cita-cita Indonesia yang dibangun demi kesejahteraan seluruh rakyat berdasarkan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Kelompok fundamentalisme pasar menjarah kekayaan alam Indonesia dan akan terus melakukan praktik pemiskinan kepada rakyat. Sementara kelompok fundamentalisme agama “memerangi individu dan kelompok yang dinilai tak bermoral, menyimpang, murtad, berbeda keyakinan, aliran, dan pandangan.”
Dogma Ganda Fundamentalisme
Besarnya pengaruh kecenderungan praktek fundamentalisme pasar dan agama yang bakal mengancam Indonesia sebagai bangsa yang telah disinyalir oleh Lingkar Muda Indonesia (LMI), diperkuat kembali oleh B. Herry-Priyono, yang menjadi salah satu pemakalah dalam Kongres Pancasila 2009, yang diselenggarakan Universitas Gadjah Mada dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, di Yogyakarta, 30 Mei – 1 Juni 2009.
Menurut B. Herry-Priyono, fundamentalisme pasar dan agama adalah dua faktor besar yang menandai cuaca sejarah dewasa ini, yang disebutnya sebagai “dua gelombang dogma raksasa”, yang sangat berpengaruh terhadap lemahnya kehendak, daya intensionalitas dan kesengajaan untuk membentuk atau membaharui Indonesia sebagai bangsa (Agenda Indonesia, Sebuah Bangsa hanya Dibentuk dengan Sengaja, 2009).
Kedua fundamentalisme itu, tulis B. Herry-Priyono, beroperasi dengan modus kinerja berbeda. “Jika fundamentalisme agama beroperasi dengan melakukan totalisasi cara kerja seluruh bidang kehidupan masyarakat atas dasar doktrin agama, fundamentalisme pasar ingin menciptakan tatanan masyarakat (social order) melalui anarki pengejaran kepentingan-diri tiap orang atas dasar prinsip harga (price). Dengan kata lain, fundamentalisme agama adalah bentuk totalitarianisme, sedangkan fundamentalisme pasar merupakan bentuk anarkisme”(Agenda Indonesia…2009).
Dengan lebih lugas, B. Herry-Priyono menyebut : “konsep ‘harga’ pasar pada akhirnya menyangkut urusan kemampuan daya-beli warga (purchasing power). Itu sama dengan agenda untuk menciptakan ‘kewarganegaan’ (citizenship) melalui rute penciptaan ‘konsumen’ (consumership). Prinsip kewarganegaraan adalah hak dan kewajiban politik, sedangkan prinsip konsumen adalah daya-beli. Dari sini penyingkiran warga-negara yang berdaya-beli rendah (kaum miskin) segera terjadi. Dengan kata lain, cita-cita membentuk tatanan (Indonesia) melalui rute ketidaksengajaan anarkisme pasar punya konsekuensi yang tidak kurang ganas dibandingkan penyingkiran melalui fundamentalisme agama” (Agenda Indonesia…2009).
Sebetulnya, berkembangnya kritik atas mainstream fundamentalisme pasar dan agama di dunia, telah dikemukakan jauh hari oleh Professor Johan Galtung, Ahli Sosiologi, pemenang Nobel Perdamaian dan Penganjur Jurnalisme Perdamaian. Di hadapan ribuan orang pendukung gerakan perdamaian Jerman, di Kota Koeln, untuk memperingati setahun tragedi 11 September 2001, Galtung menungkapkan tiga kekuatan fundamentalis dunia. Pertama, fundamentalis faksi Wahabi Osama bin Laden, kedua, fundamentalisme faksi puritan Protestan, dan ketiga fundamentalisme pasar.
Mereka yang berada dibelakang fundamentalisme jenis pertama dan kedua, kata Galtung, yang bertanggung jawab di belakang tragedi 11 September dan pengeboman Afghanistan serta Irak dengan korban puluhan ribu warga sipil tak berdosa. Di tempat inilah seruan Galtung yang terkenal menyeruak ke dunia : “Moderates all over the world, unite!”
Ketika berkesempatan berkunjung ke Indonesia tahun 2002 atas undangan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dalam lokakarya “penanganan konflik sosial” dengan peserta yang berasal dari kalangan aktivis resolusi konflik sejumlah negara di Asia Tenggara, Harian Kompas sempat mewawancarainya di sela-sela acara tersebut. Dalam salah satu satu petikan wawancaranya, Galtung menyebut bahwa alasan fundamentalisme agama melakukan aksi terorisme yang brutal, karena terkait globalisasi atau kebijakan luar negeri AS bukan terhadap demokrasi.
“Kalau Anda melihat peristiwa 11 September, serangan ke World Trade Center, serangan bom mobil ke Departemen Luar Negeri, saya kira menjadi cukup jelas. Mereka mampu menyerang apa saja. Namun, penyerangan itu pasti terkait dengan globalisasi atau kebijakan luar negeri AS; bukan terhadap demokrasi karena mereka tidak menyerang Gedung Kongres; tidak juga kebudayaan, karena mereka tidak menyerang Lincoln Memorial; juga tidak terkait dengan soal kebebasan karena mereka tidak menyerang Patung Liberty,” ucapnya seperti dikutip Kompas, dalam Lebih Jauh dengan Professor Johan Galtung, Minggu, 17 November 2002.
Jika dibandingkan dengan apa yang diperbuat teroris, justru “terorisme negara” yang dilakukan AS jauh lebih berbahaya karena menggabungkan fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar, kata Galtung. “Serangan AS terhadap Afganistan memenuhi kriteria tindakan teroris. AS memasukkan daftar 60 negara sebagai sasaran perang melawan terorisme dan menyatakan diri berhak melakukan operasi di negara-negara tersebut tanpa memberi tahu pemerintahan negara bersangkutan. Hukum-hukum internasional diabaikan.” (Kompas, 17 November 2002)
Fundamentalisme Agama versus Kapitalisme Global
Untuk konteks Indonesia, menurut penulis fenomena gerakan fundamentalisme agama juga mencirikan perlawanan atas penindasan dan ketidakadilan kapitalisme global yang disponsori terutama Amerika Serikat. Persis seperti diungkapkan oleh seorang aktifis prolifik Eko Prasetyo, dalam bukunya Membela Agama Tuhan; Potret Gerakan Islam dalam Pusaran Konflik Global (INSISTPress, 2002). Dalam penulisan buku tersebut, Eko berperan langsung sebagai partisipant observation atau periset yang terlibat, plus dilengkapi dengan wawancara mendalam terhadap aktifis dan aktivitas yang mereka lakukan, khususnya Laskar Jihad dan beberapa organisasi Islam lainnya.
Berdasarkan interaksi dengan gerakan fundamentalis agama ini, Eko berpendapat bahwa sejatinya mereka ingin didengar suaranya dan ingin diakui eksistensinya untuk membangun sebuah peradaban di dunia yang direstui oleh Tuhan. Tapi, sangat disayangkan, fundamentalisme pasar justru menuduh mereka sebagai teroris yang membahayakan perdamaian dunia, persis setelah peledakan gedung WTC dan tragedi peledakan bom Bali dan Kuningan di Indonesia.
Menurut Eko, gerakan yang sering dilabeli dengan fundamentalisme agama ini merasa sebagai kaum tertindas. Pasalnya, sistem ekonomi dan politik dunia telah secara sistematis dihegemoni oleh kapitalisme global. Bahkan, media informasi dan teknologi, telah dikuasai oleh kapitalisme global sehingga gerakan fundamentalisme seakan terjepit. Satu-satunya cara untuk keluar dari kungkungan kapitalisme itu adalah melawan. Maka, wajarlah jika jihad dijadikan sebagai cara untuk menegakkan syariat Islam dan membangun peradaban dunia yang direstui oleh Tuhan.
Dan, secara salah kaprah, kapitalisme Global dalam hal ini Amerika Serikat dan sekutunya menyeruakkan program untuk memerangi jaringan terorisme internasional. Sialnya lagi, orang seperti Huntington melihat fenomena ini sebagai bagian dari benturan antara peradaban (clash of civilizations), yakni antara Timur (Islam) dan Barat (Kristen). Dendam sejarah pun tentang Perang Salib (Crusade) terhadap Islam dikumandangkan. Islam sebagai agama dicap sebagai teroris, Islam agama pedang dan bukan agama perdamaian.
Padahal, seandainya negara-negara di dunia menyadari bahwa aksi terorisme yang dilakukan oleh mereka yang disebut fundamentalis, tak lain karena dunia sekarang ini belum berjalan secara adil. Radikalisme agama di Indonesia, atau di mana pun di dunia, akan terus tumbuh subur karena kemiskinan dan ketidakadilan struktural masih terus berlangsung. Kemiskinan dan ketidakadilan tak lain disebabkan oleh fundamentalisme pasar (ekonomi neoliberalisme) saat ini.
Fundamentalisme pasar jelas saja memiliki keterkaitan dengan berbagai kebijakan IMF dan Bank Dunia yang selama ini menyebabkan program pemiskinan terhadap rakyat. Seperti disebut pemenang Nobel Ekonomi Joseph Stiglitz , fundamentalisme pasar merupakan landasan teori bagi “Konsensus Washington”, “Thatcherisme”, privatisasi dan liberalisasi perdagangan, yang jelas telah ikut menyebabkan hancurnya fundamental ekonomi Indonesia.
Seharusnya, dalam konteks Indonesia, fundamentalisme pasar mesti ditolak karena tidak sesuai dengan konstitusi khususnya Pasal 33 UUD 45 yang jelas menyebut pemanfaatan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat bukan kepada perusahaan MNC asing.
Terorisme, Perang dan Kapitalisme Bencana
Dalam ilmu ekonomi, siapa yang tidak mengenal Milton Friedman penerima Nobel Ekonomi, dan juga suhu ekonomi dari “Chicago School” (Mazhab Chicago), yang pandangan khasnya soal kapitalisme fundamentalis. Milton Friedman percaya bahwa pasar akan bekerja baik ketika dibebaskan dari campur tangan negara. Ia mempromosikan penghapusan subsidi dan bea tarif impor, deregulasi, pajak rendah, swastanisasi/privatisasi, dan program-program liberalisasi ekonomi lainnya.
Penerapan konsep ekonomi gaya Friedman hanya mungkin dilakukan jika negara dan masyarakat dalam kondisi shock (kejut). Begitu kata Jurnalis Naomi Klein, dalam buku masyhurnya, The Shock Doctrine; The Rise of Disaster Capitalism, yang diterbitkan Penguin Books, London, Inggris (2007). Mengapa?
Menurutnya, ketika ada kondisi shock, baik yang diakibatkan oleh bencana alam, serangan teroris dan perang, maka mereka yang mengalaminya “akan berada pada kondisi seperti anak-anak yang merindukan sosok orang tua pengontrol; serupa dengan itu, masyarakat dalam kondisi shock akan dengan mudah memberikan kuasa kepada para pemimpin dan mengijinkan mereka menghancurkan fungsi mengatur pemerintah” (Larissa MacFarquhar, Outside Agitator: Naomi Klein and the New New Left, www.newyorker.com, 3 Desember 2008).
Dengan kata lain, krisis yang terjadi karena perang, bencana alam, teror, ambruknya pasar modal, atau krisis ekonomi lainnya digunakan untuk mengganti sistem ekonomi yang ada. Artinya, Klein ingin menunjuk bangkitnya fundamentalisme pasar sebagai penyebab kenapa banyak negara terus terpuruk.
Lihatlah misalnya bagaimana Amerika dan sekutunya menginvasi Irak persis tak lama setelah Saddam Hussein memberi konsesi tambang minyak bagi Rusia di Irak. Shell, Halliburton, BP dan ExxonMobil lalu meminta pemerintah AS dan Inggris untuk memerangai Irak tahun 2003. Menurut Klein, ketika Amerika menginvasi Irak, nantinya setelah porak-poranda Amerika bakal membangun sistem ekonomi yang baru, yakni sistem ekonomi kapitalisme yang neoliberal itu.
Setelah invasi Irak berhasil. Betul, undang-undang baru dibuat dengan yang mengizinkan privatisasi aneka industri, listrik, tambang dan asing diperbolehkan dengan leluasa masuk. Ratusan pembangkit listrik yang semula dikuasasi negara dijual ke swasta. Kebijakan ini dilakukan persis dilakukan ketika rakyat Iraq sedang hidup dalam kepanikan dan berusaha untuk bertahan hidup. Irak dipaksa menelan resep ekonomi pasar, dan kapitalisme tak peduli rakyat Irak bakal sengsara.
Watak Amerika yang menganut fundamentalisme pasar tak peduli dengan soal-soal HAM dan demokrasi, meski mereka merasa sebagai sponsor utama, mereka malah ikut terlibat dalam kudeta-kudeta berdarah di seluruh dunia.
Untuk Indonesia, shock doctrine mulai diterapkan setelah masyakat mengalami syok berat akibat terjadinya Pembantaian Massal PKI tahun 1965. Di bawah Presiden Soeharto, modal asing mulai jor-joran masuk ke Indonesia. Soeharto pun mulai mengeluarkan Undang-undang Penanaman Modal Asing.
Sebagai arsitek ekonominya Orde Baru, Amerika lewat Ford Foundation mulai mensponsori kuliah mahasiswa-mahasiswa Indonesia ke Universitas California, Berkeley. Mereka ini belakangan dikenal sebagai Mafia Berkeley.
Krisis moneter yang menerpa Asia pada tahun 1997, juga bagian dari rencana kapitalis untuk mencaplok aset-aset stretegis Indonesia. Lewat paket LoI IMF, maka program privatisasi BUMN strategis, deregulasi, penghapusan bea masuk impor, dan penghapusan subsidi mulai diterapkan di Indonesia.
Shock Doctrine juga diterapkan ketika terjadi bencana alam. Waktu tsunami menghantam Nias dan Aceh 26 Desember 2004. Sepertinya dengan dalih memberi bantuan rekonstruksi pascabencana, kapitalis mulai beraksi di Aceh. Kapal induk USS Abraham Lincoln (CVN 72) Carrier Strike Group (CSG), dikerahkan. Bahkan, Bush menjanjikan 350 juta dollar AS untuk penanganan pasca-bencana dan pemulihan wilayah. Amerika membangun jalan bebas hambatan (highway) antara Banda Aceh dan Meulaboh.
Hingga kini belum ada penelitian yang mendalam, apa saja dampak langsung bantuan Amereka itu yang merubah struktur ekonomi rakyat Aceh. Seperti kata pepatah, “tak ada makan siang gratis”. Mungkinkah Amerika melirik kekayaan sumber-sumber alam, baik yang terbarukan (hutan dan kelautan) dan yang tak-terbarukan (minyak, gas dan mineral) Aceh yang berlimpah ruah itu?
Hanya satu penelitian yang sempat penulis baca yakni laporan Reconstruction of the Aceh Land Administration System (RALAS) di Aceh yang dikerjakan oleh INFID (23 Jun 2008). Seperti diungkap oleh Don K. Marut, Executive Director INFID, bahwa RALAS “hanyalah sebuah contoh dari bagaimana bencana telah dimanipulasi untuk kepentingan aktor-aktor ekonomi global yang tidak akan membutuhkan biaya lagi untuk mengambil alih sumberdaya alam lokal dari para pemilik lokal”. Namun, laporan itu juga tidak mengindisikan apa-apa.
Sepanjang penulis ingat, ketika masa-masa rekonstruksi awal tsunami, Bank Dunia pernah mengusulkan pertanian di Aceh harus dialihkan ke tanaman perdagangan (cash crop), seperti konversi sawah ke kelapa sawit dengan pasar ekspor. Jelas bahwa ini adalah gaya Bank Dunia untuk mengarahkan petani Aceh dalam ekonomi pasar global. Selain itu juga ada proposal Artha Graha untuk membangun kota Meulaboh seperti kota Shanghai. Hingga kini belum ada fakta yang bisa kita rujuk untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya.
Pembangunan, Kerusakan Lingkungan dan Krisis Peradaban
Sejarah dunia kini memasuki era peradaban baru dengan pasar bebas (free market) sebagai pemenangnya. Krisis peradaban dunia persis di depan mata.
Kemajuan peradaban dunia selalu diidentikkan dengan kemajuan dan tingginya pertumbuhan ekonomi. Makanya, kampanye negara-negara Barat kepada negara-negara berkembang selalu menandaskan pembangunan yang berbasiskan pertumbuhan ekonomi. Dengan globalisasi, perdagangan bebas, perluasan MNC, dan tekanan militeristik. Padahal, model pembangunan semacam ini tidak hanya akan merusak lingkungan hidup, bahkan akan membuat krisis peradaban dunia.
Rasanya, merubah dari paradigma pertumbuhan ekonomi ke arah pembangunan berkelanjutan (sustainable development) saja tidak cukup untuk mengatasi hal tersebut, aksi-aksi fundamentalisme seperti “shock doctrine” sebagaimana dilansir Naomi Klein harus segera dihentikan. Amerika dan sekutunya semestinya menghentikan program bencana yang disengaja (perang dan aksi terorisme) ataupun mendompleng kepentingan ketika bencana alamiah terjadi. Seperti kata Johan Galtung patut, untuk mengakhiri terorisme maka Amerika harus mengakhiri terorisme negara: “To end terrorism, end state terrorism”.
Seorang Galtung ternyata tidak hanya dikenal dengan teori strukturalisme atau teori dependensi, ia telah menjadi pemikir sosial atas isu-isu besar dunia semacam perdamaian, pembangunan manusia dan lingkungan hidup. Misalnya saja, Galtung punya pemikiran bahwa manakala negara membiarkan kemiskinan dan ketidakberdayaan warga secara terus-menerus, maka negara telah melakukan tindakan kekerasan secara sistematik.
Pembangunan yang sekedar mengabdi kepada modal hanya akan membuat korban-korban pembangunan itu sendiri. Makanya, wajar saja jika radikalisme dan fundamentalisme itu akan semakin tumbuh subur manakala negara lebih berpihak pada fundamentalisme pasar. Tekanan dan diskriminasi struktural yang diterima rakyat hanya akan membuatnya semakin melawan represifitas pembangunan.
Antisipasi kekerasan itu hanya mungkin dilakukan, jika merujuk paradigma Johan Galtung, manakala wawasan, sumber daya, dan hasil kemajuan tidak disalahgunakan untuk tujuan lain atau tidak dimonopoli segelintir orang saja. Karena begitu ada ketidakadilan maka otomatis akan ada kekerasan dalam sistem itu. Artinya, kekerasan akan senantiasa terjadi jika potensi untuk menepis terjadinya kekerasan itu tak dilakukan.
Rethinking Local : Rural Development, Eco-democracy dan Strateginya
Paradigma pembangunan yang lebih diarahkan kepada konsep sustainable development secara langsung meniscayakan model pembangunan yang bakal lebih banyak melibatkan masyarakat (desentralisasi kekuasaan) dan local wisdom. Dan ini artinya akan lebih menjamin pluralitas anak bangsa. Dengan pendekatan sustainable, pembangunan nasional akan lebih diarahkan pada pengembangan potensi unggulan tiap daerah, serta pemanfaatan indegenous knowledge yang sesuai dengan potensi, nilai budaya daerah tersebut.
Pembangunan Indonesia masa depan adalah pembangunan pedesaan, baik yang berbasiskan pertanian ataupun kelautan (maritim dan pulau-pulau kecil), yang selama ini hampir bisa dikatakan tidak menerima “kue” pembangunan.
Dan, konsep pembangunan pedesaan harus didukung dengan model partasi politik yang dilandasi kosep green politics yang muaranya adalah eco-democracy, yang dalam hal ini secara spesifik disebut sebagai Demokrasi Ekologi Desa. Mengingat UU no 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah memungkinkan masyarakat desa untuk berpartisipasi dalam melestarikan lingkungan melalui kearifan lokal pada beragam desa yang ada di Indonesia.
Jika ditelisik lebih jauh, maka harus diakui bahwa di Indonesia daerah tertinggal itu masih banyak. Data Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) menyebutkan, tahun 2008 terdapat 38.232 (54,14 persen) kategori desa maju, yang terdiri dari 36.793 (52,03 persen) kategori maju dan 1.493 (2,11 persen) kategori sangat maju. Sementara itu, desa tertinggal berjumlah 32.379 (45,86 persen) yang terdiri dari 29.634 (41,97 persen) kategori tertinggal dan 2.745 (3,89 persen) kategori sangat tertinggal (Republika, 28 February, 2008).
Bahkan, desa yang belum dapat dilalui mobil sebanyak 9.425 desa, desa belum ada sarana kesehatan sejumlah 20.435 desa, desa belum ada pasar permamen sebanyak 29.421 desa, desa belum ada listrik sebanyak 6.240 desa. Sementara, rata-rata keluarga miskin di desar tertinggal adalah 46,44 persen dan IPN desa tertinggal sebesar 66,46 persen (Republika, 28 February, 2008). Kenyataan ini menunjukkan betapa timpangnya pembangunan yang kita lakukan selama ini.
Pembangunan pedesaan (rural development), yang salah satunya adalah pembangunan pertanian dan kelautan (perikanan) berkelanjutan, harus menjadi fokus utama pemerintahan terpilih hasil Pilpres mendatang. Mengapa?karena masyarakat miskin yang kini hidup di pedesaan membutuhkan perhatian dan pemihakan semua elemen bangsa. Sudah saatnya kaum muda Indonesia mengambil peran dalam mendorong terwujudnya percepatan pembangunan daerah. Sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di pedesaan.
Penulis masih ingat kutipan wawancara Harian Kompas dengan Johan Galtung, yang menyebut impact terbesar dari fundamentalisme pasar adalah sektor pertanian. “…Yang lebih menderita sebenarnya sektor pertanian akibat pasar bebas. Saat ini perekonomian dunia mendapat tekanan luar biasa dari AS. Akibat neoliberalisme, ratusan ribu orang akan mati karena tidak punya akses pada sandang, pangan, papan, karena subsidi dihapus. Cepat atau lambat ini juga akan terjadi di Indonesia. Ketika 25 persen orang mati karena tidak punya akses ke makanan, 75 persen lainnya mati karena penyakit. Itu karena klinik-klinik gratis dihapus akibat kebijakan IMF, Bank Dunia, dan WTO,” katanya seperti dilansir Kompas, 17 November 2002.
Untuk mengantisipasi itu, minimal ada dua strategi yang mesti diambil oleh kaum muda Indonesia untuk mendukung terlaksananya percepatan pembangunan pedesaan, khususnya pertanian. Pertama, Partisipasi. Pemuda tidak boleh mengambil jarak dalam pembangunan, sehingga terkesan tak mau tahu dengan program pembangunan yang ada. Pemuda harus mendefinisikan diri sebagai subjek pembangunan, bukan sekadara objek pembangunan di desa. Kedua, Pemberdayaan. Semakin berdaya masyarakat, maka partisipasi masyarakat desa akan meningkat pesat. Disinilah peranan penting pemuda sebagai agen pemberdayaan.
Kedua strategi tersebut hanya dapat dilakukan dengan pengkaderan yang terus-menerus sehingga penanaman nilai akan terus berlanjut. Baik partisipasi maupun pemberdayaan tidak akan mungkin dilakukan tanpa ada pengorganisasian yang disiplin dengan arah pengkaderan yang terukur dan ideologi yang tertanam dalam jiwa pemuda. Secara sederhana, strategi tersebut diturunkan dalam aksi perlawanan yang secara tegas menolak fundamentalisme pasar dan agama yang menyewakan kepada kekuasaan yang zalim dan tidak peka. Inilah yang dimaksudkan peran pemuda dan mahasiswa dengan memikirkan untuk membangun peradaban manusia sebagai tugas sejarahnya dan tuntutan masa depannya.
Akhirnya, krisis peradaban modern dunia dihadapkan pada dua kekuatan fundamentalisme, agama dan pasar, yang sama-sama tidak menguntungkan kemanusiaan, sebaliknya yang ada justru pemaksaan dan penyeragaman kehendak untuk mengabaikan kepentingan publik dan keadilan. Dan, karenanya pemuda harus melakukan perlawanan dengan mengambil jalan alternatif bagi pembangunan manusia yang lebih beradab, perdamaian dan lingkungan hidup. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kirimkan Komentar, kesan dan pesan anda untuk memjadi bahan agar situs ini makin baik kedepan...