TAPAKTUAN - Menteri Kehutanan (Menhut), MS Kaban menegaskan bahwa rencana pembangunan Jalan Keude Trumon-Bulohseuma sepanjang 40 kilometer, bisa terus dilanjutkan guna membuka isolasi daerah. Menhut juga menyatakan siap menghadapi Walhi yang telah melaporkannya ke Mabes Polri terkait perizinan pembangunan jalan tersebut.
Pernyataan tersebut disampaikan Menhut MS Kaban yang didampingi Bupati Aceh Selatan Tgk Husin Yusuf dan sejumlah unsur Muspida setempat lainnya, seusai disambut secara adat oleh masyarakat Trumon di Kantor Camat Trumon dalam serangkaian kunjungan kerjanya meninjau rencana pembangunan jalan Keude Trumon-Bulohseuma, Trumon, Sabtu (20/6) kemarin.
Dikatakannya, laporan Walhi ke Mabes Polri menyangkut perizinan Dephut atas rencana peningkatan pembangunan sarana jalan di kawasan pedalaman Aceh Selatan itu dinilai sah-sah saja. Tapi, ia menyesalkan mengapa Walhi langsung melapor ke Mabes Polri bukan ke Polda Aceh. “Kalau memang bersalah, periksa aja Menhut dan kita siap menghadapinya,” tegas Menhut MS Kaban.
Sebaliknya, tambah Menhut, jika kebijakan peningkatan pembangunan ruas jalan Keude Trumon-Bulohseuma benar berdasarkan undang-undang, maka ia minta agar pihak Walhi juga harus siap menerima gugatan atau tuntutan balik dari pihaknya. “Penegakan hukum harus fair dan tidak ada pilih kasih. Indonesia adalah negara hukum, jadi tidak ada yang kebal hukum,” ujarnya.
Jangan terhenti
Menurut Menhut, rencana peningkatan jalan tersebut jangan terhenti, hanya karena adanya protes dari Walhi yang menyebutkan bahwa sebagian masuk dalam kawasan Suaka Marga Satwa Rawa Singkil. Terlebih, BRR NAD-Nia telah menganggarkan dana Rp 5,2 miliar dan Pemerintah Aceh telah pula mengalokasikan Rp 7 miliar dalam APBA 2009 untuk pembangunan jalan itu. “Anggaran yang sudah tersedia harus dimanfaatkan. Kita harus mengutamakan kepentingan masyarakat,” katanya.
Sebagaimana diketahui, Walhi Aceh telah mengadukan Menhut MS Kaban ke Mabes Polri sehubungan keluarnya perizinan Menhut terhadap pembangunan peningkatan jalan Keude Trumon-Bulohseuma dengan dalih merusak lingkungan dan kawasan Suaka Alam Marga Satwa Rawa Trumon dan Singkil. Padahal perizinan itu dikeluarkan Menhut setelah pihaknya mengirim tim peninjauan ke lapangan tahun lalu dan hasil peninjauan menunjukkan pembangunan jalan tidak terkena wilayah terlarang kecuali beberapa titik dan masih bisa dihindari.
Sementara Bupati Aceh Selatan, Husin Yusuf mengatakan, Pemukiman Buluhseuma yang memiliki tiga desa/gampong merupakan kawasan terpencil di Kecamatan Trumon. Karena belum tersedia sarana perhubungan darat, maka menuju lokasi terpencil yang dihuni sekitar 750 jiwa itu harus melalui laut Samudera Hindia dengan waktu tempuh antara dua hingga tiga jam.
“Peningkatan jalan Keude Trumon-Bolohseuma murni permintaan dan harapan masyarakat. Mereka telah berkomitmen untuk tetap menjaga kawasan hutan,” kata Bupati. Dampak tidak tersedia sarana transportasi darat menyebabkan sarana publik seperti pendidikan, kesehatan serta perekonomian di daerah tersebut sangat memprihatinkan. “Dengan adanya peninjauan Menhut, kita berharap pelaksanaan peningkatan jalan dapat diteruskan,” kata Bupati Husin Yusuf.
Peningkatan jalan Keude Trumon-Bolohseuma ini merupakan prakarsa Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam (BADKO HMI) Aceh Periode 2006-2008 yang saat itu melakukan Bakti Sosial melalui kegiatan Study Work Camp (SWC) ke Bulohsema pada tahun 2007 lalu. Saat itu Ketua Umum Badko HMI yang dijabat Amiruzzahri menggagas Peningkatan jalan Keude Trumon-Bolohseuma sebagai salah satu prioritas untuk diperjuangkan ke Menteri Kehutanan dan Gubernur Aceh, walaupun mendapat pertentangan dari BKSDA Aceh dan Walhi Aceh program ini terus dupayakan advokasi agar masyarakat Bulohsema tida lagi terisolir dengan membangun jalan Keude Trumon-Bolohseuma(nun)
21 Juni 2009
16 Juni 2009
Kesuksesan film Ayat-Ayat Cinta
Kesuksesan film Ayat-Ayat Cinta yang diangkat dari novel Habiburrahman El Shirazy membuat karyanya menjadi incaran selanjutnya untuk di filmkan. Kali ini, rumah produksi Sinemart Pictures milik Leo Sutanto tengah bersiap mengadaptasi novel Kang Abik berjudul “Ketika Cinta Bertasbih”.
Tak tanggung-tanggung, dua nama besar perfilman nasional, Chaerul Umam dan Imam Tantowi akan berduet sebagai sutradara dan penulis skenario. Sangat menarik, mengingat prestasi Chaerul yang telah meraih Piala Citra 1992 di Ramadhan dan Ramona dan penghargaan pada Festifal Film Asia 1977 di film Al Kautsar. Juga Imam Tantowi yang meraih Citra 1991 di Soerabaia’45 untuk sutradara terbaik dan Citra 1989 di Si Badung untuk kategori Penulis Cerita Terbaik.
“Ketika Cinta Bertasbih” yang terdiri atas dua buku (dwilogi) memakai dua setting latar Mesir dan Indonesia. Episode pertama mengenai pengembaraan Khairul Azzam untuk menuntut ilmu di Al-Azhar, Kairo, dan perjuangannya selama sembilan tahun untuk menyelesaikan studi S1 di Al-Azhar sambil mencari biaya pendidikan adik-adiknya di tanah air dengan berjualan bakso dan tempe pada para mahasiswa maupun warga Indonesia di Kairo.
Untuk episode dua mengenai pencarian cinta Khairul Azzam di tanah kelahirannya (Pulau Jawa). Episode dua akan membuat Anda berlinang air mata saat Azzam kehilangan orang yang sangat dicintainya dan kenangan Husna (Adik Azzam) ketika Ayah mereka dipanggil oleh Sang Khalik.
Untuk kepentingan promo, rencananya soft launching akan di gelar pada Selasa (24/3) nanti di The Sultan Hotel (dulu Hilton_red), Jakarta. (Musashi)
Tak tanggung-tanggung, dua nama besar perfilman nasional, Chaerul Umam dan Imam Tantowi akan berduet sebagai sutradara dan penulis skenario. Sangat menarik, mengingat prestasi Chaerul yang telah meraih Piala Citra 1992 di Ramadhan dan Ramona dan penghargaan pada Festifal Film Asia 1977 di film Al Kautsar. Juga Imam Tantowi yang meraih Citra 1991 di Soerabaia’45 untuk sutradara terbaik dan Citra 1989 di Si Badung untuk kategori Penulis Cerita Terbaik.
“Ketika Cinta Bertasbih” yang terdiri atas dua buku (dwilogi) memakai dua setting latar Mesir dan Indonesia. Episode pertama mengenai pengembaraan Khairul Azzam untuk menuntut ilmu di Al-Azhar, Kairo, dan perjuangannya selama sembilan tahun untuk menyelesaikan studi S1 di Al-Azhar sambil mencari biaya pendidikan adik-adiknya di tanah air dengan berjualan bakso dan tempe pada para mahasiswa maupun warga Indonesia di Kairo.
Untuk episode dua mengenai pencarian cinta Khairul Azzam di tanah kelahirannya (Pulau Jawa). Episode dua akan membuat Anda berlinang air mata saat Azzam kehilangan orang yang sangat dicintainya dan kenangan Husna (Adik Azzam) ketika Ayah mereka dipanggil oleh Sang Khalik.
Untuk kepentingan promo, rencananya soft launching akan di gelar pada Selasa (24/3) nanti di The Sultan Hotel (dulu Hilton_red), Jakarta. (Musashi)
13 Juni 2009
HMI Cabang Bireuen Aceh, Gelar LK II Perdana
BIREUEN – Pengurus HMI Cabang Bireuen, sejak Senin (25/5) hingga 31 Mei mendatang, mengadakan latihan kepemimpinan II (LK-II) atau intermediate trainning regional Sumatera. Acara yang berlangsung di SKB Bireuen itu diikuti 40 peserta dari berbagai cabang HMI di Sumatera. Ketua panitia, Muhammad Zubir mengatakan latihan itu merupakan kegiatan perdana yang dilakukan HMI Cabang Bireuen sejak lembaga itu didirikan tahun 2004 lalu. Disebutkan, peserta latihan itu berasal dari utusan cabang-cabang HMI Badko Aceh, HMI Sumatera Utara, Sumatera Barat, Badko Kepulauan Riau-Kepri, dan Sumatera Selatan.
Kegiatan yang dibuka Sekdakab Bireuen, Nasrullah Muhammad itu dihadiri hampir seluruh pengurus HMI dan Kahmi Bireuen, serta utusan dari berbagai organisasi kepemudaan lainnya. Pelatihan dalam penjenjangan organisasi HMI, kata Zubir, adalah bagian terpenting bagi seorang kader. Dengan adanya pelatihan ini, diharapkan muncul kader-kader HMI yang dapat membangun organisasi lebih kuat, memikirkan masalah kemaslahatan umat dan mampu menjadi generasi penerus dalam berbagai sisi pembangunan.(yus)
Kegiatan yang dibuka Sekdakab Bireuen, Nasrullah Muhammad itu dihadiri hampir seluruh pengurus HMI dan Kahmi Bireuen, serta utusan dari berbagai organisasi kepemudaan lainnya. Pelatihan dalam penjenjangan organisasi HMI, kata Zubir, adalah bagian terpenting bagi seorang kader. Dengan adanya pelatihan ini, diharapkan muncul kader-kader HMI yang dapat membangun organisasi lebih kuat, memikirkan masalah kemaslahatan umat dan mampu menjadi generasi penerus dalam berbagai sisi pembangunan.(yus)
JK=Obama dari Timur Indonesia?
Oleh : Dominggus A Mampioper
KabarIndonesia - Pasangan JK-Wiranto paling cepat mengumumkan pencalonan sebagai capres dan cawapres sehingga tak heran kalau akhirnya memakai ikon Lebih Cepat Lebih Baik. Capres yang pertama kali mengunjungi pasar Tanah Abang dan pasar-pasar yang lain.
Namun ternyata lebih banyak menuai sindiran ala demokrasi di Indonesia, yang secara tidak langsung menuju ke Capres Nomor 3 ini. Bayangkan mulai dari ungkapan lebih cepat yang dinilai takabur sampai pencalonan pengusaha jadi presiden. Tapi sebagai warga Sulsel yang terkenal dengan perahu Pinisi Nusantaranya dan prinsip para pelaut, meski ombak dan badai di tengah laut.
Pinisi akan tetap berlayar terus melawan gelombang dan badai sebab adalah sangat tabu untuk tidak berlayar maju. Pasangan Nusantara ini menggambarkan majunya seorang tokoh asal daerah yang beda satu jam dengan calon lain di bagian Indonesia Barat. Sebagai keluarga sukses dalam bisnis dan perdagangan JK maju mengukir sejarah di Indonesia.
Memang ada salah seorang Jenderal asal Sulsel alm M.Yusuf yang sangat terkenal ketika menjadi Panglima ABRI di zaman Orde Baru. Beliau selalu dikenang oleh para prajurit karena memperhatikan kehidupan prajurit hingga soal makan dan minum para tentara. Agaknya gaya kepemimpinan JK yang dipadu dengan Win memberikan nuansa baru dalam membawa Indonesia ke depan.
Tulisan ini bukan bermaksud memuji atau membanggakan pasangan ini sebab saya tidak punya hubungan dengan semua pasangan Pilpres. Tapi ini hanya sekadar membanggakan orang dari Timur Indonesia untuk berkompetisi di Indonesia. Memang di bidang sepak bola Persipura dan PSM pernah menjuarai Liga Indonesia dan Indonesia Super Liga.
Tapi beda untuk bertarung jadi Presiden Indonesia dengan mayoritas penduduk di Pulau Jawa. Penulis sendiri sangat kecewa sebab dalam Pemilu Legislatif 2009 lalu tidak terdaftar dan mudah-mudahan dalam Pilpres 2009 ini terdaftar. Padahal 2004 lalu saya terdaftar dan menjadi Wakil Ketua Panwaslu Kabupaten Keerom Provinsi Papua. Begitulah cara cara pendaftaran dalam Pemilu 2009 yang banyak mengorbankan rakyat yang berkemauan untuk ikut menggunakan hak pilihnya.
Sebagai orang yang berasal dari Jawa, Win tampil mendampingi JK sebagai Wapres, padahal beliau adalah mantan Panglima ABRI dan Menhankam serta mantan Capres dari Partai Golkar 2004 lalu. Di sinilah letak kebesaran jiwa patriotis seorang Win yang mau menerima pinangan dari JK. Memang secara politik Partai Hanura tidak mencapai target dan merupakan pilihan realitas dan tahu diri.
Sehingga pasangan Nusantara ini boleh tampil beda dengan menunjukan beginilah Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang terdiri dari banyak suku dari yang sudah maju hingga masih belum maju. Gito, salah seorang pendukung JK-Win asal Jawa Barat yang berdomisili di Makassar, kepada Antara Kamis (11/6) mengatakan masyarakat kelas menengah ke atas menilai pasangan calon presiden dan wakil presiden Jusuf Kalla-Wiranto (JK-Win) sebagai pasangan capres dan cawapres yang mempunyai kesamaan dengan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama.
"Pak Jusuf Kalla sebagai calon presiden periode 2009-2014 itu mempunyai banyak kesamaan dengan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama," ujar Gito. Menurutnya, persamaan antara Jusuf Kalla (JK) dengan Barack Obama yakni sama-sama orang pertama yang mencalonkan diri menjadi presiden. Jika Jusuf Kalla sudah pernah menjabat sebagai Wakil Presiden, lain halnya dengan Barack Obama. Persamaan yang paling mendasar yang bisa dilihat dari kesamaan keduanya, kata Gito, adalah sama-sama sebagai orang yang baru.
"Jika Barack Obama tokoh kulit hitam pertama yang jadi presiden maka Jusuf Kalla pun merupakan orang pertama di luar Pulau Jawa yang akan menjadi presiden pilihan langsung rakyat," katanya. Dia menambahkan, diantara semua pasangan calon presiden, hanya Jusuf Kalla yang dinilai lebih berbobot dan baru dalam kampanyenya untuk menarik simpati masyarakat Indonesia.
"Saya melihat iklan politik JK saat bertemu dengan Wakil Presiden Amerika Joe Biden, di situ saya terkesan saat dia berencana menawarkan bantuan terhadap negara adidaya Amerika, bukannya meminta bantuan," ucapnya kagum. Salah satu bentuk apresiasi Jusuf Kalla terhadap masyarakat Indonesia yakni dengan pemberdayaan masyarakat seperti menanamkan rasa kecintaan terhadap hasil produksi dalam negeri maupun pemanfaatan sumber daya manusia (SDM) rakyat Indonesia.
Ya Obama tampil di tengah krisis ekonomi dan mampu memberikan banyak harapan bagi warga Amerika Serikat. Mampukah JKWin meniru jejak Obama jawabannya tentu di TPS dalam Pilpres nanti?
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&jd=JK%3DObama+dari+Timur+Indonesia%3F&dn=20090612052531
KabarIndonesia - Pasangan JK-Wiranto paling cepat mengumumkan pencalonan sebagai capres dan cawapres sehingga tak heran kalau akhirnya memakai ikon Lebih Cepat Lebih Baik. Capres yang pertama kali mengunjungi pasar Tanah Abang dan pasar-pasar yang lain.
Namun ternyata lebih banyak menuai sindiran ala demokrasi di Indonesia, yang secara tidak langsung menuju ke Capres Nomor 3 ini. Bayangkan mulai dari ungkapan lebih cepat yang dinilai takabur sampai pencalonan pengusaha jadi presiden. Tapi sebagai warga Sulsel yang terkenal dengan perahu Pinisi Nusantaranya dan prinsip para pelaut, meski ombak dan badai di tengah laut.
Pinisi akan tetap berlayar terus melawan gelombang dan badai sebab adalah sangat tabu untuk tidak berlayar maju. Pasangan Nusantara ini menggambarkan majunya seorang tokoh asal daerah yang beda satu jam dengan calon lain di bagian Indonesia Barat. Sebagai keluarga sukses dalam bisnis dan perdagangan JK maju mengukir sejarah di Indonesia.
Memang ada salah seorang Jenderal asal Sulsel alm M.Yusuf yang sangat terkenal ketika menjadi Panglima ABRI di zaman Orde Baru. Beliau selalu dikenang oleh para prajurit karena memperhatikan kehidupan prajurit hingga soal makan dan minum para tentara. Agaknya gaya kepemimpinan JK yang dipadu dengan Win memberikan nuansa baru dalam membawa Indonesia ke depan.
Tulisan ini bukan bermaksud memuji atau membanggakan pasangan ini sebab saya tidak punya hubungan dengan semua pasangan Pilpres. Tapi ini hanya sekadar membanggakan orang dari Timur Indonesia untuk berkompetisi di Indonesia. Memang di bidang sepak bola Persipura dan PSM pernah menjuarai Liga Indonesia dan Indonesia Super Liga.
Tapi beda untuk bertarung jadi Presiden Indonesia dengan mayoritas penduduk di Pulau Jawa. Penulis sendiri sangat kecewa sebab dalam Pemilu Legislatif 2009 lalu tidak terdaftar dan mudah-mudahan dalam Pilpres 2009 ini terdaftar. Padahal 2004 lalu saya terdaftar dan menjadi Wakil Ketua Panwaslu Kabupaten Keerom Provinsi Papua. Begitulah cara cara pendaftaran dalam Pemilu 2009 yang banyak mengorbankan rakyat yang berkemauan untuk ikut menggunakan hak pilihnya.
Sebagai orang yang berasal dari Jawa, Win tampil mendampingi JK sebagai Wapres, padahal beliau adalah mantan Panglima ABRI dan Menhankam serta mantan Capres dari Partai Golkar 2004 lalu. Di sinilah letak kebesaran jiwa patriotis seorang Win yang mau menerima pinangan dari JK. Memang secara politik Partai Hanura tidak mencapai target dan merupakan pilihan realitas dan tahu diri.
Sehingga pasangan Nusantara ini boleh tampil beda dengan menunjukan beginilah Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang terdiri dari banyak suku dari yang sudah maju hingga masih belum maju. Gito, salah seorang pendukung JK-Win asal Jawa Barat yang berdomisili di Makassar, kepada Antara Kamis (11/6) mengatakan masyarakat kelas menengah ke atas menilai pasangan calon presiden dan wakil presiden Jusuf Kalla-Wiranto (JK-Win) sebagai pasangan capres dan cawapres yang mempunyai kesamaan dengan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama.
"Pak Jusuf Kalla sebagai calon presiden periode 2009-2014 itu mempunyai banyak kesamaan dengan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama," ujar Gito. Menurutnya, persamaan antara Jusuf Kalla (JK) dengan Barack Obama yakni sama-sama orang pertama yang mencalonkan diri menjadi presiden. Jika Jusuf Kalla sudah pernah menjabat sebagai Wakil Presiden, lain halnya dengan Barack Obama. Persamaan yang paling mendasar yang bisa dilihat dari kesamaan keduanya, kata Gito, adalah sama-sama sebagai orang yang baru.
"Jika Barack Obama tokoh kulit hitam pertama yang jadi presiden maka Jusuf Kalla pun merupakan orang pertama di luar Pulau Jawa yang akan menjadi presiden pilihan langsung rakyat," katanya. Dia menambahkan, diantara semua pasangan calon presiden, hanya Jusuf Kalla yang dinilai lebih berbobot dan baru dalam kampanyenya untuk menarik simpati masyarakat Indonesia.
"Saya melihat iklan politik JK saat bertemu dengan Wakil Presiden Amerika Joe Biden, di situ saya terkesan saat dia berencana menawarkan bantuan terhadap negara adidaya Amerika, bukannya meminta bantuan," ucapnya kagum. Salah satu bentuk apresiasi Jusuf Kalla terhadap masyarakat Indonesia yakni dengan pemberdayaan masyarakat seperti menanamkan rasa kecintaan terhadap hasil produksi dalam negeri maupun pemanfaatan sumber daya manusia (SDM) rakyat Indonesia.
Ya Obama tampil di tengah krisis ekonomi dan mampu memberikan banyak harapan bagi warga Amerika Serikat. Mampukah JKWin meniru jejak Obama jawabannya tentu di TPS dalam Pilpres nanti?
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&jd=JK%3DObama+dari+Timur+Indonesia%3F&dn=20090612052531
PUTUSAN SELA PRITA MULYASARI
Putusan Hakim yang membebaskan Prita Mulyasari dari jeratan hukum atas pasal 27 ayat (3) UU ITE dan pasal 310 dan 311 KUHP merupakan tindakan yang tepat. Benar, bahwa Prita Mulyasari tidak memiliki niat untuk mencemarkan nama baik rumah sakit Omni International dan para dokter yang merawatnya. Surat elektronik dari Prita Mulyasari hanya merupakan keluh kesah atau curhat yang dikirimkan secara terbatas kepada beberapa teman, dengan maksud agar mereka berhati-hati sehingga tidak terjadi seperti apa yang menimpanya. Dengan demikian, perbuatan Prita Mulyasari tidak memenuhi unsur pidana dalam Pasal 310 dan 311 KUHP.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi R.I Nomor 50/PUU-VI/2008 tentang judicial review UU ITE No. 11 Tahun 2008 terhadap UUD 1945, salah satu pertimbangan Mahkamah berbunyi “keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP”. Dengan demikian, karena perbuatan Prita Mulyasari tidak memenuhi unsur pidana dalam Pasal 310 dan 311 KUHP, maka secara otomatis tidak memenuhi pula unsur pidana dalam Pasal 27 ayat (3) jo pasal 45 ayat (1) UU ITE.
Meskipun, Hakim yang menyidangkan kasus Prita Mulyasari memutuskan: membebaskan Prita Mulyasari dari jeratan hukum. Tapi, pendapat hakim yang mengatakan bahwa : UU ITE digunakan dua tahun lagi (21 April 2010) karena itu PRITA tidak bisa dijerat dengan UU ITE, apalagi UU ITE belum memiliki legalitas yang kuat karena belum ada PP merupakan Pendapat yang tidak benar.
UU ITE mulai berlaku sejak diundangkan yaitu 21 April 2008, bukan 21 April 2010. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 54 ayat (1) UU ITE bahwa "Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan". Mengenai Peraturan Pemerintah (PP), Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat(1) UU ITE mengenai larangan distribusi informasi elektronik bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik tidak memerlukan PP, karena UU ITE tidak mengamanatkan untuk mengatur lebih lanjut Pasal 27 ayat (3) UU ITE ke dalam PP.
UU ITE hanya mengamanatkan perlunya Peraturan Pemerintah untuk mengatur :
Lembaga sertifikasi keandalan
1. Tanda tangan elektronik
2. Penyelenggaraan sertifikasi elektronik
3. Penyelenggaraan sistem elektronik
4. Penyelenggaraan transaksi elektronik
5. Penyelenggara agen elektronik
6. Pengelolaan nama domain
7. Tatacara intersepsi
8. Peran pemerintah
Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE mulai berlaku sejak diundangkan yaitu 21 April 2008 dan tidak memerlukan Peraturan Pemerintah (PP).
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi R.I Nomor 50/PUU-VI/2008 tentang judicial review UU ITE No. 11 Tahun 2008 terhadap UUD 1945, salah satu pertimbangan Mahkamah berbunyi “keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP”. Dengan demikian, karena perbuatan Prita Mulyasari tidak memenuhi unsur pidana dalam Pasal 310 dan 311 KUHP, maka secara otomatis tidak memenuhi pula unsur pidana dalam Pasal 27 ayat (3) jo pasal 45 ayat (1) UU ITE.
Meskipun, Hakim yang menyidangkan kasus Prita Mulyasari memutuskan: membebaskan Prita Mulyasari dari jeratan hukum. Tapi, pendapat hakim yang mengatakan bahwa : UU ITE digunakan dua tahun lagi (21 April 2010) karena itu PRITA tidak bisa dijerat dengan UU ITE, apalagi UU ITE belum memiliki legalitas yang kuat karena belum ada PP merupakan Pendapat yang tidak benar.
UU ITE mulai berlaku sejak diundangkan yaitu 21 April 2008, bukan 21 April 2010. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 54 ayat (1) UU ITE bahwa "Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan". Mengenai Peraturan Pemerintah (PP), Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat(1) UU ITE mengenai larangan distribusi informasi elektronik bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik tidak memerlukan PP, karena UU ITE tidak mengamanatkan untuk mengatur lebih lanjut Pasal 27 ayat (3) UU ITE ke dalam PP.
UU ITE hanya mengamanatkan perlunya Peraturan Pemerintah untuk mengatur :
Lembaga sertifikasi keandalan
1. Tanda tangan elektronik
2. Penyelenggaraan sertifikasi elektronik
3. Penyelenggaraan sistem elektronik
4. Penyelenggaraan transaksi elektronik
5. Penyelenggara agen elektronik
6. Pengelolaan nama domain
7. Tatacara intersepsi
8. Peran pemerintah
Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE mulai berlaku sejak diundangkan yaitu 21 April 2008 dan tidak memerlukan Peraturan Pemerintah (PP).
KEMISKINAN ITU TIDAK MANUSIAWI
Hampir dapat dikatakan bahwa industrialisasi membawa kepada kemakmuran. Atau, dengan sedikit pengecualian, kemakmuran dapat dicapai melalui industrialisasi.
Setiap kenaikan kemampuan material suatu masyarakat adalah bernilai positif, termasuk dari segi peningkatan harkat kemanusiaan masyarakat itu, baik perseorangan maupun kelompok. Sebab harkat atau martabat kemanusiaan adalah pusat kebahagiaannya. Dia akan ditemukan hanya dalam keadaan dapat dengan bebas mengembangkan dirinya. Menurut Goethe, “manusia membawa dalam dirinya tidak hanya pribadinya sendiri tetapi seluruh kemanusiaan—dengan segala potensinya—sekalipun dia dapat mewujudkan potensi-potensi itu hanya dengan cara yang terbatas disebabkan pembatasan-pembatasan dari luar terhadap eksistensi pribadinya.”
Salah satu di antara pembatasan-pembatasan itu, yang terpenting karena yang terkuat, ialah kemiskinan. Dari segi ini, karena industrialisasi membawa kemakmuran, maka ia juga berarti peningkatan kemanusiaan, sehingga membawa humanisasi. Agaknya itulah sebabnya mengapa Lenin, dalam satu slogannya, mengatakan bahwa sosialisme adalah elektrivikasi menyeluruh. Dan sosialisme adalah suatu cita-cita mewujudkan kemanusiaan secara lebih sadar.
Tetapi agaknya memang tidak ada hasil yang bisa dicapai tanpa harga atau pengorbanan. Kemakmuran yang dibawa oleh industrialisasi ternyata meminta korban-korban yang tidak kecil. Dalam tahapnya yang berkelanjutan, pengorbanan yang dituntut itu justru adalah ke-manusiaan itu sendiri.
Sekarang ini, setelah menyaksikan pengalaman-pengalaman negara industri maju, para peninjau dapat mengatakan bahwa pembatasannya Goethe dalam pengembangan kemanusiaan itu justru datang dari industrialisasi yang membawa kemakmuran material tersebut.
Salah satu nilai formal masyarakat industrial ialah birokrasi, yang di dalamnya tersimpul nilai-nilai lain seperti kerutinan, kepastian dan instrumentalisme. Mekanisme itu membuat seseorang berada dalam posisi tanpa pilihan, sehingga menjadi fatal. Hal itu berarti bahwa seseorang telah kehilangan dirinya sendiri. Ia hanya merupakan suatu fungsi dari suatu keseluruhan permesinan, yang apabila berdiri sendiri atau sendirian, maka tidak akan mempunyai arti apa-apa. Ia digunakan atau dibuang semata-mata berdasarkan fungsi yang mungkin dilakukan; dengan perkataan lain, nilai instrumentalistisnya. Sedangkan kemanusia-annya yang intrinsik seringkali tidak menjadi hitungan.
Di sinilah mulai timbul masalah makna hidup. “Hidup ini untuk apa?” adalah pertanyaan yang tidak menentramkan, justru bagi mereka yang makmur secara material di negara industri yang mengakibatkan dehumanisasi seperti di atas. Kita harus ingat bahwa selama kekuatan-kekuatan produktif belum berkembang—selama masyarakat masih dalam kemiskinan—maka keharusan untuk bekerja dan mempertahankan hidup itu saja sudah cukup memberi makna hidup bagi seseorang. Memang, menemukan makna hidup adalah suatu keharusan kemanusiaan. Tetapi jika penemuan itu hanya terbatas pada bagaimana mempertahankan hidup itu sendiri maka malah menjadi tidak sempurna, kalau bukan penipuan psikologis. Karena itu, meskipun kemiskinan membuat orang tidak perlu mempertanyakan apa makna hidup ini karena ia menemukannya dalam berjuang untuk hidup itu sendiri, namun hal itu bukanlah suatu keadaan yang humanistis. Kemiskinan tetap nonhumanistis, tidak manusiawi.
Setiap kenaikan kemampuan material suatu masyarakat adalah bernilai positif, termasuk dari segi peningkatan harkat kemanusiaan masyarakat itu, baik perseorangan maupun kelompok. Sebab harkat atau martabat kemanusiaan adalah pusat kebahagiaannya. Dia akan ditemukan hanya dalam keadaan dapat dengan bebas mengembangkan dirinya. Menurut Goethe, “manusia membawa dalam dirinya tidak hanya pribadinya sendiri tetapi seluruh kemanusiaan—dengan segala potensinya—sekalipun dia dapat mewujudkan potensi-potensi itu hanya dengan cara yang terbatas disebabkan pembatasan-pembatasan dari luar terhadap eksistensi pribadinya.”
Salah satu di antara pembatasan-pembatasan itu, yang terpenting karena yang terkuat, ialah kemiskinan. Dari segi ini, karena industrialisasi membawa kemakmuran, maka ia juga berarti peningkatan kemanusiaan, sehingga membawa humanisasi. Agaknya itulah sebabnya mengapa Lenin, dalam satu slogannya, mengatakan bahwa sosialisme adalah elektrivikasi menyeluruh. Dan sosialisme adalah suatu cita-cita mewujudkan kemanusiaan secara lebih sadar.
Tetapi agaknya memang tidak ada hasil yang bisa dicapai tanpa harga atau pengorbanan. Kemakmuran yang dibawa oleh industrialisasi ternyata meminta korban-korban yang tidak kecil. Dalam tahapnya yang berkelanjutan, pengorbanan yang dituntut itu justru adalah ke-manusiaan itu sendiri.
Sekarang ini, setelah menyaksikan pengalaman-pengalaman negara industri maju, para peninjau dapat mengatakan bahwa pembatasannya Goethe dalam pengembangan kemanusiaan itu justru datang dari industrialisasi yang membawa kemakmuran material tersebut.
Salah satu nilai formal masyarakat industrial ialah birokrasi, yang di dalamnya tersimpul nilai-nilai lain seperti kerutinan, kepastian dan instrumentalisme. Mekanisme itu membuat seseorang berada dalam posisi tanpa pilihan, sehingga menjadi fatal. Hal itu berarti bahwa seseorang telah kehilangan dirinya sendiri. Ia hanya merupakan suatu fungsi dari suatu keseluruhan permesinan, yang apabila berdiri sendiri atau sendirian, maka tidak akan mempunyai arti apa-apa. Ia digunakan atau dibuang semata-mata berdasarkan fungsi yang mungkin dilakukan; dengan perkataan lain, nilai instrumentalistisnya. Sedangkan kemanusia-annya yang intrinsik seringkali tidak menjadi hitungan.
Di sinilah mulai timbul masalah makna hidup. “Hidup ini untuk apa?” adalah pertanyaan yang tidak menentramkan, justru bagi mereka yang makmur secara material di negara industri yang mengakibatkan dehumanisasi seperti di atas. Kita harus ingat bahwa selama kekuatan-kekuatan produktif belum berkembang—selama masyarakat masih dalam kemiskinan—maka keharusan untuk bekerja dan mempertahankan hidup itu saja sudah cukup memberi makna hidup bagi seseorang. Memang, menemukan makna hidup adalah suatu keharusan kemanusiaan. Tetapi jika penemuan itu hanya terbatas pada bagaimana mempertahankan hidup itu sendiri maka malah menjadi tidak sempurna, kalau bukan penipuan psikologis. Karena itu, meskipun kemiskinan membuat orang tidak perlu mempertanyakan apa makna hidup ini karena ia menemukannya dalam berjuang untuk hidup itu sendiri, namun hal itu bukanlah suatu keadaan yang humanistis. Kemiskinan tetap nonhumanistis, tidak manusiawi.
MENGENANG PEMBARUAN ISLAM CAK NUR
Mengenang sosok almarhum tidak bisa dipisahkan dari munculnya gerakan pembaruan pemikiran Islam pada 35 tahun silam. Mengenang gerakan itu kurang pas jika tak menyebut nama besar Cak Nur. Mengabaikan Cak Nur sama seperti garam tanpa asin.
Dia dinisbatkan sebagai gerbong pembaruan karena pada awal dekade 70-an menggelontorkan gagasan rasionalisasi-agama sebagai jargon dari gerakan pembaruan-Islam. Pada acara halalbihalal organisasi muda Islam, Cak Nur memberikan ceramah berjudul Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat di Jalan menteng Raya No 58, Jakarta Pusat. Gagasan yang ditebarkan cukup menggetarkan karena tak lazim. Dia bicara soal rasionalisasi, sekulerisasi, desakralisasi, modernisasi-Islam, dll.
Menurut Cak Nur, sekulerisasi berarti rasionalisasi-agama, dalam arti mengartikulasi pesan-pesan moral agama pada tataran realitas kehidupan. Sementara itu, modernisasi tidaklah identik dengan westernisasi, tetapi merupakan spirit yang hendaknya memacu umat Islam untuk berbuat seperti dalam kemajuan-pencerahan yang terjadi di Barat (Tarekat Nurcholisy: 2001).
Gagasan-gagasan itu kemudian mendapatkan kritik dan serangan bertubi-tubi dari kelompok skripturalis-tekstualis muslim, di antaranya dari kelompok Dewan Dakwah. H M. Rasjidi merupakan salah satu pentolannya. Rasjidi adalah seorang sarjana muslim dari Universitas di Prancis dan penerjemah buku-buku bahasa Prancis ke dalam bahasa Indonesia.
Sebaliknya, kritik bertubi-tubi tak membuat surut Cak Nur. Gagasannya di awal 1970-an, misalnya, dipertegas lagi setelah Cak Nur merampungkan studi di Universitas Chicago awal dekade 80-an.
Pada saat itu, Cak Nur banyak menawarkan pendekatan baru yang dianggap "tak lazim" dalam ajaran Islam, yaitu kesemuanya lahir dari tafsir dan konsekuensi terhadap gagasan rasionalisasi-agama. Sebuah gagasan R. William Liddle (1995) yang mereduksi dari Robert N. Bellah, seorang sosiolog-agama kenamaan dari Amerika. Gagasan itu, menurut Liddle, dielaborasi Cak Nur dalam makalah kerjanya ketika berada di perjalanan dari Chicago.
***
Setelah pulang dari Chicago, lantas banyak kalangan skripturalis-tekstualis muslim yang merasa tak salah menduga bahwa Cak Nur memang agen orientalis. Sebab, kampus Chicago di dunia Islam terkenal sebagai sarang para orientalis kenamaan, seperti Wilfred Cantwell-Smith, Marshal G. S. Hodgson. Selain itu, di sana juga ada pemikir muslim yang menjadi gerbong modernisasi dan pembaruan-Islam karena mendekati agama dengan jalan rasional, seperti Fazlur Rahman.
Cak Nur, sebagai salah satu mantan murid Rahman, seperti juga Amien Rais dan Syafii Maarif, secara otomatis mengikuti gaya pemikiran Rahman yang rasional. Tampaknya dari Rahman itulah, bukan dari Bellah seperti pendapat Liddle, Cak Nur mendapat inspirasi awal mengenai gagasan rasionalisasi agama.
Gayung pun bersambut. Cak Nur rupanya tak hanya dikritik. Namun, banyak pula sambutan hangat yang datang dari kalangan-kalangan yang sepaham dengannya. Kalangan yang sepaham itu, pada substansinya, adalah orang-orang yang tidak mau lagi memahami Islam secara mainstream dan selama itu dianggap otoritatif.
Pendekatan terhadap Islam nonmainstream yang dianggap tak otoritatif itu, ternyata, lebih menyegarkan dan relevan dengan gejolak pemikiran-pemikiran liar di kalangan aktivis muda Islam khususnya. Keliaran pemikiran terjadi akibat persinggungan tradisi dan khasanah pemikiran modern dari Barat.
Pengikut Cak Nur yang setia dan paling awal datang dari kalangan aktivis-muslim, katakanlah seperti Djohan Effendi, M. Dawam Rahardjo, Utomo Dananjaya, Adi Sasono, Eki Syachrudin dan orang-orang yang pernah bergabung di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) atas latar pemikiran yang sejalan dengan Cak Nur.
Mereka dikatakan seperti itu karena tak sedikit juga di HMI yang tak sejalan dengan gagasan-gagasan pembaruan Cak Nur. Oleh Greg Barton (1999) kemudian dipilah orang-orang yang masuk kelompok neomodernis dan orang-orang yang dikategorikan substansialis. Namun, keduanya sama-sama memperjuangkan gerakan pembaruan-Islam di Indonesia.
Kelompok neomodernis dinisbatkan karena telah memperbarui kalangan modernis-muslim yang menggelontorkan gagasan modernisasi-Islam. Tokohnya adalah Fazlur Rahman. Kelompok neomodernis, menurut Barton, terbentuk karena mereka tak hanya punya akses dalam khasanah tradisi intelektual Barat-modern. Namun, juga punya akses yang cukup luas dari khasanah tradisi klasik-pesantren.
Kelompok substansialis, menurut Barton, punya akses besar terhadap khasanah intelektual Barat-modern, tapi kurang mendapatkan akses khasanah intelektual klasik-Islam. Kelompok neomodernis diwakili oleh orang seperti Cak Nur sendiri, kemudian Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Yang mewakili kelompok substansialis adalah M. Dawam Rahardjo, Adi Sasono, dll.
***
Dalam perjalanannya, gerakan pembaruan-Islam Cak Nur dianggap bukan suatu barang baru. Sebab, lama sebelum Cak Nur memelopori gerakan pembaruan, Muhammadiyah sebagai salah satu ormas Islam terbesar juga mengklaim sebagai gerakan pembaru.
Kategori umum mengenai gerakan pembaruan lantas juga merujuk pada gerakan salafi-Wahabi di Arab yang kemudian membentuk Kerajaan Saudi pengklaim penjaga dua kota suci Makkah-Madinah. Jika dirujuk masa awalnya, gerakan pembaruan dipelopori Rifaat Tahtawi, Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasdyid Ridha di Mesir.
Menurut Thoha Hamim, ciri umum gerakan pembaruan, antara lain, kembali kepada ajaran Quran, sunnah, dan tradisi salaf, menolak praktik-praktik taklid (ittiba’), berpikir rasional yang menafsir sumber-sumber ajaran Islam secara aktual, dan yang paling menonjol tentu saja memerangi bidah dan khurafat. (Thoha Hamim, Moenawar Chalil’s Reformist Thought, 2000)
Memang, geneologi gerakan pembaruan beserta ciri umumnya itu turut serta menginspirasi gerakan pembaruan Cak Nur. Namun, untuk menggeneralisasi kesamaan secara menyeluruh juga tak dapat dibenarkan. Jadi di sini, model pembaruan di Mesir berbeda dengan pembaruan ala Wahabi di Arab Saudi, begitu pula pembaruan ala Wahabi berbeda dengan Muhammadiyah di Indonesia. Akhirnya, gerakan pembaruan Muhammadiyah berbeda pula dengan pembaruan Cak Nur.
Meski semua gerakan pembaruan itu mengklaim pewaris generasi salafi, salafi di Arab Saudi berbeda dengan salafi Muhammadiyah. Jika salafi di Arab Saudi berarti Wahabisme fanatik, radikal, dan tak toleran serta tak akomodatif dengan mazhab di luar mazhab Wahabi itu sendiri, salafi Muhammadiyah justru sebaliknya. Yakni, bersifat moderat, tradisional, dan akomodatif-demokratis.
Bahkan, organisasi terbesar lainnya, seperti Nahdlatul Ulama (NU) "saudara kandung Muhammadiyah" tak hanya akomodatif, tapi juga oportunis dalam soal komparasi mazhab fikih.
Berbeda jauh dengan itu, salafi pembaruan Cak Nur bahkan melampaui salafisme Muhammadiyah maupun NU sekalipun. Salafi pembaruan Cak Nur lazimnya bersinggungan dengan modernitas Barat yang didapat dari hasil persinggungan dengan dunia akademis-nontradisional.
Karena pembaruan Cak Nur lahir dari kampus, maka konsekuensinya, dalam jumlah masif, banyak "Cak Nur muda" di masa sekarang yang mengikuti jejak langkahnya. Dalam pelbagai warna, pembaruan Cak Nur ditafsirkan oleh mereka sehingga lahir pula tafsir yang lebih mengerucut terhadap pembaruan Cak Nur, entah mereka yang kemudian menamakan kelompok postradisionalisme-Islam (Postra), Islam-liberal (Islib) maupun Islam-progresif.
Yang jelas, pembaruan Cak Nur dikatakan cukup berhasil karena tak hanya memperkenalkan model rasionalitas berpikir dalam mendekati agama, tapi juga berhasil mengelaborasi, mendemonstrasi, dan mengaktualisasikannya dalam realitas kekinian. Karena itu, tak hanya pengkritiknya, pengikutnya pun terus ada dan tetap eksis sampai kapan pun.***
Dia dinisbatkan sebagai gerbong pembaruan karena pada awal dekade 70-an menggelontorkan gagasan rasionalisasi-agama sebagai jargon dari gerakan pembaruan-Islam. Pada acara halalbihalal organisasi muda Islam, Cak Nur memberikan ceramah berjudul Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat di Jalan menteng Raya No 58, Jakarta Pusat. Gagasan yang ditebarkan cukup menggetarkan karena tak lazim. Dia bicara soal rasionalisasi, sekulerisasi, desakralisasi, modernisasi-Islam, dll.
Menurut Cak Nur, sekulerisasi berarti rasionalisasi-agama, dalam arti mengartikulasi pesan-pesan moral agama pada tataran realitas kehidupan. Sementara itu, modernisasi tidaklah identik dengan westernisasi, tetapi merupakan spirit yang hendaknya memacu umat Islam untuk berbuat seperti dalam kemajuan-pencerahan yang terjadi di Barat (Tarekat Nurcholisy: 2001).
Gagasan-gagasan itu kemudian mendapatkan kritik dan serangan bertubi-tubi dari kelompok skripturalis-tekstualis muslim, di antaranya dari kelompok Dewan Dakwah. H M. Rasjidi merupakan salah satu pentolannya. Rasjidi adalah seorang sarjana muslim dari Universitas di Prancis dan penerjemah buku-buku bahasa Prancis ke dalam bahasa Indonesia.
Sebaliknya, kritik bertubi-tubi tak membuat surut Cak Nur. Gagasannya di awal 1970-an, misalnya, dipertegas lagi setelah Cak Nur merampungkan studi di Universitas Chicago awal dekade 80-an.
Pada saat itu, Cak Nur banyak menawarkan pendekatan baru yang dianggap "tak lazim" dalam ajaran Islam, yaitu kesemuanya lahir dari tafsir dan konsekuensi terhadap gagasan rasionalisasi-agama. Sebuah gagasan R. William Liddle (1995) yang mereduksi dari Robert N. Bellah, seorang sosiolog-agama kenamaan dari Amerika. Gagasan itu, menurut Liddle, dielaborasi Cak Nur dalam makalah kerjanya ketika berada di perjalanan dari Chicago.
***
Setelah pulang dari Chicago, lantas banyak kalangan skripturalis-tekstualis muslim yang merasa tak salah menduga bahwa Cak Nur memang agen orientalis. Sebab, kampus Chicago di dunia Islam terkenal sebagai sarang para orientalis kenamaan, seperti Wilfred Cantwell-Smith, Marshal G. S. Hodgson. Selain itu, di sana juga ada pemikir muslim yang menjadi gerbong modernisasi dan pembaruan-Islam karena mendekati agama dengan jalan rasional, seperti Fazlur Rahman.
Cak Nur, sebagai salah satu mantan murid Rahman, seperti juga Amien Rais dan Syafii Maarif, secara otomatis mengikuti gaya pemikiran Rahman yang rasional. Tampaknya dari Rahman itulah, bukan dari Bellah seperti pendapat Liddle, Cak Nur mendapat inspirasi awal mengenai gagasan rasionalisasi agama.
Gayung pun bersambut. Cak Nur rupanya tak hanya dikritik. Namun, banyak pula sambutan hangat yang datang dari kalangan-kalangan yang sepaham dengannya. Kalangan yang sepaham itu, pada substansinya, adalah orang-orang yang tidak mau lagi memahami Islam secara mainstream dan selama itu dianggap otoritatif.
Pendekatan terhadap Islam nonmainstream yang dianggap tak otoritatif itu, ternyata, lebih menyegarkan dan relevan dengan gejolak pemikiran-pemikiran liar di kalangan aktivis muda Islam khususnya. Keliaran pemikiran terjadi akibat persinggungan tradisi dan khasanah pemikiran modern dari Barat.
Pengikut Cak Nur yang setia dan paling awal datang dari kalangan aktivis-muslim, katakanlah seperti Djohan Effendi, M. Dawam Rahardjo, Utomo Dananjaya, Adi Sasono, Eki Syachrudin dan orang-orang yang pernah bergabung di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) atas latar pemikiran yang sejalan dengan Cak Nur.
Mereka dikatakan seperti itu karena tak sedikit juga di HMI yang tak sejalan dengan gagasan-gagasan pembaruan Cak Nur. Oleh Greg Barton (1999) kemudian dipilah orang-orang yang masuk kelompok neomodernis dan orang-orang yang dikategorikan substansialis. Namun, keduanya sama-sama memperjuangkan gerakan pembaruan-Islam di Indonesia.
Kelompok neomodernis dinisbatkan karena telah memperbarui kalangan modernis-muslim yang menggelontorkan gagasan modernisasi-Islam. Tokohnya adalah Fazlur Rahman. Kelompok neomodernis, menurut Barton, terbentuk karena mereka tak hanya punya akses dalam khasanah tradisi intelektual Barat-modern. Namun, juga punya akses yang cukup luas dari khasanah tradisi klasik-pesantren.
Kelompok substansialis, menurut Barton, punya akses besar terhadap khasanah intelektual Barat-modern, tapi kurang mendapatkan akses khasanah intelektual klasik-Islam. Kelompok neomodernis diwakili oleh orang seperti Cak Nur sendiri, kemudian Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Yang mewakili kelompok substansialis adalah M. Dawam Rahardjo, Adi Sasono, dll.
***
Dalam perjalanannya, gerakan pembaruan-Islam Cak Nur dianggap bukan suatu barang baru. Sebab, lama sebelum Cak Nur memelopori gerakan pembaruan, Muhammadiyah sebagai salah satu ormas Islam terbesar juga mengklaim sebagai gerakan pembaru.
Kategori umum mengenai gerakan pembaruan lantas juga merujuk pada gerakan salafi-Wahabi di Arab yang kemudian membentuk Kerajaan Saudi pengklaim penjaga dua kota suci Makkah-Madinah. Jika dirujuk masa awalnya, gerakan pembaruan dipelopori Rifaat Tahtawi, Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasdyid Ridha di Mesir.
Menurut Thoha Hamim, ciri umum gerakan pembaruan, antara lain, kembali kepada ajaran Quran, sunnah, dan tradisi salaf, menolak praktik-praktik taklid (ittiba’), berpikir rasional yang menafsir sumber-sumber ajaran Islam secara aktual, dan yang paling menonjol tentu saja memerangi bidah dan khurafat. (Thoha Hamim, Moenawar Chalil’s Reformist Thought, 2000)
Memang, geneologi gerakan pembaruan beserta ciri umumnya itu turut serta menginspirasi gerakan pembaruan Cak Nur. Namun, untuk menggeneralisasi kesamaan secara menyeluruh juga tak dapat dibenarkan. Jadi di sini, model pembaruan di Mesir berbeda dengan pembaruan ala Wahabi di Arab Saudi, begitu pula pembaruan ala Wahabi berbeda dengan Muhammadiyah di Indonesia. Akhirnya, gerakan pembaruan Muhammadiyah berbeda pula dengan pembaruan Cak Nur.
Meski semua gerakan pembaruan itu mengklaim pewaris generasi salafi, salafi di Arab Saudi berbeda dengan salafi Muhammadiyah. Jika salafi di Arab Saudi berarti Wahabisme fanatik, radikal, dan tak toleran serta tak akomodatif dengan mazhab di luar mazhab Wahabi itu sendiri, salafi Muhammadiyah justru sebaliknya. Yakni, bersifat moderat, tradisional, dan akomodatif-demokratis.
Bahkan, organisasi terbesar lainnya, seperti Nahdlatul Ulama (NU) "saudara kandung Muhammadiyah" tak hanya akomodatif, tapi juga oportunis dalam soal komparasi mazhab fikih.
Berbeda jauh dengan itu, salafi pembaruan Cak Nur bahkan melampaui salafisme Muhammadiyah maupun NU sekalipun. Salafi pembaruan Cak Nur lazimnya bersinggungan dengan modernitas Barat yang didapat dari hasil persinggungan dengan dunia akademis-nontradisional.
Karena pembaruan Cak Nur lahir dari kampus, maka konsekuensinya, dalam jumlah masif, banyak "Cak Nur muda" di masa sekarang yang mengikuti jejak langkahnya. Dalam pelbagai warna, pembaruan Cak Nur ditafsirkan oleh mereka sehingga lahir pula tafsir yang lebih mengerucut terhadap pembaruan Cak Nur, entah mereka yang kemudian menamakan kelompok postradisionalisme-Islam (Postra), Islam-liberal (Islib) maupun Islam-progresif.
Yang jelas, pembaruan Cak Nur dikatakan cukup berhasil karena tak hanya memperkenalkan model rasionalitas berpikir dalam mendekati agama, tapi juga berhasil mengelaborasi, mendemonstrasi, dan mengaktualisasikannya dalam realitas kekinian. Karena itu, tak hanya pengkritiknya, pengikutnya pun terus ada dan tetap eksis sampai kapan pun.***
MENELUSURI ORISINALITAS GAGASAN SEKULARISASI NURCHOLIS MADJID
Gagasan sekularisasi di Indonesia sulit dilepaskan dari nama Nurcholish Madjid, yang pada tanggal 2 Januari 1970 meluncurkan gagasannya dalam diskusi yang diadakan oleh HMI, PII, GPI, dan Persami, di Menteng Raya 58. Ketika itu, Nurcholish meluncurkan makalah berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Gagasan itu kemudian diperkuat lagi dengan pidatonya di Taman Ismail Marzuki Jakarta, pada tanggal 21 Oktober 1992, yang dia beri judul "Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia". Setelah itu, berjubellah para propagandis sekularisasi di Indonesia.
Tulisan berikut ini menelusuri jejak gagasan sekularisasi dalam pemikiran Nurcholish Madjid: apakah gagasan itu orisinal ataukah “impor” dari kalangan pemikir Kristen Barat?
Penelusuran ini sangat penting, sebab gagasan sekularisasi kemudian berujung kepada penolakan terhadap penerapan syariat Islam dalam wilayah publik dan kenegaraan. Bahkan, dalam beberapa hal, kemudian gagasan ini dikembangkan ke sana kemari, pada tataran teologis dengan penerimaan terhadap konsep Teologi Inklusif dan Pluralisme Teologis. Secara terbuka, seorang tokoh Islam Liberal, misalnya, menyatakan, bahwa konsep negara sekular adalah lebih unggul, karena bisa menampung energi kesalehan dan energi kemaksiatan sekaligus. (Majalah Tempo, 19-25 November 2001).
Hasil penelusuran terhadap gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid menunjukkan, bahwa gagasan tokoh “pembaharu” Islam di Indonesia itu ternyata “tidak orisinal”. Sebagian besar gagasannya diadopsi dari pemikiran Harvey Cox dan Robert N. Bellah, yang mengelaborasi gagasannya dari konsepsi dan sejarah Kristen. Memang, gagasan Cox dan Bellah dimodifikasi oleh Nurcholish Madjid dan dicarikan justifikasinya dari dalam ajaran Islam. Namun, sayangnya, Nurcholish mengabaikan perbedaan prinsip antara konsepsi dan sejarah Kristen dengan konsepsi dan sejarah Islam.
Istilah Sekularisasi
Menurut Nurcholish, pendekatan dari segi bahasa akan banyak menolong menjelaskan makna suatu istilah. Tentang etimologi sekularisasi, dia berpendapat:
Kata-kata “sekular” dan “sekularisasi” berasal dari bahasa Barat (Inggris, Belanda dan lain-lain). Sedangkan asal kata-kata itu, sebenarnya, dari bahasa Latin, yaitu saeculum yang artinya zaman sekarang ini. Dan kata-kata saeculum itu sebenarnya adalah salah satu dari dua kata Latin yang berarti dunia. Kata lainnya ialah mundus. Tetapi, jika saeculum adalah kata waktu, maka mundus adalah kata ruang”.1
Pendapat Nurcholish mengenai etimologi sekular ini dapat ditelusuri dari pemikiran Harvey Cox, yang pada tahun 1960-an, sudah lebih dahulu menjelaskan secara rinci, bahwa istilah Inggeris secular berasal dari bahasa Latin saeculum yang berarti zaman sekarang ini (this present age). Ada satu kata lain dalam bahasa Latin yang juga menunjukkan makna dunia yaitu mundus, yang kemudian di Inggriskan menjadi mundane. Kata saeculum lebih menunjukkan masa (time) berbanding mundus yang menunjukkan makna ruang (space). Kata saeculum sepadan dengan kata aeon dalam bahasa Yunani kuno dan kata mundus sepadan dengan kata cosmos juga dalam bahasa Yunani kuno.
Menurut Harvey Cox, disebabkan kata “dunia” di dalam bahasa Latin memiliki dua istilah yang berbeda, yaitu mundus dan saeculum, maka kata dunia di dalam bahasa Latin menjadi suatu kata yang ambivalent. Ambivalensi kata “dunia” ini, menurut Cox, sebenarnya mengungkapkan problem teologis yang dapat ditelusuri kembali dari perbedaan konsep antara Yunani dan Ibrani. Orang Yunani kuno memandang realitas itu sebagai suatu ruang, sementara dalam bahasa Ibrani, dunia itu menunjukkan suatu masa. Bagi orang Yunani, dunia adalah sebuah ruang, sebuah tempat. Event–event terjadi di dalam (within) dunia, tetapi tiada satu pun yang penting terjadi kepada (to) dunia. Sebaliknya, dalam bahasa Ibrani, esensi dunia adalah sejarah. Peristiwa yang terjadi secara berurutan, bermula dari penciptaan dan menuju kesempurnaan.2 Yahudi menganggap bahwa dunia ini diciptakan Tuhan supaya manusia mencintainya dan membawa kesempurnaan.3 Jadi, jika orang Yunani kuno memandang realitas itu menurut ruang, maka orang Yahudi memandang realitas itu menurut masa. Ketegangan konsep antara keduanya kemudian berdampak terhadap teologi Kristen sejak awal pembentukannya.4
Setelah mengungkap etimologi kata “sekular”, Nurcholish berpendapat bahwa kata dunia adalah istilah yang paralel dalam bahasa Yunani kuno, Latin, dan bahasa Arab (al-Quran). Nurcholish kemudian menjelaskan:
“Itulah sebabnya, dari segi bahasa an sich pemakaian istilah sekular tidak mengandung keberatan apa pun. Maka, benar jika kita mengatakan bahwa manusia adalah makhluk duniawi, untuk menunjukkan bahwa dia hidup di alam dunia sekarang ini, dan belum mati atau berpindah ke alam baka. Kemudian, kata “duniawi” itu diganti dengan kata “sekular”, sehingga dikatakan, manusia adalah makhluk sekular. Malahan, hal itu tidak saja benar secara istilah, melainkan juga secara kenyataan.”5
Jadi, secara etimologis, kata Nurcholish, tidak ada masalah menggunakan kata sekular untuk Islam, karena memang manusia adalah makhluk sekular. Dia jelaskan lagi:
“Dalam permulaan pemakaiannya, istilah sekular memang lebih banyak menunjukkan pengertian tentang dunia, yang secara tersirat tergambarkan sifat-sifatnya yang rendah dan hina. Tetapi, lama kelamaan pengertian yang tidak adil itu, dalam dunia pemikiran Barat, menjadi berkurang dan menghilang. Pengertian bahwa dunia ini adalah alam yang rendah dan hina merupakan tanggungjawab filsafat-filsafat hidup yang berlaku umum di dunia Barat waktu itu.”6
Sayangnya, Nurcholish tidak menyebutkan perubahan makna terhadap kata sekularisisasi. Padahal, penjelasan perubahan makna ini sebenarnya sudah diungkapkan lebih terperinci oleh Cox. Menurut Cox, pengaruh kepercayaan Ibrani terhadap dunia Hellenistik, melalui perantara orang-orang Kristen awal, adalah “mentemporalisasikan” (temporalize) realitas. Hasilnya, dunia menjadi sejarah, cosmos menjadi aeon, mundus menjadi saeculum. Jadi, kata secular sebenarnya adalah korban pertama dari ketidakinginan orang Yunani kuno untuk menerima historisitas Ibrani. Demikian simpul Harvey Cox, seorang teolog dan sosiolog Harvard University.7
Jadi, disebabkan pengaruh Ibrani itu, konsep sekular menunjukan “kondisi” (condition) dunia ini, pada zaman ini (this age), atau ‘masa sekarang’ (now). Zaman ini atau masa sekarang berarti peristiwa-peristiwa di dunia ini, dan ini juga bermakna peristiwa-peristiwa kontemporer. Penekanan makna yang ditentukan oleh masa atau periode tertentu dianggap sebagai proses sejarah (historical process). Jadi, inti dari makna “sekular”, adalah bahwa konteks dunia berubah terus-menerus. Akhirnya, berujung pada kesimpulan, bahwa nilai-nilai keruhanian adalah relatif.
Cox kemudian meneliti perubahan makna yang terjadi pada kata sekularisasi. Menurut Cox, sejak awal, disebabkan pengaruh Helenistik, makna kata sekular sudah merujuk kepada sesuatu yang inferior. Sekular sudah bermakna perubahan di “dunia ini” bertentangan dengan “dunia agama” yang kekal-abadi. Implikasinya, dunia agama yang kekal-abadi, yang tidak berubah adalah benar. Karena itu, ia lebih hebat dari dunia “sekular” yang berlalu (passing) dan bersifat sementara (transient).
Makna kata sekular semakin memiliki konotasi negatif ketika terjadinya sintesis pada abad pertengahan antara Yunani kuno dan Ibrani (Hebrew). Sintesis itu ialah bahwa dunia ruang (spatial world) lebih tinggi dan lebih agamis, sedangkan dunia sejarah yang berubah adalah lebih rendah atau dunia “sekular”. Ini sebenarnya pengaruh filsafat Hellenistik kepada ajaran Kristen, simpul Cox.
Padahal, Bible sudah menegaskan bahwa di bawah kekuasaan Tuhan segala kehidupan tergambar di dalam limbo sejarah. Ajaran Bible menyatakan bahwa kosmos tersekularkan. Tapi, pernyataan ini telah kehilangan gaungnya. Kata sekularisasi, yang pertamanya memiliki makna yang sangat sempit dan khusus, kemudian perlahan-lahan meluas. Sekularisasi yang pada awalnya bermakna proses pindahnya tanggung-jawab pendeta “yang agamis” menjadi seorang parokia, semakin meluas menjadi pemisahan kekuasaan antara Paus dan Kaisar. Sekularisasi bermakna pembagian antara institusi spiritual dan sekular. “Sekularisasi” bermakna pindahnya tanggung-jawab tertentu dari Gereja ke kekuasaan politik.
Makna yang sudah meluas ini terus berlanjut dalam periode Englihtenment dan Revolusi Perancis. Bahkan sekarang pun makna seperti ini tetap digunakan di negara-negara yang mewarisi budaya Katolik. Konsekwensinya, proses pindahnya sebuah sekolah atau sebuah rumah sakit dari Gereja ke administrasi publik, misalnya, disebut sekularisasi. Makna ini kemudian berubah akhir-akhir ini. Sekularisasi bermakna gambaran sebuah proses pada level budaya, yang paralel dengan level politik. Sekularisasi berarti hilangnya diterminasi agamis terhadap simbol-simbol integrasi budaya. Sekularisasi budaya adalah hal yang lazim dan tak dapat dihindari dari sekularisasi politik dan sosial.8
Jadi, menurut Cox, dunia ini tidak lebih rendah dari dunia agamis. Karena itu, sekularisasi adalah proses penduniawian hal-hal yang memang bersifat duniawi. Penjelasan Cox ini identik dengan penjelasan Nurcholish tentang “sekularisasi” dan “penduniawian”. Menurut Nurholish, konsep tentang dunia sebagai tempat hidup yang bernilai rendah dan hina bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, umat Islam tidak diperbolehkan curiga kepada kehidupan duniawi ini, apalagi lari dari realitas kehidupan duniawi. Sehingga, sekularisasi adalah proses penduniawian.9
Sekularisme dan Sekularisasi
Salah satu argumentasi Nurcholish yang terkenal dalam mempertahankan pendapatnya adalah pembedaan antara “sekularisasi” dan “sekularisme”. Dalam hal ini, Nurcholish mengutip pendapat Harvey Cox.10 Memang, menurut Cox, sekularisasi mengimplikasikan proses sejarah, hampir pasti tak mungkin diputar kembali. Masyarakat perlu dibebaskan dari kontrol agama dan pandangan hidup metafisik yang tertutup (closed metaphysical worldviews). Jadi, intinya, sekularisasi adalah perkembangan yang membebaskan (a liberating development). Sebaliknya, sekularisme adalah nama sebuah ideologi. Ia adalah sebuah pandangan hidup baru yang tertutup yang fungsinya sangat mirip dengan agama. Selain itu, lanjut Cox, sekularisasi itu berakar dari kepercayaan Bible. Pada taraf tertentu, ia adalah hasil otentik dari implikasi kepercayaan Bible terhadap sejarah Barat. Oleh sebab itu, sekularisasi berbeda dengan sekularisme -- yaitu idiologi (isme) yang tertutup. Bagi Cox, sekularisme membahayakan keterbukaan dan kebebasan yang dihasilkan oleh sekularisasi. Oleh sebab itu, sekularisme harus diawasi, diperiksa dan dicegah untuk menjadi idiologi negara.11
Sedangkan Nurcholish menjelaskan tentang ini, dengan menyatakan, pembedaan antara “sekularisasi” dan “sekularisme” semakin jelas jika dianalogikan dengan pembedaan antara rasionalisasi dan rasionalisme. Seorang Muslim harus bersikap rasional, tetapi tidak boleh menjadi pendukung rasionalisme. Rasionalitas adalah suatu metode guna memperoleh pengertian dan penilaian yang tepat tentang suatu masalah dan pemecahannya. Rasionalisasi adalah proses penggunaan metode itu. Analoginya, lanjut Nurcholish, sekularisasi tanpa sekularisme, yaitu proses penduniawian tanpa paham keduniawian, bukan saja mungkin, bahkan telah terjadi dan terus akan terjadi dalam sejarah. Sekularisasi tanpa sekularisme adalah sekularisasi terbatas dan dengan koreksi. Pembatasan dan koreksi itu diberikan oleh kepercayaan akan adanya Hari Kemudian dan prinsip Ketuhanan. Sekularisasi adalah keharusan bagi setiap umat beragama, khususnya ummat Islam.12
Justifikasi Sekularisasi
Dalam menggulirkan gagasan sekularisasinya, Nurcholish mencari justifikasi dari ajaran-ajaran Islam. Ia, misalnya, menyatakan, gagasan sekularisasi dapat dijustifikasi dari dua kalimat syahadat, yang mengandung negasi dan afirmasi. Menurut tafsirannya, kalimat syahadat menunjukkan bahwa manusia bebas dari berbagai jenis kepercayaan kepada tuhan-tuhan yang selama ini dianut, kemudian mengukuhkan kepercayaan kepada Tuhan yang sebenarnya. Dan Islam dengan ajaran Tauhidnya yang tidak kenal kompromi itu, telah mengikis habis kepercayaan animisme. Ini bermakna dengan tauhid, terjadi proses sekularisasi besar-besaran pada diri seorang Animis. Manusia ditunjuk sebagai khalifah Tuhan di bumi karena manusia memiliki intelektualitas, akal pikiran, atau rasion. Dengan rasion inilah, manusia mengembangkan diri dan kehidupannya di dunia ini. Oleh karena itu terdapat konsistensi antara sekularisasi dan rasionalisasi Kemudian, terdapat pula konsistensi antara rasionalisasi dan desakralisasi.
Nurcholish melanjutkan argumentasinya, di dalam Islam ada konsep “Hari Dunia” dan “Hari Agama”. Hari agama ialah masa di mana hukum-hukum yang mengatur hubungan antara mannusia tidak berlaku lagi, sedangkan yang berlaku ialah hubungan antara manusia dan Tuhan. Sebaliknya, Pada Hari Dunia yang sekarang kita jalani ini, belum berlaku hukum-hukum akhirat. Hukum yang mengatur perikehidupan ialah hukum-hukum kemasyarakatan manusia.
Nurcholish melanjutkan argumentasinya, bahwa kalimat Basmallah (Atas nama Tuhan), juga menunjukkan bahwa manusia adalah Khalifah Tuhan di atas bumi. Selain itu, al-Rahman menunjukkan sifat kasih Tuhan di dunia ini (menurut ukuran-ukuran duniawi), sedangkan al-Rahim menunjukkan sifat Kasih itu di akhirat (menurut norma-norma ukhrawi). Penghayatan nilai/spiritualkeagamaan bukanlah hasil kegiatan yang serba rasionalistis. Demikian pula sebaliknya, masalah-masalah duniawi tidak dapat didekati dengan metode spiritualistis. Keduanya mempunyai bidang yang berbeda, meskipun antara iman dan ilmu itu terdapat pertalian yang erat.13
Sebelum Cak Nur menjustifikasi bahwa akar sekularisasi ada dalam ajaran Islam, Harvey Cox sebelumnya juga sudah berpendapat bahwa akar sekularisasi ada di dalam ajaran-ajaran Bible.14 Cox menjustifikasi gagasan ini dengan mengutip pandangan Friedrich Gogarten, seorang teolog Jerman, yang mengatakan, bahwa sekularisasi, “adalah konsekwensi sah dari implikasi keimanan Bible terhadap sejarah”.15 Cox menambahkan terdapat tiga komponen penting dalam Bible yang menjadi kerangka asas kepada sekularisasi, yaitu: ‘disenchantment of nature’ yang dikaitkan dengan penciptaan (Creation), ‘desacralization of politics’ dengan migrasi besar-besaran (Exodus) kaum Yahudi dari Mesir dan ‘deconsecration of values’ dengan Perjanjian Sinai (Sinai Covenant).16
Sekularisasi: Keharusan Kristiani
Sekularisasi sebenarnya bermula dari penafsiran baru teolog Barat terhadap Bible.17 Penafsiran baru ini menolak penafsiran lama yang menyatakan bahwa ada alam lain yang lebih hebat dan lebih agamis dari alam ini. Penafsiran baru ini juga membantah peran dan sikap Gerejawan yang mengklaim bahwa Gereja memiliki keistimewaan sosial, kekuatan, dan properti khusus.18 Penafsiran atau teologi baru inilah yang kemudian dirangkai menjadi teologi sekular; yang mengkritik posisi Gereja dengan teologi lamanya yang dianggap ideal. Khususnya, pada saat institusi Gereja memiliki kekuasaan dan peran sentral pada abad pertengahan Eropa.
Sejarah peradaban Barat menunjukkan bahwa dominasi Gereja menghambat kemajuan ilmiah. Akibatnya, terjadi konflik antara akal dengan Bible. Barat menyebut sejarah zaman pertengahan itu sebagai zaman kegelapan (dark ages). Saat itu, akal disubordinasikan di bawah Bible. Karena itu, mereka menamakan sejarah peradaban Eropa pada abad ke-15 dan 16 sebagai zaman kelahiran kembali (renaissance), karena akal bebas dari Bible. Mereka juga kemudian menyebut abad ke-17 sampai abad ke-19 sebagai zaman Pencerahan Eropa (European Enlightenment) yang sebenarnya adalah kesinambungan renaissance. Periode ini ditandai dengan semaraknya semangat rasionalisasi oleh Barat. Para filosof, teolog, sosiolog, psikolog, sejarawan, politikus dan lain-lainnya menulis tentang berbagai karya yang menitikberatkan aspek kemanusiaan, kebebasan, dan keadilan.
Jadi, gagasan sekularisasi muncul karena tidak sanggupnya doktrin dan dogma agama Kristen berhadapan dengan Barat yang terdiri dari beragam unsur. Hasilnya, para teolog Eropa dan Amerika seperti Ludwig Feurbach, Karl Barth, Dietrich Bonhoeffer, Paul van Buren, Thomas Altizer, Gabriel Vahanian, William Hamilton, Woolwich, Werner and Lotte Pelz, dan beberapa lainnya, menggagas revolusi teologi radikal. Cox menggelari mereka sebagai para “teolog kematian Tuhan” (death-of God theologians). Mereka menegaskan bahwa untuk menghadapi sekularisasi, ajaran Kristiani harus disesuaikan dengan pandangan hidup saintifik modern.19
Ludwig Feurbach menegaskan bahwa prinsip filsafat bukanlah Substansi-nya Spinoza, atau Ego-nya Kant dan Fichte, bukan juga Identitas Absolut-nya Schelling, bukan juga Akal Absolut-nya Hegel, bukan pula konsep wujud yang abstrak, tetapi realitas wujud yang benar, yaitu Manusia. Oleh sebab itu, manusia merupakan prinsip filsafat yang paling tinggi. Sekalipun agama atau teologi menyangkal, namun hakikatnya agama yang menyembah manusia (religion that worships man). Agama sendiri yang menyatakan: Tuhan adalah manusia dan manusia adalah Tuhan (God is man, man is God). Jadi, agama akan menafikan Tuhan yang bukan manusia. Makna sebenarnya dari teologi adalah antropologi (The true sense of Theology is Anthropology). Agama adalah mimpi akal manusia (Religion is the dream of human mind).20
Pemikiran Feurbach kemudian sangat mewarnai para sosiolog dan teolog seperti Karl Barth, Martin Buber dan Karl Marx. Karl Barth, misalnya, menegaskan bahwa “agama sebagai ketidakpercayaan” (Religion as Unbelief). Gagasan ini kemudian dilanjutkan oleh muridnya, Dietrich Bonhoeffer. Bonhoeffer mendesak para teolog Kristen agar menyampaikan risalah Kristiani kepada manusia sekular sekarang dengan ungkapan: “kita sedang menuju ke suatu masa yang tiada agama sama sekali… Bagaimana agar kita berbicara mengenai Tuhan tanpa agama… Bagaimana supaya kita berbicara dengan gaya sekular yang baru tentang Tuhan?” Bagi Bonhoeffer, seorang Pastor Jerman yang dieksekusi oleh SS Nazi, agama harus dipisahkan dari kepercayaan (faith). Dia selanjutnya mengatakan dengan frasenya yang paradoks: “sudah tiba saatnya bagi Kristen tanpa agama” (a religionsless Christianity).
Seirama dengan Barth dan Bonhoeffer, Gabriel Vahanian, seorang Teolog Neo-Calvinis juga mengatakan: “sekular adalah keharusan seorang Kristiani”. Bagi Vahanian, kematian Tuhan adalah peristiwa agama dan budaya sekaligus. Dalam masyarakat yang modern dan saintifik, peristiwa-peristiwa dalam Bible dianggap sebagai mitos, sudah lapuk, dan tidak terpakai lagi. Werner and Lotte Pelz juga mengumandangkan “Tuhan tiada lagi” (God is no more). Woolwich dengan nada yang sama juga berpendapat bahwa “Tuhan tanpa Tuhan” (God without God).
Dengan pendapat-pendapat seperti itu, tidak berarti para teolog tersebut menjadi atheis, karena mereka masih mempercayai wujudnya Tuhan. Menurut mereka, di dalam zaman modern ini, Tuhan sudah tidak berperan lagi dalam kehidupan masyarakat. Inilah yang terjadi di masyarakat Kristen Barat. Tuhan diposisikan sebagai di luar urusan kehidupan manusia. Tuhan tidak berhak campur tangan dalam kehidupan manusia. Manusia harus mengatur hidupnya sendiri, dengan hokum-hukum yang mereka buat sendiri. God is no more!.
Memang ada sebagian teolog konservatif -- seperti E. L. Mascal -- yang setia berpegang teguh kepada “tradisi” Kristen. Namun, pendapat ini tidak berpengaruh terhadap kehidupan realitas mayasrakat Kristen. Harvey Cox -- dengan teologi sekularnya -- ingin menjembatani dua kubu yang paradoks secara ektrims, yakni teologi konservatif dan teologi radikal. Cox mengkritik pendapat para teolog kematian Tuhan, karena mereka keliru karena dua faktor. Pertama, Mereka telah menjadikan pandangan hidup saintifik modern sebagai parameter, padahal humanisme saintifik modern itu beraneka-ragam. Selain itu, para saintis pun mengakui bahwa metodologi saintifik bersifat operasional dan berada dalam ruang lingkup yang terbatas. Oleh sebab itu, metodologi saintifik tidak menawarkan “pandangan hidup’. Kedua, pendapat teolog radikal terhadap teologi Kristen tidak kritis dan ahistoris. Mereka menganggap isi doktrin Kristen tidak berubah, maka perlu dibuang.21
Namun, Cox juga tidak konsisten. Cox sendiri memuji konsep teologi Bonhoeffer. Cox mengatakan: kita masih sangat jauh untuk “melintasi Bonhoeffer” (we are very far from being “beyond Bonhoeffer”).22 Jadi, sebenarnya teologi sekular dan ‘teologi kematian Tuhan’ adalah dua sisi dari mata koin yang sama. Pada tahap awal, Teologi secular tampak seolah-olah membela agama dan menempatkan agama posisi terhormat dan suci (karena tidak campur tangan dalam urusan profan), tetapi konsep ini sebenarnya membunuh agama, sebagaimana konsepsi para teolog kematian Tuhan itu.
Bebas Agama
Dunia, kata Cox, perlu dikosongkan dari nilai-nilai ruhani dan agama. Dalam istilah Cox, ini disebut ‘disenchantment of nature’, berasal dari terjemahan die Entzauberung der Welt, yang diambil dari gagasan Max Weber, seorang sosiolog Jerman.23 Sains bisa berkembang dan maju, jika dunia ini dikosongkan dari tradisi atau agama yang menyatakan bahwa ada kekuatan supernatural yang menjaga dunia ini. Disebakan kekuatan ghaib itulah, maka bagi tokoh-tokoh agama konservatif, dunia ini tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang. Padahal, pembebasan dunia ini dari nilai-nilai gaib itu menjadi syarat penting bagi usaha-usaha urbanisasi dan modernisasi. Manusia harus mengeksploitasi alam seoptimal mungkin, tanpa perlu dibatasi oleh pandangan hidup agama apa pun. Jika dunia ini dianggap sebagai manifestasi dari kuasa supernatural, maka sains tidak akan maju dan berkembang. Jadi, dengan cara apa pun, semua makna-makna ruhani keagamaan ini mesti dihilangkan dari alam. Maka, ajaran-ajaran agama dan tradisi harus disingkirkan. Jadi, alam tabi’i bukanlah suatu entitas suci (divine entity).24
Konsep sekularisasi dalam politik diistilahkan dengan ‘Desacralization of politics’, yang bermakna bahwa politik tidaklah sakral (desakralisasi politik). Jadi, unsur-unsur ruhani dan agama harus disingkirkan dari politik. Oleh sebab itu juga, peran ajaran agama ke atas institusi politik harus disingkirkan. Ini menjadi syarat untuk melakukan perubahan politik dan sosial yang juga akan membenarkan munculnya proses sejarah. Segala macam kaitan antara kuasa politik dengan agama dalam masyarakat apa pun tidak boleh berlaku karena dalam masyarakat sekular, tidak seorang pun memerintah atas otoritas ‘kuasa suci’. (Dari gagasan ini bisa dipahami, jika kaum sekular menolak mati-matian penerapan syariat Islam dalam kehidupan politik).
Sebagaimana halnya sekularisasi dalam dunia dan politik, sekulariasi juga terjadi dalam kehidupan dengan penyingkiran nilai-nilai agama (deconsecration of values/dekonsekrasi nilai-nilai). Mereka akan menyatakan, bahwa kebenaran adalah relatif. Tidak ada nilai yang mutlak. Sistem nilai manusia sekular harus dikosongkan dari nilai-nilai agama. Karena perspektif seseorang dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya, maka tidak ada seorang pun yang berhak memaksakan sistem nilainya ke atas orang lain. Manusia sekular mempercayai bahwa ‘wahyu langit’ bisa difahami karena terjadi dalam sejarah, yang dibentuk oleh kondisi sosial dan politik tertentu. Jadi, sebenarnya, semua sistem nilai, terbentuk oleh sejarah yang mengikuti ruang dan waktu dan tertentu. Sekularisasi meletakkan tanggungjawab ke dalam otoritas manusia untuk membina sistem nilai. Sekularisasi akan menjadikan sejarah dan masa depan cukup terbuka untuk perubahan dan kemajuan karena manusia akan bebas membuat perubahan serta pro-aktif dalam proses evolusi. Dengan konsep ini, manusia sekuler bisa tidak akan mengakui kebenaran Islam yang mutlak. Mereka akan menolak konsep-konsep Islam yang tetap (tsawabit), karena semuanya dianggap relatif. Kebenaran bagi mereka adalah yang “berlaku di masyarakat” dan bukan yang dikonsepkan dalam al-Quran.
Gagasan sekularisasi yang dipopulerkan Cox, mendapatkan sambutan hangat oleh para pemikir Kristen Barat pada tahun 60-an. Robert N. Bellah, yang dipengaruhi gagasan Marxist, juga tidak terlepas dari pemikiran Cox. Karyanya ‘Beyond Belief’ memiliki banyak kesejajaran dengan apa yang telah diungkapkan Cox. 25 Bellah juga melanjutkan gagasan sekularisasi dalam bidang politik dengan gagasan ‘civil religion’.26 Konsep sekularisasi yang dianut Bellah juga kepanjangan gagasan sekularisasi yang dikembangkan Cox. Bellah mengutip pendapat Cox ketika mendiskusikan Tradisi Islam dan Problem-Problem Modernisasi.27
Kesimpulan
Fakta-fakta yang telah terungkap menunjukkan, gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid banyak mengadopsi gagasan yang dikembangkan Harvey Cox – yang berangkat dari konsep dan pengalaman sejarah agama Kristen. Banyak yang menyebutkan, bahwa sekularisasi sudah merupakan keharusan bagi dunia, karena kuatnya dominasi Barat. Seharusnya, ilmuwan Muslim bersikap kritis saat mengadopsi gagasan-gagasan seperti ini, karena konsep sekularisasi memang bertentangan dengan konsep Islam. Sejarah Islam juga tidak pernah mengalami pengalaman pahit dalam hubungan antara agama dengan negara, atau pertentangan antara agama dengan sains seperti dalam sejarah Kristen. Karena itu, tidak bijak, jika konsep dan gagasan sekularisasi ini kemudian diadopsi dan diterapkan dalam masyarakat Muslim, yang memiliki pandangan hidup sendiri.
Tulisan berikut ini menelusuri jejak gagasan sekularisasi dalam pemikiran Nurcholish Madjid: apakah gagasan itu orisinal ataukah “impor” dari kalangan pemikir Kristen Barat?
Penelusuran ini sangat penting, sebab gagasan sekularisasi kemudian berujung kepada penolakan terhadap penerapan syariat Islam dalam wilayah publik dan kenegaraan. Bahkan, dalam beberapa hal, kemudian gagasan ini dikembangkan ke sana kemari, pada tataran teologis dengan penerimaan terhadap konsep Teologi Inklusif dan Pluralisme Teologis. Secara terbuka, seorang tokoh Islam Liberal, misalnya, menyatakan, bahwa konsep negara sekular adalah lebih unggul, karena bisa menampung energi kesalehan dan energi kemaksiatan sekaligus. (Majalah Tempo, 19-25 November 2001).
Hasil penelusuran terhadap gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid menunjukkan, bahwa gagasan tokoh “pembaharu” Islam di Indonesia itu ternyata “tidak orisinal”. Sebagian besar gagasannya diadopsi dari pemikiran Harvey Cox dan Robert N. Bellah, yang mengelaborasi gagasannya dari konsepsi dan sejarah Kristen. Memang, gagasan Cox dan Bellah dimodifikasi oleh Nurcholish Madjid dan dicarikan justifikasinya dari dalam ajaran Islam. Namun, sayangnya, Nurcholish mengabaikan perbedaan prinsip antara konsepsi dan sejarah Kristen dengan konsepsi dan sejarah Islam.
Istilah Sekularisasi
Menurut Nurcholish, pendekatan dari segi bahasa akan banyak menolong menjelaskan makna suatu istilah. Tentang etimologi sekularisasi, dia berpendapat:
Kata-kata “sekular” dan “sekularisasi” berasal dari bahasa Barat (Inggris, Belanda dan lain-lain). Sedangkan asal kata-kata itu, sebenarnya, dari bahasa Latin, yaitu saeculum yang artinya zaman sekarang ini. Dan kata-kata saeculum itu sebenarnya adalah salah satu dari dua kata Latin yang berarti dunia. Kata lainnya ialah mundus. Tetapi, jika saeculum adalah kata waktu, maka mundus adalah kata ruang”.1
Pendapat Nurcholish mengenai etimologi sekular ini dapat ditelusuri dari pemikiran Harvey Cox, yang pada tahun 1960-an, sudah lebih dahulu menjelaskan secara rinci, bahwa istilah Inggeris secular berasal dari bahasa Latin saeculum yang berarti zaman sekarang ini (this present age). Ada satu kata lain dalam bahasa Latin yang juga menunjukkan makna dunia yaitu mundus, yang kemudian di Inggriskan menjadi mundane. Kata saeculum lebih menunjukkan masa (time) berbanding mundus yang menunjukkan makna ruang (space). Kata saeculum sepadan dengan kata aeon dalam bahasa Yunani kuno dan kata mundus sepadan dengan kata cosmos juga dalam bahasa Yunani kuno.
Menurut Harvey Cox, disebabkan kata “dunia” di dalam bahasa Latin memiliki dua istilah yang berbeda, yaitu mundus dan saeculum, maka kata dunia di dalam bahasa Latin menjadi suatu kata yang ambivalent. Ambivalensi kata “dunia” ini, menurut Cox, sebenarnya mengungkapkan problem teologis yang dapat ditelusuri kembali dari perbedaan konsep antara Yunani dan Ibrani. Orang Yunani kuno memandang realitas itu sebagai suatu ruang, sementara dalam bahasa Ibrani, dunia itu menunjukkan suatu masa. Bagi orang Yunani, dunia adalah sebuah ruang, sebuah tempat. Event–event terjadi di dalam (within) dunia, tetapi tiada satu pun yang penting terjadi kepada (to) dunia. Sebaliknya, dalam bahasa Ibrani, esensi dunia adalah sejarah. Peristiwa yang terjadi secara berurutan, bermula dari penciptaan dan menuju kesempurnaan.2 Yahudi menganggap bahwa dunia ini diciptakan Tuhan supaya manusia mencintainya dan membawa kesempurnaan.3 Jadi, jika orang Yunani kuno memandang realitas itu menurut ruang, maka orang Yahudi memandang realitas itu menurut masa. Ketegangan konsep antara keduanya kemudian berdampak terhadap teologi Kristen sejak awal pembentukannya.4
Setelah mengungkap etimologi kata “sekular”, Nurcholish berpendapat bahwa kata dunia adalah istilah yang paralel dalam bahasa Yunani kuno, Latin, dan bahasa Arab (al-Quran). Nurcholish kemudian menjelaskan:
“Itulah sebabnya, dari segi bahasa an sich pemakaian istilah sekular tidak mengandung keberatan apa pun. Maka, benar jika kita mengatakan bahwa manusia adalah makhluk duniawi, untuk menunjukkan bahwa dia hidup di alam dunia sekarang ini, dan belum mati atau berpindah ke alam baka. Kemudian, kata “duniawi” itu diganti dengan kata “sekular”, sehingga dikatakan, manusia adalah makhluk sekular. Malahan, hal itu tidak saja benar secara istilah, melainkan juga secara kenyataan.”5
Jadi, secara etimologis, kata Nurcholish, tidak ada masalah menggunakan kata sekular untuk Islam, karena memang manusia adalah makhluk sekular. Dia jelaskan lagi:
“Dalam permulaan pemakaiannya, istilah sekular memang lebih banyak menunjukkan pengertian tentang dunia, yang secara tersirat tergambarkan sifat-sifatnya yang rendah dan hina. Tetapi, lama kelamaan pengertian yang tidak adil itu, dalam dunia pemikiran Barat, menjadi berkurang dan menghilang. Pengertian bahwa dunia ini adalah alam yang rendah dan hina merupakan tanggungjawab filsafat-filsafat hidup yang berlaku umum di dunia Barat waktu itu.”6
Sayangnya, Nurcholish tidak menyebutkan perubahan makna terhadap kata sekularisisasi. Padahal, penjelasan perubahan makna ini sebenarnya sudah diungkapkan lebih terperinci oleh Cox. Menurut Cox, pengaruh kepercayaan Ibrani terhadap dunia Hellenistik, melalui perantara orang-orang Kristen awal, adalah “mentemporalisasikan” (temporalize) realitas. Hasilnya, dunia menjadi sejarah, cosmos menjadi aeon, mundus menjadi saeculum. Jadi, kata secular sebenarnya adalah korban pertama dari ketidakinginan orang Yunani kuno untuk menerima historisitas Ibrani. Demikian simpul Harvey Cox, seorang teolog dan sosiolog Harvard University.7
Jadi, disebabkan pengaruh Ibrani itu, konsep sekular menunjukan “kondisi” (condition) dunia ini, pada zaman ini (this age), atau ‘masa sekarang’ (now). Zaman ini atau masa sekarang berarti peristiwa-peristiwa di dunia ini, dan ini juga bermakna peristiwa-peristiwa kontemporer. Penekanan makna yang ditentukan oleh masa atau periode tertentu dianggap sebagai proses sejarah (historical process). Jadi, inti dari makna “sekular”, adalah bahwa konteks dunia berubah terus-menerus. Akhirnya, berujung pada kesimpulan, bahwa nilai-nilai keruhanian adalah relatif.
Cox kemudian meneliti perubahan makna yang terjadi pada kata sekularisasi. Menurut Cox, sejak awal, disebabkan pengaruh Helenistik, makna kata sekular sudah merujuk kepada sesuatu yang inferior. Sekular sudah bermakna perubahan di “dunia ini” bertentangan dengan “dunia agama” yang kekal-abadi. Implikasinya, dunia agama yang kekal-abadi, yang tidak berubah adalah benar. Karena itu, ia lebih hebat dari dunia “sekular” yang berlalu (passing) dan bersifat sementara (transient).
Makna kata sekular semakin memiliki konotasi negatif ketika terjadinya sintesis pada abad pertengahan antara Yunani kuno dan Ibrani (Hebrew). Sintesis itu ialah bahwa dunia ruang (spatial world) lebih tinggi dan lebih agamis, sedangkan dunia sejarah yang berubah adalah lebih rendah atau dunia “sekular”. Ini sebenarnya pengaruh filsafat Hellenistik kepada ajaran Kristen, simpul Cox.
Padahal, Bible sudah menegaskan bahwa di bawah kekuasaan Tuhan segala kehidupan tergambar di dalam limbo sejarah. Ajaran Bible menyatakan bahwa kosmos tersekularkan. Tapi, pernyataan ini telah kehilangan gaungnya. Kata sekularisasi, yang pertamanya memiliki makna yang sangat sempit dan khusus, kemudian perlahan-lahan meluas. Sekularisasi yang pada awalnya bermakna proses pindahnya tanggung-jawab pendeta “yang agamis” menjadi seorang parokia, semakin meluas menjadi pemisahan kekuasaan antara Paus dan Kaisar. Sekularisasi bermakna pembagian antara institusi spiritual dan sekular. “Sekularisasi” bermakna pindahnya tanggung-jawab tertentu dari Gereja ke kekuasaan politik.
Makna yang sudah meluas ini terus berlanjut dalam periode Englihtenment dan Revolusi Perancis. Bahkan sekarang pun makna seperti ini tetap digunakan di negara-negara yang mewarisi budaya Katolik. Konsekwensinya, proses pindahnya sebuah sekolah atau sebuah rumah sakit dari Gereja ke administrasi publik, misalnya, disebut sekularisasi. Makna ini kemudian berubah akhir-akhir ini. Sekularisasi bermakna gambaran sebuah proses pada level budaya, yang paralel dengan level politik. Sekularisasi berarti hilangnya diterminasi agamis terhadap simbol-simbol integrasi budaya. Sekularisasi budaya adalah hal yang lazim dan tak dapat dihindari dari sekularisasi politik dan sosial.8
Jadi, menurut Cox, dunia ini tidak lebih rendah dari dunia agamis. Karena itu, sekularisasi adalah proses penduniawian hal-hal yang memang bersifat duniawi. Penjelasan Cox ini identik dengan penjelasan Nurcholish tentang “sekularisasi” dan “penduniawian”. Menurut Nurholish, konsep tentang dunia sebagai tempat hidup yang bernilai rendah dan hina bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, umat Islam tidak diperbolehkan curiga kepada kehidupan duniawi ini, apalagi lari dari realitas kehidupan duniawi. Sehingga, sekularisasi adalah proses penduniawian.9
Sekularisme dan Sekularisasi
Salah satu argumentasi Nurcholish yang terkenal dalam mempertahankan pendapatnya adalah pembedaan antara “sekularisasi” dan “sekularisme”. Dalam hal ini, Nurcholish mengutip pendapat Harvey Cox.10 Memang, menurut Cox, sekularisasi mengimplikasikan proses sejarah, hampir pasti tak mungkin diputar kembali. Masyarakat perlu dibebaskan dari kontrol agama dan pandangan hidup metafisik yang tertutup (closed metaphysical worldviews). Jadi, intinya, sekularisasi adalah perkembangan yang membebaskan (a liberating development). Sebaliknya, sekularisme adalah nama sebuah ideologi. Ia adalah sebuah pandangan hidup baru yang tertutup yang fungsinya sangat mirip dengan agama. Selain itu, lanjut Cox, sekularisasi itu berakar dari kepercayaan Bible. Pada taraf tertentu, ia adalah hasil otentik dari implikasi kepercayaan Bible terhadap sejarah Barat. Oleh sebab itu, sekularisasi berbeda dengan sekularisme -- yaitu idiologi (isme) yang tertutup. Bagi Cox, sekularisme membahayakan keterbukaan dan kebebasan yang dihasilkan oleh sekularisasi. Oleh sebab itu, sekularisme harus diawasi, diperiksa dan dicegah untuk menjadi idiologi negara.11
Sedangkan Nurcholish menjelaskan tentang ini, dengan menyatakan, pembedaan antara “sekularisasi” dan “sekularisme” semakin jelas jika dianalogikan dengan pembedaan antara rasionalisasi dan rasionalisme. Seorang Muslim harus bersikap rasional, tetapi tidak boleh menjadi pendukung rasionalisme. Rasionalitas adalah suatu metode guna memperoleh pengertian dan penilaian yang tepat tentang suatu masalah dan pemecahannya. Rasionalisasi adalah proses penggunaan metode itu. Analoginya, lanjut Nurcholish, sekularisasi tanpa sekularisme, yaitu proses penduniawian tanpa paham keduniawian, bukan saja mungkin, bahkan telah terjadi dan terus akan terjadi dalam sejarah. Sekularisasi tanpa sekularisme adalah sekularisasi terbatas dan dengan koreksi. Pembatasan dan koreksi itu diberikan oleh kepercayaan akan adanya Hari Kemudian dan prinsip Ketuhanan. Sekularisasi adalah keharusan bagi setiap umat beragama, khususnya ummat Islam.12
Justifikasi Sekularisasi
Dalam menggulirkan gagasan sekularisasinya, Nurcholish mencari justifikasi dari ajaran-ajaran Islam. Ia, misalnya, menyatakan, gagasan sekularisasi dapat dijustifikasi dari dua kalimat syahadat, yang mengandung negasi dan afirmasi. Menurut tafsirannya, kalimat syahadat menunjukkan bahwa manusia bebas dari berbagai jenis kepercayaan kepada tuhan-tuhan yang selama ini dianut, kemudian mengukuhkan kepercayaan kepada Tuhan yang sebenarnya. Dan Islam dengan ajaran Tauhidnya yang tidak kenal kompromi itu, telah mengikis habis kepercayaan animisme. Ini bermakna dengan tauhid, terjadi proses sekularisasi besar-besaran pada diri seorang Animis. Manusia ditunjuk sebagai khalifah Tuhan di bumi karena manusia memiliki intelektualitas, akal pikiran, atau rasion. Dengan rasion inilah, manusia mengembangkan diri dan kehidupannya di dunia ini. Oleh karena itu terdapat konsistensi antara sekularisasi dan rasionalisasi Kemudian, terdapat pula konsistensi antara rasionalisasi dan desakralisasi.
Nurcholish melanjutkan argumentasinya, di dalam Islam ada konsep “Hari Dunia” dan “Hari Agama”. Hari agama ialah masa di mana hukum-hukum yang mengatur hubungan antara mannusia tidak berlaku lagi, sedangkan yang berlaku ialah hubungan antara manusia dan Tuhan. Sebaliknya, Pada Hari Dunia yang sekarang kita jalani ini, belum berlaku hukum-hukum akhirat. Hukum yang mengatur perikehidupan ialah hukum-hukum kemasyarakatan manusia.
Nurcholish melanjutkan argumentasinya, bahwa kalimat Basmallah (Atas nama Tuhan), juga menunjukkan bahwa manusia adalah Khalifah Tuhan di atas bumi. Selain itu, al-Rahman menunjukkan sifat kasih Tuhan di dunia ini (menurut ukuran-ukuran duniawi), sedangkan al-Rahim menunjukkan sifat Kasih itu di akhirat (menurut norma-norma ukhrawi). Penghayatan nilai/spiritualkeagamaan bukanlah hasil kegiatan yang serba rasionalistis. Demikian pula sebaliknya, masalah-masalah duniawi tidak dapat didekati dengan metode spiritualistis. Keduanya mempunyai bidang yang berbeda, meskipun antara iman dan ilmu itu terdapat pertalian yang erat.13
Sebelum Cak Nur menjustifikasi bahwa akar sekularisasi ada dalam ajaran Islam, Harvey Cox sebelumnya juga sudah berpendapat bahwa akar sekularisasi ada di dalam ajaran-ajaran Bible.14 Cox menjustifikasi gagasan ini dengan mengutip pandangan Friedrich Gogarten, seorang teolog Jerman, yang mengatakan, bahwa sekularisasi, “adalah konsekwensi sah dari implikasi keimanan Bible terhadap sejarah”.15 Cox menambahkan terdapat tiga komponen penting dalam Bible yang menjadi kerangka asas kepada sekularisasi, yaitu: ‘disenchantment of nature’ yang dikaitkan dengan penciptaan (Creation), ‘desacralization of politics’ dengan migrasi besar-besaran (Exodus) kaum Yahudi dari Mesir dan ‘deconsecration of values’ dengan Perjanjian Sinai (Sinai Covenant).16
Sekularisasi: Keharusan Kristiani
Sekularisasi sebenarnya bermula dari penafsiran baru teolog Barat terhadap Bible.17 Penafsiran baru ini menolak penafsiran lama yang menyatakan bahwa ada alam lain yang lebih hebat dan lebih agamis dari alam ini. Penafsiran baru ini juga membantah peran dan sikap Gerejawan yang mengklaim bahwa Gereja memiliki keistimewaan sosial, kekuatan, dan properti khusus.18 Penafsiran atau teologi baru inilah yang kemudian dirangkai menjadi teologi sekular; yang mengkritik posisi Gereja dengan teologi lamanya yang dianggap ideal. Khususnya, pada saat institusi Gereja memiliki kekuasaan dan peran sentral pada abad pertengahan Eropa.
Sejarah peradaban Barat menunjukkan bahwa dominasi Gereja menghambat kemajuan ilmiah. Akibatnya, terjadi konflik antara akal dengan Bible. Barat menyebut sejarah zaman pertengahan itu sebagai zaman kegelapan (dark ages). Saat itu, akal disubordinasikan di bawah Bible. Karena itu, mereka menamakan sejarah peradaban Eropa pada abad ke-15 dan 16 sebagai zaman kelahiran kembali (renaissance), karena akal bebas dari Bible. Mereka juga kemudian menyebut abad ke-17 sampai abad ke-19 sebagai zaman Pencerahan Eropa (European Enlightenment) yang sebenarnya adalah kesinambungan renaissance. Periode ini ditandai dengan semaraknya semangat rasionalisasi oleh Barat. Para filosof, teolog, sosiolog, psikolog, sejarawan, politikus dan lain-lainnya menulis tentang berbagai karya yang menitikberatkan aspek kemanusiaan, kebebasan, dan keadilan.
Jadi, gagasan sekularisasi muncul karena tidak sanggupnya doktrin dan dogma agama Kristen berhadapan dengan Barat yang terdiri dari beragam unsur. Hasilnya, para teolog Eropa dan Amerika seperti Ludwig Feurbach, Karl Barth, Dietrich Bonhoeffer, Paul van Buren, Thomas Altizer, Gabriel Vahanian, William Hamilton, Woolwich, Werner and Lotte Pelz, dan beberapa lainnya, menggagas revolusi teologi radikal. Cox menggelari mereka sebagai para “teolog kematian Tuhan” (death-of God theologians). Mereka menegaskan bahwa untuk menghadapi sekularisasi, ajaran Kristiani harus disesuaikan dengan pandangan hidup saintifik modern.19
Ludwig Feurbach menegaskan bahwa prinsip filsafat bukanlah Substansi-nya Spinoza, atau Ego-nya Kant dan Fichte, bukan juga Identitas Absolut-nya Schelling, bukan juga Akal Absolut-nya Hegel, bukan pula konsep wujud yang abstrak, tetapi realitas wujud yang benar, yaitu Manusia. Oleh sebab itu, manusia merupakan prinsip filsafat yang paling tinggi. Sekalipun agama atau teologi menyangkal, namun hakikatnya agama yang menyembah manusia (religion that worships man). Agama sendiri yang menyatakan: Tuhan adalah manusia dan manusia adalah Tuhan (God is man, man is God). Jadi, agama akan menafikan Tuhan yang bukan manusia. Makna sebenarnya dari teologi adalah antropologi (The true sense of Theology is Anthropology). Agama adalah mimpi akal manusia (Religion is the dream of human mind).20
Pemikiran Feurbach kemudian sangat mewarnai para sosiolog dan teolog seperti Karl Barth, Martin Buber dan Karl Marx. Karl Barth, misalnya, menegaskan bahwa “agama sebagai ketidakpercayaan” (Religion as Unbelief). Gagasan ini kemudian dilanjutkan oleh muridnya, Dietrich Bonhoeffer. Bonhoeffer mendesak para teolog Kristen agar menyampaikan risalah Kristiani kepada manusia sekular sekarang dengan ungkapan: “kita sedang menuju ke suatu masa yang tiada agama sama sekali… Bagaimana agar kita berbicara mengenai Tuhan tanpa agama… Bagaimana supaya kita berbicara dengan gaya sekular yang baru tentang Tuhan?” Bagi Bonhoeffer, seorang Pastor Jerman yang dieksekusi oleh SS Nazi, agama harus dipisahkan dari kepercayaan (faith). Dia selanjutnya mengatakan dengan frasenya yang paradoks: “sudah tiba saatnya bagi Kristen tanpa agama” (a religionsless Christianity).
Seirama dengan Barth dan Bonhoeffer, Gabriel Vahanian, seorang Teolog Neo-Calvinis juga mengatakan: “sekular adalah keharusan seorang Kristiani”. Bagi Vahanian, kematian Tuhan adalah peristiwa agama dan budaya sekaligus. Dalam masyarakat yang modern dan saintifik, peristiwa-peristiwa dalam Bible dianggap sebagai mitos, sudah lapuk, dan tidak terpakai lagi. Werner and Lotte Pelz juga mengumandangkan “Tuhan tiada lagi” (God is no more). Woolwich dengan nada yang sama juga berpendapat bahwa “Tuhan tanpa Tuhan” (God without God).
Dengan pendapat-pendapat seperti itu, tidak berarti para teolog tersebut menjadi atheis, karena mereka masih mempercayai wujudnya Tuhan. Menurut mereka, di dalam zaman modern ini, Tuhan sudah tidak berperan lagi dalam kehidupan masyarakat. Inilah yang terjadi di masyarakat Kristen Barat. Tuhan diposisikan sebagai di luar urusan kehidupan manusia. Tuhan tidak berhak campur tangan dalam kehidupan manusia. Manusia harus mengatur hidupnya sendiri, dengan hokum-hukum yang mereka buat sendiri. God is no more!.
Memang ada sebagian teolog konservatif -- seperti E. L. Mascal -- yang setia berpegang teguh kepada “tradisi” Kristen. Namun, pendapat ini tidak berpengaruh terhadap kehidupan realitas mayasrakat Kristen. Harvey Cox -- dengan teologi sekularnya -- ingin menjembatani dua kubu yang paradoks secara ektrims, yakni teologi konservatif dan teologi radikal. Cox mengkritik pendapat para teolog kematian Tuhan, karena mereka keliru karena dua faktor. Pertama, Mereka telah menjadikan pandangan hidup saintifik modern sebagai parameter, padahal humanisme saintifik modern itu beraneka-ragam. Selain itu, para saintis pun mengakui bahwa metodologi saintifik bersifat operasional dan berada dalam ruang lingkup yang terbatas. Oleh sebab itu, metodologi saintifik tidak menawarkan “pandangan hidup’. Kedua, pendapat teolog radikal terhadap teologi Kristen tidak kritis dan ahistoris. Mereka menganggap isi doktrin Kristen tidak berubah, maka perlu dibuang.21
Namun, Cox juga tidak konsisten. Cox sendiri memuji konsep teologi Bonhoeffer. Cox mengatakan: kita masih sangat jauh untuk “melintasi Bonhoeffer” (we are very far from being “beyond Bonhoeffer”).22 Jadi, sebenarnya teologi sekular dan ‘teologi kematian Tuhan’ adalah dua sisi dari mata koin yang sama. Pada tahap awal, Teologi secular tampak seolah-olah membela agama dan menempatkan agama posisi terhormat dan suci (karena tidak campur tangan dalam urusan profan), tetapi konsep ini sebenarnya membunuh agama, sebagaimana konsepsi para teolog kematian Tuhan itu.
Bebas Agama
Dunia, kata Cox, perlu dikosongkan dari nilai-nilai ruhani dan agama. Dalam istilah Cox, ini disebut ‘disenchantment of nature’, berasal dari terjemahan die Entzauberung der Welt, yang diambil dari gagasan Max Weber, seorang sosiolog Jerman.23 Sains bisa berkembang dan maju, jika dunia ini dikosongkan dari tradisi atau agama yang menyatakan bahwa ada kekuatan supernatural yang menjaga dunia ini. Disebakan kekuatan ghaib itulah, maka bagi tokoh-tokoh agama konservatif, dunia ini tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang. Padahal, pembebasan dunia ini dari nilai-nilai gaib itu menjadi syarat penting bagi usaha-usaha urbanisasi dan modernisasi. Manusia harus mengeksploitasi alam seoptimal mungkin, tanpa perlu dibatasi oleh pandangan hidup agama apa pun. Jika dunia ini dianggap sebagai manifestasi dari kuasa supernatural, maka sains tidak akan maju dan berkembang. Jadi, dengan cara apa pun, semua makna-makna ruhani keagamaan ini mesti dihilangkan dari alam. Maka, ajaran-ajaran agama dan tradisi harus disingkirkan. Jadi, alam tabi’i bukanlah suatu entitas suci (divine entity).24
Konsep sekularisasi dalam politik diistilahkan dengan ‘Desacralization of politics’, yang bermakna bahwa politik tidaklah sakral (desakralisasi politik). Jadi, unsur-unsur ruhani dan agama harus disingkirkan dari politik. Oleh sebab itu juga, peran ajaran agama ke atas institusi politik harus disingkirkan. Ini menjadi syarat untuk melakukan perubahan politik dan sosial yang juga akan membenarkan munculnya proses sejarah. Segala macam kaitan antara kuasa politik dengan agama dalam masyarakat apa pun tidak boleh berlaku karena dalam masyarakat sekular, tidak seorang pun memerintah atas otoritas ‘kuasa suci’. (Dari gagasan ini bisa dipahami, jika kaum sekular menolak mati-matian penerapan syariat Islam dalam kehidupan politik).
Sebagaimana halnya sekularisasi dalam dunia dan politik, sekulariasi juga terjadi dalam kehidupan dengan penyingkiran nilai-nilai agama (deconsecration of values/dekonsekrasi nilai-nilai). Mereka akan menyatakan, bahwa kebenaran adalah relatif. Tidak ada nilai yang mutlak. Sistem nilai manusia sekular harus dikosongkan dari nilai-nilai agama. Karena perspektif seseorang dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya, maka tidak ada seorang pun yang berhak memaksakan sistem nilainya ke atas orang lain. Manusia sekular mempercayai bahwa ‘wahyu langit’ bisa difahami karena terjadi dalam sejarah, yang dibentuk oleh kondisi sosial dan politik tertentu. Jadi, sebenarnya, semua sistem nilai, terbentuk oleh sejarah yang mengikuti ruang dan waktu dan tertentu. Sekularisasi meletakkan tanggungjawab ke dalam otoritas manusia untuk membina sistem nilai. Sekularisasi akan menjadikan sejarah dan masa depan cukup terbuka untuk perubahan dan kemajuan karena manusia akan bebas membuat perubahan serta pro-aktif dalam proses evolusi. Dengan konsep ini, manusia sekuler bisa tidak akan mengakui kebenaran Islam yang mutlak. Mereka akan menolak konsep-konsep Islam yang tetap (tsawabit), karena semuanya dianggap relatif. Kebenaran bagi mereka adalah yang “berlaku di masyarakat” dan bukan yang dikonsepkan dalam al-Quran.
Gagasan sekularisasi yang dipopulerkan Cox, mendapatkan sambutan hangat oleh para pemikir Kristen Barat pada tahun 60-an. Robert N. Bellah, yang dipengaruhi gagasan Marxist, juga tidak terlepas dari pemikiran Cox. Karyanya ‘Beyond Belief’ memiliki banyak kesejajaran dengan apa yang telah diungkapkan Cox. 25 Bellah juga melanjutkan gagasan sekularisasi dalam bidang politik dengan gagasan ‘civil religion’.26 Konsep sekularisasi yang dianut Bellah juga kepanjangan gagasan sekularisasi yang dikembangkan Cox. Bellah mengutip pendapat Cox ketika mendiskusikan Tradisi Islam dan Problem-Problem Modernisasi.27
Kesimpulan
Fakta-fakta yang telah terungkap menunjukkan, gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid banyak mengadopsi gagasan yang dikembangkan Harvey Cox – yang berangkat dari konsep dan pengalaman sejarah agama Kristen. Banyak yang menyebutkan, bahwa sekularisasi sudah merupakan keharusan bagi dunia, karena kuatnya dominasi Barat. Seharusnya, ilmuwan Muslim bersikap kritis saat mengadopsi gagasan-gagasan seperti ini, karena konsep sekularisasi memang bertentangan dengan konsep Islam. Sejarah Islam juga tidak pernah mengalami pengalaman pahit dalam hubungan antara agama dengan negara, atau pertentangan antara agama dengan sains seperti dalam sejarah Kristen. Karena itu, tidak bijak, jika konsep dan gagasan sekularisasi ini kemudian diadopsi dan diterapkan dalam masyarakat Muslim, yang memiliki pandangan hidup sendiri.
"LEGAL PROCESS OUTSOURCING (LPO)", BELAJAR DARI PENGALAMAN INDIA
Pelayanan jasa industri hukum di Amerika Serikat kini diperkirakan sebesar US$ 200 juta, di mana sektor ini sebanding pula besarannya di belahan benua Eropa. Menurut suatu penelitian Forrester terbaru, Amerika Serikat akan menggunakan tenaga hukum asal India sebanyak 25.000 pada tahun 2010 dan jumlah tersebut akan meningkat mendekati 30.000 pada tahun 2015.
Tentunya kita akan bertanya, mengapa negara-negara maju tersebut justru kini melirik tenaga hukum asal India? Analisa penulis, ada dua hal yang melatarbelakangi keinginan tersebut, pertama karena tenaga hukum India adalah tenaga yang siap pakai dengan kualitas kerja tinggi dan penguasaan bahasa global yang baik; kedua, biaya yang dikeluarkan oleh para pengguna tenaga hukum tersebut akan relatif jauh lebih murah dibandingkan dengan tenaga hukum asal negaranya masing-masing.
Sebagai perbandingan pembiayaan, pelayanan yang diberikan oleh tenaga hukum Amerika Serikat, termasuk lulusan hukum terbaru, dapat mengeluarkan pembiayaan sebesar US$ 250.000 hingga US$ 300.000 per tahun. Sedangkan untuk di India hanya sebesar US$ 6000 hingga US$ 15.000. Hal ini berarti ketika para pengacara dan ahli hukum (selanjutnya disebut lawyers) menghasilkan US$ 400 hingga US$ 600 per jam, maka rekan kerja mereka asal India hanya akan menghasilkan maksimum sebesar US$ 50 hingga US$ 70 per jam. Namun perlu diingat, jika kita bandingkan dengan negara Indonesia, angka tersebut ternyata masihlah terlalu jauh di atas penghasilan rata-rata para lawyers Indonesia.
Studi terbaru mengenai hal ini memperkirakan bahwa India mempunyai potensi yang cukup besar terhadap jasa pelayanan hukumnya yang akan menghasilkan sekitar US$ 4,5 juta di tahun 2010. Skenario pasar ini telah membuka kesempatan besar untuk spesialisasi karir kepada para lawyers di India. Saat ini India mempunyai lebih dari 850.000 praktisi hukum.
Kemudian, sebanyak 500 sekolah hukum India, yang dimotori oleh National Law School University of India (NLSUI), Bangalore; National University of Juridical Science (NUJS), Calcutta; NALSAR, Hyderabad; Delhi University (DU), New Delhi; Jodhpur and Gujarat National Law University, Gandhinagar, selalu memproduksi sebanyak 20.000 lulusan hukum setiap tahunnya. Dari lulusan tersebut sebesar 30% bergabung dengan kantor hukum (law firm), 50% memilih jalur praktis, 10% melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan sisanya bergabung dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM/NGO).
Pentingnya Spesialisasi Bidang
Sebenarnya, walaupun sebagian besar dari para praktisi hukum India telah terjun pada jalur pengacara, namun masih banyak pengacara muda dan bermutu bergerak lambat untuk menguasai ilmu teknologi dan kesempatan outsourcing dari hal tersebut. Sekarang ini, para lawyers India mulai menyadari pentingnya spesialisasi dari ilmu hukum yang dimilikinya. Information and Technology (IT) dan outsourcing adalah kesempatan global yang sangat baik, di mana hal ini dapat memberikan pilihan karir yang gemilang, menjadi pembuka kesempatan global lainnya, kesempatan untuk membuat transaksi dan kontrak internasional, dan tentunya penghasilan yang tidak sedikit.
Mengutip pendapat Pavan Douggal, pakar ahli cyber-law dan juga advokat pada Mahkamah Agung India, pada surat kabar The Times of India, bahwa IT adalah ruang yang sangat ideal bagi para lawyers India untuk dijadikan satu spesialisasi ilmu hukum. Pengalamannya dapat menjadikan mereka menjadi profesional kelas dunia, dipercaya untuk melakukan transaksi bisnis antar negara, pembuat kerangka peraturan, cyber laws, kemanan data dan privasi hukum, hukum transaksi elektronik yang berasal dari berbagai belahan dunia seperti, Amerika, Inggris, Kanada, Australia dan Eropa.
Sepertinya kita tidak perlu mengelus dada untuk belajar dari pengalaman India melakukan teknik legal outsourcing-nya, di mana para lawyers Indonesia juga sudah seharusnya memiliki spesialisasi ilmu tersendiri, sehingga tenaga hukum asal Indonesia pun di masa yang akan datang siap pula untuk bersaing di pasar Internasional. Walaupun penuh dengan kesemerawutan masalah penduduknya, namun India selalu mampu menguasai bidang-bidang strategis di seluruh belahan dunia, khususnya di bidang Ekonomi, IT, dan Hukum. Tapi mengapa, disadari atau tidak, hingga kini Indonesia selalu merasa enggan untuk belajar darinya. Mari kita renungi kembali pepatah kuno, “Don’t judge a book from its cover”. Semoga pada nantinya para ahli hukum Indonesia mampu bersaing di pentas dunia. (Yef)
Tentunya kita akan bertanya, mengapa negara-negara maju tersebut justru kini melirik tenaga hukum asal India? Analisa penulis, ada dua hal yang melatarbelakangi keinginan tersebut, pertama karena tenaga hukum India adalah tenaga yang siap pakai dengan kualitas kerja tinggi dan penguasaan bahasa global yang baik; kedua, biaya yang dikeluarkan oleh para pengguna tenaga hukum tersebut akan relatif jauh lebih murah dibandingkan dengan tenaga hukum asal negaranya masing-masing.
Sebagai perbandingan pembiayaan, pelayanan yang diberikan oleh tenaga hukum Amerika Serikat, termasuk lulusan hukum terbaru, dapat mengeluarkan pembiayaan sebesar US$ 250.000 hingga US$ 300.000 per tahun. Sedangkan untuk di India hanya sebesar US$ 6000 hingga US$ 15.000. Hal ini berarti ketika para pengacara dan ahli hukum (selanjutnya disebut lawyers) menghasilkan US$ 400 hingga US$ 600 per jam, maka rekan kerja mereka asal India hanya akan menghasilkan maksimum sebesar US$ 50 hingga US$ 70 per jam. Namun perlu diingat, jika kita bandingkan dengan negara Indonesia, angka tersebut ternyata masihlah terlalu jauh di atas penghasilan rata-rata para lawyers Indonesia.
Studi terbaru mengenai hal ini memperkirakan bahwa India mempunyai potensi yang cukup besar terhadap jasa pelayanan hukumnya yang akan menghasilkan sekitar US$ 4,5 juta di tahun 2010. Skenario pasar ini telah membuka kesempatan besar untuk spesialisasi karir kepada para lawyers di India. Saat ini India mempunyai lebih dari 850.000 praktisi hukum.
Kemudian, sebanyak 500 sekolah hukum India, yang dimotori oleh National Law School University of India (NLSUI), Bangalore; National University of Juridical Science (NUJS), Calcutta; NALSAR, Hyderabad; Delhi University (DU), New Delhi; Jodhpur and Gujarat National Law University, Gandhinagar, selalu memproduksi sebanyak 20.000 lulusan hukum setiap tahunnya. Dari lulusan tersebut sebesar 30% bergabung dengan kantor hukum (law firm), 50% memilih jalur praktis, 10% melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan sisanya bergabung dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM/NGO).
Pentingnya Spesialisasi Bidang
Sebenarnya, walaupun sebagian besar dari para praktisi hukum India telah terjun pada jalur pengacara, namun masih banyak pengacara muda dan bermutu bergerak lambat untuk menguasai ilmu teknologi dan kesempatan outsourcing dari hal tersebut. Sekarang ini, para lawyers India mulai menyadari pentingnya spesialisasi dari ilmu hukum yang dimilikinya. Information and Technology (IT) dan outsourcing adalah kesempatan global yang sangat baik, di mana hal ini dapat memberikan pilihan karir yang gemilang, menjadi pembuka kesempatan global lainnya, kesempatan untuk membuat transaksi dan kontrak internasional, dan tentunya penghasilan yang tidak sedikit.
Mengutip pendapat Pavan Douggal, pakar ahli cyber-law dan juga advokat pada Mahkamah Agung India, pada surat kabar The Times of India, bahwa IT adalah ruang yang sangat ideal bagi para lawyers India untuk dijadikan satu spesialisasi ilmu hukum. Pengalamannya dapat menjadikan mereka menjadi profesional kelas dunia, dipercaya untuk melakukan transaksi bisnis antar negara, pembuat kerangka peraturan, cyber laws, kemanan data dan privasi hukum, hukum transaksi elektronik yang berasal dari berbagai belahan dunia seperti, Amerika, Inggris, Kanada, Australia dan Eropa.
Sepertinya kita tidak perlu mengelus dada untuk belajar dari pengalaman India melakukan teknik legal outsourcing-nya, di mana para lawyers Indonesia juga sudah seharusnya memiliki spesialisasi ilmu tersendiri, sehingga tenaga hukum asal Indonesia pun di masa yang akan datang siap pula untuk bersaing di pasar Internasional. Walaupun penuh dengan kesemerawutan masalah penduduknya, namun India selalu mampu menguasai bidang-bidang strategis di seluruh belahan dunia, khususnya di bidang Ekonomi, IT, dan Hukum. Tapi mengapa, disadari atau tidak, hingga kini Indonesia selalu merasa enggan untuk belajar darinya. Mari kita renungi kembali pepatah kuno, “Don’t judge a book from its cover”. Semoga pada nantinya para ahli hukum Indonesia mampu bersaing di pentas dunia. (Yef)
Situasi Aceh Menjelang Pilpres Sangat Kondusif
Banda Aceh,(Analisa)
Commission on Sustaining Peace in Aceh (CoSPA) menilai, situasi keamanan dan ketertiban masyarakat di Aceh pascapemilu legislatif tergolong sangat kondusif.
Ini menandakan semua pihak sangat menghargai perdamaian yang sudah tercipta dan menginginkan agar Aceh tetap aman dan damai.
Kondisi seperti ini diharapkan tetap dapat dipertahankan pada saat maupun sesudah berlangsungnya pemilihan presiden (Pilpres) 2009. Untuk itu, CoSPA merekomendasikan agar KIP Aceh dan kabupaten/kota mengoptimalkan perannya untuk mendorong setiap calon pemilih terdaftar sebagai pemilih dan tercatat di dalam DPT serta menggunakan hak pilihnya pada Pilpres 8 Juli mendatang.
CoSPA juga mengharapkan agar masyarakat dan aktor politik di Aceh mengenyampingkan perbedaan-perbedaan yang muncul selama kampanye legislatif dan kampanye Pilpres 2009 serta menyambung silturahmi dan komunikasi untuk membangun masa depan Aceh yang lebih baik, demokratis, dan bermartabat.
“Masyarakat yang masih memiliki senjata ilegal di Aceh, diminta untuk segera menyerahkannya kepada kepolisian, agar rasa keamanan benar-benar tumbuh di tengah masyarakat Aceh,” ujar Ketua CoSPA Azwar Abubakar seusai pertemuan CoSPA di Banda Aceh, Rabu (20/5).
Dalam pertemuan bulanan CoSPA ini dihadiri Pangdam Iskandar Muda yang diwakili Mayor A. Hamid, Kapolda Aceh diwakili AKBP Agus Susanto, Ketua Harian Badan Kesinambungan Rekonstruksi Aceh, Ir. Iskandar, M.Sc, dan Kepala Badan Kesbangpol dan Linmas Aceh, Drs. Djakfar Djuned, M.Si, pengamat internasional Dihya Ihsan mewakili lembaga donor Amerika Serikat USAID.
Pada pertemuan itu dibahas beberapa hal penting, di antaranya situasi keamanan dan ketertiban masyarakat menjelang Pilpres 2009. Fungsi dan peran Badan Kesinambungan Rekonstruksi Aceh (BKRA) dalam menanganai sisa pekerjaan rehab dan rekon serta persinggunggannya dengan program reintegrasi pascakonflik di Aceh. Dan masalah penanganan pengungsi etnis Rohingnya dan Srilanka di Aceh.
Terus Dijaga
Azwar menambahkan, keamanan dan ketertiban di Aceh perlu terus dijaga dan ditingkatkan ke level yang lebih tinggi, sehingga investor yakin untuk menanamkan modalnya di daerah ini. Investasi baru diperlukan di Aceh, terutama untuk mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran serta meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Menyangkut tentang imigran gelap dari Myanmar dan Srilanka, menurut Azwar, imigran gelap di Aceh saat ini mencapai 446 orang, terdiri193 orang etnis Rohingya di Kota Sabang dan 198 di Idi, Aceh Timur, 55 orang warga Srilanka di Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya.
Terkait kondisi tersebut, CoSPA merekomendasikan aspek politik dan keamanan dari keberadaan imigran gelap di Aceh diserahkan dan diatur sepenuhnya oleh Deplu RI. Aspek kemanusiaan dari kehadiran imigran gelap tersebut diatur oleh Pemerintah Aceh bersama pemkab/pemko dan masyarakat setempat sebagaimana menangani musafir.
Dikatakan, pembauran antara imigran gelap dengan masyarakat setempat perlu dibatasi, demi mencegah timbulnya ekses hukum di belakang hari. Oleh karenanya, para imigran gelap tersebut harus diisolasi di dalam kamp dan tak boleh sebebasnya berinteraksi dengan komunitas lokal.
Penanganan dan pengamanan terhadap imigran di Aceh yang tidak berdokumen resmi sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku dan ditangani oleh pihak yang berkompeten. Peserta CoSPA juga merekomendasikan agar Deplu RI segera memutuskan sikap akhir mengenai status para imigran gelap di Aceh untuk direlokasi ke tempat yang semestinya.(irn)
Commission on Sustaining Peace in Aceh (CoSPA) menilai, situasi keamanan dan ketertiban masyarakat di Aceh pascapemilu legislatif tergolong sangat kondusif.
Ini menandakan semua pihak sangat menghargai perdamaian yang sudah tercipta dan menginginkan agar Aceh tetap aman dan damai.
Kondisi seperti ini diharapkan tetap dapat dipertahankan pada saat maupun sesudah berlangsungnya pemilihan presiden (Pilpres) 2009. Untuk itu, CoSPA merekomendasikan agar KIP Aceh dan kabupaten/kota mengoptimalkan perannya untuk mendorong setiap calon pemilih terdaftar sebagai pemilih dan tercatat di dalam DPT serta menggunakan hak pilihnya pada Pilpres 8 Juli mendatang.
CoSPA juga mengharapkan agar masyarakat dan aktor politik di Aceh mengenyampingkan perbedaan-perbedaan yang muncul selama kampanye legislatif dan kampanye Pilpres 2009 serta menyambung silturahmi dan komunikasi untuk membangun masa depan Aceh yang lebih baik, demokratis, dan bermartabat.
“Masyarakat yang masih memiliki senjata ilegal di Aceh, diminta untuk segera menyerahkannya kepada kepolisian, agar rasa keamanan benar-benar tumbuh di tengah masyarakat Aceh,” ujar Ketua CoSPA Azwar Abubakar seusai pertemuan CoSPA di Banda Aceh, Rabu (20/5).
Dalam pertemuan bulanan CoSPA ini dihadiri Pangdam Iskandar Muda yang diwakili Mayor A. Hamid, Kapolda Aceh diwakili AKBP Agus Susanto, Ketua Harian Badan Kesinambungan Rekonstruksi Aceh, Ir. Iskandar, M.Sc, dan Kepala Badan Kesbangpol dan Linmas Aceh, Drs. Djakfar Djuned, M.Si, pengamat internasional Dihya Ihsan mewakili lembaga donor Amerika Serikat USAID.
Pada pertemuan itu dibahas beberapa hal penting, di antaranya situasi keamanan dan ketertiban masyarakat menjelang Pilpres 2009. Fungsi dan peran Badan Kesinambungan Rekonstruksi Aceh (BKRA) dalam menanganai sisa pekerjaan rehab dan rekon serta persinggunggannya dengan program reintegrasi pascakonflik di Aceh. Dan masalah penanganan pengungsi etnis Rohingnya dan Srilanka di Aceh.
Terus Dijaga
Azwar menambahkan, keamanan dan ketertiban di Aceh perlu terus dijaga dan ditingkatkan ke level yang lebih tinggi, sehingga investor yakin untuk menanamkan modalnya di daerah ini. Investasi baru diperlukan di Aceh, terutama untuk mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran serta meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Menyangkut tentang imigran gelap dari Myanmar dan Srilanka, menurut Azwar, imigran gelap di Aceh saat ini mencapai 446 orang, terdiri193 orang etnis Rohingya di Kota Sabang dan 198 di Idi, Aceh Timur, 55 orang warga Srilanka di Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya.
Terkait kondisi tersebut, CoSPA merekomendasikan aspek politik dan keamanan dari keberadaan imigran gelap di Aceh diserahkan dan diatur sepenuhnya oleh Deplu RI. Aspek kemanusiaan dari kehadiran imigran gelap tersebut diatur oleh Pemerintah Aceh bersama pemkab/pemko dan masyarakat setempat sebagaimana menangani musafir.
Dikatakan, pembauran antara imigran gelap dengan masyarakat setempat perlu dibatasi, demi mencegah timbulnya ekses hukum di belakang hari. Oleh karenanya, para imigran gelap tersebut harus diisolasi di dalam kamp dan tak boleh sebebasnya berinteraksi dengan komunitas lokal.
Penanganan dan pengamanan terhadap imigran di Aceh yang tidak berdokumen resmi sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku dan ditangani oleh pihak yang berkompeten. Peserta CoSPA juga merekomendasikan agar Deplu RI segera memutuskan sikap akhir mengenai status para imigran gelap di Aceh untuk direlokasi ke tempat yang semestinya.(irn)
Langganan:
Postingan (Atom)