Mengenang sosok almarhum tidak bisa dipisahkan dari munculnya gerakan pembaruan pemikiran Islam pada 35 tahun silam. Mengenang gerakan itu kurang pas jika tak menyebut nama besar Cak Nur. Mengabaikan Cak Nur sama seperti garam tanpa asin.
Dia dinisbatkan sebagai gerbong pembaruan karena pada awal dekade 70-an menggelontorkan gagasan rasionalisasi-agama sebagai jargon dari gerakan pembaruan-Islam. Pada acara halalbihalal organisasi muda Islam, Cak Nur memberikan ceramah berjudul Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat di Jalan menteng Raya No 58, Jakarta Pusat. Gagasan yang ditebarkan cukup menggetarkan karena tak lazim. Dia bicara soal rasionalisasi, sekulerisasi, desakralisasi, modernisasi-Islam, dll.
Menurut Cak Nur, sekulerisasi berarti rasionalisasi-agama, dalam arti mengartikulasi pesan-pesan moral agama pada tataran realitas kehidupan. Sementara itu, modernisasi tidaklah identik dengan westernisasi, tetapi merupakan spirit yang hendaknya memacu umat Islam untuk berbuat seperti dalam kemajuan-pencerahan yang terjadi di Barat (Tarekat Nurcholisy: 2001).
Gagasan-gagasan itu kemudian mendapatkan kritik dan serangan bertubi-tubi dari kelompok skripturalis-tekstualis muslim, di antaranya dari kelompok Dewan Dakwah. H M. Rasjidi merupakan salah satu pentolannya. Rasjidi adalah seorang sarjana muslim dari Universitas di Prancis dan penerjemah buku-buku bahasa Prancis ke dalam bahasa Indonesia.
Sebaliknya, kritik bertubi-tubi tak membuat surut Cak Nur. Gagasannya di awal 1970-an, misalnya, dipertegas lagi setelah Cak Nur merampungkan studi di Universitas Chicago awal dekade 80-an.
Pada saat itu, Cak Nur banyak menawarkan pendekatan baru yang dianggap "tak lazim" dalam ajaran Islam, yaitu kesemuanya lahir dari tafsir dan konsekuensi terhadap gagasan rasionalisasi-agama. Sebuah gagasan R. William Liddle (1995) yang mereduksi dari Robert N. Bellah, seorang sosiolog-agama kenamaan dari Amerika. Gagasan itu, menurut Liddle, dielaborasi Cak Nur dalam makalah kerjanya ketika berada di perjalanan dari Chicago.
***
Setelah pulang dari Chicago, lantas banyak kalangan skripturalis-tekstualis muslim yang merasa tak salah menduga bahwa Cak Nur memang agen orientalis. Sebab, kampus Chicago di dunia Islam terkenal sebagai sarang para orientalis kenamaan, seperti Wilfred Cantwell-Smith, Marshal G. S. Hodgson. Selain itu, di sana juga ada pemikir muslim yang menjadi gerbong modernisasi dan pembaruan-Islam karena mendekati agama dengan jalan rasional, seperti Fazlur Rahman.
Cak Nur, sebagai salah satu mantan murid Rahman, seperti juga Amien Rais dan Syafii Maarif, secara otomatis mengikuti gaya pemikiran Rahman yang rasional. Tampaknya dari Rahman itulah, bukan dari Bellah seperti pendapat Liddle, Cak Nur mendapat inspirasi awal mengenai gagasan rasionalisasi agama.
Gayung pun bersambut. Cak Nur rupanya tak hanya dikritik. Namun, banyak pula sambutan hangat yang datang dari kalangan-kalangan yang sepaham dengannya. Kalangan yang sepaham itu, pada substansinya, adalah orang-orang yang tidak mau lagi memahami Islam secara mainstream dan selama itu dianggap otoritatif.
Pendekatan terhadap Islam nonmainstream yang dianggap tak otoritatif itu, ternyata, lebih menyegarkan dan relevan dengan gejolak pemikiran-pemikiran liar di kalangan aktivis muda Islam khususnya. Keliaran pemikiran terjadi akibat persinggungan tradisi dan khasanah pemikiran modern dari Barat.
Pengikut Cak Nur yang setia dan paling awal datang dari kalangan aktivis-muslim, katakanlah seperti Djohan Effendi, M. Dawam Rahardjo, Utomo Dananjaya, Adi Sasono, Eki Syachrudin dan orang-orang yang pernah bergabung di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) atas latar pemikiran yang sejalan dengan Cak Nur.
Mereka dikatakan seperti itu karena tak sedikit juga di HMI yang tak sejalan dengan gagasan-gagasan pembaruan Cak Nur. Oleh Greg Barton (1999) kemudian dipilah orang-orang yang masuk kelompok neomodernis dan orang-orang yang dikategorikan substansialis. Namun, keduanya sama-sama memperjuangkan gerakan pembaruan-Islam di Indonesia.
Kelompok neomodernis dinisbatkan karena telah memperbarui kalangan modernis-muslim yang menggelontorkan gagasan modernisasi-Islam. Tokohnya adalah Fazlur Rahman. Kelompok neomodernis, menurut Barton, terbentuk karena mereka tak hanya punya akses dalam khasanah tradisi intelektual Barat-modern. Namun, juga punya akses yang cukup luas dari khasanah tradisi klasik-pesantren.
Kelompok substansialis, menurut Barton, punya akses besar terhadap khasanah intelektual Barat-modern, tapi kurang mendapatkan akses khasanah intelektual klasik-Islam. Kelompok neomodernis diwakili oleh orang seperti Cak Nur sendiri, kemudian Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Yang mewakili kelompok substansialis adalah M. Dawam Rahardjo, Adi Sasono, dll.
***
Dalam perjalanannya, gerakan pembaruan-Islam Cak Nur dianggap bukan suatu barang baru. Sebab, lama sebelum Cak Nur memelopori gerakan pembaruan, Muhammadiyah sebagai salah satu ormas Islam terbesar juga mengklaim sebagai gerakan pembaru.
Kategori umum mengenai gerakan pembaruan lantas juga merujuk pada gerakan salafi-Wahabi di Arab yang kemudian membentuk Kerajaan Saudi pengklaim penjaga dua kota suci Makkah-Madinah. Jika dirujuk masa awalnya, gerakan pembaruan dipelopori Rifaat Tahtawi, Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasdyid Ridha di Mesir.
Menurut Thoha Hamim, ciri umum gerakan pembaruan, antara lain, kembali kepada ajaran Quran, sunnah, dan tradisi salaf, menolak praktik-praktik taklid (ittiba’), berpikir rasional yang menafsir sumber-sumber ajaran Islam secara aktual, dan yang paling menonjol tentu saja memerangi bidah dan khurafat. (Thoha Hamim, Moenawar Chalil’s Reformist Thought, 2000)
Memang, geneologi gerakan pembaruan beserta ciri umumnya itu turut serta menginspirasi gerakan pembaruan Cak Nur. Namun, untuk menggeneralisasi kesamaan secara menyeluruh juga tak dapat dibenarkan. Jadi di sini, model pembaruan di Mesir berbeda dengan pembaruan ala Wahabi di Arab Saudi, begitu pula pembaruan ala Wahabi berbeda dengan Muhammadiyah di Indonesia. Akhirnya, gerakan pembaruan Muhammadiyah berbeda pula dengan pembaruan Cak Nur.
Meski semua gerakan pembaruan itu mengklaim pewaris generasi salafi, salafi di Arab Saudi berbeda dengan salafi Muhammadiyah. Jika salafi di Arab Saudi berarti Wahabisme fanatik, radikal, dan tak toleran serta tak akomodatif dengan mazhab di luar mazhab Wahabi itu sendiri, salafi Muhammadiyah justru sebaliknya. Yakni, bersifat moderat, tradisional, dan akomodatif-demokratis.
Bahkan, organisasi terbesar lainnya, seperti Nahdlatul Ulama (NU) "saudara kandung Muhammadiyah" tak hanya akomodatif, tapi juga oportunis dalam soal komparasi mazhab fikih.
Berbeda jauh dengan itu, salafi pembaruan Cak Nur bahkan melampaui salafisme Muhammadiyah maupun NU sekalipun. Salafi pembaruan Cak Nur lazimnya bersinggungan dengan modernitas Barat yang didapat dari hasil persinggungan dengan dunia akademis-nontradisional.
Karena pembaruan Cak Nur lahir dari kampus, maka konsekuensinya, dalam jumlah masif, banyak "Cak Nur muda" di masa sekarang yang mengikuti jejak langkahnya. Dalam pelbagai warna, pembaruan Cak Nur ditafsirkan oleh mereka sehingga lahir pula tafsir yang lebih mengerucut terhadap pembaruan Cak Nur, entah mereka yang kemudian menamakan kelompok postradisionalisme-Islam (Postra), Islam-liberal (Islib) maupun Islam-progresif.
Yang jelas, pembaruan Cak Nur dikatakan cukup berhasil karena tak hanya memperkenalkan model rasionalitas berpikir dalam mendekati agama, tapi juga berhasil mengelaborasi, mendemonstrasi, dan mengaktualisasikannya dalam realitas kekinian. Karena itu, tak hanya pengkritiknya, pengikutnya pun terus ada dan tetap eksis sampai kapan pun.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kirimkan Komentar, kesan dan pesan anda untuk memjadi bahan agar situs ini makin baik kedepan...