Hampir dapat dikatakan bahwa industrialisasi membawa kepada kemakmuran. Atau, dengan sedikit pengecualian, kemakmuran dapat dicapai melalui industrialisasi.
Setiap kenaikan kemampuan material suatu masyarakat adalah bernilai positif, termasuk dari segi peningkatan harkat kemanusiaan masyarakat itu, baik perseorangan maupun kelompok. Sebab harkat atau martabat kemanusiaan adalah pusat kebahagiaannya. Dia akan ditemukan hanya dalam keadaan dapat dengan bebas mengembangkan dirinya. Menurut Goethe, “manusia membawa dalam dirinya tidak hanya pribadinya sendiri tetapi seluruh kemanusiaan—dengan segala potensinya—sekalipun dia dapat mewujudkan potensi-potensi itu hanya dengan cara yang terbatas disebabkan pembatasan-pembatasan dari luar terhadap eksistensi pribadinya.”
Salah satu di antara pembatasan-pembatasan itu, yang terpenting karena yang terkuat, ialah kemiskinan. Dari segi ini, karena industrialisasi membawa kemakmuran, maka ia juga berarti peningkatan kemanusiaan, sehingga membawa humanisasi. Agaknya itulah sebabnya mengapa Lenin, dalam satu slogannya, mengatakan bahwa sosialisme adalah elektrivikasi menyeluruh. Dan sosialisme adalah suatu cita-cita mewujudkan kemanusiaan secara lebih sadar.
Tetapi agaknya memang tidak ada hasil yang bisa dicapai tanpa harga atau pengorbanan. Kemakmuran yang dibawa oleh industrialisasi ternyata meminta korban-korban yang tidak kecil. Dalam tahapnya yang berkelanjutan, pengorbanan yang dituntut itu justru adalah ke-manusiaan itu sendiri.
Sekarang ini, setelah menyaksikan pengalaman-pengalaman negara industri maju, para peninjau dapat mengatakan bahwa pembatasannya Goethe dalam pengembangan kemanusiaan itu justru datang dari industrialisasi yang membawa kemakmuran material tersebut.
Salah satu nilai formal masyarakat industrial ialah birokrasi, yang di dalamnya tersimpul nilai-nilai lain seperti kerutinan, kepastian dan instrumentalisme. Mekanisme itu membuat seseorang berada dalam posisi tanpa pilihan, sehingga menjadi fatal. Hal itu berarti bahwa seseorang telah kehilangan dirinya sendiri. Ia hanya merupakan suatu fungsi dari suatu keseluruhan permesinan, yang apabila berdiri sendiri atau sendirian, maka tidak akan mempunyai arti apa-apa. Ia digunakan atau dibuang semata-mata berdasarkan fungsi yang mungkin dilakukan; dengan perkataan lain, nilai instrumentalistisnya. Sedangkan kemanusia-annya yang intrinsik seringkali tidak menjadi hitungan.
Di sinilah mulai timbul masalah makna hidup. “Hidup ini untuk apa?” adalah pertanyaan yang tidak menentramkan, justru bagi mereka yang makmur secara material di negara industri yang mengakibatkan dehumanisasi seperti di atas. Kita harus ingat bahwa selama kekuatan-kekuatan produktif belum berkembang—selama masyarakat masih dalam kemiskinan—maka keharusan untuk bekerja dan mempertahankan hidup itu saja sudah cukup memberi makna hidup bagi seseorang. Memang, menemukan makna hidup adalah suatu keharusan kemanusiaan. Tetapi jika penemuan itu hanya terbatas pada bagaimana mempertahankan hidup itu sendiri maka malah menjadi tidak sempurna, kalau bukan penipuan psikologis. Karena itu, meskipun kemiskinan membuat orang tidak perlu mempertanyakan apa makna hidup ini karena ia menemukannya dalam berjuang untuk hidup itu sendiri, namun hal itu bukanlah suatu keadaan yang humanistis. Kemiskinan tetap nonhumanistis, tidak manusiawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kirimkan Komentar, kesan dan pesan anda untuk memjadi bahan agar situs ini makin baik kedepan...