Dua tahun damai di bumi Aceh adalah kado ulang tahun ke-62 kemerdekaan RI. Peringatannya sendiri masih menjadi ritual yang gemerlap dengan simbol-simbol sebagai indikasi nasionalisme terhadap republik ini. Untuk memperkuat nasionalisme simbolis itu, kadangkala negara sering memberi bumbu yang beraroma kekerasan. Bagi masyarakat Aceh kedua hari bersejarah tersebut memberi harapan terhadap masa depannya yang lebih bermartabat. Sejatinya, rakyat tidak lagi hidup dalam ketakutan, tidak lagi harus mengemis untuk mendapatkan haknya. Lebih dari itu bagaimana mereka benar-benar berdaulat atas jiwa dan di atas tanahnya.
Indonesia terhimpun dari 17.000 lebih pulau, kaya raya dan dihuni ribuan etnis. Mereka telah membuktikan diri bersatu merebut kemerdekaan karena diikat senasib dan sepenanggungan akibat ditindas kolonial. Itulah modal nasionalisme berjuang mengusir penjajah, dan menyatakan kemerdekaan 17 Agustus 1945 lalu. Cita-cita lulur nasionalisme itu adalah rakyat supaya beroleh keadilan dan kesejahtraan. Rakyat tak lagi bodoh dan terkungkung kemiskinan. Tapi realitas setelah 62 tahun Indonesia merdeka, cita-cita itu belum dirasakan rakyat.
Setiap moment perayaan justru rakyat merasa ketakutan, bahkan tidak mendapatkan keadulatan atas jiwa dan tanah airnya yang merdeka itu. Mulai konflik dan perang hingga musibah bencana. Dimana salahnya? Karena pemahaman kita atas nasionalisme atau bangsa selama ini. Bangsa ini telah mengukur nasionalisme dari fasihnya melafalkan Pancasila, lantangnya mengikrarkan pembukaan UUD ‘45 dan bergemuruhnya nyanyian lagu Indonesia raya. Padahal nasionalisme itu adalah “spirit ideology” yang sejatinya ditancapkan kepada setiap jiwa warga nation itu sendiri. Dan nasionalisme akan cacat jika semata dilihat dari fanatiknya memuja bendera merah-putih, logo burung garuda.
Namun kita tak mampu memperbaiki prilaku supaya tidak menindas, merampas, mengkorupsi, memanipulasi, menggadai hukum, dan menyusahkan rakyat ini. Sepanjang berkehidupan dan berpolitik dalam berbangsa kita menafsir hanya untuk ambisi kelompok dan pribadi. Maka jika sudah begitu, damai dan merdeka, tidak lebih sepotong roti yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir elit di atas meja kemegahan dan keangkuhan kekuasaan. Agaknya penting sekali-kali mereviu amanat proklamasi 1956 oleh Bung Karno, bahwa “Bangsa Indonesia harus mempunyai isi hidup dan arah hidup. Bangsa yang tidak memiliki isi hidup adalah bangsa yang hidupnya tidak dalam, bangsa yang dangkal, bangsa yang cetek. Ia adalah bangsa yang penggemar emas sepuhan, dan bukan emasnya. Ia mengangumkan kekuasaan pentung, bukan kekuasaan moril, ia cinta dengan gebyarnya yang lahir, bukan kepada nurnya kebenaran dan keadilan. Ia kadang-kadang kuat, kuatnya adalah kuatnya kulit, padahal ia melompong di bagian dalamnya”. Dipaksakan Jika kita simak perjalan nasionalisme kita saat ini, terkesan sebagai nasionalis yang dipaksakan dengan simbol-simbol tampa ruh. Dan itu akan menjadi bom waktu dari tersulutnya sumbu konflik, apalagi ketimpangan begitu besar terhadap rakyat kecil saat ini. Banyaknya rakyat tanpa pekerjaan dan miskin serta menjadi obyek penindasan.
Sementara elitnya menikmati hasil kekayaan negara ini dengan jalan kotor lewat praktik korupsi, manipulasi, kolusi, intimidasi. Mereka merdeka di atas keterjajahan ribuan rakyat lainnya. Wahai pemimpin dan aparatur negeri ini, marilah mengulangkaji pemaknaan nasionalisme secara hakiki melalui upaya memastikan bahwa rakyat ini tidak lagi miskin, merasa damai dan merdeka di alam kemerdekaan bangsanya. Karenanya pemerintah mesti memeriksa secara seksama seluruh sistim, apakah berjalan secara baik agar dapat mastikan pula akan pemenuhan kebutuhan rakyat, seperti minyak tanah, beras, minyak goreng, listrik, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan primer lainnya yang sampai hari ini masih banyak rakyat tidak dapat mengakses hak-haknya secara adil. Kebangsaan akan sejati jika semangat dan tekad mewujudkan keadilan di segala sector kehidupan dapat diwujudkan.
Kebangsaan dimana warganya bisa merdeka dari kemiskinan, kebodohan dan hidup sejahtera tanpa ketakutan. Warga bangsa bisa menyatu dalam keragaman dan memainkan perannya tanpa was-was. Sejatinya, ulama dan cendikia mengingatkan tentang kebangkrutan moral, aparat hukum mencegah dan memberatas korupsi dan kriminal, politisi memperjuangkan hak-hak rakyat, tentara meninggalkan niaga untuk fokus memberi rasa aman bagi segenap anak bangsa. Ini baru bisa dikatagorikan nasionalis.
Kualitasnya diukur dari kesungguhan mereka memberi “kemerdekaan” kepada warga bangsanya. Kemerdekaan sebagaimana disebutkan oleh Franklin Delano Roosevelt adalah; kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan menjalankan agama yang diyakini, kebebasan dari ketakukan dan kebebasan dari kemiskinan dan kebodohan. Saat ini mungkin baru memberi kemajuan kemerdekaan mengeluarkan pendapat. Sedangkan ketiga lainnya masih perlu diuji kualitas nasionalisme pemimpin dan aparat negara ini. Seperti kata Muhammad Hatta (tokoh proklamator), bahwa “kualitas pemimpin sepadan dengan caranya mendapatkan makan”. Ketika pemimpin sibuk dengan acara seremonial, pesta, sibuk menaikkan gaji, memenangi proyek konconya, bermegahan di tengah sebagian besar rakyatnya masih dalam kegalauan, ketakutan. Kondisi ini lah yang membuat nasionalisme kehilangan makna di mata sebagian rakyat kita meskipun demokrasi sudah berjalan dengan baik.
Presiden RI pertama, Soekarno juga pernah mengingatkan “Demokrasi hanya dapat dipertahankan apabila pemimpin-pemimpim dan penganut demokrasi itu dapat membuktikan bahwa mereka dapat memberikan kepada negara suatu pemerintahan yang sebaik-baiknya, sesuai dengan kehendak dan kepentingan rakyat”. Dalam kontek kita hari ini, muncul pertanyaan, siapa sebenarnya yang telah meruntuhkan nasionalisme, patroitisme terhadap negara dan bangsa ini? Ini yang penting direnung ulang dalam moment peringatan ke-62 kemerdekaan RI. Merenung sambil menanggalkan nasionalisme semu yang kental dengan kemunafikan, kesewenang-wenangan dan kekerasan. Kita harus keluar dari nasionalisme yang kerdil dan sempit yang mudah dipatahkan dengan memberi isi dan arah hidup baru dalam berbangsa dan bernegara. Wallahu‘alam.
*) Penulis adalah mantan Wasekjend Pengurus Besar HMI Periode 2003-2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kirimkan Komentar, kesan dan pesan anda untuk memjadi bahan agar situs ini makin baik kedepan...