Muhammad Dayyan, S.Ag
Aceh berada di persimpangan jalan. Kondisi transisi memiliki tiga pilihan, akankah Aceh kembali kemasa lalu yang kelam? Atau akan terus stagnan (quo vadis) seperti ini terus? Atau Aceh akan menuju ke masa depan meraih kejayaan peradabannya yang modern dan Islami? Ketiga jalan tersebut memiliki peluang untuk dijalani. Kalau para elit yang dulunya berjuang untuk kejayaan masyarakat Aceh yang hari ini diberi kepercayaan untuk mengemban amanah mengkhiatinya dengan memperkaya diri. Kemudian masyarakatnya mulai lupa pada ruh peradabannya yang Islami. Maka jalan pertama mulai dijalani.
Demikian juga jika amanah rakyat hanya dipenuhi seadaanya, masyarakat tidak peduli dengan kondisinya maka itu adalah jalan yang stagnan. Tentu kita semua ingin keluar dari masa lalu yang kelam dan kondisi stagnan yang membosankan. Misal birokrasi yang berwatak kapitalistik (memberi pelayanan jika mendapat keuntungan pribadi). Program pembangunan yang menghabiskan uang, umpama proyek yang bisa mendatangkan keuntungan kepada pejabat yang bersangkutan. Proyek fiktif alias siluman dan ditangani oleh yang bukan ahlinya.
Biasanya penempatannya melihat kepada berapa fee yang akan diberikan, mendapatkan jabatan berdasarkan pendekatan, bukan keahlian. Pilihan ketiga untuk mencapai kejayaan peradaban masyarakat Aceh yang modern dan Islami memiliki sejumlah tantangan yang harus disikapi secara serius. Mulai birokrasi yang disebutkan diatas dan realitas sosial. Di antara tantangan sosial itu adalah prilaku pragmatisme (kelompok yang selalu mengambil manfaat saja) yang menodai akidah dengan menjadikan materi sebagai tuhannya .
Aliran ini tidak memperhatikan apa efek negatif di masa mendatang bahkan mengabaikan penderitaan orang lain. Yang penting kelompoknya mendapatkan keuntungan, kesenangan, kepuasan tidak peduli ada pihak yang terzalimi. Disisi lain sistim pendidikan yang sekuler (memisahkan antara ilmu agama dengan ilmu akhirat) masih dipertahankan. Padahal ilmu itu satu sumbernya dari Allah kenapa kita pisah- pisahkan? Maka menjadi keniscayaan menarik sejarah kehaluan yang baik dengan risalah Ilahiyah yang membentengi bangunan peradaban Aceh dari kehancuran. Membangun peradaban yang maju bertumpu pada ilmu pengetahuan yang utuh (tidak ada dualisme).
Sistim pendidikan di Aceh tidak boleh lagi sama dengan daerah lain. Misal, SD, SMP, SMA, STM, SMK sampai Universitas kurang bahkan tidak ada pelajaran bahasa Arab yang menjadi alat untuk memahami literatur Islam. Dan sekolah agama pun mulai dari MIN, MTsN, MAN kurikulumya juga beda tipis dengan sekolah umum. Ironi memang? Dan sangat kontras bila kita bandingkan realitas masyarakat Aceh hari ini yang baru keluar dari kegegelapan, sarat dengan kemundurannya. Tapi kita mulai melakukan tindakan-tindakan yang mencedrai harmonisasi sosial (kriminalitas, kemaksiatan, dan kemungkaran).
Bagaimanakah jalan untuk memutar arah sejarah pada poros kejayaan kembali yang diridhai Allah swt? Salah satunya adalah memahami ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda alam/sunnatullah). Dalam hidup ini berlaku sunnatullah (hukum alam) di mana mau tidak mau kita harus mampu membacanya sebagaimana firman Allah swt; ...dan demikianlah masa kejayaan dan kehancuran itu Kami pergilirkan diantara manusia agar mereka mendapat pelajaran... (QS Ali Imran:140). Allah sudah memeperlihatkan kepada kita dalam kisah-kisah yang di ceritakan dalam Al-Quran.
Sejarah telah mengajarkan bahwa banyak peradaban dipermukaan bumi ini yang jatuh silih berganti, sebagaimana firman Allah swt; Dan berapa banyak penduduk negeri yang telah Kami binasakan, yang sudah bersenang-senang dalam kehidupannya... (QS Alqashas ayat 58). Kemunduran umat ini merupakan bagian dari sunatullah. Mampukah kita mengambil pelajaran dari sejarah itu? Masyarakat Aceh baru selesai dari episode sejarahnya yang kelam, butuh terapi secara permanen menyembuhkannya. Karenanya harus segera dibangunkan kembali dari tidurnya dan banyak latihan, dan pemimpin harus menggiring rakyat untuk bersegera menggapai janji Allah swt agar menjadi umat akhir zaman yang terbaik dan menjadi saksi bagi umat manusia seluruhnya.
Simaklah sejarah, bagaimana bangsa Jepang bangkit dari keterpurukannya. Lihatlah bagaimana Malaysia mampu mengejar ketertinggalannya. Kita harus mampu mendiagnosa apa yang menjadikan masyarakat ini sakit, agar kita bisa melakukan akselerasi (percepatan) untuk segera bangkit. Sebab Allah swt berfirman; Segala musibah yang menimpamu adalah kesalahanmu sendiri . Kesalahan apakah itu? Bisa jadi kesalahan itu adalah karena kita terbuai dengan segala nikmat yang telah dianugrahkan Allah dan tidak pernah mensyukurinya. Terjadi pengrusakan hutan, korupsi, iri dengki, pertikaian, kezaliman, maksiat dan kemungkaran lainnya yang tidak sesuai dengan Alquran dan assunnah.
Katalisator peradaban
Malik bin Nabi, seorang pemikir abad ke-20 asal Aljazair yang bergelut di bidang filsafat dan peradaban. Dalam bukunya Syarat Kebangkitan Peradaban, sebagaimana ditulis oleh Nurfarid (Opini Republika 14/09/2007) menunjukan kepada kita beberapa jalan menuju kebangkitan. Pertama, kita harus memahami unsur-unsur pembentuk peradaban yang terdiri dari manusia, tanah, dan waktu. Manusia sebagai unsur utama, karena ia adalah pelaku sejarah dan pencipta peradaban. Sedangkan tanah, merupakan sumber daya alam yang dengannya manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Adapun waktu, yang dimaksud Malik adalah nilainya dalam kehidupan manusia dan hubungannya dengan sejarah, kebangkitan ilmu, produktivitas, dan pencapaian peradaban. Kedua, walaupun kita sudah memiliki ketiga unsur tadi dan sudah mengelolanya dengan baik, tetap saja itu tidak menjamin akan terbentuknya suatu peradaban. Sebagai contoh, dulu bangsa Arab sebelum turunnya Alquran tidak lain adalah masyarakat Badui yang hidup di padang pasir, pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Oleh karena itu, harus ada katalisator yang akan mematangkannya. sebagaimana oksigen dan hidrogen tidak akan membentuk air kalau tidak ada katalisator yang menghubungkannya.
Katalisator dalam peradaban adalah agama (Islam). Hal ini juga pernah ditulis oleh Ibnu Khaldum jatuh bangunnya suatu bangsa ditentukan oleh apakah masyarakat itu mau mendayagunakan karunia Allah sesuai dengan petunjuk-Nya sebagai katalisator. Ketiga, Kita harus memiliki metodologi berpikir dan bekerja tersendiri yang sesuai dengan metodologi Islam. Sebab menurut Malik setiap peradaban memiliki dasarnya masing-masing yang akan berpengaruh pada cara berpikir dan bekerja. Peradaban Barat dasarnya adalah peradaban Romawi. Sedangkan Peradaban Islam dasarnya adalah akidah tauhid yang bersumber dari wahyu Ilahi. Keempat, Malik mengajak Muslimin agar memiliki etos kerja yang tinggi sehingga mampu menghasilkan komoditas sendiri.
Maka pemerintah berkewajiban memberi perhatian yang serius terhadap intensitas pengkajian Islam, perbaikan sistim dan kurikulum pendidikan, yang mampu membangun pemahaman ilmu Allah (ilmu umum dan agama) secara utuh adalah salah satu strategi memperkokoh katalisator peradaban Aceh yang modern dan Islami.
*) Penulis adalah Alumnus Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry, Biro Riset Kajian YICM dan Mantan Ketua Umum HMI Banda Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kirimkan Komentar, kesan dan pesan anda untuk memjadi bahan agar situs ini makin baik kedepan...