Silaturrahmi Alumni HMI pada buka puasa bersama 10 Ramadhan lalu adalah momentum yang menggugah kebisuan KAHMI. Acara yang diprakarsai oleh alumni “droe keu droe” mengutip istilah Serambi Indonesia (Serambi, 23/09/2007) telah mempertautkan silaturrahim dan menggugah semangat juang yang selama ini terabaikan.
Pertemuan tersebut memberi sinyal yang jelas para alumni pada sebuah kerinduan untuk menyatukan kembali potensi yang terserak untuk meneruskan missi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Misi HMI tanggal 5 Februari 1947 tercermin dalam tujuan pendirian organisasi itu sendiri, yaitu: mempertahankan Negara Republik Indonesia dari penjajahan dan pengkhianatan PKI, mengembangkan syiar dan dakwah Islam, dan menciptakan insan akademis. Tujuan pendirian HMI ini kemudian dikenal sebagai ciri khas HMI, yaitu orientasi pada keislaman, kebangsaan dan keintelektualan. Dengan landasan itulah HMI telah banyak berperan dan memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa Indonesia.
Kini alumni HMI berada dan berprestasi pada setiap level kehidupan, sebagian berada pada jalur pemerintahan, sebagian lagi aktif dalam organisasi kekuatan politik, LSM, akademisi/pendidikan, pengusaha, TNI/POLRI, seniman dan dalam segi kehidupan lainnya. Potensi umat ini terpencar dalam berbagai macam profesi kemudian terhimpun dalam wadah Korp Alumni HImpunan Mahasiswa Islam (KAHMI). Namun keberadaannya di Aceh antara ada dan tiada, disebut tiada tapi ada hanya saja seakan “bisu” dan absent dalam setiap gerak sejarah perubahan di Aceh.
Alumni HMI memiliki tanggungjawab untuk meneruskan cita-cita HMI, sebagaimana disebutkan dalam Mukaddimah Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) KAHMI. Antara lain disebutkan bahwa alumnus HMI sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia masa kini untuk terus berjuang dan mengisi kemerdekaan menuju masyarakat adil dan makmur sebagai pengabdian kepada Allah swt. Lebih jelas lagi disebutkan pula bahwa menginsyafi akan adanya persamaan latar belakang motivasi sejarah perjuangan, identitas dan aspirasi sebagai kelanjutan tujuan HMI, maka para alumni HMI membentuk organisasi KAHMI. Dalam AD KAHMI, pasal 4, 5 dan 6 disebutkan KAHMI adalah organisasi cendekiawan bersifat kekeluargaan dan independen. KAHMI berfungsi sebagai wadah himpunan warga alumni HMI guna mengembangkan ilmu, kepribadian dan ketakwaan kepada Allah swt. serta forum komunikasi bagi warga.
Selain itu terbinanya warga sebagai cendekiawan penalar dengan iman dan Islam yang teguh dan semangat kebangsaan yang kukuh, mengambil bagian dalam usaha mencerdaskan kehidupan dan meningkatkan kesejahteraan bangsa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah swt. Keterpanggilan untuk ikut memperjuangkan misi HMI inilah yang harus dipertegas kembali sehingga keberadaan KAHMI mampu memberi makna lebih sebagai energi sosial dan fungsi strategis di tengah-tengah umat. Yaitu merajut kekeluargaan yang berperan sebagai penguatan masyarakat sipil (civil society).
Gerakan civil society adalah usaha membentuk individu maupun kelompok-kelompok individu yang terorganisasi sebagai entitas yang mandiri/otonom dan mampu membatasi penetrasi negara (state), di mana masyarakat otonom tersebut hidup dalam kebebasan publik dan tetap mendasari hidupnya pada nilai-nilai etik dan hukum. Pemikiran ini mengikuti pandangan Hegel dan Gramsci yang memisahkan antara civil society dan state dalam entitas yang berbeda.
Model ini sangat membantu dalam mempercepat penguatan perdamaian dengan proses demokrasi yang berkualitas di Aceh. KAHMI yang lahir lewat musyawarah alumnus HMI bersamaan dengan Kongres HMI di Solo tahun 1966, adalah paguyuban plus bagi para mantan anggota dan aktivis HMI. Dalam paguyuban ini berbagai masalah nasional dan internasional dikaji bersama, juga masalah-masalah keilmuan. Berbagai temuan baru diharapkan muncul dari sana, dan dapat dijadikan alternatif solusi bagi masyarakat dan pengambil kebijakan.
Menurut Sulastomo, mantan Ketua Umum PB HMI 1963-1966, ide dasar KAHMI adalah untuk mewadahi kebutuhan alumni HMI memelihara silaturahmi setelah menyelesaikan studinya, dan terpencar di berbagai bidang kehidupan. Silaturahmi yang juga bersifat kecendekiawanan ini, sudah tentu tidak menutup kemungkinan untuk saling bekerjasama dan bilamana perlu koordinasi tugas-tugas untuk meningkatkan kualitas pengabdiannya di tempat masing-masing. Amin Purnawan, dosen dan alumnus HMI Unissula, mengatakan KAHMI adalah salah satu pilar civil society. Sebab sebagai organisasi, kelompok ini bukanlah onderbouw partai politik atau interest groups mana pun.
Karenanya, Silaturrahmi pada buka puasa bersama (10 Ramadhan 1428) dapat dijadikan momentum untuk melakukan pertemuan lanjutan guna merefleksikan kembali dan membuat proyeksi ke depan untuk meningkatkan kiprahnya dalam penguatan masyarakat sipil. Sebagai komunitas terdidik, KAHMI harus memiliki kemampuan menawarkan berbagai alternatif pemikiran menyangkut masalah-masalah kebangsaan dan pembangunan daerah.
Masalah-masalah kebangsaan itu seperti pendidikan, kemiskinan, pemberantasan korupsi, pengangguran, konflik sosial, rekonstruksi pascabencana, perdagangan bebas yang sejalan dengan syariat Islam. Hal itu akan memberi pencerahan bagi berkembangnya wacana ke-islaman, demokratisasi, dan peradaban masa depan bangsa khususnya Aceh.
KAHMI bila mampu dimaksimalkan potensinya akan memberi kontribusi besar, misalnya dapat ikut membangun bidang pendidikan melalui pendirian sekolah unggulan dan perguruan tinggi di berbagai kota/kabupaten, atau mengadakan pelatihan-pelatihan kewirausahaan, dengan ditopang sumberdaya insani yang dimilikinya. Untuk itu perlu melihat kembali perjalanan KAHMI Aceh guna memperkaya gagasan keagamaan dalam rangka pengembangan intelektualisme Islam di Aceh. Yakni menemukan pesan syariat Islam dalam konteks perkembangan sosial, budaya dan ekonomi saat ini.
Sejatinya KAHMI bertugas menumbuhkan kesadaran umat untuk menjadi apa yang disebut oleh Hans-Dieter Evers sebagai strategic group (kelompok strategis) yang bertujuan menekan kekuatan the rulling class yang hendak memengaruhi pemerintah dan kekuatan sosial politik demi kepentingan kelasnya sendiri. Rasanya tidak mustahil KAHMI dapat menjalankan misi ini, karena sekarang banyak alumninya memasuki jaringan pemerintahan dan berbagai kelompok kepentingan dalam masyarakat. Tentu saja pemikiran keagamaan Islam perlu terus menerus direkonseptualisasi dan diaktualisasikan dalam berbagai bidang kehidupan untuk menghadapi berbagai persoalan aktual lainnya.
Meningkatnya pendidikan umat Islam di berbagai bidang keilmuan sangat memungkinkan perumusan konsep-konsep baru yang bermanfaat bagi masyarakat. Persoalannya, kiprah KAHMI secara kelembagaan, yang nyata menyentuh kebutuhan masyarakat belum banyak dirasakan. Organisasi ini terkesan elitis dan eksklusif, karena para alumni sibuk dengan bidang pengabdiannya masing-masing. Tidak sedikit juga yang cenderung mandul. Padahal selayaknya potensi KAHMI yang terdiri dari beragam bidang profesi dan keahlian dapat disinergikan lebih optimal lagi. Bukan sekadar wadah arisan dan kangen-kangenan.*)
Penulis adalah Karo Riset dan Kajian Yayasan Insan Cita Madani (YICM) dan alumnus muda HMI Cabang Banda Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kirimkan Komentar, kesan dan pesan anda untuk memjadi bahan agar situs ini makin baik kedepan...