Oleh: Teuku J. Irawan TAL.*
Ditengah kondisi moral terus meluruh, hukum pun tidak mampu ditegakkan, kecurangan seakan “dewa” penolong dalam mengarungi kehidupan, asumsinya adalah “mencari yang haram saja susah, apalagi yang halal (legal)”. Itulah sekulumit masalah yang sedang menghinggapi masyarakat ditengah kejenuhan akan ketidak-adilan dan kezaliman. Fenomena ini terjadi akibat pemaksaan “faham sekuler” yang menjunjung hukum negara, namun mengabaikan dimensi moral dan etika yang merupakan nilai-nilai luhur dari ajaran agama.
Demokrasi berasal dari kata-kata Yunani, yaitu demos (rakyat) dan cratia (pemerintahan), jadi demokrasi secara harfiah berarti “pemerintahan rakyat”. Secara umum istilah demokrasi telah menimbulkan berbagai pendapat diantaranya yang paling terkenal adalah “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Penulis tidak bermaksud untuk membahas pendapat-pendapat tentang demokrasi, namun paling tidak dapat mengambil suatu kesimpulan daripada demokrasi, yaitu rakyat memiliki kapasitas keterlibatan dan partisipasinya dalam membentuk pemerintahan dan mengatur masyarakat.
Berbicara “rakyat” tentu menimbulkan pertanyaan rakyat yang mana? Dalam menjawab pertanyaan ini jelas bahwa rakyat adalah warga negara menurut yang di legalkan oleh undang-undang. Seperti dalam partisipasi politik pada waktu pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota; Pemilih adalah warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh, berusia sekurang-kurangnya 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin, dan tidak sedang terganggu jiwanya (pasal 71 UU No. 11 Tahun 2006). Berarti, demokrasi seharusnya merupakan suatu keniscayaan daripada perwujudan transformasi nilai-nilai sosio-cultural masyarakat lokal sebagai warga negara menurut yang diakui oleh undang-undang (kearifan lokal).
Lalu, mengapa penulis berani menjustifikasikan “faham sekuler telah mengingkari azas demokrasi di Aceh”? Jawabannya, sekuler bukanlah merupakan manifestasi sosio-cultural atau nilai-nilai “kearifan” masyarakat Aceh. Namun yang merupakan manifestasi sosio-cultural masyarakat Aceh adalah peradaban islami yang berkewajiban melaksanakan Syariat Islam. Hal ini telah dibuktikan sejak jaman Kerajaan Aceh tempo doeloe, bahkan pada masa kepemimpinan Sultan Iskandarmuda, Aceh pernah mengalami kejayaan Kerajaan Islam. Dan pada masa Tgk. Daud Beureueh, Aceh melakukan perlawanan dengan negara karena semata-mata negara “gagal” melaksanakan Syariat Islam di Nanggroe Aceh. Hingga sekarang masyarakat Aceh masih konsekuen berkeyakinan terhadap Islam.
Ditengah masyarakat sekuler sedang menguasai kemajuan ekonomi dan teknologi, ini merupakan senjata ampuh untuk melakukan “neo-kolonialisme” terhadap masyarakat Islam, termasuk mempengaruhi sosio-cultural masyarakat Islam sebagaimana terlihat dari degradasi moral generasi Islam. Sekuler yang secara jelas telah memisahkan antara nilai-nilai moral dan agama dengan sistem bernegara, artinya setiap individu bebas berekspresi atau berkeyakinan apapun selama tidak bertentangan dengan hukum negara. Namun ketika hukum melemah, baik kerena ketidak-mampuan negara dalam menegakkan sepremasi hukum, maupun produk-produk hukum yang anti-demokrasi dimana hukum yang dihasilkan tidak pro-rakyat, maka bukankah masyarakat Islam yang lemah dari segi ekonomi dan tidak menguasai teknologi akan menerima resiko-resiko kecurangan dan terzalimi…?
Sebagai contoh dapat kita lihat dari segi jual-beli barang maupun jasa, telah terjadi ketidak-adilan sejak kontrak jual-beli dilakukan. Dimana satu pihak menuntut dipenuhi haknya secara penuh namun pihak tersebut tidak mau memenuhi kewajibannya secara penuh kepada pihak lain. Sehingga mereka yang berada dalam posisi tawar yang lemah menerima beban yang lebih berat dibandingkan mereka yang berada pada posisi tawar yang kuat. Seperti pada saat mengisi bensin di pompa bensin, apakah bensin tersebut telah terisi sesuai dengan pesanan, padahal kita tetap membayar sesuai dengan harga pesanan. Juga pada saat keterlambatan membayar rekening listrik, maka pada jangka waktu tertentu pihak PLN akan memutuskan aliran listrik, lalu mengapa kita tidak pernah menggugat PLN pada saat pemadaman listrik yang dapat menyebabkan kerugian pada kita selaku komsumen…? Begitu juga dengan air bersih, kita dituntut untuk menunaikan kewajiban membayar rekening tepat waktu kepada Perusahaan Air Minum supaya terhindar dari denda, namun kita selalu dirugikan dengan penyuplaian air yang tidak lancar…!
Yang paling ironi adalah ketika kita membeli barang-barang elektronik, kita tidak tahu apakah kualitas komponen-komponen barang tersebut sesuai dengan harga yang harus kita bayar, sebab kita tidak menguasai elektronika…? Dan banyak lagi contoh-contoh yang telah merugikan umat Islam, dikarenakan menganut sistem sekuler yang mengabaikan dimensi moral dan hanya menguntungkan kaum kapitalis, termasuk penjualan makanan kemasan apakah terjamin halalnya…?
Ini merupakan ketidakjujuran alias penipuan dalam berbisnis, karena hukum bisnis yang dianut adalah “menekan harga modal sekecil-kecilnya dan meningkatkan harga penjualan sebesar-besarnya” tanpa mempertimbangkan kualitas dan kuantitas barang/jasa yang akan diperjual-belikan. Namun tidak hanya dalam berbisnis, didalam fenomena sosial lainnya juga bisa terjadi, seperti dalam sistem pemerintahan yang sarat dengan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), perpolitikan yang tidak beretika dan tidak berbudaya, hukum yang tidak adil dan “tebang pilih”, kemasyarakatan yang cenderung apatis dan oportunis, serta budaya dan bahkan didalam dunia pendidikan, kesehatan (Rumah Sakit), termasuk “lembaga agama” sekali pun.
Kebobrokan “nilai” dan dimensi moral seperti ini adalah Kelemahan yang dimiliki oleh dunia sekuler, dan hanya menguntungkan para penguasa, pemilik modal serta orang-orang yang memiliki pengetahuan dan menguasai teknologi, sedangkan rakyat jelata yang tidak menguasai kekuasaan, modal, pengetahuan dan teknologi akan terus terdiskriminasikan dengan ketidak-adilan dan terzalimi. Sebenarnya hal ini, harus membuat kita umat islam peka dan kritis untuk terus mendorong doktrin-doktrin nilai, moral (akhlak) dan etika. Tentu sebagai konsekwensi bagi seorang muslim, dia tidak hanya patuh kepada hukum positif yang hanya berakibat hukum didunia semata. Namun dia percaya dan haqqul yakin bahwa justru azab Tuhan itu lebih pedih di hari “pembalasan” nanti.
Al-qur’an mengancam orang-orang yang curang sebagai orang yang durhaka dan mendustakan hari pembalasan, mereka akan dicatat didalam kitab “sijjin” dan mereka sedang berusaha untuk menutup hati mereka, suatu saat mereka benar-benar masuk neraka (lihat QS. Al-Muthaffifin, ayat 1 s/d 17). Padahal Islam telah mengajarkan kepada kita untuk berlaku adil kepada siapa saja, tanpa memandang status sosial, kelas pendidikan, kekayaan, bahkan perbedaan ras dan agama. Wallahu’alam bil ash-shawab.
Lalu, mengapa penulis berani menjustifikasikan “faham sekuler telah mengingkari azas demokrasi di Aceh”? Jawabannya, sekuler bukanlah merupakan manifestasi sosio-cultural atau nilai-nilai “kearifan” masyarakat Aceh. Namun yang merupakan manifestasi sosio-cultural masyarakat Aceh adalah peradaban islami yang berkewajiban melaksanakan Syariat Islam. Hal ini telah dibuktikan sejak jaman Kerajaan Aceh tempo doeloe, bahkan pada masa kepemimpinan Sultan Iskandarmuda, Aceh pernah mengalami kejayaan Kerajaan Islam. Dan pada masa Tgk. Daud Beureueh, Aceh melakukan perlawanan dengan negara karena semata-mata negara “gagal” melaksanakan Syariat Islam di Nanggroe Aceh. Hingga sekarang masyarakat Aceh masih konsekuen berkeyakinan terhadap Islam.
Ditengah masyarakat sekuler sedang menguasai kemajuan ekonomi dan teknologi, ini merupakan senjata ampuh untuk melakukan “neo-kolonialisme” terhadap masyarakat Islam, termasuk mempengaruhi sosio-cultural masyarakat Islam sebagaimana terlihat dari degradasi moral generasi Islam. Sekuler yang secara jelas telah memisahkan antara nilai-nilai moral dan agama dengan sistem bernegara, artinya setiap individu bebas berekspresi atau berkeyakinan apapun selama tidak bertentangan dengan hukum negara. Namun ketika hukum melemah, baik kerena ketidak-mampuan negara dalam menegakkan sepremasi hukum, maupun produk-produk hukum yang anti-demokrasi dimana hukum yang dihasilkan tidak pro-rakyat, maka bukankah masyarakat Islam yang lemah dari segi ekonomi dan tidak menguasai teknologi akan menerima resiko-resiko kecurangan dan terzalimi…?
Sebagai contoh dapat kita lihat dari segi jual-beli barang maupun jasa, telah terjadi ketidak-adilan sejak kontrak jual-beli dilakukan. Dimana satu pihak menuntut dipenuhi haknya secara penuh namun pihak tersebut tidak mau memenuhi kewajibannya secara penuh kepada pihak lain. Sehingga mereka yang berada dalam posisi tawar yang lemah menerima beban yang lebih berat dibandingkan mereka yang berada pada posisi tawar yang kuat. Seperti pada saat mengisi bensin di pompa bensin, apakah bensin tersebut telah terisi sesuai dengan pesanan, padahal kita tetap membayar sesuai dengan harga pesanan. Juga pada saat keterlambatan membayar rekening listrik, maka pada jangka waktu tertentu pihak PLN akan memutuskan aliran listrik, lalu mengapa kita tidak pernah menggugat PLN pada saat pemadaman listrik yang dapat menyebabkan kerugian pada kita selaku komsumen…? Begitu juga dengan air bersih, kita dituntut untuk menunaikan kewajiban membayar rekening tepat waktu kepada Perusahaan Air Minum supaya terhindar dari denda, namun kita selalu dirugikan dengan penyuplaian air yang tidak lancar…!
Yang paling ironi adalah ketika kita membeli barang-barang elektronik, kita tidak tahu apakah kualitas komponen-komponen barang tersebut sesuai dengan harga yang harus kita bayar, sebab kita tidak menguasai elektronika…? Dan banyak lagi contoh-contoh yang telah merugikan umat Islam, dikarenakan menganut sistem sekuler yang mengabaikan dimensi moral dan hanya menguntungkan kaum kapitalis, termasuk penjualan makanan kemasan apakah terjamin halalnya…?
Ini merupakan ketidakjujuran alias penipuan dalam berbisnis, karena hukum bisnis yang dianut adalah “menekan harga modal sekecil-kecilnya dan meningkatkan harga penjualan sebesar-besarnya” tanpa mempertimbangkan kualitas dan kuantitas barang/jasa yang akan diperjual-belikan. Namun tidak hanya dalam berbisnis, didalam fenomena sosial lainnya juga bisa terjadi, seperti dalam sistem pemerintahan yang sarat dengan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), perpolitikan yang tidak beretika dan tidak berbudaya, hukum yang tidak adil dan “tebang pilih”, kemasyarakatan yang cenderung apatis dan oportunis, serta budaya dan bahkan didalam dunia pendidikan, kesehatan (Rumah Sakit), termasuk “lembaga agama” sekali pun.
Kebobrokan “nilai” dan dimensi moral seperti ini adalah Kelemahan yang dimiliki oleh dunia sekuler, dan hanya menguntungkan para penguasa, pemilik modal serta orang-orang yang memiliki pengetahuan dan menguasai teknologi, sedangkan rakyat jelata yang tidak menguasai kekuasaan, modal, pengetahuan dan teknologi akan terus terdiskriminasikan dengan ketidak-adilan dan terzalimi. Sebenarnya hal ini, harus membuat kita umat islam peka dan kritis untuk terus mendorong doktrin-doktrin nilai, moral (akhlak) dan etika. Tentu sebagai konsekwensi bagi seorang muslim, dia tidak hanya patuh kepada hukum positif yang hanya berakibat hukum didunia semata. Namun dia percaya dan haqqul yakin bahwa justru azab Tuhan itu lebih pedih di hari “pembalasan” nanti.
Al-qur’an mengancam orang-orang yang curang sebagai orang yang durhaka dan mendustakan hari pembalasan, mereka akan dicatat didalam kitab “sijjin” dan mereka sedang berusaha untuk menutup hati mereka, suatu saat mereka benar-benar masuk neraka (lihat QS. Al-Muthaffifin, ayat 1 s/d 17). Padahal Islam telah mengajarkan kepada kita untuk berlaku adil kepada siapa saja, tanpa memandang status sosial, kelas pendidikan, kekayaan, bahkan perbedaan ras dan agama. Wallahu’alam bil ash-shawab.
*Penulis adalah Wasekum Eksternal Badko HMI Nanggroe Aceh Darussalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kirimkan Komentar, kesan dan pesan anda untuk memjadi bahan agar situs ini makin baik kedepan...