OLEH : MARLAINI HASBI
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu sekalian untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu dan sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (An-Nisa’ : 58).
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu sekalian untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu dan sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (An-Nisa’ : 58).
Ayat ini meskipun menggunakan redaksi yang umum “kepada kamu sekalian”, namun secara lebih khusus pembicaraan ayat ini ditujukan kepada para pemimpin dan penguasa seperti yang dipahami oleh Muhammad bin Ka’ab dan Zaid bin Aslam yang dinukil oleh Ibnu Katsir. Pemahaman seperti ini sangat tepat, karena merekalah yang memiliki amanah yang besar untuk ditunaikan sehingga mereka diminta untuk menjaga amanah dan pemerintahan tersebut dengan benar dan adil. Jika amanah dan keadilan disia-siakan, maka umat manusia akan binasa dan negeri ini akan hancur.
Seorang pemimpin adalah pribadi yang sangat menentukan bagi suatu umat atau bangsa. Menentukan karena dengannya sebuah Negara bisa maju atau mundur. Bila seorang pemimpin tampil lebih memihak kepada kepentingan dirinya, tidak bisa tidak rakyat pasti terlantar. Sebaliknya bila seorang pemimpin lebih berpihak kepada rakyatnya, maka keadilan pasti ia tegakkan. Keadilan adalah titik keseimbangan yang menentukan tegak tidaknya alam semesta ini. Allah swt menegakkan langit dengan keseimbangan. Pun juga segala yang ada di bumi Allah swt berikan dengan penuh keseimbangan. Padanan keseimbangan adalah keadilan, lawan katanya adalah kedzaliman.
Setiap kedzaliman pasti merusak. Bila manusia berbuat dzalim maka pasti ia akan merusak diri dan lingkungannya. Bayangkan bila yang berbuat dzalim adalah seorang pemimpin. Pasti yang akan hancur adalah bangsa secara keseluruhan. Di dalam Al Qur’an Allah swt telah menceritakan hancurnya umat-umat terdahulu adalah karena kedzaliman pemimpinnya. Karena itu bila kita berusaha untuk memecahkan persoalan bangsa maka tidak ada jalan kecuali yang pertama kali kita perbaiki adalah pemimpinnya.
Pemimpin yang korup dan dzalim bukan saja akan membawa malapetaka terhadap rakyatnya tetapi lebih jauh –dan ini yang sangat kita takuti – Allah swt akan mencabut keberkahan yang diberikan. Sungguh sangat sengsara sebuah kaum yang kehilangan keberkahan. Sebab dengan hilangnya keberkahan tidak saja fisik yang sengsara melainkan lebih dari itu, ruhani juga ikut meronta-ronta.
Seorang pemimpin adalah pribadi yang sangat menentukan bagi suatu umat atau bangsa. Menentukan karena dengannya sebuah Negara bisa maju atau mundur. Bila seorang pemimpin tampil lebih memihak kepada kepentingan dirinya, tidak bisa tidak rakyat pasti terlantar. Sebaliknya bila seorang pemimpin lebih berpihak kepada rakyatnya, maka keadilan pasti ia tegakkan. Keadilan adalah titik keseimbangan yang menentukan tegak tidaknya alam semesta ini. Allah swt menegakkan langit dengan keseimbangan. Pun juga segala yang ada di bumi Allah swt berikan dengan penuh keseimbangan. Padanan keseimbangan adalah keadilan, lawan katanya adalah kedzaliman.
Setiap kedzaliman pasti merusak. Bila manusia berbuat dzalim maka pasti ia akan merusak diri dan lingkungannya. Bayangkan bila yang berbuat dzalim adalah seorang pemimpin. Pasti yang akan hancur adalah bangsa secara keseluruhan. Di dalam Al Qur’an Allah swt telah menceritakan hancurnya umat-umat terdahulu adalah karena kedzaliman pemimpinnya. Karena itu bila kita berusaha untuk memecahkan persoalan bangsa maka tidak ada jalan kecuali yang pertama kali kita perbaiki adalah pemimpinnya.
Pemimpin yang korup dan dzalim bukan saja akan membawa malapetaka terhadap rakyatnya tetapi lebih jauh –dan ini yang sangat kita takuti – Allah swt akan mencabut keberkahan yang diberikan. Sungguh sangat sengsara sebuah kaum yang kehilangan keberkahan. Sebab dengan hilangnya keberkahan tidak saja fisik yang sengsara melainkan lebih dari itu, ruhani juga ikut meronta-ronta.
Pemimpin Adalah Nahkoda
Benar, perumpamaan yang mengatakan bahwa pemimpin adalah nahkoda bagi sebuah kapal. Sebab Negara ibarat kapal yang didalamnya banyak penumpangnya. Para penumpang seringkali tidak tahu apa-apa. Maka selamat tidaknya sebuah kapal tergantung nahkodanya. Bila nahkodanya berusaha untuk menabrakkan kapal ke sebuah karang, tentu bisa dipastikan bahwa kapal itu akan tenggelam dan semua penumpang akan sengsara.
Ibarat kepala bagi sebuah badan, pemimpin adalah otak yang mengatur semua gerakan anggotanya. Karena itu pemimpin harus cerdas, lebih dari itu harus jujur dan adil. Tidak cukup seorang pemimpin hanya bermodal kecerdasan, sebab seringkali para pemimpin yang korup menggunakan kecerdasannya untuk menipu rakyat. Karena itu ia harus jujur dan adil. Itulah rahasia firman Allah : “I’diluu huwa aqrabu lit taqwaa. Berbuat adillah, karena berbuat adil itu lebih dekat kepada taqwa” (QS. Al Ma’idah: 8). Perhatikan ayat ini menunjukkan bahwa keadilan adalah jalan menuju ketaqwaan. Mengapa? Sebab tidak mungkin seorang pemimpin yang dzalim bertaqwa. Bila jiwa taqwa hilang dari diri seorang pemimpin, ia pasti akan berani kepada Allah swt. Bila seorang pemimpin berani kepada Allah swt, maka kepada manusia ia akan lebih berani.
Karena itu bekal utama seorang pemimpin harus benar-benar menegakkan taqwa dalam dirinya. Karena itu pesan utama Al Qur’an adalah membangun pribadi taqwa. Sebab dengan taqwa seorang pemimpin akan bersungguh-sungguh ikut tuntunan Allah SWT. Bila ia bersungguh-sungguh ikut tuntunan Allah SWT maka segala langkahnya akan berkah dan otomatis Negara yang dipimpinnya pun akan berkah. Itulah rahasi mengapa dalam memilih seorang pemimpin, hendaklah sebuah bangsa jangan asal-asalan. Melainkan harus benar-benar selektif. Jangan asal disogok lalu berani mengorbankan kebenarn. Ingat bahwa Allah SWT tidak hanya mengancam orang-orang yang berbuat dzalim, melainkan juga mengancam orang-orang yang mendukung kedzaliman tersebut. Allah berfirman: “Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka, dan Fir’aun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang amat buruk. Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras”. (QS. Al Mukmin : 45-46).
Pemimpin Adalah Cerminan Rakyat
Rakyat yang cerdas tidak mungkin memilih pemimpin yang bodoh. Rakyat yang bersih tidak mungkin memilih pemimpin yang korup. Tetapi sebaliknya bila rakyatnya korup maka pasti yang akan dipilih adalah pemimpin yang korup. Karena itu terpilihnya Fir’un sebagai raja, adalah karena rakyatnya bodoh dan bejat. Sebab siapakah sebenarnya seorang pemimpin, jika ia tidak mendapatkan dukungan. Ia sebenarnya tidak berdaya apa-apa. Jika semua rakyatnya bersatu untuk menyerangnya ia pasti tidak bisa bertahan. Karenanya pemimpin yang korup akan selalu menciptakan lingkungan agar rakyat tetap bodoh. Sebab dengan kebodohannya ia akan lebih lama berkuasa, dan lebih nyaman menikmaati kedzalimannya.
Ustadz Sayed Qutb ketika menafsirkan ayat tentang Fir’un dalam surat An Naziat menjelaskan bahwa sebenarnya Fir’un tidak mempunyai kekuatan sejumlah rakyatnya. Maka jika rakyatnya cerdas, mereka tidak mungkin mengizinkan Fir’un terus berkuasa. Mereka pasti akan segera memberontak atas kedzalimannya. Namun karena mereka bodoh, maka Fir’un merasa semakin tinggi. Puncaknya Fir’un menjadi lupa daratan sehingga ia mendeklarasikan dirinya sebagai tuhan. Dia berkata seperti yang Allah SWT yang direkam dalam surat An Nazi’at: ”ana rabbukumul a’laa. Saya tuhan kalian yang tinggi”. Perhatikan betapa seorang pemimpin adalah cerminan rakyat itu sendiri. Jadi sekarang tergantung kita sebagai rakyat, mau memilih pemimpin yang korup atau yang jujur dan adil.
Ingat bahwa setiap suara yang kita berikan itu adalah amanah. Bila kita salah menyerahkan amanah, yang sengsara kita juga. Sebaliknya bila kita bersungguh-sungguh untuk menyerahan amanah itu kepada yang ahlinya, maka kitalah yang akan menikmatinya. Bukan saja kesejahteraan di dunia yang kita dapatkan melainkan lebih dari itu, kita akan mendapatkan pahala yang melimpah karena kita telah mendukung kebaikan. Dari sini nampak bahwa suara rakyat adalah sangat menentukan terhadap lahirnya seorang pemimpin. Oleh sebab itu, kita sebagai rakyat hendaknya bersungguh-sungguh untuk menjadi rakyat yang baik, sebab jika tidak, kita sendiri yang rugi dan sengsara. Rasulullah saw. Bersabda: ”Bahwa seorang mu’min tidak pantas terjatuh ke lubang yang sama dua kali”. Maka cukuplah masa lalu kita jadikan pelajaran. Sekarang sudah saatnya kita memilih pemimpin yang benar-benar membawa risalah Allah. Sebab hanya dengan menegakkan ajaran Allah swt keberkahan akan turun. Allah berfirman: ”Seandainya penduduk sebuah negeri beriman dan bertaqwa, niscaya akan Kami turunkan keberkahan dari langit dan bumi”. QS. Al A’raf : 96.
Berdasarkan hal di atas, jelas bahwa keberkahan yang akan kita raih tergantung perjuangan kita untuk menegakkan ajaran Allah. Dan untuk itu sungguh sebuah keniscayaan kita memilih seorang pemimpin yang benar-benar membawa keberkahan. Itulah pemimpin yang bersih dan senantiasa mengedepankan risalah Allah swt sebagai panduannya. Sejarah telah membuktikan bahwa kisah-kisah pemimpin berhasil seperti yang Allah swt ceritakan dalam Al Qur’an, misalnya: Nabi Daud as, Nabi Sulaiman as, dan Dzul Qarnain, itu adalah karena kesungguhan mereka menegakkan ajaran Allah dalam kepemimpinannya. Begitu juga kepemimpinan Rasulullah SAW, yang dilanjutkan oleh Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Abdul Aziz. Mereka dalah contoh-contoh yang tidak bisa kita nafikan sebagai puncak pemimpin yang paling berhasil dan sukses.
Dan bila kita teliti kunci utama keberhasailan mereka adalah karena mereka memimpin dengan ketaqwaan. Sebab bila seorang pemimpin bertaqwa ia pasti jujur dan amanah. Bila seorang pemimpin jujur dan amanah ia pasti akan memberikan yang terbaik kepada rakyat yang dipimpinnya. Sebaliknya bila seorang pemimpin tidak bertaqwa, ia pasti akan selalu membawa bencana dengan kedzaliman yang ia bangga-banggakan. Kedzaliman adalah sumber kesengsaraan. Karena itu Allah SWT menyebutkan bahwa orang yang paling dzalim adalah orang yanga setelah mendapatkan tuntunan dari Allah malah ia berpaling darinya. Mengapa dikatakan dzalim, karena dengan kedzalimannya tidak saja ia menjadikan dirinya sebagai bahan neraka, melain juga dengan kedzalimannya ia membawa acaman bagi orang lain yang dipimpinnya. Wallahu A’lam bish Shawab.
Rakyat yang cerdas tidak mungkin memilih pemimpin yang bodoh. Rakyat yang bersih tidak mungkin memilih pemimpin yang korup. Tetapi sebaliknya bila rakyatnya korup maka pasti yang akan dipilih adalah pemimpin yang korup. Karena itu terpilihnya Fir’un sebagai raja, adalah karena rakyatnya bodoh dan bejat. Sebab siapakah sebenarnya seorang pemimpin, jika ia tidak mendapatkan dukungan. Ia sebenarnya tidak berdaya apa-apa. Jika semua rakyatnya bersatu untuk menyerangnya ia pasti tidak bisa bertahan. Karenanya pemimpin yang korup akan selalu menciptakan lingkungan agar rakyat tetap bodoh. Sebab dengan kebodohannya ia akan lebih lama berkuasa, dan lebih nyaman menikmaati kedzalimannya.
Ustadz Sayed Qutb ketika menafsirkan ayat tentang Fir’un dalam surat An Naziat menjelaskan bahwa sebenarnya Fir’un tidak mempunyai kekuatan sejumlah rakyatnya. Maka jika rakyatnya cerdas, mereka tidak mungkin mengizinkan Fir’un terus berkuasa. Mereka pasti akan segera memberontak atas kedzalimannya. Namun karena mereka bodoh, maka Fir’un merasa semakin tinggi. Puncaknya Fir’un menjadi lupa daratan sehingga ia mendeklarasikan dirinya sebagai tuhan. Dia berkata seperti yang Allah SWT yang direkam dalam surat An Nazi’at: ”ana rabbukumul a’laa. Saya tuhan kalian yang tinggi”. Perhatikan betapa seorang pemimpin adalah cerminan rakyat itu sendiri. Jadi sekarang tergantung kita sebagai rakyat, mau memilih pemimpin yang korup atau yang jujur dan adil.
Ingat bahwa setiap suara yang kita berikan itu adalah amanah. Bila kita salah menyerahkan amanah, yang sengsara kita juga. Sebaliknya bila kita bersungguh-sungguh untuk menyerahan amanah itu kepada yang ahlinya, maka kitalah yang akan menikmatinya. Bukan saja kesejahteraan di dunia yang kita dapatkan melainkan lebih dari itu, kita akan mendapatkan pahala yang melimpah karena kita telah mendukung kebaikan. Dari sini nampak bahwa suara rakyat adalah sangat menentukan terhadap lahirnya seorang pemimpin. Oleh sebab itu, kita sebagai rakyat hendaknya bersungguh-sungguh untuk menjadi rakyat yang baik, sebab jika tidak, kita sendiri yang rugi dan sengsara. Rasulullah saw. Bersabda: ”Bahwa seorang mu’min tidak pantas terjatuh ke lubang yang sama dua kali”. Maka cukuplah masa lalu kita jadikan pelajaran. Sekarang sudah saatnya kita memilih pemimpin yang benar-benar membawa risalah Allah. Sebab hanya dengan menegakkan ajaran Allah swt keberkahan akan turun. Allah berfirman: ”Seandainya penduduk sebuah negeri beriman dan bertaqwa, niscaya akan Kami turunkan keberkahan dari langit dan bumi”. QS. Al A’raf : 96.
Berdasarkan hal di atas, jelas bahwa keberkahan yang akan kita raih tergantung perjuangan kita untuk menegakkan ajaran Allah. Dan untuk itu sungguh sebuah keniscayaan kita memilih seorang pemimpin yang benar-benar membawa keberkahan. Itulah pemimpin yang bersih dan senantiasa mengedepankan risalah Allah swt sebagai panduannya. Sejarah telah membuktikan bahwa kisah-kisah pemimpin berhasil seperti yang Allah swt ceritakan dalam Al Qur’an, misalnya: Nabi Daud as, Nabi Sulaiman as, dan Dzul Qarnain, itu adalah karena kesungguhan mereka menegakkan ajaran Allah dalam kepemimpinannya. Begitu juga kepemimpinan Rasulullah SAW, yang dilanjutkan oleh Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Abdul Aziz. Mereka dalah contoh-contoh yang tidak bisa kita nafikan sebagai puncak pemimpin yang paling berhasil dan sukses.
Dan bila kita teliti kunci utama keberhasailan mereka adalah karena mereka memimpin dengan ketaqwaan. Sebab bila seorang pemimpin bertaqwa ia pasti jujur dan amanah. Bila seorang pemimpin jujur dan amanah ia pasti akan memberikan yang terbaik kepada rakyat yang dipimpinnya. Sebaliknya bila seorang pemimpin tidak bertaqwa, ia pasti akan selalu membawa bencana dengan kedzaliman yang ia bangga-banggakan. Kedzaliman adalah sumber kesengsaraan. Karena itu Allah SWT menyebutkan bahwa orang yang paling dzalim adalah orang yanga setelah mendapatkan tuntunan dari Allah malah ia berpaling darinya. Mengapa dikatakan dzalim, karena dengan kedzalimannya tidak saja ia menjadikan dirinya sebagai bahan neraka, melain juga dengan kedzalimannya ia membawa acaman bagi orang lain yang dipimpinnya. Wallahu A’lam bish Shawab.
Aspek Kekuasan dan Dakwah
“Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya (Dzul Qarnain) di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu”. (Al-Kahfi : 84).
Ayat di atas dan ayat anugerah kekuasaan kepada para Nabi pilihan Allah SWT lainnya cukup menjadi bukti dan argumentasi yang kuat untuk menjawab mispersepsi atau miskonsepsi yang masih hadir di tengah-tengah umat bahwa kekuasaan sangat bertentangan dengan dakwah. Kekuasaan adalah simbol kediktatoran dan cermin kezaliman, sedangkan dakwah adalah cermin keteladanan dan simbol kasih sayang. Persepsi negatif ini wajar muncul karena beberapa orang –bisa jadi mayoritas orang- yang diberi kesempatan untuk berkuasa ternyata tidak mampu memanfaatkan kekuasaan itu untuk kemaslahatan dan kesejahteraan bangsa. Malah sebaliknya, kekuasan itu dimanfaatkan untuk mempekaya diri dan justifikasi tindakan kesewenangannya.
Di sisi lain, ada sekelompok orang yang memiliki cita-cita luhur menyebarkan kemaslahatan dan kesejahteraan kepada semua pihak, namun tidak dapat merealisasikannya karena tidak memiliki alat kekuasaan (power). Dua realitas yang menggejala di tengah umat ini tentunya tidak bisa dijadikan alasan menyalahkan kekuasaan atau memaksakan kekuasaan. Kehadiran kekuasaan dalam konteks dakwah, merupakan sunnatullah yang pernah berlaku kepada umat terdahulu, bahkan melalui manusia unggulan pilihan Allah swt, yaitu para Nabi dan hamba-hamba-Nya yang shalih. Tentu, anugerah kekuasaan yang Allah swt berikan kepada salah seorang dari hamba-Nya yang sholeh tidak bisa dilepaskan dari misi dakwah menyebarkan ajaran Islam dan menegakkannya di tengah-tengah umat manusia.
Dzul Qarnain yang diabadikan namanya pada ayat di atas merupakan figur penguasa yang sekaligus aktifis dakwah. Ia mampu merealisasikan dakwah dan kekuasaan secara bersamaan. Bahkan dengan kekuasaan yang dimilikinya, ia mampu menghadirkan kemajuan dan kemaslahatan bagi seluruh lapisan masyarakat. Al-Qur’an menyuguhkan kisah prestasi positif Dzul Qarnain dalam bidang dakwah dengan kekuasaan yang diraihnya dalam surah Al-Kahfi : (83-98). Pengabadian kisah dakwah dan kekuasaan Dzul Qarnain oleh Al-Qur’an jelas merupakan petunjuk sekaligus jawaban bahwa sebuah dakwah akan lebih memberikan hasil yang maksimal manakala didukung oleh sarana kekuasaan. Simaklah ketegasan Dzul Qarnain dalam ayat berikut ini, “Berkata Dzulkarnain: “Adapun orang yang aniaya, maka kami kelak akan mengazabnya, kemudian dia kembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengazabnya dengan azab yang tidak ada taranya. Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah kami.” (Al-Kahfi: 87-88).
Pernyataan yang demikian tegas ini tentunya tidak akan terlontar kecuali dari seorang penguasa. Dalam hadits Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar, Rasulullah saw malah mengawali perubahan kemunkaran itu dengan “biyadihi” yaitu kekuasaan dan kekuatan, barulah langkah di bawah berikutnya dengan lisan dan dengan doa, meskipun termasuk tanda iman yang lemah.
Meraih Kekuasaan di Jalan Dakwah
Pada realitasnya, dengan kekuatan dan kekuasaan yang Allah swt anugerahkan, justru memudahkan Dzul Qarnain untuk melakukan ekspansi dakwah ke seluruh penjuru bumi dari belahan timur hingga ke belahan barat, sekaligus mendapatkan ketaatan umat manusia, yang selanjutkan ia manfaatkan untuk melancarkan program pemberdayaan, pembangunan dan penyejahteraan. Bahkan dengan kekuasaannya yang besar, memudahkannya untuk merealisasikan apapun nantinya yang dapat memajukan dan mensejahterakan kehidupan bersama. Bukti lain dari Dzul Qarnain yang disebutkan kisahnya dalam surah Al-Kahfi, bahwa ia bukan sekedar penguasa biasa. Ia sekaligus seorang hamba Allah yang sholeh yang tak kenal lelah melakukan safari dakwah untuk mensosialisasikan ajaran Allah.
Allah swt menggambarkan jaulah dakwahnya yang cukup padat ke berbagai penjuru dunia yang tidak bisa dicapai oleh orang lain, “Kemudian dia menempuh jalan (yang lain). Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah Timur) dia mendapati matahari itu menyinari segolongan umat yang Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari itu, demikianlah. dan sesungguhnya ilmu Kami meliputi segala apa yang ada padanya. (Al-Kahfi: 89-91).
Dalam konteks kekuasaan sebagai bagian dari sarana dakwah Islam, nabi Yusuf As sangat layak untuk dijadikan contoh nyata bahwa kekuasaan yang dimiliki seorang da’i akan memuluskan kerja dan tujuan dakwah. Al-Qur’an menyebutkan permintaan Nabi Yusuf as kepada raja Mesir, “Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (Yusuf : 55). Permintaan ini disampaikan manakala raja menawarkan jabatan kepadanya, “Dan raja berkata: “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku.” Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami.” (Yusuf : 54).
Peluang dan kesempatan yang terbuka di depannya tidak disia-siakan lagi oleh Nabi Yusuf as demi kepentingan dakwah. Ayat meminta jabatan oleh nabi Yusuf as di sini harus difahami dari sudut pandang yang positif bahwa sesungguhnya Nabi Yusuf as tidak meminta jabatan melainkan yang diyakininya dapat mengatasi krisis di masa depan. Jabatan yang diyakini akan mampu melindungi rakyatnya dari kelaparan dan kematian serta melindungi Negara dari kehancuran. Jabatan yang akan diembannya justru memiliki konsekuensi dan tanggung jawab yang berat di masa paling sulit ketika krisis terjadi. Nabi Yusuf as harus bertanggung jawab atas kecukupun stok makanan bagi seluruh bangsa Mesir dan bangsa-bangsa sekitarnya selama tujuh tahun ke depan, dimana selama itu tidak ada kegiatan pertanian dan peternakan.
Memang suatu jabatan yang tidak menguntungkan bagi Yusuf as. namun justru dengan kekuasaan tersebut, nabi Yusuf as dapat lebih leluasa bergerak dan berdakwah merealisasikan tujuan dan misi Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin, “Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju kemana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik”. (Yusuf : 56).
Sayid Qutb mengomentari kekuasaan yang telah diraih oleh nabi Yusuf di Mesir dalam kaca mata dakwah bahwa sesungguhnya penghalang terbesar bagi peralihan sebuah masyarakat dari jahiliyah menuju Islam adalah keberadaan para thagut (penguasa) yang enggan berhukum kepada undang-undang Allah swt. Ditambah dengan keberadaan bangsa yang masih taat dan tunduk kepada thagut. Di sini, nabi Yusuf as melihat kondisi yang memungkinkannya untuk menjadi seorang pemimpin yang ditaati dan bukan tunduk kepada norma jahiliyah. Sehingga dengan kekuasaanya itulah, ia bebas berdakwah dan menyerbarkannya di tengah masyarakat Mesir pada masa pemerintahannya.
Demikianlah tabiat dakwah Islam. Berawal dari individu, kemudian diikuti oleh sekelompok orang. Lantas kumpulan ini bergerak melawan jahiliyah dengan segala resiko sehingga Allah SWT memutuskan dengan hukum-Nya antara orang-orang yang tunduk kepada-Nya dengan mereka yang ingkar dan durhaka. Lalu Allah SWT menganugerahkan kepada mereka kekuatan dan kekuasaan di muka bumi, sehingga orang-orang berbondong-bondong memeluk agama Allah SWT.
Disinilah urgensi kekuasaan dalam dakwah Islam. Dengan kekuasaan, pintu dan peluang dakwah dan amal sholeh akan lebih terbuka luas. Efektifitas kekuasaan dalam menegakkan dakwah telah terbukti dalam sejarah dakwah para manusia pilihan Allah; Nabi Sulaiman, nabi Yusuf, Dzul Qarnain, bahkan Rasulullah saw sendiri ketika berhasil menguasai dan menaklukkan Mekah, sehingga berbondong-bondong penduduk Mekah memeluk Islam. “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat”. (An-Nashr: 1-3).
Saatnya kita menjadikan dan memanfaatkan kekuasaan dalam bentuk dan skala apapun sebagai sarana untuk menyempurnakan dakwah Islam sehingga integralitas Islam mampu kita jabarkan dalam realitas kehidupan sehari-hari. Karena sesungguhnya Islam adalah Din sekaligus Negara (Din Wa Daulah), bukan dipersempit dengan batasan ruang rutinitas ibadah mahdloh –ritual- sehari-hari semata. Allahu A’lam.
Pada realitasnya, dengan kekuatan dan kekuasaan yang Allah swt anugerahkan, justru memudahkan Dzul Qarnain untuk melakukan ekspansi dakwah ke seluruh penjuru bumi dari belahan timur hingga ke belahan barat, sekaligus mendapatkan ketaatan umat manusia, yang selanjutkan ia manfaatkan untuk melancarkan program pemberdayaan, pembangunan dan penyejahteraan. Bahkan dengan kekuasaannya yang besar, memudahkannya untuk merealisasikan apapun nantinya yang dapat memajukan dan mensejahterakan kehidupan bersama. Bukti lain dari Dzul Qarnain yang disebutkan kisahnya dalam surah Al-Kahfi, bahwa ia bukan sekedar penguasa biasa. Ia sekaligus seorang hamba Allah yang sholeh yang tak kenal lelah melakukan safari dakwah untuk mensosialisasikan ajaran Allah.
Allah swt menggambarkan jaulah dakwahnya yang cukup padat ke berbagai penjuru dunia yang tidak bisa dicapai oleh orang lain, “Kemudian dia menempuh jalan (yang lain). Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah Timur) dia mendapati matahari itu menyinari segolongan umat yang Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari itu, demikianlah. dan sesungguhnya ilmu Kami meliputi segala apa yang ada padanya. (Al-Kahfi: 89-91).
Dalam konteks kekuasaan sebagai bagian dari sarana dakwah Islam, nabi Yusuf As sangat layak untuk dijadikan contoh nyata bahwa kekuasaan yang dimiliki seorang da’i akan memuluskan kerja dan tujuan dakwah. Al-Qur’an menyebutkan permintaan Nabi Yusuf as kepada raja Mesir, “Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (Yusuf : 55). Permintaan ini disampaikan manakala raja menawarkan jabatan kepadanya, “Dan raja berkata: “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku.” Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami.” (Yusuf : 54).
Peluang dan kesempatan yang terbuka di depannya tidak disia-siakan lagi oleh Nabi Yusuf as demi kepentingan dakwah. Ayat meminta jabatan oleh nabi Yusuf as di sini harus difahami dari sudut pandang yang positif bahwa sesungguhnya Nabi Yusuf as tidak meminta jabatan melainkan yang diyakininya dapat mengatasi krisis di masa depan. Jabatan yang diyakini akan mampu melindungi rakyatnya dari kelaparan dan kematian serta melindungi Negara dari kehancuran. Jabatan yang akan diembannya justru memiliki konsekuensi dan tanggung jawab yang berat di masa paling sulit ketika krisis terjadi. Nabi Yusuf as harus bertanggung jawab atas kecukupun stok makanan bagi seluruh bangsa Mesir dan bangsa-bangsa sekitarnya selama tujuh tahun ke depan, dimana selama itu tidak ada kegiatan pertanian dan peternakan.
Memang suatu jabatan yang tidak menguntungkan bagi Yusuf as. namun justru dengan kekuasaan tersebut, nabi Yusuf as dapat lebih leluasa bergerak dan berdakwah merealisasikan tujuan dan misi Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin, “Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju kemana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik”. (Yusuf : 56).
Sayid Qutb mengomentari kekuasaan yang telah diraih oleh nabi Yusuf di Mesir dalam kaca mata dakwah bahwa sesungguhnya penghalang terbesar bagi peralihan sebuah masyarakat dari jahiliyah menuju Islam adalah keberadaan para thagut (penguasa) yang enggan berhukum kepada undang-undang Allah swt. Ditambah dengan keberadaan bangsa yang masih taat dan tunduk kepada thagut. Di sini, nabi Yusuf as melihat kondisi yang memungkinkannya untuk menjadi seorang pemimpin yang ditaati dan bukan tunduk kepada norma jahiliyah. Sehingga dengan kekuasaanya itulah, ia bebas berdakwah dan menyerbarkannya di tengah masyarakat Mesir pada masa pemerintahannya.
Demikianlah tabiat dakwah Islam. Berawal dari individu, kemudian diikuti oleh sekelompok orang. Lantas kumpulan ini bergerak melawan jahiliyah dengan segala resiko sehingga Allah SWT memutuskan dengan hukum-Nya antara orang-orang yang tunduk kepada-Nya dengan mereka yang ingkar dan durhaka. Lalu Allah SWT menganugerahkan kepada mereka kekuatan dan kekuasaan di muka bumi, sehingga orang-orang berbondong-bondong memeluk agama Allah SWT.
Disinilah urgensi kekuasaan dalam dakwah Islam. Dengan kekuasaan, pintu dan peluang dakwah dan amal sholeh akan lebih terbuka luas. Efektifitas kekuasaan dalam menegakkan dakwah telah terbukti dalam sejarah dakwah para manusia pilihan Allah; Nabi Sulaiman, nabi Yusuf, Dzul Qarnain, bahkan Rasulullah saw sendiri ketika berhasil menguasai dan menaklukkan Mekah, sehingga berbondong-bondong penduduk Mekah memeluk Islam. “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat”. (An-Nashr: 1-3).
Saatnya kita menjadikan dan memanfaatkan kekuasaan dalam bentuk dan skala apapun sebagai sarana untuk menyempurnakan dakwah Islam sehingga integralitas Islam mampu kita jabarkan dalam realitas kehidupan sehari-hari. Karena sesungguhnya Islam adalah Din sekaligus Negara (Din Wa Daulah), bukan dipersempit dengan batasan ruang rutinitas ibadah mahdloh –ritual- sehari-hari semata. Allahu A’lam.
Berdakwah Dalam Hikmah
Hikmah menurut banyak ahli tafsir adalah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil. Di dalam kata hikmah terkandung makna kokoh. Allah berfirman: kitaabun uhkimat aayaatuhu. Dikatakan kepada sebuah bangunan yang kokoh: al binaa’ul muhkam. Bila kata hikmah digandengkan dengan dakwah maksudnya di sini adalah bahwa dakwah tersebut dilakukan dengan sungguh-sungguh, tidak pernah kandas di tengah jalan. Ia terus berjalan dalam kondisi apapun. Aktivisnya tidak pernah kenal lelah. Segala kemungkinan yang bisa diterobos demi tegaknya kebenaran ditempuhnya dengan lapang dada.
Di dalam kata hikmah juga terkandung makna bijak (wisdom). Dakwah yang bijak menurut Ustadz Sayyid Quthub adalah yang memperhatikan situasi dan kondisi dari para mad’u (objek dakwah). Sejauh mana kemampuan daya serap yang mereka miliki. Jangan sampai tugas-tugas yang diberikan di luar kemampuan si mad’u. Sebab, kesiapan jiwa masing-masing mad’u berbeda. Diupayakan setiap satuan tugas yang diberikan sejalan dengan kapasitas intelektual dan spiritual mereka (lihat fii dzilaalil Qur’an, Sayyid Quthub vol.4, hal.2202). Perhatikan bagaimana Allah menurunkan Al-Qur’an tidak sekaligus, melainkan secara bertahap dalam berbagai situasi dan kondisi: pertama kali mengenai ayat-ayat keimanan. Karenanya surat-surat periode Makkah lebih terkonsentrasi kepada masalah keimanan. Baru setelah hijrah ke Madinah, di mana iman para sahabat telah kokoh, Allah turunkan ayat-ayat tentang syariat.
Siti A’isyah r.a. pernah mengomentari masalah ini dengan sangat mengagumkan, bahwa sesungguhnya yang pertama kali Allah turunkan adalah ayat-ayat mengenai iman kepada Allah swt. Baru setelah iman para sahabat kuat, diturunkan ayat-ayat tentang halal-haram. Lalu Aisyah berkata: Seandainya yang pertama kali Allah turunkan adalah larangan: jangan kau minum khamer, niscaya mereka akan menjawab: kami tidak akan meninggalkan khamer selamanya. Dan seandainya yang pertama kali Allah turunkan adalah larangan: jangan kau berzina, niscaya mereka akan menjawab: kami tidak akan meninggalkan zina selamanya (HR. Bukhari, no. 4609).
Dalam rangka ini pula ayat-ayat mengenai larangan minum khamer tidak langsung sekaligus, melainkan melalui empat tahap: Tahap pertama Allah memberikan isyarat bahwa barang-barang yang memabukkan itu bukan rezki yang baik: “Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.” (An-Nahl: 67). Pada tahap kedua, Allah berfirman: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa`at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa`atnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir. (Al-Baqarah: 219) Di sini Allah menerangkan bahwa khamer itu sebenarnya berbahaya besar. Kalaupun ada manfaatnya, itu hanya dari segi perdagangan saja, sementara bagi kesehatan ia sangat membahayakan.
Tahap Ketiga, Allah melarang seseorang yang mabuk karena khamer untuk melakukan shalat, tetapi minum khamernya masih belum dilarang. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (An-Nisa’: 43). Di dalam ayat ini secara tidak langsung terkandung pengharaman minum khamer. Tetapi masih belum ditegaskan. Baru setelah tahapan itu semua, pada tahap keempat, Allah menegaskan bahwa khamer haram hukumnya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (Al-Maidah: 90-91)
Mau’idzah Hasanah Jalan Menuju Dakwah
Kata wa’dz lebih dekat pengertiannya kepada makna memberikan nasihat atau pelajaran. Imam Al-Asfahani menerangkan bahwa wa’dz bermakna zajrun muqatrinun bit takhawiif (peringatan digabung dengan kabar penakut). Pengertian lain menjelaskan bahwa wa’dz juga bermakna peringatan dengan kebaikan yang bisa menyentuh hati. Dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menggunakan kata wa’zd untuk makna tersebut, di antaranya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu (ya’idzukum) agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (An-Nahl: 90). Dalam surat Yunus 57: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran (mau’idzah) dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” Dalam surat Ali Imran 138: (Al-Qur’an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran (mau’idzah) bagi orang-orang yang bertakwa.
Ketika digabung dengan sifat hasanah, maka makna mau’idzah hasanah menjadi pelajaran atau nasihat yang baik. Nasihat yang menyentuh hati dan melembutkannya. Seorang aktivis dakwah yang cerdas selalu menyampaikan apa yang di hatinya. Tidak dibuat-buat, dan tidak pula membuat orang-orang semakin bingung dan ketakutan. Banyak sekali contoh-contoh yang menunjukkan bahwa berdakwah dari hati ke hati sangat besar pengaruhnya terhadap orang lain. Sebuah ungkapan terkenal menarik untuk dikutip di sini bahwa: “apa yang datang dari hati akan sampai ke hati” (maa jaa’a minal qalbi yashilu ilal qalbi).
Bila kita telusuri secara mendalam, Al-Qur’an selalu menggunakan cara ini dalam menyampaikan kebenaran. Hal yang sangat jelas adalah kisah-kisah yang disampaikan Al-Qur’an mengenai umat terdahulu selalu memberikan pelajaran yang sangat mahal bagi umat manusia. Allah swt. tidak pernah bosan mengulang-ulang kisah kaum ‘Aad, Tsamud, dan Fir’un, supaya manusia yang hidup sesudahnya tidak mengikuti perbuatan mereka. Tidak hanya itu, mengenai hari kiamat, surga, dan neraka, selalu Allah ulang-ulang dalam setiap surat-surat Al-Qur’an. Itu tidak lain agar manusia terketuk hatinya lalu bergerak mengisi usianya dengan amal shalih. Perhatikan bagaimana cara ini telah demikian jauh menukik ke dalam hati manusia dari masa ke masa, sehingga banyak dari mereka yang tersadarkan lalu bertaubat dan kembali ke jalan yang benar.
Hikmah menurut banyak ahli tafsir adalah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil. Di dalam kata hikmah terkandung makna kokoh. Allah berfirman: kitaabun uhkimat aayaatuhu. Dikatakan kepada sebuah bangunan yang kokoh: al binaa’ul muhkam. Bila kata hikmah digandengkan dengan dakwah maksudnya di sini adalah bahwa dakwah tersebut dilakukan dengan sungguh-sungguh, tidak pernah kandas di tengah jalan. Ia terus berjalan dalam kondisi apapun. Aktivisnya tidak pernah kenal lelah. Segala kemungkinan yang bisa diterobos demi tegaknya kebenaran ditempuhnya dengan lapang dada.
Di dalam kata hikmah juga terkandung makna bijak (wisdom). Dakwah yang bijak menurut Ustadz Sayyid Quthub adalah yang memperhatikan situasi dan kondisi dari para mad’u (objek dakwah). Sejauh mana kemampuan daya serap yang mereka miliki. Jangan sampai tugas-tugas yang diberikan di luar kemampuan si mad’u. Sebab, kesiapan jiwa masing-masing mad’u berbeda. Diupayakan setiap satuan tugas yang diberikan sejalan dengan kapasitas intelektual dan spiritual mereka (lihat fii dzilaalil Qur’an, Sayyid Quthub vol.4, hal.2202). Perhatikan bagaimana Allah menurunkan Al-Qur’an tidak sekaligus, melainkan secara bertahap dalam berbagai situasi dan kondisi: pertama kali mengenai ayat-ayat keimanan. Karenanya surat-surat periode Makkah lebih terkonsentrasi kepada masalah keimanan. Baru setelah hijrah ke Madinah, di mana iman para sahabat telah kokoh, Allah turunkan ayat-ayat tentang syariat.
Siti A’isyah r.a. pernah mengomentari masalah ini dengan sangat mengagumkan, bahwa sesungguhnya yang pertama kali Allah turunkan adalah ayat-ayat mengenai iman kepada Allah swt. Baru setelah iman para sahabat kuat, diturunkan ayat-ayat tentang halal-haram. Lalu Aisyah berkata: Seandainya yang pertama kali Allah turunkan adalah larangan: jangan kau minum khamer, niscaya mereka akan menjawab: kami tidak akan meninggalkan khamer selamanya. Dan seandainya yang pertama kali Allah turunkan adalah larangan: jangan kau berzina, niscaya mereka akan menjawab: kami tidak akan meninggalkan zina selamanya (HR. Bukhari, no. 4609).
Dalam rangka ini pula ayat-ayat mengenai larangan minum khamer tidak langsung sekaligus, melainkan melalui empat tahap: Tahap pertama Allah memberikan isyarat bahwa barang-barang yang memabukkan itu bukan rezki yang baik: “Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.” (An-Nahl: 67). Pada tahap kedua, Allah berfirman: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa`at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa`atnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir. (Al-Baqarah: 219) Di sini Allah menerangkan bahwa khamer itu sebenarnya berbahaya besar. Kalaupun ada manfaatnya, itu hanya dari segi perdagangan saja, sementara bagi kesehatan ia sangat membahayakan.
Tahap Ketiga, Allah melarang seseorang yang mabuk karena khamer untuk melakukan shalat, tetapi minum khamernya masih belum dilarang. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (An-Nisa’: 43). Di dalam ayat ini secara tidak langsung terkandung pengharaman minum khamer. Tetapi masih belum ditegaskan. Baru setelah tahapan itu semua, pada tahap keempat, Allah menegaskan bahwa khamer haram hukumnya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (Al-Maidah: 90-91)
Mau’idzah Hasanah Jalan Menuju Dakwah
Kata wa’dz lebih dekat pengertiannya kepada makna memberikan nasihat atau pelajaran. Imam Al-Asfahani menerangkan bahwa wa’dz bermakna zajrun muqatrinun bit takhawiif (peringatan digabung dengan kabar penakut). Pengertian lain menjelaskan bahwa wa’dz juga bermakna peringatan dengan kebaikan yang bisa menyentuh hati. Dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menggunakan kata wa’zd untuk makna tersebut, di antaranya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu (ya’idzukum) agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (An-Nahl: 90). Dalam surat Yunus 57: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran (mau’idzah) dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” Dalam surat Ali Imran 138: (Al-Qur’an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran (mau’idzah) bagi orang-orang yang bertakwa.
Ketika digabung dengan sifat hasanah, maka makna mau’idzah hasanah menjadi pelajaran atau nasihat yang baik. Nasihat yang menyentuh hati dan melembutkannya. Seorang aktivis dakwah yang cerdas selalu menyampaikan apa yang di hatinya. Tidak dibuat-buat, dan tidak pula membuat orang-orang semakin bingung dan ketakutan. Banyak sekali contoh-contoh yang menunjukkan bahwa berdakwah dari hati ke hati sangat besar pengaruhnya terhadap orang lain. Sebuah ungkapan terkenal menarik untuk dikutip di sini bahwa: “apa yang datang dari hati akan sampai ke hati” (maa jaa’a minal qalbi yashilu ilal qalbi).
Bila kita telusuri secara mendalam, Al-Qur’an selalu menggunakan cara ini dalam menyampaikan kebenaran. Hal yang sangat jelas adalah kisah-kisah yang disampaikan Al-Qur’an mengenai umat terdahulu selalu memberikan pelajaran yang sangat mahal bagi umat manusia. Allah swt. tidak pernah bosan mengulang-ulang kisah kaum ‘Aad, Tsamud, dan Fir’un, supaya manusia yang hidup sesudahnya tidak mengikuti perbuatan mereka. Tidak hanya itu, mengenai hari kiamat, surga, dan neraka, selalu Allah ulang-ulang dalam setiap surat-surat Al-Qur’an. Itu tidak lain agar manusia terketuk hatinya lalu bergerak mengisi usianya dengan amal shalih. Perhatikan bagaimana cara ini telah demikian jauh menukik ke dalam hati manusia dari masa ke masa, sehingga banyak dari mereka yang tersadarkan lalu bertaubat dan kembali ke jalan yang benar.
Penutup
Seorang pemimpin adalah pribadi yang sangat menentukan bagi suatu umat atau bangsa. Menentukan karena dengannya sebuah Negara bisa maju atau mundur. Bila seorang pemimpin tampil lebih memihak kepada kepentingan dirinya, tidak bisa tidak rakyat pasti terlantar. Sebaliknya bila seorang pemimpin lebih berpihak kepada rakyatnya, maka keadilan pasti ia tegakkan. Keadilan adalah titik keseimbangan yang menentukan tegak tidaknya alam semesta ini. Allah SWT menegakkan langit dengan keseimbangan.
Pemimpin adalah otak yang mengatur semua gerakan anggotanya. Karena itu pemimpin harus cerdas, lebih dari itu harus jujur dan adil. Tidak cukup seorang pemimpin hanya bermodal kecerdasan, sebab seringkali para pemimpin yang korup menggunakan kecerdasannya untuk menipu rakyat. Karena itu ia harus jujur dan adil. Itulah rahasia firman Allah : “Berbuat adillah, karena berbuat adil itu lebih dekat kepada taqwa” ( QS. Al Ma’idah: 8). Ayat ini menunjukkan bahwa keadilan adalah jalan menuju ketaqwaan. Seorang pemimpin yang dzalim bertaqwa. Bila jiwa taqwa hilang dari diri seorang pemimpin, ia pasti akan berani kepada Allah swt. Bila seorang pemimpin berani kepada Allah swt, maka kepada manusia ia akan lebih berani. Karena itu bekal utama seorang pemimpin harus benar-benar menegakkan taqwa dalam dirinya. Bila ia bersungguh-sungguh ikut tuntunan Allah SWT maka segala langkahnya akan berkah dan otomatis Negara yang dipimpinnya pun akan berkah.
Seorang pemimpin adalah pribadi yang sangat menentukan bagi suatu umat atau bangsa. Menentukan karena dengannya sebuah Negara bisa maju atau mundur. Bila seorang pemimpin tampil lebih memihak kepada kepentingan dirinya, tidak bisa tidak rakyat pasti terlantar. Sebaliknya bila seorang pemimpin lebih berpihak kepada rakyatnya, maka keadilan pasti ia tegakkan. Keadilan adalah titik keseimbangan yang menentukan tegak tidaknya alam semesta ini. Allah SWT menegakkan langit dengan keseimbangan.
Pemimpin adalah otak yang mengatur semua gerakan anggotanya. Karena itu pemimpin harus cerdas, lebih dari itu harus jujur dan adil. Tidak cukup seorang pemimpin hanya bermodal kecerdasan, sebab seringkali para pemimpin yang korup menggunakan kecerdasannya untuk menipu rakyat. Karena itu ia harus jujur dan adil. Itulah rahasia firman Allah : “Berbuat adillah, karena berbuat adil itu lebih dekat kepada taqwa” ( QS. Al Ma’idah: 8). Ayat ini menunjukkan bahwa keadilan adalah jalan menuju ketaqwaan. Seorang pemimpin yang dzalim bertaqwa. Bila jiwa taqwa hilang dari diri seorang pemimpin, ia pasti akan berani kepada Allah swt. Bila seorang pemimpin berani kepada Allah swt, maka kepada manusia ia akan lebih berani. Karena itu bekal utama seorang pemimpin harus benar-benar menegakkan taqwa dalam dirinya. Bila ia bersungguh-sungguh ikut tuntunan Allah SWT maka segala langkahnya akan berkah dan otomatis Negara yang dipimpinnya pun akan berkah.
Penulis adalah KETUA BIDANG INTERNAL KOHATI BADKO HMI NAD.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kirimkan Komentar, kesan dan pesan anda untuk memjadi bahan agar situs ini makin baik kedepan...