Oleh Azhari Akmal Tarigan
Setelah harian Waspada merayakan hari ulang tahunnya yang ke 60, kini giliran HMI merayakan usianya yang ke 60 (5 Februari 1947-5 Februari 2007). Tentu saja dalam usia yang tidak lagi muda tersebut, HMI telah banyak berbuat untuk bangsa dan negara. Berbagai suka dan duka telah terekam dengan cukup baik dalam lembaran sejarah HMI. Tentu saja lembaran-lembaran sejarah tersebut tidak semestinya hanya dijadikan sekadar dokumen sejarah, namun lebih dari itu harus dijadikan cermin untuk mengaca diri sekaligus untuk mengukur sejauh mana cita dan harapan pendirinya telah terpenuhi oleh kader HMI saat ini.
Di antara catatan sejarah yang layak diangkat sekaligus dievaluasi oleh kader-kader HMI saat ini adalah apa yang pernah dinyatakan Jenderal (Besar) Sudirman yang mengatakan bahwa HMI itu adalah singkatan dari “Harapan Masyarakat Indonesia.” Tentu saja pernyataan Jenderal Sudirman tidaklah bermaksud untuk membuat kuping kader HMI berasap dan tidak pula untuk memuji dan menyanjung HMI. Pernyataan Jenderal Sudirman itu adalah kesimpulan dari apa yang dilakukan HMI pada masa-itu sekaligus sebagai harapannya untuk masa mendatang.
Setidaknya ada beberapa alasan yang membuat Jenderal Sudirman begitu sangat menaruh harapan kepada HMI. Seolah masa depan bangsa ini seluruhnya diserahkan di pundak HMI.
Pertama, HMI adalah organisasi mahasiswa yang independen, non praktis politik dan tidak pula menjadi onderbouw dari sebuah partai politik Islam sekalipun.
Kedua, HMI sejak awal telah menegaskan dirinya sebagai organisasi yang berasaskan Islam. Namun yang menarik adalah Ke-Islaman HMI tidak terikat dengan mazhab pemikiran mana pun, apakah dalam bidang fikih, kalam (teologi) ataupun tasawuf. Jadi semua aliran pemikiran yang ada di dalam Islam diberi ruang di HMI untuk berkembang. Namun dalam sejarah HMI, alih-alih aliran tersebut dapat berkembang, mazhab pemikiran yang masuk ke dalam HMI akhirnya “luluh” dalam sistem pemikiran HMI yang terangkum di dalam NDP (Nilai Dasar Perjuangan). Tegasnya, HMI memiliki penafsiran tersendiri tentang Islam yaitu, Islam dalam maknanya yang universal dan Islam yang tidak terjebak pada simbol dan segala bentuk formalisme keagamaan.
Ketiga, di dalam HMI Keindonesiaan, Kemodernan dan Keislaman adalah satu tarikan nafas. Ketiganya tidak dapat dipisahkan. Cita keislaman, kebangsaan dan Kemodernan menjadi satu kesatuan yang utuh. Adalah tugas HMI untuk menjadikan Islam menjadi ruh bagi Keindonesiaan tanpa terjebak kepada Arabisme. Pada saat yang sama, Islam yang telah mengindonesia dengan warisan kultural yang kaya tersebut harus dapat mengakomodasi pluralitas budaya yang masih sesuai dengan ruh syari’at dan dalam tingkat tertentu merekayasa peradaban modern.
Keempat, kemahasiswaan dan “kemudaan” HMI dengan segala karakter yang melekat di dalamnya seperti idealisme, kritisisme, intelektualisme dan progresifisme adalah modal yang cukup berharga untuk membangun bangsa ini ke depan. Terlebih-lebih pada masa awal perkembangannya, di mana Indonesia baru saja merdeka, kiprah “orang-orang” HMI yang unggul dalam sisi intelektual dan moral menjadi sangat diharapkan untuk mengisi kemerdekaan.
Empat alasan di atas tampaknya dijadikan dasar bagi Jenderal Soedirman untuk menyebut HMI sebagai Harapan Masyarakat Indonesia. Namun sejalan dengan usia HMI yang telah mencapai angka 60, suatu usia yang tidak lagi muda, ibarat manusia sudah mencapai usia senja, kita layak menganalisis dan mengkaji apakah harapan Jenderal Soedirman itu telah terwujud dan sesuai dengan kondisi riil HMI saat ini. Benarkan HMI menjadi tumpuan harapan masyarakat Indonesia?
Kondisi KekinianMelihat kondisi kekinian HMI, penulis dengan berat hati harus menyatakan, HMI saat ini sangat jauh dari harapan masyarakat. Jangankan menjadi harapan masyarakat Indonesia, jangan-jangan HMI telah dilupakan umat. HMI seakan ada namun tidak ada. Di dalam idiom bahasa Arab sering disebut, wujuduhu ka’adamihi (adanya sama seperti tidak adanya). Datang tidak menambah bilangan dan pulang tidak mengurangi jumlah.
Ironisnya tidak saja pandangan miring ini muncul dari masyarakat, tetapi juga muncul dari kader HMI sendiri. Saya terkejut beberapa adik-adik kader HMI yang datang dan berdiskusi dengan saya menyatakan, betapa saat ini terjadi kelesuan ber-HMI di kalangan mahasiswa termasuk di kampus Islam terbesar di Sumatera Utara. Mereka seolah kehilangan ghirah dan semangat berorganisasi. Mereka tampaknya lebih tertarik berorganisasi dengan keuntungan material yang langsung dapat diterima dan dirasakan. Tidaklah mengherankan banyak mahasiswa yang terlibat dalam suksesi Pilkada mendukung calon tertentu dan melakukan apa pun demi calon yang memberinya keuntungan material.
Tentu saja pandangan ini tidak menafikan sebagian kecil kader HMI yang masih mampu bertahan dan memelihara api HMI di dalam jiwanya. Merekalah orang-orang yang serius mengembangkan organisasi dan sangat memahami betul apa yang menjadi mission HMI itu sendiri. Merekalah yang bergelut dengan buku dan diskusi kritis tentang berbagai persoalan bangsa. Merekalah kader yang tidak bisa dibayar hanya untuk menyuarakan kepentingan tertentu. Sayang, jumlah mereka kecil dan suaranya sering tidak terdengar. Akhirnya mereka juga tenggelam karena kelemahan mereka sendiri dalam manajemen isu.
Oleh sebab itu, di usia yang ke 60 ini sungguh HMI seperti orang yang tua renta. Tidak berdaya di pusaran arus pragmatisme dan hipokritisme. Tentu saja kita tidak ingin HMI di usia senjanya harus mati dengan teragis. Tidak mampu mengukir nama besarnya di era kontemporer ini. Padahal seperti yang dikatakan Khalil Gibran dalam Sayap-Sayap Patah, hidup tidak lebih dari mengukir nama besar. Tentu dengan prestasi besar.
Perlunya RevitalisasiHMI harus segera diselamatkan bukan saja karena HMI itu begitu penting posisinya dalam mempersiapkan kader bangsa, tetapi karena di dalam HMI sendiri bangsa ini pantas menaruh harapan besar, sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Jenderal Soedirman. Kendatipun banyak organisasi mahasiswa baik intra maupun ekstra universiter, hemat saya HMI tetap memiliki keunggulan yang tidak dimiliki organisasi lainnya. Mungkin pernyataan ini terkesan subjektif. Namun berangkat dari beberapa penelitian baik dalam bentuk tesis ataupun disertasi, sebagian besar telah membuktikan keunggulan HMI dalam motor pembaharuan pemikiran Islam, terutama dalam konteks membangun hubungan yang harmonis antara keislaman dan kebangsaan di negara ini.
Keunggulan lainnya adalah dalam pola dan sistem perkaderannya yang sebenarnya masih sangat kuat. Kendati hari ini berkembang training-training motivasi, emosi dan spiritual, namun training HMI tetap memiliki kelebihan-kelebihan.
Kelebihan training-training HMI terutama training formalnya (juga yang informal) hemat saya terletak pada kemampuannya membuka mata kader-kader HMI untuk melihat potensi yang dimilikinya sekaligus mengembangkannya menjadi sesuatu yang luar biasa. Tegasnya, training HMI berhasil membuat kadernya menemukan kehebatan dirinya untuk selanjutnya digunakan untuk membangun bangsa dan umat dalam rangka mencari ridha Ilahi.
Keunggulan lain dari organisasi warisan Ayahanda Lafran Pane ini adalah watak dan sifatnya yang independen (hanif). Sebagaimana yang telah disebut di muka, HMI tidak bergerak dalam politik praktis dan tidak pula partisan. HMI tidak memiliki organisasi induk sebagaiman organisasi mahasiswa lainnya. Kendatipun sepanjang sejarahnya HMI telah ditarik ke kanan dan ke kiri oleh kepentingan politik tertentu, namun tetap saja tidak mampu merubah watak indenpendennya. Independensi HMI inilah yang membuatnya tidak memiliki beban apa pun (psikologis dan historis) untuk menyerukan kebenaran kepada siapa pun. HMI hanya tunduk pada kebenaran.
Sejatinya, kekuatan-kekuatan itulah yang harus dikembalikan ke dalam HMI. Selama ini kekuatan tersebut tidak muncul, karena kader-kadernya telah kehilangan orientasi dan tidak lagi berpijak pada mission HMI dalam melakukan perjuangan. Tawaran ini tidak berarti HMI kembali ke masa lalu. Hanya saja yang dimaksud dengan “kembali” adalah kembali pada nilai dasar, semangat dasar dan cita-cita dasar kelahiran HMI. Nilai dasar inilah yang selanjutnya ditafsirkan secara kontekstual dengan melihat fenomena kontemporer yang berkembang.
PenutupHMI adalah aset bangsa yang tetap dibutuhkan bangsa ini. Oleh sebab itu kepada kader-kader HMI dan alumninya sudah masanya untuk “kembali bersungguh dengan HMI”. Sudah saatnyalah kita seluruh anggota dan alumninya kembali ke rumah besar HMI. Perbedaan organisasi politik dan paham keagamaan tidaklah menjadi alasan untuk berbeda. Kita dipersatukan oleh Tujuan dan misi HMI yaitu mewujudkan insan cita dan masyarakat cita HMI.
Dirgahayu HMI semoga usia yang tua tidak menjadikan HMI lemah dan renta. Mari kita rapatkan shaf untuk membangun bangsa yang bermartabat dan beradab. Hanya dengan cara inilah, HMI akan tetap menjadi Harapan Masyarakat Indonesia.
* Penulis adalah alumni HMI dan Dosen Fakultas Syari’ah IAIN.SU
Waspada Online.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kirimkan Komentar, kesan dan pesan anda untuk memjadi bahan agar situs ini makin baik kedepan...