Di awal artikel ini saya mengucapkan terimakasih atas tanggapan saudara Muhammad Hendra Hidayat (MHH) atas artikel saya yang berjudul 'Memimpikan Islam Indonesia Modern' yang dimuat di harian ini tanggal 29 Agustus 2007, tepat 2 tahun wafatnya Cak Nur. Saya menyambut baik artikel MHH yang berjudul, 'Biarlah Islam Indonesia Modern Sekedar Mimpi', dalam kerangka dialog ilmiah dengan menjunjung etika akademik. Tentu saja prasangka apa lagi klaim harus diminimalisir agar kita menemukan pemikiran yang jernih tanpa emosi.Sebagaimana yang telah saya kemukakan (silahkan dibaca kembali) artikel tersebut tidak dimaksudkan untuk mengkultuskan pemikiran Cak Nur.
Kita tetap harus kritis dengan Cak Nur. Benar bahwa Cak Nur adalah manusia biasa, namun bagi orang yang membaca dan mengikuti perkembangan pemikiran dan gerakan Islam Indonesia paca kemerdekaan sampai saat ini, akan menyadari betapa siginifikannya peran Cak Nur tidak saja dalam konteks keislaman, tetapi lebih dari itu dalam konteks keindonesiaan dan kemoderenan. Tentu artikel ini tidak pada tempatnya untuk menjelaskan jasa-jasa Cak Nur. Jika saudara MHH ingin mengetahui apa yang telah dikontribusikan Cak Nur buat Islam di Indonesia, silahkan baca berbagai penelitian tentang Cak Nur.Namun jika rujukan yang anda gunakan hanya karya Hartono Ahmad Jaiz yang menurut saya sangat tidak objektif, penuh perasangka, tidaklah mengherankan bagi saya mengapa anda memiliki pandangan yang tidak berimbang tentang Cak Nur. Jika anda ingin mengkritik Cak Nur, artikel teman-teman dari ISTAC IIUM Malaysia seperti Adian Husaini, Adnin Armas, Anis Malik Taha, dan beberapa nama lainnya layak anda baca.
Kritik mereka jauh lebih berbobot dan mencerahkan. Terus terang, Saya tidak mengerti sepenuhnya kritikan yang anda ajukan. Point penting artikel saya adalah 'Islam Modern dalam Pemikiran Cak Nur'. Saya menduga anda akan mengkritik konsep modernisasi, westernisasi dan sekularisasi sebagai kata kunci gagasan Islam Modernnya Cak Nur. Semula saya berharap bahwa anda akan mengatakan definisi Cak Nur tentang modernisasi salah, setelah membandingkannya dengan teori-teori lainnya. Nyatanya artikel anda tidak menyinggungnya secara luas dan mendalam tentang isu ini sama sekali. Memang anda ada bicara sekularisasi namun hanya sepintas. Itupun anda memahaminya keliru. Sekularisasi yang dipahami Cak Nur adalah proses menduniawikan apa yang sebenarnya bersifat dunia. Hal-hal yang pada dasarnya bersifat duniawi, tidak boleh diberi muatan teologis. Inilah makna la ilaha illa Allah, yang terdiri dari al-nafyu wa alisbat, negasi dan afrimasi.
Tentu saja anda boleh tidak setuju. Akan tetapi jika pemahaman anda tidak tepat terhadap pemikiran orang lain, maka dipastikan kritik anda salah sasaran. Penjelasan lebih luas mengenai hal ini silahkan anda baca karya Cak Nur, 'Islam Doktrin dan Peradaban.' Selanjutnya, kritik anda akan tepat sasaran, kalau saya menulis tentang Fikih Lintas Agama. Anda bisa mengatakan yang macam-macam tentang isi buku FLA. Saya tidak bicara FLA, tetapi Islam Modern. Namun hampir sebagian besar kritikan, anda tujukan pada FLA. Anehnya, ketika anda bicara FLA, saya malah ragu kalau buku Fiqh Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis (Jakarta: Paramadina, 2004) anda baca dengan baik. Setelah saya amati, agaknya yang anda rujuk adalah karyanya Hartono Ahmad Jaiz, Menangkal Bahaya JIL dan FLA (Jakarta: Al-Kautsar, 2006) halaman 143-148. Andaipun anda membaca FLA, hemat saya anda keliru memahami konteks kritik terhadap Imam Syafi'i.
Di dalam mukaddimah FLA, penulis tepatnya editor (saya tidak yakin mukaddimah tersebut ditulis oleh Cak Nur. Tulisan Cak Nur terdapat pada bagian pertama tentang 'Pijakan Keimanan Bagi Fiqih Lintas Agama' halaman 17-61), menyatakan bahwa 'Dr. Hasan Turabi pemikir dan arsitek utama Republik Islam Sudan mencoba menawarkan pemikiran cemerlang untuk meninjau ulang metodologi ushul fiqih agar lebih kontekstual dan relevan dengan kebutuhan masyarakat Islam Modern. Namun gagasan cemerlang Turabi seolah membentur ruang hampa. Kaum muslimin lebih suka terbuai dengan kerangkeng dan belenggu pemikiran fikih yang dibuat imam Syafi'i. Kita lupa, Imam Syafi'I memang arsitek ushul Fiqih yang paling brilian, tetapi juga karena Syafi'iilah pemikiran fiqih tidak berkembang selama kurang lebih 12 abad. (FLA halaman 5).Saudara MHH menyebut Cak Nur memprovokasi kebencian terhadap Imam Syafi'i. Saya tidak melihat provokasi itu pada kutipan di atas.
Saya tidak yakin kata provokasi murni pikiran anda. Bukankah itu kalimatnya Hartono Ahmad Jaiz. Kalau anda baca mukaddimah secara utuh, mungkin kesimpulan anda berbeda, Sebenarnya, jika anda memahami dengan baik tentang Tarikh Tasyri' (Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Fikih Islam), ungkapan di atas tidak ada yang mengejutkan. Pasca Imam Syafi'i, ushul fiqh dan fikih seolah dianggap telah selesai. Akibatnya pemikiran hukum Islam mengalami stagnasi. Saya juga tidak setuju mempersalahkan Imam Syafi'i. Imam Syafi'i tentu tidak bertanggung jawab dengan apa yang terjadi sesudah dirinya wafat. Ironisnya generasi sesudahnya hanya mencukupkan apa yang telah ada seperti apa yang ditulis Imam Syafi'i. Jadi yang dipersalahkan sesungguhnya adalah kekakuan berpikir umat Islam.
Umat Islam lebih berpegang kepada pendapat Imam Syafi'i, sehingga tanpa sadar mereka mengabaikan teks Al-Qur'an.Anda juga mengkritik judul buku saya 'Islam Mazhab HMI.' Aneh ketika anda mengatakan orang yang berani mengubah istilah agama adalah orang liberal. Anda hanya kenal empat mazhab ditambah Ja'fari. Ketika saya menulis Mazhab HMI, maka itu artinya saya menambah mazhab. Saya prihatin jika anda sampai mensakralkan kata 'mazhab'. Sesungguhnya mazhab dalam Islam jauh lebih luas dari apa yang anda pikirkan. Kemunculan mazhab dalam Islam sangat bersifat historis. Penjelasan lebih luas dapat dibaca pada, 'Ensiklopedi Hukum Islam' juz IV halaman, 1164-1168. Di sana dijelaskan bagaimana proses terbentuknya mazhab, dari proses matn, syarah, hasyiah dan tahqiq. Ketika saya menyebut Islam Mazhab HMI, maksudnya bukan Islam normative (Al-Qur'an dan Hadis) tetapi Islam yang tumbuh dan berkembang dalam kanvas peradaban manusia. I
slam Mazhab HMI maksudnya adalah Islam dalam pemahaman dan pemikiran HMI. Itupun lebih spesifik lagi, HMI di sini artinya pemahaman kadernya. Bukankah dalam realitas sejarahnya kita menemukan Islam yang berbeda-beda. Sebagai contoh, NU, Muhammadiyah, dan Al-Washliyyah memiliki pemahaman tersendiri tentang Islam. Demikian juga dengan HTI, MMI, FPI dan aliran-aliran lainnya. Tentu saja mereka juga memiliki kesamaan dalam hal ushuliyyah.Kekeliruan anda yang sangat fatal adalah ketika anda menulis bahwa ia (Cak Nur) taat terhadap Al-Qur'an atas penafsirannya sendiri, bukan berdasarkan tafsirnya ulama terkemuka seperti Tafsir Ibn Kasir dan Asbab Al-Nuzulnya Jalaluddin Suyuti. Saya harap anda mau membaca salah satu tulisannya di dalam, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta Paramadina, 1994).
Di dalam buku tersebut Cak Nur menulis 'Konsep Asbab Al-Nuzul: Relevansinya Bagi Pandangan Historisitas Segi-Segi Tertentu Ajaran Keagamaan. Di sana Cak Nur merujuk karya Al-Wahidi Al-Naisaburi yang berjudul, Asbab al-Nuzul, sebuah karya yang otoritatif dalam hal asbab al-nuzul. Kalau anda membaca tulisan Cak Nur, anda akan menemukan rujukan Cak Nur yang cukup luas. Ia mengutip Ibn Taimiyyah, Ibn Rusyd, Sayyid Quthub, Al-Bajuri, Ibn Qayyim, Al-Baidhawi, Al-Baghdadi, Zamakhsyari, Abdullah Yusuf Ali, Muhammad Asad, Marshall Hodgson dan sebagainya. Bahkan Abdul Hamid Hakim ulama dari Pandang Panjang dan ulama nusantara lainnya ia kutip. Jadi tidak terbatas hanya merujuk Ibn Kasir. Sebuah keritikan yang tidak berdasar jika anda menyebut Cak Nur menafsirkan sesuka hatinya. Bahkan anda melampaui Tuhan, ketika menyebut Cak Nur tidak ikhlas dalam menjaga agama. Saya kira tradisi kritik perlu dikembangkan. Akan tetapi jika kita tidak memahami dengan baik apa yang kita kritik, maka itu menunjukkan lemahnya wawasan kita tentang suatu masalah.
Mengkritik Cak Nur mau tidak mau menuntut kita untuk membaca karya-karyanya.Lepas dari itu semua, pesan dasar artikel saya tertanggal 29 Agustus 2007 lalu adalah ingin membuka wacana seperti judul di atas. 'Hendak Ke Mana Islam Indonesia?' adalah sebuah pertanyaan yang harus kita jawab. Jujur harus diakui, kita belum menemukan dan memiliki Visi Besar Islam Indonesia. Sekedar menyebut contoh, HTI memiliki visi tersendiri tentang Islam Indonesia. Konferensi Khilafah yang lalu jelas menunjukkan bahwa HTI memiliki visi Islam yang berbeda dengan kelompok lainnya. Demikian juga halnya dengan NU, Muhammadiyah, MMI, FPI, termasuk HMI juga memiliki visi tersendiri tentang Islam Indonesia. Tidak ketinggalan Partai Politik Islam juga memiliki visi yang berbeda pula. Mengapa Islam Indonesia tidak menjelma menjadi sebuah kekuatan besar yang disegani baik di dalam ataupun di luar negeri. Apa yang salah dengan Islam kita. Sebagai contoh, mengapa ekonomi Islam di Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, bank syari'ahnya tidak berkembang. Oleh sebab itu, kita perlu merekonstruksi Islam Indonesia? sekali lagi bukan Islamnya, namun cara kita beragama dan cara kita memahami agama .Islam Modern sebenarnya tidak lagi sekedar mimpi. Islam Modern telah mewujud dalam kehidupan umat.
Modern dalam arti rasional, professional, menghargai waktu, komitmen pada pengembangan IPTEK dan pada saat yang sama manusianya juga memiliki kecerdasan spiritual. Ini juga merupakan semangat yang dikandung Al-Qur'an. Kalaupun disebut mimpi, Islam modern belum menjadi kesadaran kolektif seluruh umat. Menolak Islam Modern sama artinya menolak kenyataan. Akan tetapi, berhenti pada Islam Modern tidaklah tepat. Perkembangan dunia yang sedemikian kompleks dan perubahan-perubahan di masyarakat yang begitu cepat terjadi membuat kita harus mampu merumuskan terjemahan Islam yang lebih dinamis dan konstruktif. Ajaran Islam seharusnya mampu membawa umatnya memiliki keunggulan kompetitif dengan bangsa lain di dunia. Penafsiran Islam yang bagaimanakah yang harus kita hadirkan? inilah pertanyaan yang harus kita pikirkan bersama?
Penutup
Untuk menjawab pertanyaan 'Hendak Kemana Islam Indonesia, sepertinya tokoh-tokoh Islam perlu duduk bersama, berdiskusi dan bermuzakarah. Mampukah kita mengawinkan mimpi HTI, MMI, FPI, NU, Muhamamadiyah, HMI dan kelompok lainnya tentang Islam masa depan menjadi sebuah mimpi bersama. Tentu saja bukan sekedar mimpi, tapi harus diwujudkan. Mampukah kita menghadirkan konsep Islam yang mampu mengangkat harkat martabat bangsa ini. Tentu saja dialog itu akan menjadi produktif dan konstruktif, jika kita mampu saling menghargai pandangan masing-masing pihak. Bukankah kebenaran hakiki dapat kita capai setelah melakukan eksprementasi kebenaran relative. Semoga
Penulis adalah Dosen Fakultas Syari'ah IAIN.SU Medan.
Waspada Online ; Kamis, 27 September 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kirimkan Komentar, kesan dan pesan anda untuk memjadi bahan agar situs ini makin baik kedepan...