12 Desember 2010

Pemerintahan “Tuha Nanggroe”

ACEH mulai berani mengembangkan konsep pemerintahannya sendiri yang unik. Hal ini terlihat dari Rancangan Qanun (Raqan) Wali Nanggroe yang sudah disepakati dalam Rapat Paripurna V Masa Persidangan III menjadi Raqan usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) (Serambi Indonesia, 4/12/2010). Raqan Wali Nanggroe yang dirumuskan DPRA periode ini dalam banyak hal memiliki perbedaan-perbedaan mendasar dari Raqan Wali Nanggroe yang disusun DPRA periode sebelumnya (2004-2009). Terutama pada aspek wilayah (wewenang), cara pemilihan dan pengukuhan, dan masa jabatan. Dengan Raqan Wali Naggroe saat ini, semangat “self-government” Aceh mulai berusaha mengambil ruang dalam tata kelembagaan pemerintahan, setelah sekian lama hanya bertahan pada isu pembagian wewenang antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Indonesia. Tampaknya Raqan Wali Nanggroe kini merupakan deklarasi politik lebih lantang terkait eksistensi “pemerintahan sendiri” Aceh yang seharusnya nyata dan berbeda. 



Sebelumnya, Undang-undang no.18 tahun 2001 memberikan Aceh kesempatan memiliki sistem pemerintahan yang berbeda, tetapi terbatas pada level Mukim dan Gampong. Kini MoU Helsinki dan Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) no.11 tahun 2006 dilihat  memberi kesempatan lebih yang memungkinkan Aceh mengembangkan konsep pemerintahannya sendiri, yang berbeda dari sebelumnya dan dari provinsi lain, pada level Aceh. Kesempatan inilah yang digunakan DPRA mendudukan Wali Nanggroe sebagai lembaga pemerintahan tertinggi di Aceh “Wali Nanggroe adalah penguasa pemerintahan Aceh (dalam adat) yang berkedudukan lebih tinggi dalam tatanan pemerintahan Aceh, lebih tinggi dari Kepala Pemerintah dan Parlemen Aceh dan menjadi figure pemersatu rakyat Aceh (Ketentuan Umum, Pasal 1)”. Kedudukannya yang lebih tinggi dipertegas oleh 16 wewenang Wali Nanggroe yang dintaranya berhak membubarkan Parlemen Aceh dalam situasi kekacauan dan berwewenang memberhentikan/menonaktifkan Gubernur atau nama lainnya dalam situasi tertentu (Pasal 5 ayat 2).

Selain kekuasaan politik Wali Nanggroe demikian besar, penunjukan Malik Mahmud sebagai Waliulahdi yang akan dilantik menjadi Wali Nanggroe setelah Dr. Hasan Muhammad, tata cara pemilihan Wali Nanggroe berikutnya melalui mekanisme penunjukan oleh Wali Nanggroe sebelumnya, dan masa jabatan seumur hidup, saya anggap sebagai isu-isu krusial dari Raqan tersebut yang mengundang perdebatan sengit di kalangan akademisi, publik, dan dalam sidang pengesahannya ke depan. Pun demikian, sangat disayangkan jika sebagian besar perdebatan terfokus pada kajian hukum, lalu mengosongkan perdebatan dari kajian pemikiran dan filsafat politik. Mengingat kajian pemikiran politik lebih mencerahkan opini publik Aceh ketimbang debat hukum yang terjebak dalam pembelaan dan penegasian sederhana.

Terutama berkaitan dengan upaya mendirikan pemerintahan Wali Nanggroe sebagai gerakan politik lebih mudah dipahami dari perspektif poskolonialisme. Dimana Aceh, meminjam konsep Castells sebagai nation quasi state, yang kebudayaannya sekian lama dikuburkan oleh proyek kolonialisme dan dipaksa mewariskan kebudayaan kolonial dalam melanjutkan kehidupannya, kini memiliki kesadaran untuk menggali kembali sebagian “fosil-fosil” kebudayaan itu guna dibangkitkan dalam tatanan kehidupan kontemporer dengan adaptasi-adaptasi. Kebudayaan politik kolonial, baik secara kelembagaan maupun perilaku, telah diwariskan kepada Aceh selama lebih setengah abad, sejak bergabung dalam Republik Indonesia. Maka segala upaya membangkitkan kebudayaan asli, seperti pemerintahan adat dan Wali Nanggroe, meskipun dengan banyak penyesuaian dalam konteks baru, pantas mendapat apresiasi.

Otoritas Tuha
Dari sisi pemikiran, saya melihat Aceh sedang mengembangkan konsep politik yang tidak mudah dijelaskan dengan rangka pikiran para filsuf Barat, dari zaman Plato hingga  Bertrand Russell. Konsep Pemerintahan Wali Nanggroe yang digali dari akar kebudayaan pemerintahan adat,  disusun di atas satu ajaran politik lokal yang saya sebut dengan “Otoritas Tuha Nanggroe.” Tuha adalah konsep kualitas personal orang-orang terpilih dalam sistem sosial Aceh karena kedalaman pengetahuan, kearifan-kebijaksanaan, dan kemulian perilaku mereka (akhlak). Terma “tuha” dalam perbincangan kajian politik Aceh tidak merujuk pada usia sebagaimana kata tuha biasanya digunakan dalam keseharian. Maka frasa “tuha gampong” dan “tuha nanggroe” selalu berkaitan dengan derajat kualitas personal orang-orang dalam kehidupan peribadi, keluarga, dan sosial.

Tuha dalam terma politik Aceh lebih dekat pada konsep alhakim pada kisah Luqman dalam Quran. Itulah sebabnya dari kajian filsafat politik, konsep “otoritas tuha” saya kira telah dibahas serius oleh filsuf muda Iran, Muhsen Qarawiyon dalam teori politiknya “wilayatul hakim” (otoritas pemilik ilmu hikmah). Adapun ilmu hikmah adalah ilmu tertinggi setelah wahyu. Sebagian filsuf Islam menjelaskan ilmu hikmah dengan model Hikmah Muta’liayah Mulla Sadra, yaitu gabungan dari ilmu-ilmu rasional (filsafat), Irfani (gnostik), Kalam (teologi), dan Mistisisme.

Orang-orang yang disebut tuha atau dipeutuha dalam kajian politik Aceh adalah orang-orang yang memiliki sebagian dari ilmu hikmah itu dengan derajat tertentu dan dipraktikan secara konsisten dalam kehidupan mereka. Karenanya yang dipeutuha selalu mereka yang arif atau memiliki derajat lebih tinggi kearifannya. Kearifan (berbasis ilmu) modal utama seseorang dipeutuha yang kepadanya urusan-urusan bersama (pemerintahan) lebih layak diserahkan.  Mengutip premis-premis dasar teori “wilayatul hakim” bahwa masyarakat manusia sarat dengan tazahum (pertentangan dan gesekan kepentingan) yang penyelesaiannya harus diserahkan kepada satu otoritas (pemeintahan), dan pemerintahan bekerja membangun qawanin sebagai kerangka kerja penyelesaiannya. Kandungan dan implementasi Qawanin harus menjamin keadilan, dan keadilan hanya bisa diketahui dengan ilmu hikmah. Maka otoritas harus diserahkan kepada alhakim atau orang yang lebih arif diantara manusia sekelilingnya.

Premis-premis inilah yang dipahami baik dalam sistem pemerintahan adat di gampong-gampong dan mukim-mukim Aceh, sehingga tuha-tuha gampong dan mukim dipilih secara ketat dari orang-orang yang memiliki derajat kearifan lebih tinggi dalam masyarakat tempatan. Premis-premis ini pula yang mendasari Sultan Aceh mau bekerja dalam pengawasan Tuha Pheut dan Qadhi malikul Adil. Dan hanya dengan menggunakan premis-premis ini juga kita lebih mudah mengerti penyerahan urusan Negara kepada Tgk Chiek Ditiro sebagai Wali Nanggroe pertama setelah Kejatuhan Kesultanan Aceh Darussalam.   Pertanyaan terdasar kini adalah apakah premis-premis teori politik “otoritas tuha” atau “wilayatul hakim” itu masih dipahami dan menjadi dasar pemikiran bagi penyusunan Raqan Wali Nangggroe? Apakah tuha-tuha nanggroe yang akan mengisi pemerintahan Wali Nanggroe adalah orang-orang yang dipilih secara ketat karena derajat kearifan mereka?

Kelihatannya jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu adalah negatif. Tentu saja jika merujuk pada draft usulan DPRA saat ini. Kriteria Wali Nanggroe tidak berhubungan dengan konsep tuha dalam kajian politik kita. Apalagi Malek Mahmud yang diusulkan menjadi “waliul `ahdi” yang akan diangkat menjadi Wali Nangggroe berikutnya setelah Hasan Tiro. Ditambah lagi Wali Nanggroe tidak menggunakan mekanisme pemilihan oleh rakyat, tetapi diwariskan turun temurun kepada orang terdekat. Pikiran sehat kita semakin terusik dengan usulan jabatan Wali Nanggroe seumur hidup.  Sebagai penguasa pemerintahan adat seharusnya Wali Nanggroe dipilih oleh tuha-tuha nanggroe Aceh. Dan tuha-tuha nanggroe dipilih oleh pemangku-pemangku adat dalam wilayah Mukim dan Gampong. Minimal dipilih oleh para Imum Mukim seluruh Aceh. Tuha-tuha nanggroe harus mewakili delapan wilayah adat mengikut etnik-etnik Aceh, Aneuk Jamee, Kluet, Gayo dan sebagainya.

Sehingga jabatan Wali Nangroe benar-benar akan dipangku oleh tokoh paling arif yang akan menjadi simbol pemersatu Aceh karena dipilih oleh orang-orang arif (tuha-tuha) dan para pemangku adat di seluruh Aceh. Jika Wali Nanggroe diangkat dari kalangan politisi seperti Malek Mahmud maka tidak akan pernah menjadi figur pemersatu Aceh. Politisi pada watak alaminya diterima oleh sebagian masyarakat dan ditolak oleh sebagian lainnya. Gagasan terburuk dari Raqan itu adalah upaya menjadikan jabatan Wali Nanggroe diwariskan turun temurun kepada kalangan terdekat dan masa jabatannya seumur hidup. Gagasan ini yang menyebabkan Martti Ahtisaari dalam kunjungan terakhirnya mengajukan komplain pada salah satu mantan juru runding GAM “kalian kembali mendudukan monarkhi padahal perdamaian ini untuk membangun demokrasi, saya tidak akan menginjak kaki lagi di Aceh jika Qanun Wali Nanggroe untuk membangun kerajaan.” Ujar Ahtisaari.

Bagimana pun, Pemerintahan “Tuha Nanggroe” harus didirikan sebagai model unik Pemerintahan Aceh, tetapi dengan tetap konsisten berpijak pada premis-premis pemikiran politik “otoritas tuha” atau “wilayatul hakim.” Premis-premis yang memastikan derajat pengetahuan dan kearifan merupakan faktor penentu layak tidaknya seseorang dipilih menjadi tuha-tuha nanggroe dan menjadi Wali Nanggroe.

* Affan Ramli  adalah Kepala Sikula Mukim Bireuen dan Abdya.
Sumber : http://www.serambinews.com/news/view/44455/pemerintahan-tuha-nanggroe 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kirimkan Komentar, kesan dan pesan anda untuk memjadi bahan agar situs ini makin baik kedepan...