06 Februari 2011

Merebut Hati Umat (Refleksi Milad HMI Ke 64)

 
Opini - ORGANISASI tua sekelas Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang mampu bertahan dan eksis dalam perjalanan waktu adalah keberkahan selain kemampuan adaptif yang diperankan secara apik dan menarik, biarpun kadang bernilai miring bagi sebagian pihak. Itulah realita perjalanan organisasi mahasiswa terbesar yang pernah ada di Republik ini.

HMI dalam perjalanan sejarahnya sudah beberapa kali mengalami masa-masa penuh ujian dan sulit tetapi kemampuan kadernya melihat perkembangan zaman menjadikan HMI mampu bertahan sampai hari ini. Pertanyaannya sudahkah eksistensi itu bermanfaat untuk ummat atau kita telah gagal merebut hati umat?



Sebagai organisasi mahasiswa ekstra universiter yang tertua di Indonesia dan mampu bertahan serta (pernah) memainkan perannya di atas panggung perjuangan umat dan bangsa, memang layak untuk dikenang. Peran dan kepeloporan yang pernah dimainkan HMI dan alumninya di masa lalu dapat dijadikan hikmah yang tersimpan bagi bekal perjalanan di masa mendatang, perjalanan itu terus meluncur karena pengkaderan yang tiada henti di HMI.

Pengkaderan adalah ruh organisasi HMI dalam melanjutkan cita-cita organisasinya, kader-kader HMI yang dilahirkan dalam setiap pengkaderannya adalah tali yang menyambung pada tujuan terbentuknya organisasi. Seperti tergambar dalam memori penjelasanan dan tafsir tujuan bahwa kelahiran HMI dari rahim pergolakan revolusi fisik bangsa pada tanggal 5 Februari 1947 didasari pada semangat mengimplementasikan nilai-nilai ke-Islaman dalam berbagai aspek ke Indonesian. Semangat itu ada pada setiap kader yang di baiat di malam akhir basic training. Semangat yakin usaha sampai (yakusa)  tidak akan bermakna apa-apa bila kader sendiri tidak memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan yang cukup dalam aktualisasi diri didalam kehidupannya, seperti kata pepatah arab “Orang yang tidak memiliki sesuatu, tak mungkin bisa memberikan apa-apa.” Tidak banyak yang bisa diharap dari kader yang “kosong”, maka penuhilah ruang-ruang pengkaderan itu dengan bekal yang “penuh” dengan ilmu dan pengetahuan dan aplikasi dengan kebutuhan zaman.

Zaman terus berubah, kecenderungan perkembangan global sekarang ini menuntut HMI sebagai organisasi untuk dapat membaca kecenderungan itu berkembang. Suasana demikian tidak boleh juga menyurutkan HMI untuk melihat masa lalu sebagai pijakan yang baik bagi masa depan. Biarpun mulai sulit melihat ada “nasi ummat” pada setiap pengkaderan, semoga “nasi kotak” tidak menjadi petanda terjadinya pergeseran “kader ummat” menjadi “kader kotak”.

Apa yang sudah kita berikan bagi gerakan perubahan di Aceh, sudahkan kita menjadi pembaharu-pembaharu atau kita hanya menjadi pengekor-pengekor kepentingan. Sudahkah kita kritis menyoal persoalan bangsa dan Aceh pada hari ini, maka bila itu belum mampu kita lakukan wajar bila ummat terkesan menjauh dari kita dan keadaan kita bagaikan “kader kotak”yang hanya berarti kalau mendapat pesanan dan berharga sekali “konsumsi”.

Perubahan ada adalah keniscayaan, bila kita mau mengamati, segala sesuatu yang nampak di atas bumi ini sejatinya mengalami perubahan. Baik berupa perubahan secara fisik maupun non fisik. Perubahan adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan. Semua pasti mengalami perubahan, dan hanya perubahan itu sendiri yang tetap.

Mengutip Masbanu bahwa perubahan adalah keniscayaan. Oleh karenanya, manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan dirinya dengan kondisi tempat dimana ia berada. Barang siapa tak dapat beradaptasi dengan lingkungannya, niscaya ia akan diterjang arus perubahan di lingkungannya. Jangan bernasib seperti “dinosaurus” yang punah karena “gagal” bertahan dialam yang berubah. Begitupun adanya seorang kader dalam pusaran zaman, kemampuannya untuk bertahan dalam derasnya arus global adalah sebuah kearifan yang tidak semua kader memilikinya. Sebagai manusia yang dikaruniai akal untuk berfikir, seharusnya dapat mengarahkan perubahan ini ke arah yang lebih baik. Untuk dirinya khususnya, dan untuk lingkungan pada umumnya.

Pembangunan Aceh sebagaimana tersirat dalam tema Rakerprov KNPI Aceh beberapa waktu lalu yaitu pemuda cerdas dan mandiri adalah modal dalam pembangunan Aceh, bila merujuk pada tema tersebut erat kaitannya dengan kemampuan kader HMI dimasa mendatang. HMI harus mampu mencetak kader-kader cerdas dan tentu saja mandiri. Cerdas mampu mengaplikasi ilmu dan pengetahuan dengan baik dan bijak, mandiri bukan menjadi “boneka” atau hanya menjadi “pengemis-pengemis” baru atau “boneka-boneka” mainan. Saatnya kader HMI menjadi kader cerdas dan mandiri, jangan menjadi kader “nasi kotak” yang terpasung dan apatis dengan perubahan, jadilah kader “nasi ummat”  sebagai kader merdeka pelopor perubahan yang penuh etika dan bertanggungjawab. Masa depan pembangunan Aceh terletak pada kader-kader “ummat” yang dekat dengan basis dan memahami persoalan keummatan, karena itulah hakikat pembangunan yang sesungguhnya, sebuah pembangunan atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhai oleh Allah swt. Berubahlah segera kader bangsa karena itulah satu-satunya cara menyelamatkan diri kita di masa yang akan datang dan itulah jalan untuk merebut kembali hati umat. Wallahualam.

* Hasnanda Putra adalah Sekretaris KNPI Kota Banda Aceh.
Sumber : http://aceh.tribunnews.com/news/view/48716/merebut-hati-umat  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kirimkan Komentar, kesan dan pesan anda untuk memjadi bahan agar situs ini makin baik kedepan...