10 Oktober 2007

"KETIKA ORGAN-ORGAN TUBUH BERPUASA" (Refleksi Ramadhan)

Oleh: Teuku J. Irawan TAL*


"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa"
(QS. Al-Baqarah: 183).
Pada prinsipnya, setiap orang (individu) yang mengaku dirinya beragama Islam adalah wajib hukumnya berpuasa, sebab puasa merupakan salah satu syarat sahnya Keislaman seseorang (Rukun Islam). Barangsiapa yang tidak berpuasa berarti "gugurlah" atau setidak-tidaknya "pincanglah" indentitas Keislaman seseorang. Oleh karena itu, dari petikan ayat Al-qur'an diatas patut kita mempertanyakan, mengapa Allah Azza wa Jalla hanya menyeru orang-orang yang beriman (yang yakin) dan bukan orang-orang Islam (muslimin/muslimat) sebagai indentitas untuk diwajibkan berpuasa?
Puasa berarti amaliah bathiniah yang dipraktekan melalui amalan-amalan lahiriah yang merupakan urusan privasi antara orang-orang yang beriman dengan Allah semata, tidak ada yang mengetahui seseorang berpuasa atau tidak, kecuali Pemerintah (Penguasa) sekalipun hanya bisa melarang praktek-praktek perbuatan yang dapat mengurangi kualitas puasanya orang-orang yang berpuasa, seperti penutupan tempat-tempat hiburan dan prostitusi, pelarangan membuka rumah-rumah makan atau menjual makanan pada siang hari dan lain-lain sebagainya. Dan yang jelas, demi alasan apapun manusia tidak dapat "memaksa" manusia yang lain untuk berpuasa, kecuali hanya menyeru untuk menghormati orang-orang yang sedang melaksanakan ibadah berpuasa.
Karena puasa merupakan amalan bathiniah, maka sangat dekat dengan persoalan-persoalan hati dalam mengendalikan iman, emosional, nafsu dan syahwat. Lalu, mengapa juga Rasulullah SAW. bersabda "Betapa banyak orang yang berpuasa, namun hanya mendapatkan lapar dan haus dari puasanya". Sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang puasanya hanya meraih haus-dahaga dan lapar saja adalah orang-orang (individu) yang tidak menundukkan pandangan dan tidak menjaga lidahnya dari perbuatan-perbuatan dosa. Sementara itu, pendapat lain mengatakan bahwa jika seseorang berdusta, menggunjing atau melakukan kemaksiatan sesaat ketika berpuasa, maka dia telah membatalkan puasanya. Padahal, puasa sehari merupakan rangkaian puasa sesaat demi sesaat.
Dalam hadist yang lain disebutkan, "Puasa merupakan perisai selama tidak dirusak dengan dusta dan pergunjingan". Para ulama berpendapat, "Pergunjingan dapat membatalkan puasa". Sebab, orang yang berdusta dan menggunjing merusak harga diri dan kehormatan sesama muslim sebagai saudara seiman dan seagama.
Jabir meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda "Ada lima hal yang membatalkan puasa, yaitu dusta, pergunjingan, fitnah, sumpah palsu, dan pandangan yang disertai dorongan syahwat". Jadi, Tujuan puasa bukanlah menahan lapar dan dahaga, melainkan menghindari maksiat dan dosa sebagaimana tujuan shalat adalah mencegah perbuatan keji dan mungkar. Nabi Sallallahu 'alaihi Wasallam bersabda, "Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, Allah tidak berhajat kepadanya meskipun dia tidak makan dan minum".
Secara khusus, puasa (shaum) berarti menjaga organ-organ tubuh/badan, yaitu Pertama, menjaga mata dari memandangan/melihat sesuatu yang tidak pantas, yang dapat mendorong nafsu syahwat (maksiat); Kedua, menjaga telinga dari mendengar sesuatu yang haram, dosa atau pembicaraan yang batil; Ketiga, menjaga mulut dan lidah dari lisan yang tiada berguna serta memakan makanan dan meminum minuman yang haram pada malam hari. Keempat, menjaga hati dari niat yang buruk dan pikiran yang menyimpang, serta menanggalkan angan-angan yang tiada bermanfaat. Kelima, menjaga tangan dari memegang segala sesuatu yang haram; Keenam, menjaga kaki dari melangkah ketempat-tempat yang tidak diperintahkan, tidak dianjurkan, serta menyimpang dari kebaikan. Dan yang terakhir, menjaga keinginan-keinginan syahwat (bersanggama) pada siang hari bagi yang sudah berrumah tangga (nikah).
Namun yang diharapkan justru sebaliknya, yaitu mempergunakan indra-indra tubuh tersebut pada jalan-jalan yang ma'ruf, yang diridhai oleh Allah SWT, seperti berbuka puasa dengan makan dan minum yang halal tetapi tidak berlebihan (syubhat), menolak syahwat yang mendorong pada pelanggaran, dan hanya berbuka puasa dengan makanan yang halal secukupnya. Serta orang yang berpuasa hendaklah memperbanyak zikir kepada Allah SWT., jangan berbantah-bantahan dan bermusuhan, tidak membalas orang yang mencaci dan menyakiti, tidak memperhatikan hidangan berbuka sebelum waktunya, ridha dengan rezeki Allah – meskipun sedikit – dan banyak bersyukur kepada-Nya.
Menuju Kepada Kesalehan Sosial?
Kalau Rasulullah Muhammad SAW. membagi bulan Ramadhan dengan sepuluh hari pertama sebagai Rahmat, sepuluh hari kedua sebagai maghfirah (Ampunan), dan sepuluh hari terakhir sebagai itqunminannar (tertutupnya pintu neraka), maka seorang kawan saya mengatakan bulan Ramadhan adalah sebagai bulan kompetisi melawan nafsu (diri sendiri). Artinya kawan tersebut mengatakan bahwa sepuluh hari pertama adalah sebagai babak penyisihan, sepuluh hari kedua adalah babak semifinal dan sepuluh hari terakhir merupakan babak final pertandingan kita melawan hawa nafsu.
Dari pemikiran kawan tersebut mengandung makna filosofis yang berarti sejauhmana kita mampu berproses melewati tantangan-tantangan di bulan Ramadhan dengan berpuasa menjadi insan yang beriman dan bertakwa atau setidak-tidaknya sebagai insan yang hanif. Walaupun sepuluh hari terakhir sebagai babak final bukan berarti setelah itu "bubar", kembali lagi kepada titik nol kualitas takwa yang kita miliki – terlepas tampil sebagai juara atau tidak, sebab kehidupan terus terjalani dan tentunya harus terus mempersiapkan diri untuk menghadapi kompetisi tahun depan sampai benar-benar tropi juara dapat kita raih dengan predikat taqwa.
Dengan kata lain, sebesar apapun prestasi takwa yang telah kita raih harus mampu dipertahankan dan tentunya perlu upaya maksimal untuk ditingkatkan, apalagi waktu kompetisi tahun ini masih tersisa dan masih besar peluang terbuka untuk memperbaiki prestasi.
Sebagai indikator prestasi "takwa" dapat diukur, sejauhmana dimensi lahiriah dan batiniah dapat bergerak seiring-sejalan untuk mencapai ridha Tuhan Yang Maha Kuasa, yaitu menggerakkan amalan shalihin, mengutamakan akhlak yang mulia, dan menebarkan rahmat kepada sesama. Seperti yang pernah ditulis oleh Muhammad Dayan, S.Ag. pada opini Serambi, Jum'at 14 September 2007 melalui puasa dapat mendidik menempa diri bersikap jujur kepada Allah, kepada diri sendiri, dan kepada sesama manusia serta lingkungan alam semesta. Disamping itu, melalui puasa juga dapat menekan praktek ketidakadilan/kezaliman kita terhadap sesama hamba Allah serta berempati kepada kaum yang lemah, tertindas, kaum fakir dan miskin.
Semoga melalui "kesempurnaan" puasa, kita akan menjadi orang-orang yang mudah "membersihkan" hati dari berbagai bentuk kotoran materialitas. Hawa nafsu dan pikiran mesti kosong dari penghukuman-penghukuman yang "bersifat asal jadi" dan serampangan. Hendaklah berhias diri dengan ketakwaan. Proses penyempurnaan melalui jenjang-jenjang ketakwaan merupakan perkara yang akan menjadikan manusia memiliki kesiapan untuk menerima cahaya-cahaya spiritual, "bisikan-bisikan" pencerahan ilahi serta ilham-ilham Rabbani. Amin yaa Rabbal'alamin!
*Penulis adalah Wasekum Badko HMI NAD dan Alumni Fakultas Hukum UNMUHA Banda Aceh.

*Tulisan ini telah dimuat di Opini Serambi Indonesia, September 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kirimkan Komentar, kesan dan pesan anda untuk memjadi bahan agar situs ini makin baik kedepan...