09 Oktober 2007

Menuju Perdamaian Bermartabat di Bumi Serambi Mekkah (Refleksi 62 Tahun TNI)

**) Yus Efendi, S.P







Menyongsong usia TNI yang memasuki Tahun ke 62, usia yang tidak muda lagi bagi sebuah institusi dalam menggerakkan perubahan dan menjadi garda terdepan untuk pengawalan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam usia ke 62 ini TNI dituntut mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang memerlukan energi besar, seperti problema separatisme, terorisme, dan "Transnational Organized Crimes" (TOC), masalah batas wilayah, klaim wilayah, pelanggaran wilayah, pencurian kekayaan alam, subversi-infiltrasi, dan spionase, survei ilegal oleh pihak asing, penyelundupan senjata dari luar negeri, konflik komunal, suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), separatisme, dan gejala federalisme. Memang TNI selain dipersiapkan untuk operasi perang juga dipersiapkan untuk operasi selain perang seperti penanggulangan bencana alam. Kita patut acung­kan jempol atas peran-peran TNI dalam turut aktif merehabilitasi dan membantu korban tsunami di Aceh, Pangandaran dan sekitarnya, korban gempa di Yogyakarta, korban banjir lumpur di Sidoarjo.
Menyelisik kembali lahirnya TNI, TNI lahir dari laskar-laskar rakyat. Tentara rakyat adalah tentara yang berasal dari rakyat bersenjata yang berjuang melawan penjajah untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan pada perang kemerdekaan tahun 1945-1949 dengan semboyan merdeka atau mati. Rakyat yang menjadi dasar terbentuknya TNI pada saat itu adalah bekas prajurit Hindia Belanda dan Jepang, antara lain Heiho, Kaigun, Kaigun-Heido, dan Peta, serta yang berasal dari rakyat, yaitu Barisan Pemuda, Hisbullah, Sabilillah, dan Pelopor.
Di samping itu, laskar-laskar dan tentara pelajar yang tersebar di daerah-daerah lain, baik yang sudah maupun yang belum memperoleh latihan militer, yang kemudian menjelma menjadi Badan Keamanan Rakyat (BKR). BKR secara ber­turut-turut berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), kemudian berubah lagi menjadi Tentara Keselamatan Rakyat (TKR), kemudian menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI), dan terakhir mulai tanggal 3 Juni 1947 menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dalam perkembangannya, pada tanggal 21 Juni 1962, TNI pernah mengubah nama menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). ABRI tediri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Laut, dan Kepolisian Republik Indonesia. Namun sejak 2000 ABRI kembali berubah menjadi TNI setelah dikeluarkannya Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam Rapim TNI Tahun 2006, Pre­siden Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan TNI agar tidak cemas menapaki jalannya perubahan reformasi dan justru meminta tentara harus menjadi bagian dari gerakan perubahan itu. Kondisi ini, menggambarkan bahwa adanya gejala kegamangan TNI dalam menyelesaikan masalah-masalah kebangsaan terkait dengan isu supremasi sipil, demokratisasi, dan human security (HAM). Reformasi di mana pun memang memerlukan kesabaran. Dalam perjalanannya terkadang menemui rintangan dan tantangan. Memang mewacanakan militer di Indonesia tidak bisa terlepas dari ikon Tentara Nasional Indonesia (TNI). Disadari atau tidak, bangsa ini masih memiliki pekerjaan yang cukup panjang termasuk membenahi organisasi TNI beserta persoalan eksternalnya. Bangsa ini butuh keamanan dan rasa aman. Tentara merupakan salah satu aset bangsa yang penting dalam mewujudkan mempertahankan wilayah NKRI. Ironisnya ketika kita butuh keamanan, tidak dibarengi dengan perlakuan yang mendukung keberdayaan TNI. Alih-alih memberdayakan, justru sejarah mencatat peran sig­nifikan TNI yang kerap ditarik-ulur oleh pemerintah sipil pada wilayah politik praktis.
Tak bisa dimpungkiri, kekuatan militer merupakan salah satu pilar penting bagi kedaulatan negara. Nyatanya di dunia ini negara yang memiliki daya topang militer yang kuat akan mencuatkan kewibawaan diplomatik dan gengsi politik internasional. Kekuatan militer menjadi salah satu barometer kekuatan suatu negara. Jika militernya kuat, yakinlah negara itu memiliki posisi bargaining yang kuat dengan negara lain. Tentu kekuatan militer saja tidak akan cukup untuk membuat suatu negara survive dan berkembang. Ia pun butuh kekuatan ekonomi dan politik yang kuat sebagai penopangnya.
Persoalannya adalah bagaimana negara kita memiliki TNI yang kuat, solid, dan profesional yang ditopang oleh kekuatan-kekuatan komponen bangsa lainnya? Tidak mudah untuk dijawab. Namun setidaknya kita dapat mengurai dari kondisi nyata TNI saat ini dan flashback sejarah masa lampau.

Aceh : Menuju Damai Seutuhnya
Kesepakatan damai antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005 telah berjalan lebih dua tahun. Secara signifikan situasi di Aceh menunjukkan kemajuan menggembirakan yang sebelumnya hampir mustahil dirasakan rakyat Aceh. Proses demiliterisasi dan politik berlangsung secara baik, sehingga pelaksanaan Pilkada yang sebelumnya menimbulkan kekhawatiran berbagai kalangan, berlangsung secara demokratis dan melahirkan pemerintahan baru yang didukung masyarakat. Namun dalam perjalanannya, perdamaian di Tanah Rencong tidak hanya berisi kisah kesuksesan, berbagai persoalan secara beriringan juga terus bermunculan. Lingkaran persoalan yang muncul saat ini bukan hanya berada dalam wilayah politik, akan tetapi juga meluas ke dalam wilayah keamanan. Di bidang politik, banyak kemajuan yang telah dicapai, terutama setelah UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA) disahkan DPR RI dan Pemerintah Indonesia. Letupan-letupan kecil secara sporadisDi bidang keamanan, dalam beberapa bulan terakhir situasi di Aceh kembali labil akibat munculnya aksi-aksi kekerasan secara sporadis seperti penculikan, perampokan bersenjata, dan lain-lain cukup membuat kekhawatiran. Kekhawatiran tersebut muncul karena semua orang tahu bahwa diktum-diktum perdamaian tidak dapat bekerja pada situasi jika para pihak yang terikat dalam kesepakatan perdamaian bergerak dalam ruang saling mencurigai.
Maraknya kembali aksi kekerasan di Aceh akan berdampak negatif pada geliat ekonomi di Aceh yang mulai bangkit. Bangkitnya ekonomi Aceh akan berimplikasi multiplier effect, yang secara langsung menumbuhkan tingkat pendapatan masyarakat. Pihak-pihak terkait di Aceh harus lebih peduli pada upaya menjaga keamanan dan memelihara perdamaian. Kalau tidak, obsesi untuk menghadirkan para investor dari berbagai negara akan sulit diwujudkan.
Pihak-pihak yang bertanggungjawab melalui pendekatan sosiologi hukum, percematan atas situasi di Aceh tersebut akan memunculkan pertanyaan pihak mana saja yang harus berperan dalam memelihara dan menumbuhkan kedamaian di Aceh dan pihak mana saja yang dirugikan/diuntungkan. Langkah-langkah TNI yang secara cepat memproses anggotanya yang terlibat pelanggaran hukum, merupakan langkah yang tepat dan perlu mendapat apresiasi. Demikian pula, langkah-langkah pihak kepolisian dalam memberantas tindak kriminalitas, siapa pun pelakunya, merupakan wujud tanggungjawab mereka atas keamanan dan ketertiban di Aceh.
Langkah-langkah tersebut diharapkan diikuti pemerintah Aceh yang notabene kewenangannya atas ketertiban dan ketenteraman masyarakat Aceh secara tersurat telah ditegaskan UU PA. maka, harapan ke depan kondisi Aceh menjadi semakin sejuk dan damai, masing-masing pihak (TNI, Polri, KPA, dan masyarakat) dapat saling menghargai dan bertindak sesuai dengan ketentuan yang ada, sehingga harmonisasi hubungan antar-masyarakat dapat terwujud. Dengan demikian, setiap tugas dan peran yang di laksanakan oleh TNI dan Polri sebagai sesama instrumen kekuatan nasional dalam upaya menjaga perdamaian tersebut harus didasarkan kepada keputusan politik yang dibuat oleh otoritas politik. Dalam konteks ini perlu pengaturan yang tegas oleh otoritas politik tentang siapa, berbuat apa, kapan, dan di mana serta bagaimana.
Akhirnya, menjadi tugas kita semua untuk menjaga masa depan perdamaian ini untuk terciptanya masyarakat Aceh yang adil, sejahtera dan damai. Kesepakatan damai mesti dikawal dengan upaya membangun kepercayaan yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat Aceh.

Tulisan ini disampaikan pada Majalah Fokus Kodam Iskandar Muda, Oktober 2007



**) Penulis adalah Sekretaris Umum Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam (Badko HMI) Nanggroe Aceh Darussalam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kirimkan Komentar, kesan dan pesan anda untuk memjadi bahan agar situs ini makin baik kedepan...