02 Oktober 2007

Memimpikan Islam Indonesia Modern

Oleh Azhari Akmal Tarigan


Bagi bangsa Indonesia wafatnya Prof. Dr. Nurcholish Madjid (Cak Nur) pada 29 Agustus 2005, bukan hanya bermakna kehilangan seorang cendikiawan dan guru bangsa, melainkan lebih dari itu kepergian Cak Nur sama artinya dengan hilangnya kearifan, kejernihan berpikir dan kesabaran dalam menghadapi persoalan bangsa. Bahkan lebih dalam dari itu, kepergian Cak Nur bermakna hilangnya sumber inspirasi bangsa dalam menghadapi berbagai macam persoalan yang sangat rumit dan kompleks. Sungguh Cak Nur telah menjadi simbol dari kearifan itu sendiri.
Dua tahun lamanya Cak Nur meninggalkan kita. Selama itu pula kita merindukan refleksi kritisnya dan juga pikiran-pikiran jernihnya dalam menyikapi masalah sosial, politik, budaya, dan agama yang dihadapi Indonesia. Penulis teringat apa yang pernah dikatakan Eky Syahruddin (aktivis HMI dan mantan Dubes RI-Kanada). Dalam bukunya Moral Politik: Sebuah Refleksi, ia mengatakan, 'Cak Nur jujur dan tulus dengan apa yang dikatakannya. Ia menundukkan dirinya pada cita-cita yang benar tentang pencapaian suatu masyarakat yang sehat dan bersih (masyarakat madani-pen). Bukan pada masyarakat yang sakit seperti vested interest atau golongan.
Sebenarnya Eky tidak sendirian. Banyak tokoh yang berkomentar sama tentang Cak Nur sebagai cendikiawan yang memiliki integritas dan komitmen moral yang tinggi. Tidak saja dari kalangan muslim, tetapi juga dari kalangan non-muslim. Cak Nur adalah seorang anak bangsa yang mencintai negerinya. Buku terakhirnya yang berjudul Indonesia Kita dengan cukup komprehensif mengulas tentang Indonesia masa lalu dan apa yang ia impikan untuk masa depan. Lebih dari itu, informasi dari Nadia Madjid (putri Cak Nur) layak dicermati. Cak Nur pernah menolak ketika diminta untuk mengabdikan ilmunya di Universitas Chicago Amerika Serikat. Cak Nur lebih betah tinggal di Tanah Air untuk berbakti pada bumi pertiwi.
Itulah sebabnya setelah ia menyelesaikan studinya, ia segera kembali ke tanah air. Melakukan pencerahan-pencerahan dan terus berjuang tak kenal lelah membawa Islam Indonesia menjadi agama yang modern sekaligus sebagai lokomotif pembangunan negara yang berkeadaban. Tulisan ini tidak bermaksud untuk memuji apa lagi mensakralkan Cak Nur. Tidak ada maksud untuk memitoskan apa lagi mengultuskan pikiran dan pendapatnya. Alasannya bukan saja bertentang dengan semangat tauhid, tetapi lebih dari itu sakralisasi adalah sesuatu yang sangat ditentang Cak Nur. Artikel ini tidak lebih untuk mengenang jasa beliau terhadap bangsa Indonesia.

Sekilas tentang Cak Nur
Cak Nur dilahirkan di Jombang, sebuah kota di Kabupaten Jawa Timur pada tanggal 17 Maret 1939 M, bertepatan dengan 26 Muharram 1358 H. Ayahnya bernama Abdul Madjid seorang kiyai alim hasil godokan Pesantren Tebuireng yang merupakan Pesantren Nahdatul Ulama. Ibunya juga berasal dari keluarga NU. Pendidikan Dasar Cak Nur ditempuh di dua jenis sekolah, Madrasah dan Sekolah Rakyat. Di Madrasah Al-Wathaniyyah yang dikelola oleh orang tuanya sendiri, ia menempuh pendidikan agama ala pesantren. Jadi sejak masa yang paling dini sekali, Cak Nur kecil sudah mengenal kitab kuning yang terus diakrabinya sampai ia memperoleh gelar Doktor. Sedangkan pendidikan umum, diperoleh di Sekolah Rakyat di Mojoanyar, Jombang. Setelah menyelesaikan pendidikannya di SR, Cak Nur melanjutkan pendidikannya di Sekolah Menengah Pertama (SMP) di sekolah yang sama. Pendidikan agamanya diperoleh di Pesantren Darul 'Ulum Rejoso Jombang.
Namun di Pesantren ini ia tidak lama, hanya dua tahun. Selanjutnya ia pindah pada tahun 1955 dan melanjutkan ke Pesantren Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur sebuah pesantren yang di kenal pada masa itu sangat modern. Nurcholish masuk ke KMI (Kulliat al-Mu'allimin al-Islamiyyah) dan tamat pada tahun 1960. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Gontor, Cak Nur menjatuhkan pilihannya pada IAIN Jakarta dengan memilih fakultas Adab, jurusan Sastra Arab dan Sejarah Pemikiran Islam. Selama menjadi mahasiswa Cak Nur aktif di berbagai organisasi. Yang paling terasa berpengaruh dalam pembentukan karir intelektualnya adalah keterlibatannya di organisasi mahasiswa terbesar saat itu, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ia mengenal HMI untuk pertama kalinya pada tahun 1963 setelah menempuh perkuliahan selama empat semester. Dimulai dari tingkat komisariat, selanjutnya menjadi ketua cabang Jakarta dan pada Kongres Solo tahun 1966, Cak Nur terpilih menjadi ketua umum pengurus besar (PB HMI) bahkan sampai dua periode (1966-1969) dan (1969-1971).
Cak Nur mendapat beasiswa dari Ford Foundation untuk melanjutkan studinya di Chicago, AS. Dan ia berhasil menyelesaikan program Doktornya dengan predikat summa cum laude pada tahun 1984. Penting dicatat selama di Chicago, tepatnya pada tahun 1978-1984, Nurcholish banyak bersintuhan dengan khazanah-khazanah pemikiran keislaman klasik dan abad pertengahan di bawah bimbingan pemikrian besar Islam asal Pakistan Prof. Fazlur Rahman. Setelah kembali ke Indonesia, Cak Nur menjelma menjadi lokomotif gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Klub kajian Paramadina dan Universitas Paramadina Mulya yang didirikannya menjadi simbol pemikiran Islam modern. Setelah itu, kiprahnya semakin melebar dan memasuki wilayah kenegaraan dan kebangsaan. Pikiran-pikirannya serta gagasan-gagasannya turut menyemangati gerakan reformasi 1997 di Indonesia. Tidaklah berlebih-lebihan jika disebut, Cak Nur merupakan salah seorang tokoh kunci di balik gerakan reformasi Indonesia.
Di penghujung tahun 1960-an modernisasi merupakan tema hangat yang dibicarakan dalam konteks perubahan sosial politik di Indonesia. Modernisasi pada waktu itu dianggap tema yang paling tepat dan merupakan alternatif dari tema revolusi yang dianut Orde Lama. Salah satu tanggapan Cak Nur terlihat dalam sebuah makalahnya yang berjudul 'Modernisasi ialah rasionalisasi bukan westerniasasi'. Ia berpendapat, modernisasi ialah rasionalisasi yang ditopang oleh nilai-nilai moral, dengan berpijak kepada iman kepada Tuhan. Ia menolak pengertian yang mengatakan modernisasi sama dengan westernisasi, apa lagi westernisme. Westernisme yang dimaksudkannya adalah total way of life, di mana faktor yang paling menonjol adalah sekularisme dengan segala percabangannya.
Gagasan Sekularisasi ini bagi Cak Nur berpangkal dari semangat pembebasan yang dikandung oleh ajaran tawhid Islam. Menurutnya orang harus mantap dan tidak mentabukan sesuatu, karena hanya Tuhanlah yang tabu (la ilaha illa Allah). Selanjutnya dari pengertian inilah, pemikiran sekularisasi diterapkan dalam wilayah politik. Berhadapan dengan realitas politik umat Islam yang tidak lagi memiliki kekuatan dan rehabilitasi Masyumi yang dikaguminya juga sangat tidak mungkin, membawa Cak Nur melakukan sekularisasi dalam kehidupan politik dengan ungkapan yang cukup menyentakkan, Islam Yes! Partai Islam No.

Penutup
Hemat saya, pemikiran Cak Nur sampai saat ini masih memiliki relevansi yang sangat kuat, terlebih-lebih ketika menguatnya formalisme agama, separatisme, KKN, pudarnya rasa saling percaya di masyarakat dan seterusnya. Pikiran Cak Nur juga menemukan momentumnya ketika agama secara perlahan namun pasti mulai kehilangan substansinya. Sebagai contoh, di kalangan elite Islam muncul hasrat yang sangat besar untuk membawa simbol-simbol agama dalam berbagai aktivitas politiknya. Agama digadaikan untuk kepentingan sesaat. Sebagai manusia biasa, Cak Nur tentulah bukan orang yang ma'shum (terpelihara dari dosa). Cak Nur mungkin pernah berbuat salah dan khilaf. Andaipun ia pernah berbuat salah, tidak berarti menghilangkan jasa-jasanya terhadap bangsa ini.

Penulis adalah pengarang Buku Islam Mazhab HMI yang diberi pengantar oleh Nurcholish Madjid tahun 2003

Waspada Online ; Rabu, 29 Agustus 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kirimkan Komentar, kesan dan pesan anda untuk memjadi bahan agar situs ini makin baik kedepan...