07 Oktober 2007

MAHASISWA DALAM RANAH PERGERAKAN


(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Serambi Indonesia, 31 Juli 2007)

Tuntutan mahasiswa juga tuntutan rakyat, karenanya tuntutan tersebut tidak bersifat praktis dan jauh pula dari maksud mengejar kepentingan pribadi, karena itu pula tidak tergolong politik praktis” (Delier Noer).


Agen pembaruan dan kontrol sosial, adalah kalimat yang melekat pada mahasiswa, identik dengan kelompok muda berpendidikan, benarkah? Katanya; mahasiswa juga kelompok yang peka terhadap kondisi masyarakat, apakah itu benar? Jawabannya benar, itu kalau kita melihat mahasiswa tempoe doeloe; tidak benar untuk mahasiswa sekarang yang eklusif, apatis, dan hedonisme. Suatu kekwatiran yang dilontarkan M Jais Rambong (Serambi, kolom opini, Rabu/4/7/2007).
Mahasiswa mempunyai sejarah perjuangan panjang. Komponen mahasiswa adalah orang-orang berpendidikan tinggi dan mempunyai tanggungjawab besar terhadap masyarakat. Mahasiswa dianggap bergensi, penuh nuansa intelektual, bebas dan tidak absen dalam setiap gejolak perubahan sosial yang terjadi di negaranya. Tri dharma perguruan tinggi, menjadi pilar gerakan mahasiswa. Pendidikan (education), dituntut mahasiswa untuk mampu mentransformasikan ilmunya kepada masyarakat, melakukan penelitian terhadap objek yang ingin dikaji serta pengabdian terhadap masyarakat.
Ironinya, nilai kemahasiswaan semacam itu mengalami degadasi sehingga cetat-biru peran strategis mahasiswa hanya tercatat dalam buku panduan semata tanpa aksi konkrit sebagaimana harapan masyarakat. Mahasiswa cenderung diposisikan hanyalah kelompok politik yang mengesankan demonstrasi dan frontalisasi. Diskusi-diskusi politik secara masal pun cenderung pada penguatan gerakan mahasiswa yang berpotensi radikalisme. Status oposisi menjadi label mahasiswa oleh pemerintah.
Mestinya belajar pada keyataan sejarah, mulai zaman pergerakan dimasa transisi kepemimpinan, pergerakan kemerdekaan sehingga terpilihnya presiden Soekarno, peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto hingga gerakan reformasi yang dipelopori oleh organisasi mahasiswa. Sebutlah Budi Utomo pada 1908, 1966, 1974 yang popular dengan peristiwa Malari, 1978 sampai mencapai suatu klimak pada tahun 1998 melalui peristiwa reformasi. Tahun 1966, konflik politik di tingkat elite yang termanifestasi antara militer-PKI, saat itu mahasiswa adalah sebagai ujung tombak dari kekuatan politik militer.
Tumbangnya orde baru (21 Mei 1998) adalah peran nyata mahasiswa, sehingga mengurangi militer dalam perpolitikan nasional. Era transisi demokrasi tersebut, kritikan dan hujatan masyarakat terhadap TNI/POLRI menjadi makanan keseharian, hal ini diakibatkan oleh dosa orde baru sehingga terjadinya krisis yang dialami bangsa ini baik sosial, ekonomi maupun politik (Tim Penyususun Puslit IAIN Syarif Hidayatullah “Pendidikan Kewarganegaraan; Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani). Mahasiswa Kembali ke Rakyat Tri dharma perguruan tinggi (pendidikan dan pengajaran, penelitan, dan pengabdian masyarakat) semestinya diaplikasikan mahasiswa dalam situasi dan kondisi bagaimanapun.
Karena itu adalah cita sekaligus pencitraan mahasiswa. Inilah yang sekarang cenderung pudar dari pergerakan mahasiswa di Aceh, khususnya. Kelompok akademis yang disematkan rakyat segala harapan, aspirasi dan pengaduan nasib rakyat ini. Memang tidak bisa dinafikan peran peran kejuangan atas rakyat itu ada dilakukan. Buktinya sejak 1998 mahasiswa Aceh ikut juga berjuang menumbangkan tirani orde baru. Namun tidak semua mahasiswa secara representatif melakukan perjuangannya semata untuk membela rakyat. Karena mahasiswa juga dihadapkan pada persoalannya sendiri yang harus studi sehingga ruang geraknya menjadi terbebani oleh persialan survival tersebut.
Keadaan kemudian menggiring mahasiswa pada situasi caost dengan tidak ambil pusing dengan berbagai problematika yang dihadapi oleh masyarakat. Bila kita cermati lingkaran yang melilit mahasiswa sehingga mempengaruhi terhadap tanggungjawab dan peran sebagai agen sosial dan agen pembaruan, dilihat dari aspek ekonomi dapat dikatagorikan pada tiga faktor. Pertama, mahasiswa ansic yang hanya “digaji” orangtua untuk kuliah walaupun mereka tidak begitu serius dalam kuliahnya. Kedua, mahasiwa yang memiliki tugas ganda, selain ia harus mendapatkan nilai yang baik juga harus bisa bertahan hidup sehingga dipaksa secara finansial sehingga harus mencari nafkah untuk menyelesaikan studi. Ketiga, mahasiswa yang aktif pada organisasi internal maupun eksternal kampus dengan harapan bisa berbuat untuk masyarakat.
Faktor finansial menjadi hal utama yang menyebabkan mahasiswa apatis atau cuek terhadap keadaan di sekilingnya. Untuk bisa survival, mahasiswa harus rela menjadi seorang kuli bangunan untuk membayar SPP, atau bekerja di NGO termasuk BRR sekarang ini, melamar jadi PNS karena dianggap sebagai jaminan masa depan. Inilah kemudian menjadikan mahasiswa tidak peduli terhadap realita sosial. “Bagaimana bicara idealis, naik robur saja (Rp 500) tidak punya uang, belum lagi lainnya seperti uang kuliah yang terus dinaikan setiap periode secara sepihak oleh rektorat, meskipun tidak tahu kemana uang miliaran itu digunakan,” ketus seorang mahasiswa.
Mahasiswa adalah generasi bangsa yang siap menjawab semua tantangan di masa depan. Namun itu hanya jargon dan saat ini mesti dipertanyakan kembali. Reformasi yang digalangkan oleh mahasiswa, apa yang telah dapat dicapai. Sembilan tahun reformasi di negeri ini, paradigma praktik bisnis yang curang, pengangkangan atas hukum dan berbagai stagnasi sosial terus saja terjadi. Mulai soal kesehatan yang buruk, pendidikan tidak bermutu, eksploitasi keuangan yang mengatasnamakan biokrasi, penjarahan terhadap lingkungan hidup, sampai tingkat pengangguran dan kemiskinan semakin tinggi.
Refiormasi kemudian bukan mengubah keadaan negeri menjadi lebih baik, malahan makin menjerat rakyat menjadi hilang harapan. Para akademisi tidak lagi mencerahkan masyarakat dalam kajian dan riset bersama mahasiswanya, tapi berkutat pada bisnis sempalan atasnama akademis atau nyambi di sejumlah NGO dengan teori-teori elegan, namun tak berpihak rakyat. Universitas yang lebih suka menerima riset pesanan birokrasi atau dunia bisnis ketimbang mengukur kedalaman demokrasi dan keadilan untuk rakyat dimana mereka berdiri. Masih eksiskah mahasiswa? Jawabnya ada pada nurani mahasiswa. Sudah saatnya mahasiswa (Aceh) kembali ke rakyat tanpa kepentingan, melainkan kebutuhan untuk sebuah pembaruan masyarakat.

Penulis adalah:
Ketua Bidang PTKP HMI Cabang Banda Aceh,
Kandidat Ketua Umum BADKO HMI Aceh Periode 2008-2010,
Alumnus Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kirimkan Komentar, kesan dan pesan anda untuk memjadi bahan agar situs ini makin baik kedepan...