06 Januari 2008

Ekonomi Kita




Ekonomi kita benar-benar dilematis. Satu sisi memiliki sejumlah potensi besar namun rendah sumberdaya pengelolaannya. Gilirannya masyarakat sulit mendapatkan akses modal ekonomi. NGO lokal yang notaben-nya berbasis Islam pun dilematis karena hanya bisa mengkritik sambil menebar opini buruk atas kelemahan ekonomi konvensional, tapi gamang memimplementasikan konsep ekonomi yang Islami. Inilah penyebab lambannya perbaikan ekonomi masyarakat kita dalam koridor islami.

Gambaran itu tersimpul dari suatu diskusi bedah artikel ”Microcrediting in Islam: Islamic Micro-Financial Institutions” yang ditulis Edib Smolo, menjelang buka puasa pada Jumat (20/9) di sekretariat Yayasan Insan Cita Madani (YICM) Banda Aceh. Seorang Postgraduate Student Departement of Economic International Islamic University Malaysia, mengunggkapkan sejumlah persoalan ekonomi kita. Katanya, sistim keuangan yang ada saat ini masih membuat kaum miskin laki-laki dan perempuan tidak mampu memenuhi persyaratan yang ditetapkan untuk memperoleh pinjaman dan memenuhi kebutuhan dana dan modal yang mendesak. Sementara kaum kaya dengan mudah bisa memenuhi dan memperoleh dana. Untuk itulah LKM Islami harus hadir untuk mengantarkan ”kebutuhan kronis” kelompok miskin laki-laki dan perempuan terhadap modal.

Diskusi yang dihadiri sejumlah LSM lokal yang selama ini aktif melakukan pendampingan pemberdayaan ekonomi masyarakat rentan di Aceh, terungkap bahwa lembaga penguatan ekonomi masyarakat selama ini belum dapat sepenuhnya mengadopsi sistim lembaga keuangan micro (LKM) Islami dalam programnya. Tentu ini hal ironis berkiat konteks Aceh yang menerapkan syariat Islam, ternyata pelaksanaan ekonomi kita belum bebas riba. Ekonomi kita belum memiliki model untuk diadopsi LSM di Aceh, untuk membebaskan masyarakat dari jeratan riba. Meskipun sejumlah LKM yang beroperasi di Aceh telah mengadopsi sistim ekonomi Islami, namun belum ada liputan yang baik dan wilayah operasi yang masih terbatas di samping sejumlah kendala yang masih sulit diatasi.

Edib Smolo menulis dalam artikelnya, bahwa kebanyakan LKM mempunyai karakter non-islami karena berbasis bunga. LKM yang juga disebut sebagai ”program pembangunan sosial” dianggap sekuler dan bahkan kadang-kadang anti Islam. Edib mengutip Kabir dan Alamgir (2002) yang menemukan fakta bahwa di Bangladesh yang penduduknya mayoritas Islam dan juga basis Islam ternyata LKM konvensional berkembang dengan baik, ini menunjukkan mereka terjebak dalam riba. Untuk itu, katanya, LKM Islami sangat dibutuhkan meskipun masih sulit mencari model yang sudah sukses mempraktikkannya. Ironisnya Universitas di Aceh belum ada program studi ekonomi Islam disaat yang sama sejumlah universitas di luar Aceh sudah lebih duluan membuka kajian ekonomi Islam mulai jenjang S1 sampai S3, seperti dilaksanakan di UI, Unibraw, UGM, IPB, Unpad dan lain-lain.

Kita masih sering menyatakan bahwa ekonomi Islam sama saja dengan ekonomi konvensional kalaupun ada perbedaan sangat tipis. Sehingga sistim ekonomi Islam masih menjadi sesuatu yang samar di negeri syariat Islam baik dalam kajian akademik maupun praktik di lapangan. Secara empiris, menurut Edib, yang mengutip penelitian Ahmed (2001) melalui perbandingan tiga lembaga micro finance, menunjukkan bahwa LKM Islami relatif lebih baik bila dibandingkan dengan LKM konvensional yang telah mapan dalam hal probabilitas dan efesiensi. Sehingga diperlukan instrumen keuangan baru, karena instrumen yang ada kurang efisien. Sesungguhnya LKM Islami memiliki potensi besar. Dan diyakini zakat, sedekah dan wakaf adalah sumber dana alternatif microfinance yang dapat diintegrasikan pada program pemberdayaan ekonomi di Aceh dalam rangka mempercepat pemberantasan kemiskinan. Hukum Islam sendiri memberi ruang untuk inovasi keuangan dan sistim ekonomi Islam menawarkan ruang untuk industri micro-finance. Hal itu dengan penyediaan sejumlah kecil uang, umumnya diperuntukkan bagi keluarga sangat miskin dengan cara-cara keuangan Islami untuk membantu (orang miskin) bisa memulai, mengembangkan dan memelihara bisnis mereka.

Ada beberapa perbedaan antara LKM Konvensional dengan LKM Islami. Pertama, LKM konvensional dalam sistim keuangannya menggunakan bunga. Sedangkan LKM Islami menggunakan beberapa cara seperti ijarah wal istisna, murabahah, musyarakah, mudharabah, bai-salam, bai-muajjal, qardhul hasan dan lain-lain. Kedua, sumber pendaan LKMK pada umumnya memperoleh dana dari donor asing, tabungan klien dan dana luar. Sedangkan LKMI sebagian dananya bisa bersumber dari lembaga keagamaan berupa waqaf, zakat dan lain-lain. Ketiga, dalam mendanai kelompok miskin laki-laki dan perempuan LKMK kadang masih terlupakan. Sedangkan LKMI bisa mengintegrasikan dana zakat dan shadaqah dalam bentuk qardhul hasan (cukup mengembalikan pokoknya saja tanpa bagi hasil).

Keempat, jumlah dana untuk penerima manfa’at dalam LKMK ada potongan sebelum pinjaman diberikan, bunganya dihitung dari jumlah total pinjaman, jumlah bunga untuk LKM miningkat, dan ada resiko untuk keperluan non produktif. Sedangkan LKMI tidak ada potongan, total pinjaman untuk pembelian barang dan penggunaan untuk keperluan non produktif berkurang. Kelima, kelompok sasaran dalam LKMK adalah perempuan untuk pemberdayaan karena perempuan bisa menggunakan dana lebih produktif. Sedangkan LKMI sasarannya penerima manfaat juga mayoritas perempuan karena lebih menyenangkan dan efisien, mudah ditemui dan bisa hadir dalam setiap pertemuan mingguan. Keenam, program pembangunan sosial LKMK menganut sistim sekuler kapitalis yang menafikan kehidupan religius. Sedangkan LKMI sesuai syariat Islam yang mendorong kesejahteraan duniawi seimbang dengan kehidupan kesejahteraan ruhani secara religius-ukhrawi. Ketujuh, LKMK uang sebagai motivasi utama untuk memotivasi pegawai. Sedangkan LKMI uang dan agama secara seimbang sehingga bekerja adalah bagian dari menjalankan ajaran agama. Kedelapan, LKMK tanggungjawab keuangan hanya individu. Sedangkan LKMI peminjam dan pasangannya. Kesembilan, bila terjadi kredit macet LKMK cendrung menekan kelompok dengan ancaman sampai penjualan aset.

Sedangkan LKMI anggota kelompok dan LKMI membantu membayar dengan semangat persaudaraan. Meskipun demikian, ada sejumlah tantangan yang masih sulit diatasi oleh LKM Islami yang membuat produk Islami (mudharabah dan musyarakah) kurang begitu populer. Pertama, kurangnya kejujuran dan saling percaya. Kedua, kurang tersedianya dana jangka menengah dan jangka panjang yang diperlukan bagi mudarabah dan musyarakah. Ketiga, keuangan jangka panjang berisiko yang lebih tinggi dan kurangnya personil yang berkualitas untuk menjalankan kegiatan. Karenanya masih diperlukan kajian dan penelitian agar ditemukan solusi bagaimana mengeluarkan masyarakat dari perangkap kemiskinan material dan spiritualnya. Di sinilah kita berharap peran seluruh stakeholder khususnya akademisi di kampus dan intelektual muslim yang memiliki komitmen terhadap persoalan umat. Kita merindukan Aceh dalam koridor syariah, ke depan ekonomi masyarakatnya tidak lagi menganut sistim riba yang kapitalistik.*)



Penulis adalah Mantan Ketua Umum HMI Cabang Banda Aceh.

1 komentar:

  1. Salam,

    Perkenalkan situs baru kami LKMI-HMI Cabang Surakarta di http://www.lkmisolo.com

    Terimaksih

    BalasHapus

Kirimkan Komentar, kesan dan pesan anda untuk memjadi bahan agar situs ini makin baik kedepan...