10 Januari 2008

Zakat dan Pemerintahan Bersih

Muhammad Dayyan, S.Ag


Tulisan ini ingin mendorong optimalisasi zakat sebagai usaha mewujudkan tata pemerintahan yang bersih. Prinsip bersih antara lain, akuntabel (dapat diminta tanggung jawab), transparan (bisa di akses/lihat oleh semua) dan partisipatif (melibatkan semua pihak yang berkepentingan). Pemerintahan yang bersih dijalankan dengan tatakelola yang berorientasi pada kesejahteraan publik/rakyat dengan cara-cara yang diridhai Allah swt.
Kesejahteraan tidak hanya mencakup masalah kesejahteraan ekonomi, melainkan juga mencakup persaudaraan manusia dan keadilan sosial-ekonomi, kesucian kehidupan, kehormatan individu, kehormatan harta, kedamaian jiwa dan kebahagiaan, serta keharmonisan kehidupan keluarga dan masyarakat. Realisasi tujuan kesejahteraan dilihat dari perwujudan tingkat solidaritas sosial yang dicerminkan pada tingkat tanggungjawab bersama dalam masyarakat, khususnya pemerintah. Jaminan atas hak anak-anak, usia lanjut, orang sakit dan cacat, fakir miskin, keluarga yang bermasalah, dan penangulangan kenakalan remaja, kriminalitas, dan kekacauan sosial.
Pemerintahan harus dapat menjamin kesejahteraan masyarakat dengan menyediakan lingkungan yang sesuai untuk aktualisasi pembangunan dan keadilan melalui implementasi syariat Islam. Hal itu harus terwujud dalam pembangunan dan pemerataan distribusi kekayaan yang dilakukan untuk kepentingan bersama dalam jangka panjang. Suatu masyarakat dapat saja mencapai puncak kemakmuran dari segi materi, namun tidak akan mampu bertahan lama jika lapisan moral individu dan sosial sangat lemah, terjadi disintegrasi keluarga, ketegangan sosial di tengah masyarakat meningkat, serta pemerintah tidak dapat berperan sesuai dengan porsi secara semestinya. Bila kita ingat janji Irwandi-Nazar saat kampanye dulu yang berkomitmen menjalankan pemerintahan bersih yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta berorientasi pada kepentingan kesejahteraan rakyat.
Setengah tahun perjalanan pemerintahan Aceh duet Irwandi-Nazar sejak dilantik Februari 2007 sudah membuat sejumlah gebrakan, misal, pelayanan satu atap, membuka kran investasi dalam dan luar negeri, moratorium logging (penghentian penbangan hutan sementara), dan program kredit pemakmu nanggroe. Gebrakan itu belum dapat dikatakan birokrasi pemeritahannya berorientasi pada kesejahteraan rakyat, karena sampai saat ini masyarakat masih mengeluh dengan sistim birokrasi pemerintahan yang masih kental dengan mental budak kapitalistik. Mental ingin dilayani, ingin diberi pelicin, kurang disiplin, tidak produktif, kurang inovatif, angkuh, tidak transparan dan ngilimet bila berurusan.
Di sinilah pentingnya kesadaran bahwa pemerintah harus memiliki kebijakan yang menjamin berjalannya sistim pemerintahan yang bersih, halal, dan barakah. Yaitu pemeritahan yang dijalankan dengan prinsip-prinsip profetik/kenabian. Zakat menjadi salah satu intrumen sekaligus alat ukur bahwa pemerintahan itu dijalankan dengan prisip kenabian. Zakat secara bahasa berarti mensucikan, bertambah, berkembang, dan produktif. Sejatinya harus menjadi orientasi birokrasi pemerintahan Aceh yang berkomitmen menerapkan syariat Islam. Zakat menempati posisi keempat dalam rukun Islam sebagai instrumen mengukur komitmen iman dalam bentuk amal sosial yang diperintahkan beriringan dengan kewajiban shalat. Zakat disyariatkan sejak di Mekkah untuk mendobrak sistim sosial yang kapitalistik, moral serakah/kanibal dan prilaku jahiliyah lainnya (baca; Surat Adh-Dhuha, al-Muddatsir, al-Ma’aarij/al-Haqqah, al-Ma’un). Selanjutnya ajaran zakat disempurnakan di Madinah secara lebih rinci, sistemik bahkan ceramah pertama Rasulullah di Madinah setelah hijrah berisi kewajiban zakat dan infak (Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah, hal. 118).
Makna zakat
Zakat bukan sekedar kemurahan hati orang-orang kaya, tapi kewajiban yang bersifat mamaksa. Ingat pada masa Islam di bawah kepemimpinan Abubakar Siddiq memerangi orang yang enggan membayar zakat. Alquran sangat keras peringatannya bagi yang enggan menunaikan zakat (QS. At-Taubah ayat 34), dan Rasulullah dalam hadisnya mengingatkan, ”...yang tidak melaksanakan kewajiban zakat tidak mendapatkan ganjaran apapun kecuali dipanggang dengan api neraka...”(HR.Bukhari Muslim).
Zakat berfungsi sirkulator (mesin perputaran) yang dapat membuat sehatnya kehidupan sosial dan ekonomi. Sebagai sirkulator akan menjadikan harta-harta berputar dengan bagus dan menghilangkan kesenjangan sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Karena terpenuhinya kebutuhan bagi yang mengeluarkan dan bagi yang menerimanya. Sesungguhnya zakat memiliki implikasi lebih dalam bagi terbangunnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Zakat dengan makna kesucian meniscayakan adanya sifat amanah dalam menjalankan tugas atau kewajiban seluruh aparatur pemerintah dalam melayani masyarakat. Dengan orientasi zakat seluruh aparatur pemerintahan akan berusaha mendapatkan rizki yang halal dan barakah sebagai syarat sahnya zakat.
Selanjutnya semangat itu ditransforamsikan lebih luas dengan membebaskan rakyat dari kelompok peneria zakat, selanjutnya menjadi pembayar zakat mal. Mengutip pandangan Iwan Triyuwono, guru besar akutansi syariah Universitas Brawijaya (buku: Akutansi Syari’ah), mengatakan orientasi zakat dapat membangun keseimbangan antara materialistik (cinta harta) dengan sifat spiritualistik (imani). Keseimbangan tersebut menumbuhkan sifat empati pada realitas sosial (altruistik) dan melumpuhkan keangkuhan (egoistik) yang cendrung menghalalkan segala cara. Andai saja zakat menjadi prinsip pemerintahan di Aceh (mulai tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan sampai gampong), sungguh kesenjangan sosial, ekonomi akan cepat teratasi.
Gilirannya pemerintah akan menjadi bersih, kuat dan berwibawa. Sebab orientasi zakat memiliki makna: Pertama, terdapat transformasi dari bekerja untuk mendapat keuntungan dan kepuasan pribadi, kepada pencapaian zakat (pensucian). Kedua, dengan zakat sebagai tujuan, maka segala bentuk kebijakan, aktifitas, prilaku pemerintahan harus tunduk pada aturan main yang sesuai dengan syari’at Islam.
Ketiga, adanya keterpaduan karakter kemanusiaan yang seimbang antara egois dan sosial--mementingkan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi. Kepentingan egoistik bahwa aparatur pemerintah bekerja untuk mendapatkan gaji, tunjangan, kenaikan pangkat dan lain-lain tetap diperkenankan. Sedangkan altuistik (sosial) mempunyai arti bahwa aparatur pemerintah juga mempunyai kepedulian yang sangat tinggi terhadap kesejahteraan rakyat, alam, lingkungan yang semuanya tercermin dalam kedisiplinan menunaikan zakat. Keempat, zakat mengandung nilai emansipatoris yaitu semangat membebaskan manusia dari ketertindasan ekonomi, sosial, intelektual dan pembebasan alam dari penindasan dan eksploitasi manusia sebagaimana peruntukan zakat (senif).
Kelima, zakat adalah jembatan penghubung antara aktifitas manusia yang duniawi dengan keberadaan manusia yang suci (ukhrawi). Sebagai jembatan akan memberikan kesadaran fundamental (ontologis) bagi diri manusia bahwa segala bentuk kegiatan duniawi selalu terkait erat dengan kedudukan manusia di hadapan Tuhan kelak. Di sini pentingnya dalam jangka pendek, pemerintah memperkuat posisi baitul mal sebagai amil zakat yang secara hukum sudah ada dalam UUPA. Hanya saja perlu sistim praktis operasional dalam bentuk qanun. Selanjutnya struktur dan sumberdaya pengelola perlu segera diberdayakan untuk lebih profesional. Perlu dibentuk baitul mal mulai tingkat provinsi sampai gampong yang selama ini tidak maksimal. Kekuatan baitul mal sangat dipengaruhi oleh political will (iktikad baik pemerintah). Semoga.

*) Penulis adalah kepala Biro Kajian dan Riset YICM, pernah menjadi mahasiswa pascasarjana program ekonomi dan keuangan syariah, Universitas Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kirimkan Komentar, kesan dan pesan anda untuk memjadi bahan agar situs ini makin baik kedepan...