10 Januari 2008

Syariat Islam Dalam Sorotan

Muhammad Dayyan, S.Ag


”Katakanlah, sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku (syariat Islam), sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan sebanyak itu pula” (QS; Alkahfi ayat 109).
Membicarakan syariat Islam ibarat berlayar di samudra tak bertepi. Luasnya melampaui semesta yang hanya diketahui oleh sang Pencipta.
Tulisan Anton Widyanto, Simplikasi Syari’at Islam (Opini Searambi 06/07/2007) yang menilai gagasan saya tentang “Perlunya Qanun Antimaksiat” (opini Serambi, 08/06/2007), banyak kerancuan khususnya dalam persoalan logika hukum. Anton mengkhawatirkan dapat mempersempit dan menodai kekaffahan syariat Islam itu sendiri. Saya sangat apresiatif atas kritikan Anton. Namun, sayangnya tidak memberi gagasan baru atas masalah itu, malah cenderung berceloteh dengan sejumlah pertanyaan. Siapa pun setuju bahwa implementasi syariat Islam tidak mudah dan butuh waktu, keseriusan seluruh stakholder (pihak).
Namun tetap terbuka memberi advis dan gagasan alternatif. Karena setiap muslim berkewajiban mencari, memahami hakikat dan hikmah dari syariat agamanya. Alquran surat Alkahfi di atas mengandung pesan sangat kuat dan tegas bahwa syariat Islam perlu terus dihujjah dalam upaya menjawab multidimensi masasalah ummat. Mencari format ideal di tengah sistem hukum nasional kadangkala membuat kita tidak sabar, saling menyalahkan dan saling menghujat. Menyatukan persepsi melalui kajian, tulisan opini dari beragam pemahaman tentang bagaimana syariat Islam yang luas itu dapat diformalkan dalam bentuk qanun, perlu upaya serius.
Gagasan qanun antimaksiat yang terkesan menyederhanakan masalah, salah satu usaha memberi gagasan ketika pelaksanaan syariat Islam itu sering kontraprduktif dengan semangat ke-Islaman. Misal, sweping maksiat yang dilakukan kelompok “swata” yang kadangkala mendatangkan maksiat lain (caci maki, kekerasan, menghancurkan tempat usaha kelompok ekonomi lemah dan lain-lain). Bahkan yang sangat memprihatinkan ada remaja yang mengaku WH melakukan pemerkosaan yang justru melanggar syariat (Serambi 12/07/2007). Menurut saya, di sini fungsi dan tugas ulama, dan cendikiawan muslim mempertegas rambu-rambu. Memperjelas segala macam bentuk maksiat agar tidak menolak satu maksiat dengan membiarkan maksiat. Atau penegakan syariat dengan maksiat.
Setiap kita sejatinya tidak perlu sok suci, arogan, saling menghujat, dan klaim kebenaran yang melahirkan kekerasan atas nama syariat. Kita berkeinginan jangan ada lagi penegakan syariat dengan melanggar syariat. Itu sama halnya menegakkan HAM dengan mengabaikan HAM orang lain atau menciptakan damai dengan memusnahkan manusia lain melalui perang. Mengutip Prof Dr H Alyasa’ Abubakar MA, guru besar hukum Islam IAIN Ar-Raniry dalam satu diskusi di YICM 26 Mei 2007, beliau mengatakan ”Bicara hukum termasuk syariat Islam sesungguhnya bicara bagaimana setiap orang dapat menunaikan kewajibannya pada saat bersamaan setiap orang juga mendapatkan haknya secara adil”.
Hukum, kata Prof Alyasa’, harus memenuhi empat aspek, demikian juga dalam penerapan syariah Islam. Pertama, adanya norma hukum, menyangkut materi hukum yang jelas dan meminilisir interpretasi dan resistensi (penolakan) oleh banyak orang. Kedua, bagaimana bentuk atau jenis hukuman yang akan dijatuhkan bagi yang mengabaikan (melanggar) ketentuan yang terdapat dalam materi hukum. Ketiga, adanya aparatur yang berhak menegakkan hukum (mulai dari penyidik, jaksa penuntut, sampai lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengadili). Keempat, adanya hukum acara sebagai prosedur dalam membuktikan atas dugaan pelanggaran hukum tersebut.
Akibat bersentuhan dengan budaya barat selama berabad-abad, hukum pidana syariah Islam belum pernah berlaku secara sungguh-sungguh. Dari kajian YICM, pelaksanaan syariat Islam di Aceh baru pada fase sosialisasi dan pengawasan (dinas Syari’at Islam via Wilayatul Hisbah) dan mahkamah Syari’ah.
Sedangkan penyidik dan jaksa penuntut serta hukum acara peradilan masih tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku Nasional yang non syariah (non Islami). Di sinilah kadangkala masyarakat sering menyalahkan dinas syariat Islam dan WH bila tidak bisa maksimal menindaklanjuti setiap pelanggar syariah. Padahal kewenangan kedua intitusi tersebut terbatas pada sosialisasi dan pengawasan dan tidak punya kewenangan sedikitpun untuk meneruskan proses hukum (menahan, menyidik yang kewenangannya ada pada polisi dan jaksa) setelah pelaku pelanggar syariat ditangkap untuk diajukan ke hadapan mahkamah syariah.
Maka pelaksanaan syariat Islam di Aceh terhadap pidana khalwat, judi, maisir masih terikat dengan peraturan lain yang ada di Indonesia.
Dilematis memang. Satu sisi Aceh diizinkan merumuskan dan merancang hukum positif (qanun syariat). Namun di sisi lain tidak diperbolehkan memilih dan merancang aparat penegak hukumnya yang benar-benar berada dalam satu sistim hukum syariah itu sendiri. Jadi, belum ada mekanisme untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam suatu sistim yang totalitas syariah, melainkan berada dalam sub-sistim hukum nasional. Apa yang berlaku di nasional itu juga yang berlaku di Aceh.
Menarik mengutip pendapat Abdul Moqsith Ghazali dosen Universitas Paramadina dalam dialog yang dilaksanakan YICM akhir Mei 2007 lalu, bahwa penerapan syariah Islam di Aceh tidak semuanya berasal dari nash (sumber, red) yang dipahami dari Alquran. Dan itu tidak salah dan sangat lumrah. Menurutnya, ada suatu pra-kondisi yang telah berlangsung lama dalam sistim hukum positif Nasional yang diadopsi dari Belanda sebelumnya. Karenanya dibutuhkan waktu untuk sosialisasi dan terus mencari solusi perbaikan pelaksanaan syariat Islam sehingga bisa memperbaiki kondisi dan taraf hidup masyarakat yang menjadi objek dari pelaksanaan Syariat Islam itu sendiri. Melihat kondisi sosial saat ini yang masih dalam sistem dan struktur hukum, ekonomi, terjadi kecenderungan mempermanenkan kemiskinan dari ketidakadilan distribusi pendapatan terhadap masyarakat.
Miskinnya moral aparatur pemerintah yang tidak menjadi teladan bagi masyarakatnya juga turut memicu berbagai pelanggaran syariah. Kemaksiatan dalam sistim birokrasi yang korup, sistim politik yang rakus dan hedonis, ekonomi yang melahirkan pemilik modal yang kikir dan bakhil. Saya setuju, pelaksanaan syariat Islam tidak bisa ”bimsalabim abrakadabra”. Karenanya menjadi penting setiap qanun syariah Islam yang akan diberlakukan perlu adanya kajian ilmiah yang intens yang melibatkan partisipasi publik (ulama, cendikia, dan elemen masyarakat dari berbagai profesi) secara lebih maksimal. Jangan hanya mencomot hukum yang diterapkan di daerah atau negara lain. Diharapkan dapat meminimalisir kontradiktif dan resistensi dalam masyarakat. Beberapa qanun yang telah diterapkan saat ini (Aqidah, Ibadah, syi’ar Islam, khalwat, judi maisir) meniscayakan untuk direvisi karena banyaknya kelemahan.
Terutama istilah yang digunakan telah memberi celah multiinterpretasi umat, maka perlu ada batasan konkrit. Misal, ada pasal yang menyebutkan pelaksanaan syariat Islam juga menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat--tidak jelasnya batasan, sehingga memberi peluang terjadinya aksi pengadilan jalanan oleh masyarakat sering berperan sebagai polisi, penyidik dan hakim sekaligus. Di sini batasan harus ada, sejauhmana tanggungjaab dan kewenangan masing-masing (pemerintah dan masyarakat). Sejatinya kajian perlu terus menerus mencari solusi atas berbagai kendala. Sebagaimana disinyalir Sofyan Saleh, kepala Mahkamah Syariah Provinsi Aceh dalam satu diskusi YICM. Katanya, meskipun mayoritas masyarakat Aceh adalah muslim namun banyak tantangan syariat Islam diterapkan.
Masih ada masyarakat yang phobia (alergi) terhadap syari’at Islam, banyak persoalan khilafiah di kalangan umat dan kurangnya perhatian terhadap kebijakan di bidang hukum; banyaknya anggota eksekutif (selaku yang mengusulkan qanun), parlemen (yang membahas dan mensahkan qanun) tidak mengerti hukum Islam. ”Disi lain perjuangan umat belum sinergis, dan rendahnya pemahaman serta rendahnya kesadaran masyarakat muslim terhadap Syari’at,” tukasnya. Tentu sebagai umat Islam terus berjuang dan bertanggungjawab supaya syariat Islam dilaksanakan secara adil dan membawa kemashlahatan umat di daerah ini. Lima tahun penerapan syariat Islam di Aceh, ternyata hanya sarat ephoria dengan simbolis, seremonial dan slogan. Wajar saja hal itu belum mampu memuaskan semua elemen masyarakat.
Saat ini bagaimana syariat Islam dapat menghentikan massif dan intensitas kejahatan di Aceh. Mulai kejahatan lingkungan, kriminal, dan kejahatan struktural. Kecuali itu pemerintah Aceh yang kini dipimpin gubernur Irwandi-Nazar, pasangan pilihan rakyat Aceh, bisa mengimplementasi dalam visi dan misi membangun Aceh secara nyata. Wallahua’lam

*) Penulis adalah Alumnus Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry, Biro Riset Kajian YICM dan Mantan Ketua Umum HMI Banda Aceh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kirimkan Komentar, kesan dan pesan anda untuk memjadi bahan agar situs ini makin baik kedepan...