10 Januari 2008

Perlu Qanun Anti Maksiat

Muhammad Dayyan, S.Ag


Syariat Islam di Aceh masih berkutat pada soal memberantas khalwat, judi, maisir dan menertibkan perempuan tidak berjilbab yang dianggap biang kemunkaran atau maksiat. Semua pun (mulai Ormas sampai lembaga pemerintah) sibuk membicarakan sanksi. Seperti salah satu Ormas Islam yang meminta pemerintahan Irwandi-Nazar untuk menegakkan Syari’at Islam dengan menyerahkan cambuk sebagai bentuk pelaksanaan Syari’at Islam (baca Serambi, 13/02/2007, hal 20). Mengenai penerapan syariat Islam di Aceh, terkesan umat Islam sendiri mempersempitnya. Ini bahaya karena bisa menggiring umat pada paradigma sekuler yang menganggap Islam hanya beberapa ritual ibadah; selebihnya menghindari ketiga jenis maksiat (khalwat, maisir, judi dan tidak pakai jilbab, red). Padahal Islam sangat luas melampaui samudera yang tak seorang pun bisa mengklaim bahwa dia lebih paham tentang syariat Islam.

Kesan kedua, syariat Islam sebagaimana diatur UU Nomor 11/2006 hanya suatu ketentuan (formalitas). Padahal penerapannya lebih pada kesadaran sebagai muslim. Artinya, sebagai tuntutan atas keprihatinan terhadap hukum yang ada di Indonesia sebagai hukum warisan Belanda sebut Prof Alyasa’ Abubakar (Dialog public yang difalisitasi YICM akhir Mei 2007 di Banda Aceh). Qanun sebagai usaha rekayasa sosial masyarakat sejatinya juga sebagai kesadaran masyarakat. Pada tataran konsepsi hukum hanya sebagai kumpulan pendapat, gagasan yang sangat kaya, tapi pada tataran praktik seakan miskin dan gersang dan jauh dari rasa keadilan. Di sini, aparatur penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) sejatinya ketika berhadapan dengan kasus, harus memutuskan secara jelas dan tegas.

Pelaksanaan syariat Islam dalam kontek kebangsaan, belum ada contoh di tempat lain kecuali baru diterapkan di Aceh yang polanya masih mencari bentuk ideal. Maka akan terus diuji melalui diskursus dan kritik agar pelaksanaan ke depan akan lebih baik, benar-benar menjadi rahmatan lil alamin. Sebab bicara syariat Islam, tidaklah berada dalam ruang kosong tapi terkait dengan konteks sosio-kultural masyarakat. Pada masa Nabi, pencuri pernah dilepas dan Nabi marah pada yang menangkapnya karena ada kondisi yang memaksa seseorang berbuat demikian. Syariah Islam ajaran yang sangat komprehensif, mengutamakan kesejahteraan semua, ketika semua diimplementasikan.

Penerapan kebijakan unsur-unsur syariat Islam di Aceh masa sekarang sebagai interpretasi kreatif dari sistem negara. Karenanya, perlu ada ijtihad hukum dari para ulama, cendikia terhadap kebijakan syariat Islam di Aceh. Selanjutnya dibuat dalam suatu qanun yang bisa diikuti oleh semua lapisan masyarakat muslim yang berdomisili di Aceh. Kalaulah kita memang ingin menghentikan maksiat sebagai implementasi syariat Islam di Aceh, mestinya memenuhi unsur keadilan dan menyeluruh. Bukan dengan menghentikan sebagian maksiat tapi melakukan, membiarkan, dan mendukung maksiat yang lain. Ini sangat kontra produktif.

Apa makna maksiat?

Secara umum, maksiat merupakan suatu bentuk perbuatan munkar karena merugikan diri dan orang lain sehingga mendapat kemurkaan Allah Swt. Karenanya perlu hanya satu qanun, yaitu qanun anti maksiat. Baru kemudian disusun sistematika dan mekanismenya sevata konprehensif. Mulai bentuk, cara pencegahannya dan jenis sanksi hukum yang akan ditetapkan yang dibuat dalam beberapa kitab atau buku qanun. Cukup satu qanun saja dibuat kalau mau menerapkan syariat Islam kaffah di Aceh. Qanun ini mencakup seluruh perbuatan berkait maksiat. Sedangkan petunjuk teknis dan pelaksana (juknis/juklak)nya dibuat dalam buku qanun lengkap dengan pasal dan ayatnya. Buku satu, mengatur tentang maksiat khalwat, zina, onani, homoseksual, lesbian dan menuduh orang lain berbuat zina, perkosaan dalam rumah tangga.

Buku dua, tentang maksiat pencurian, korupsi, penipuan, kecurangan, pencucian uang, perampokan, pencopetan, makan harta anak yatim, uang mesjid, uang takziah, tidak bayar zakat dan lainnya yang menyebabkan kerugian materil bagi pihak lain atau negara. Buku tiga tentang maksiat perjudian, lottre, adu binatang (ayam, kerbau, lembu dll). Buku empat, tentang maksiat merusak lingkungan mulai dari penebangan liar, membuang limbah/sampah sembarangan, merusak lahan, merokok, merusak biota laut/sungai/danau, mengganggu/membunuh satwa fauna yang menyebakan terganggunya keseimbangan ekosistim, termasuk ngebut-ngebutan di jalan. Buku lima, maksiat tentang pembunuhan, penganiayaan, penyiksaan, kekerasan fisik dan psikologis yang mengancam jiwa seseorang (baik yang terjadi dalam masyarakat maupun rumah tangga).

Buku enam, maksiat yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (mulai pelaggaran hak cipta, penipuan ilmiah, plagiat, hacker, perusakan website, membuat/menyebarkan situs porno, dan beragam jenis kemaksiatan lainnya) yang semakin canggih dalam dunia maya. Buku tujuh, maksiat tentang politik (mulai money politik, mengkhianati suara rakyat, mengabaikan amanah, penyalahgunaan wewenang, nepotisme, kongkalikong, menjual agama untuk kepentingan politik, surat tupai dan sebagainya). Buku delapan, tentang maksiat dalam ekonomi seperti penimbunan barang, penipuan harga, curang, menjual barang yang diharamkan syarii, mengkorupsi aspal atau semen, mengurangi takaran, menggunakan kekayaan untuk bermewah-mewah di tengah saudaranya yang miskin dan lapar.

Buku sembilan tentang maksiat lahir bathin, riya, ujub, takabur, iri, dengki, khianat, fitnah, hasud, suka mengintip, membuka aib orang lain, durhaka pada orangtua/suami/istri dan sebagainya. Buku sepuluh, tentang maksiat dalam bidang ibadah berupa, meninggalkan shalat, puasa, haji, zakat dan lain-lainnya. Tentu, masih banyak bentuk dan jenis maksiat lainnya yang perlu dirumuskan oleh para ulama dan cendikia muslim di Aceh. Misal, mana lebih maksiat korupsi yang dilakukan seorang pejabat dengan judi yang dilakukan beberapa orang-orang? Adanya qanun anti (segala macam) maksiat yang disusun secara komprehensif itu akan mudah melihat aspek apa saja yang kemudian perlu penekanan pelaksanaannya.

Dapat dengan mudah menganalisis batasan maksiat apa saja yang bisa ditanggulangi oleh pemerintah, masyarakat, keluarga, dan individu sebagai bentuk tanggung jawab atas keberlansungan pelaksanaan syariat Islam. Dan juga perlu kejelasan batasan tanggung jawab yang diberikan kepada masyarakat, sehingga tidak terjadi lagi aksi jalanan yang bisa berperan sebagai polisi, jaksa dan hakim secara sekaligus. Dalam memberantas maksiat, Rasullulah Saw mengilustrasikan ibarat kita naik kapal laut; “meskipun sudah membeli tiket dan berhak atas tempat duduk masing-masing namun penumpang wajib mencegah bila salah satu penumpang mencoba membocorkan kapal meskipun di bawah tempat duduknya”.

Apa pun jenis maksiatnya tetap mengundang azab Allah dan menenggelamkan tidak hanya pelaku maksiat. Sudah kita rasakan bagaimana bencana ditimpakan berupa kerusakan lingkungan yang mengakibatkan banjir bandang, gempa dan tsunami. Semua itu karena ulah segelintir manusia yang senantiasa inkar kepada Allah-Rasul, lebih mengedepankan nafsu untuk bermaksiat dengan berbagai bentuk dalam mengikuti “syariat” Iblis yang dilaknat Allah. Na’uzubillah!



*) Penulis adalah alumnus IAIN Ar-Raniry dan Devisi Kajian YICM Aceh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kirimkan Komentar, kesan dan pesan anda untuk memjadi bahan agar situs ini makin baik kedepan...