10 Januari 2008

Kapan Birokrasi Aceh Bersyari’at?



Banyak yang mengeluhkan kenapa birokrasi pemerintah Aceh belum menunjukkan karakter syariah? Asumsi ini muncul ketika pelayanan birokrasi masih terkesan mengabdi pada kepentingan kapitalistik (mengutamakan orang yang bermodal). Prilaku buruk yang sudah berlangsung lama dalam pemerintahan Aceh, seperti, program pembangunan yang hanya menghabiskan uang, melahirkan proyek yang mendatangkan keuntungan kepada segelintir golongan. Kemudiaan apa yang disebut proyek fiktif alias siluman dan ditangani oleh yang bukan ahlinya.
Biasanya penempatannya melihat kepada berapa fee yang akan diberikan, mendapatkan jabatan berdasarkan pendekatan, bukan keahlian. Aceh dengan karakter Islam sejatinya mampu menunjukkan identitas ke-Islam-annya dalam sistim birokrasi tata pemerintahannya. Syariat tidak hanya dalam bentuk hukum (qanun) namun harus sampai pada prilaku birokrasi yang Islami. Yaitu birokrasi yang ditampilkan dalam bentuk pelaksaan pekerjaan yang rapi, benar, tertib dan teratur, transparan, akuntabel merupakan hal yang di syariatkan.
Rasulullah saw sudah mengajarkan “Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang jika melakukan suatu pekerjaan yang dilakukan secara Itqan (tepat, terarah, jelas dan tuntas)”, (HR Thabrani). Maka landasan birokrasi pemerintahan transparan merupakan sistim yang dicintai Allah dan diinginkan oleh masyarakat. Dalam hadis lain Rasulullah mengajarkan; “Allah mewajibkan kepada kita untuk berlaku ihsan dalam segala sesuatu”(HR Muslim). Ihsan dapat bermakna melakukan segala sesuatu secara maksimal dan optimal (transparan dan dapat dipertanggungjawabkan).
Birokrasi yang transparan dan akuntabel akan membawa pada kemaslahan (kebaikan) bagi yang bersangkutan dan masyarakat. Pekerjaan yang berdampak pada kemaslahatan adalah birokrasi yang sesuai dengan aturan serta memiliki manfaat bagi kemaslahatan umum sebagaimana Rasul mengajarkan “diantara baiknya, indahnya keislaman seseorang adalah yang selalu menjauh dari perbuatan yang tidak ada manfaatnya”(HR Tirmizi). Pekerjaan yang tidak bermanfaat adalah perbuatan yang tidak direncanakan atau pekerjaan yang tidak sesuai rencana (penyelewengan, penyalahgunaan, pengingkaran dan pengkhianatan). Allah sangat menyukai pekerjaan-pekerjaan yang ter-manej dengan baik, sebagaimana firmannya QS: Ash-Shaf ayat 4, “Sesungguhnya Allah sangat menyukai orang-orang yang berjuang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kukuh.” Makna kukuh adanya sinergi yang rapi antara bagian yang satu dengan bagian yang lain sehingga menghasilkan sesuatu yang maksimal. Dalam surat at-Taubah ayat 71 Allah berfirman; “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain.
Mereka menyuruh mengerjakan yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taât kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana”. Pemerintahan akan berjalan baik, jika dikelola dengan baik dan benar, sebagaimana Ali bin Abi Thalib r.a memberi gambaran “kebatilan (kemungkaran) yang terorganisir dengan rapi dapat mengalahkan kebaikan yang tidak diorganisasikan dengan baik”. Di sini Ali mendorong kita agar melakukan sesuatu yang hak, hendaknya ditata dan disusun dengan rapi agar tidak dikalahkan oleh kebatilan yang disusun dengan rapi. Dominasi kemungkaran (korupsi, kolusi, sogok dan manipulasi) dalam birokrasi sering terjadi bukan karena kuatnya kemungkaran tersebut, tapi lebih karena tidak rapi (rapuh)nya kekuatan (sistim) yang haq.
Pemerintahan yang sesuai syariah berupa prilaku birokrasi yang terkait dan dilandasi dengan nilai-nilai keimanan dan ketauhidan. Jika setiap orang yang terlibat dalam pemerintahan dilandasi dengan nilai-nilai tauhid, maka prilakunya akan terkendali dan tidak akan terjadi prilaku KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) karena menyadari akan adanya pengawasan dari yang maha tinggi, yaitu Allah yang akan mencatat setiap amal permuatan yang baik maupun yang buruk sebagaimana firmannya QS: Az-Zalzalah ayat 7-8, “Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah-pun, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah-pun, niscaya dia akan melihat balasannya pula”. Maka prilaku korup selama ini meskipun telah ada pengawasan yang berlapis (mulai dari pimpinan, DPR, BPK, Bawasda, LSM dan segala macam) seolah belum efektif dikarenakan tidak melekat dan banyak celah dari keterbatasan manusia.
Nilai iman dan tauhidlah bila menjadi paradigma yang mengorientasikan seluruh perbuatannya untuk mendapat ridha Allah. Hal tersebut akan bernilai ganda sebagai prestasi di dunia juga sebagai amal shaleh yang bernilai abadi sekaligus. Menurut Prof. Didin Hafifuddin penerapan Syariat dalam manajemen memiliki beberapa aspek; pertama, mengubah paradigma dan memperbaiki prilaku birokrasi dengan bertindak secara benar, konsisten, merasa di awasi oleh Allah ketika melaksanaan pekerjaannya sehingga melahirkan tanggung jawab bukan hanya kepada pemimpin, rakyat, tetapi juga kepada Allah.
Manajemen syariah menekankan kekuatan pada aspek Tauhid sehingga seseorang akan benar, jujur ketika diawasi oleh manusia serta akan tetap benar dan jujur ketika tidak diawasi oleh manusia. Kedua, struktur organisasi merupakan sunnatullah dan struktur yang berbeda-beda merupakan ujian dari Allah sebagaimana firman-Nya QS: Al-An’am ayat 165; “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa dibumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat sisksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Maka dalam mengatur kehidupan dunia, peranan manusia tidak sama karena kepintaran, jabatan juga tidak sama.
Bagaimana kemudian kelebihan yang diberikan dan dipercayakan Allah dapat memberikan kemudahan dan kesejahteraan bagi orang lain. Ketiga, sistim yang disusun berupa keharusan dan larangan (hukum/qanun) harus bersumber dari nilai-nilai Alqran dan hadis sehingga dapat menjadikan prilaku pelakunya berjalan dengan baik. Sistim dimaksud untuk menjamin keselamatan manusia sepanjang hidupnya baik yang menyangkut terpeliharanya agama, diri (jiwa dan raga), akal, harta benda serta keselamatan nasab (keturunan) yang merupakan kebutuhan pokok. Pelaksanaan sistim kehidupan dan pemerintahan yang bersih, konsisten dalam semua lini kegiatan akan melahirkan sebuah tatanan birokrasi pemerintahan yang membawa kehidupan yang baik (hayyatan thayyibah).
Sebagaimana pesan Allah QS: An-Nahl ayat 97, ”Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. Sebaliknya menolak atau tidak ada keinginan mengaplikasikan aturan syariat dalam kehidupan akan melahirkan kekacauan, keburukan, kebangkrutan dan kerusakan dalam kehidupan sekarang---maaisyatan dhankan---atau kehidupan yang sempit, timpang dan kecelakaan di akhirat sebagaimana firman Allah QS: Thaahaa ayat 125-126; ”Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia, ’Ya Tuhanku, mengapa engkau menghimpun aku dalam keadaan buta padahal dahulunya aku seorang yang melihatâ?T. Allah berfirman’. Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami maka kamu melupakannya dan begitu pula pada hari ini kamu dilupakan”.
Sistim pemerintahan yang baik dapat kita contoh sebagaimana dipraktekan khalifah Umar bin Abdul Azis yang memiliki sistim penggajian yang rapi, sistim pengawasan yang baik sehingga pada masanya terkenal dengan clean governance yang berorientasi pada rakyat dan masyarakat. Paling tidak ada empat hal yang penting bagi seorang kepala pemerintahan untuk terwujudnya sistim yang baik. Pertama, ketegasan dalam menentukan sikap dengan argumentasi yang jelas. Kedua, musyawarah untuk mengambil keputusan. Ketiga, transparansi menyangkut pekerjaan, kebijakan bahkan juga menyangkut keuangan dan gizi serta penghasilannya. Keempat, pemahaman yang mendalam terhadap tujuan pemerintahan. Wallahu’alam!
*) Penulis Dosen STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa dan Mantan Ketua Umum HMI Cabang Banda Aceh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kirimkan Komentar, kesan dan pesan anda untuk memjadi bahan agar situs ini makin baik kedepan...