07 Januari 2008

Tsunami, Teologi, dan Tahun Baru

Bustanuddin Agus
Guru Besar Universitas Andalas Padang


Bencana tsunami yang terjadi setahun lalu, masih segar di pelupuk mata. Trauma dan duka masih ada di Nanggroe Aceh, dan dirasakan oleh manusia sedunia. Rehabilitasi yang telah berlangsung satu tahun, juga belum signifikan. Tahun baru 2006, mau tidak mau, datang dan juga akan berakhir seperti tahun 2005 yang dilalui. Apakah peringatan tahun kedua tsunami dan perayaan menyambut tahun baru sekadar jadi ritual?
Dibutuhkan kesiapan mental untuk menerima apa yang telah lalu sebagaimana adanya. Optimisme dan semangat tinggi juga dibutuhkan untuk memperbaiki masa depan. Dari mana kebutuhan dibangkitkan?

Teologi reduksionis
Masalah bagaimana kita memandang keberhasilan dan musibah yang telah menimpa dan bagaimana pula menatap masa depan, erat kaitannya dengan masalah kebebasan dan keterikatan manusia. Dalam ilmu kalam (teologi Islam), masalah ini dibahas dalam tema takdir dan ikhtiar.
Yang menjadi perdebatan adalah apakah manusia bebas dan bertanggung jawab dalam menentukan pilihan dan perbuatannya (free-will, free-act) atau sebaliknya: manusia hidup dunia ini hanya aktor dan aktris suatu sandiwara yang segala gerak-geriknya telah diatur sedemikian rupa oleh Sang Sutradara (predeterminism, fatalism)?
Masalah ini telah dibicarakan oleh setiap agama dan pemikiran filsafat. Dalam filsafat Yunani, aliran Epicorus berpendapat free-will, free-act. Aliran Stoics berpaham fatalism. Demikian pula aliran atau paham teologi Islam klasik telah tampil dengan dua teori yang bertolak belakang dalam menentukan persepsi dan sikap terhadap musibah dan keberhasilan yang telah diraih pada masa lalu.
Untuk sikap ke depan, kacamata dikotomi dipakai oleh masing-masing pengikut. Kedua kacamata itu sangat berbeda, ibarat kacamata negatif bagi orang yang rabun dekat dan kacamata positif bagi yang rabun jauh. Adalah teologi Jabariyah yang memandang segala yang dialami manusia, baik masa lalu mau pun masa datang, baik musibah atau pun keberuntungan, telah ditentukan oleh Allah semenjak azali.
Pilihan dan perbuatan manusia hanya ibarat air yang mengalir ke berbagai arah, atau daun yang bergoyang di pohon, tanpa kehendak dan tanpa pilihan. Hanya Allah yang berkehendak dan menentukan pilihan. Sebaliknya, teologi Qadariyah yang dikenal rasional memandang semua pengalaman itu, baik positif mau pun negatif, baik yang telah lalu, atau pun yang akan datang, adalah realisasi dari keadilan Allah yang menghargai kesungguhan manusia dan menghukum kelalaian mereka. Manusia bebas menentukan kehendak dan perbuatannya, kemana akan diarahkan. Maka segala pengalaman masa lalu dan yang akan datang adalah risiko pilihan dan perbuatan mereka.
Bagi teologi Jabariyah, Allah Maha Kuasa. Sedangkan bagi teologi Qadariyah, Allah Maha Adil. Aliran Jabariyah mula-mula diajarkan oleh Jahm bin Shafwan (125 H). Ajaran Jahm punya asal usul dari seorang Yahudi. Sedang aliran Qadariyah diajarkan oleh Ma'bad al-Juhani (80 H) yang belajar dari seorang Nasrani (Ahmad Amin, Dhuha al-Islam III, hlm 81; Al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah, hlm 22). Kedua-duanya sama-sama menggunakan landasan dari Alquran dan Hadits.
Jabariyah di antaranya berdalil kepada ayat ''Allah lah yang menciptakan kamu dan apa-apa yang kamu kerjakan'' (al-Shaffat 96); ''Kamu tidak menghendaki, tapi Allah lah yang menghendaki'' (al-Insan ayat 30). Ayat lain, seperti al-Qamar ayat 49, al-An'am ayat 39, al-Rum ayat 40, Hud ayat 6, dan al-Syura ayat 12 juga jadi dalil yang dipakai untuk mempertahankan pendapat mereka. Hadits Nabi ''...bahwa engkau beriman dengan qadar yang baik dan yang buruk'' juga alasan yang dipakai dalam menetapkan rukun iman yang ke enam, iman kepada qadha dan qadar.
Sedangkan Qadariyah, misalnya, berdalil kepada ayat ''Siapa yang menginginkan (beriman) berimanlah, siapa yang ingin (kafir) kafirlah'' (al-Kahfi ayat 29); ''Kami tidak menganiaya manusia sedikit pun. Tetapi manusia lah yang menganiaya diri mereka sendiri'' (Yunus ayat 44). Surat al-Mudatsir ayat 38, Fushshilat ayat 46, al-Insan ayat 3, al-Sajdah ayat 7, al-Taubah ayat 82, Ali Imran ayat 164 juga dalil-dalil yang dipakai untuk mempertahankan pendapat mereka. Semua ayat-ayat Alquran dan Hadits yang menjadi dalil Jabariyah bukan dicoret oleh aliran Qadariyah, tetapi mereka tafsirkan dengan menambah ''sesuai dengan keadilan dan hukum sebab akibat''. Demikian pula sebaliknya, ayat-ayat Alquran dan Hadits yang menjadi dalil Qadariyah ditafsirkan oleh kaum Jabariyah dengan menambah ''jika Allah menghendaki''.

Tsunami
Kalau tsunami yang terjadi tahun lalu dan segala bekasnya yang dirasakan sampai sekarang hanya dipandang dengan kacamata rasional Qadariyah, yang akan timbul tentu penyesalan demi penyesalan. Misalnya, mengapa selama ini suka menghisap ganja, mengapa berperang sesasama Muslim, atau dosa-dosa lainnya? Apa-apa tingkah polah yang telah merusak lingkungan yang telah dikerjakan selama ini sehingga timbul bencana besar?
Salah-salah penyesalan demi penyesalan ini akan mengakibatkan stres berkepanjangan. Stres juga akan mengakibatkan penyakit, dari psikis sampai fisik, dari stres menjadi sroke, dan berakhir dengan ''stop''. Evaluasi diri terhadap masa lalu memang perlu, tapi jangan mengorbankan kehidupan itu sendiri. Di samping itu, meninggalkan tahun lalu dan menghadapi tahun baru adalah momen evaluasi diri. Penting untuk memperbaharui optimisme dan perencanaan ke depan. Di tahun baru diharapkan dapat menikmati hidup baru. Hendaknya terjadi perubahan seperti perubahan ketika masih hidup lajang menjadi hidup dalam perkawinan yang penuh mawaddah wa rahmah seperti yang biasa dipakaikan masyarakat selama ini terhadap istilah hidup baru.
Dengan teologi Qadariyah, menghadapi masa depan juga dihantui oleh berbagai kecemasan. Cemas tidak ada biaya, cemas tidak ada bantuan, cemas kalau gempa lagi, cemas kalau rencana kurang matang, dan lain sebagainya. Keyakinan dan keberanian untuk menghadapi masa depan bisa jadi lemah karena banyaknya faktor yang belum siap.
Tapi teologi Jabariyah juga berakibat tidak adanya evaluasi masa lalu dan menghadapi masa depan tanpa rencana dan program. Akal tidak diberdayakan. Dengan demikian, kedua aliran yang pernah berkembang dalam teologi Islam dari abad kedua Hijriyah sampai sekarang, adalah pandangan reduksionis atau sepihak dalam memahami ajaran Allah tentang takdir dan ikhtiar. Itu adalah cara memandang masa lalu dan menatap masa depan dengan 'kacamata kuda'.

Qadar dan jihad
Orang yang punya keyakinan bahwa apa yang telah terjadi adalah ketentuan Allah, seperti yang diajarkan dalam rukun iman keenam dan Hadits Nabi ''an tukmina bil qadr, khairihi wa syarrihi minallah'', duka dan trauma tsunami bagi orang beriman tidak akan berkepanjangan karena semuanya itu adalah ketentuan Allah semenjak azali (qadha dan qadar-Nya).
Pengalaman masa lalu yang merugikan dan bencana diterima tanpa larut dalam duka dan trauma, karena semuanya adalah takdir dan ketentuan Allah, sembari mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji'un dengan minta ampun kepada Allah atas dosa dan kesalahan yang telah dilakukan (al-Baqarah ayat 156). Kalau pengalaman masa lalu baik dan penuh keberuntungan, akan diterima dengan rasa syukur kepada Allah, jauh dari rasa angkuh dan sombong (al-Baqarah ayat 172), karena Dia lah yang telah mentakdirkan demikian.
Bahkan keimanan kepada qadar yang tidak diterima oleh kaum rasional atau ultra-modernis ini memberi harapan kepada umat untuk membuka lembaran baru di masa depan. Masa depan harus dihadapi dengan semangat dan optimisme baru. Sebab takdir masa yang akan datang tidak seorang pun tahu dan orang mukmin dilarang meramal nasib (al-Maidah ayat 3).
Masa yang akan datang harus dihadapi dengan semangat jihad, berusaha dengan sungguh dan sepenuh hati, wa jahidu fillahi haqqa jihadih (al-Haj ayat 78). Mereka yakin pula bahwa perjuangan mengukir masa lalu dengan yang baik akan dibantu oleh Allah asal mereka bersungguh-sungguh. ''Allah tidak akan mengubah (untuk masa depan) nasib yang telah dilalui (di masa lalu), kecuali kalau mereka sendiri juga berjuang mengubah apa yang telah ada pada mereka (masa lalu)'' (al-Ra'du ayat 11).
Maka ajaran iman kepada qadar baik dan qadar buruk seperti apa yang telah dialami pada masa lalu, mendorong lagi untuk membuka lembaran baru dengan semangat dan optimisme baru karena qadar masa depan tidak seorang pun tahu. Ajaran qadar mengajarkan hidup baru untuk masa depan. Maka mengahadapi hari depan dengan semangat hidup baru berbeda sama sekali dengan sikap fatalisme, menyerah saja kepada nasib seperti yang diajarkan oleh aliran Jabariah. Dengan iman kepada qadar baik dan qadar buruk, seorang Muslim juga siap mental untuk menghadapi berbagai kemungkinan masa depan, berhasil atau gagal.
Kalau berhasil, ia tidak akan sombong, karena keberhasilan itu adalah ketentuan Allah semata. Kalau gagal dan ditimpa musibah, ia tidak akan meratapi nasib yang tak putus dirundung malang, karena qadar masa depan tak seorang pun tahu. Tugasnya hanya berusaha semaksimal mungkin berdasarkan ayat-ayat Allah dan sunnnatullah, yang diturunkan ataupun yang diciptakan dalam alam dan kehidupan manusia (ayat-ayat tanzilyah maupun kauniyah).
Teologi qadar dan jihad seperti baru saja dijelaskan dengan mengutip ayat-ayat Alquran, walau pun tampaknya berlawanan, berbeda dengan filsafat dan teologi ilmu kalam yang reduksionis. Paham-paham yang dilahirkan oleh ilmu kalam dan filsafat banyak terlalu teoretis, memandang sesuatu dengan kacamata kuda, pada kehidupan yang kompleks dan punya banyak segi. Penanganannya juga tidak bisa dengan terlalu teoretis, perlu mengimani dan mengamalkan ajaran Islam yang kaffah. Semoga. Hasbunallah, ni'mal maula wa ni'man nashir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kirimkan Komentar, kesan dan pesan anda untuk memjadi bahan agar situs ini makin baik kedepan...