10 Januari 2008

Jangan Tikam “Hati” Rakyat



Aksi mahasiswa yang dimotori Forum Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (Forbemaf) IAIN Ar-Raniry, dianggap suatu kegagalan transformasi nilai-nilai etik dan intelektual di institusi IAIN. Bukan karena materi tuntutan mahasiswa terhadap transparansi pengelolaan dana kampus yang berujung mendesak Prof. Yusni Saby Ph.D mundur dari posisi rektor IAIN, akan tetapi prilaku brutal yang dipertunjukkan mahasiswa itu tidak mencerminkan seorang intelek dan cendekia.
Peristiwa menyoraki, melempar botol dan buku ke arah Prof. Yusni Saby yang notabene adalah seorang guru dan orangtua, seperti dilansir harian ini (Serambi, 04/09/2007), sungguh telah menodai dunia pendidikan. Ironinya justru dilakukan mahasiswa sebuah institut agama Islam yang memberi teladan moral kepada umat ini. Apalagi aksi itu dipertontonkan pada saat berlangsungnya wisuda sarjana yang dihadiri oleh para orangtua (masyarakat Aceh) yang menitipkan anaknya untuk diajarkan oleh para guru di IAIN.
Mungkin botol aqua atau buku yang mengenai badan orangtua itu tidak terlalu sakit. Yang menyakitkan dan menikam hati karena lemparan itu datang murid terhadap gurunya, lemparan anak-anak terhadap ayahnya. Lalu dimana keta’ziman anak kepada orangtua, sejauhmana nilai moral seorang yang terdidik dan calon ulama, katanya perawris risalah kerasulan? Bahwa botol aqua atau buku sudah dilempar. Sorak-sorai pelecehan sudah diucapkan.
Dan itulah fenomena mahasiswa yang sering dijuluki agen perubahan (agent of change), dan calon pemimpin masa depan. Fenomena atas realitas moral kaum intelektual kita yang mengalami degradasi nilai etik dan cendekianya. Sehingga ekpresi brutalisme (paham kekerasan) menjadi sangat kentara. Gerakan mahasiswa yang sejatinya santun cenderung anarkis, kalau tak mau disebut brutal. Saya sebagai orang yang pernah dididik di lembaga IAIN memahami realitas prilaku mahasiswa yang dimotori Forbemaf itu adalah menikam ‘hati’ sendiri. Sebab Prof Yusni, terlepas dari kapasitasnya rektor, ia adalah guru kita yang sudah banyak menuntun dan memberi pencerahan pada saya dan masyarakat Aceh. Ali R.A pernah berucap “siapa yang mengajari saya satu huruf, aku rela menjadi budaknya”. Allah adalah Tuhan yang menciptakan dan Ibu yang melahirkan kita, maka guru orang yang berjasa menuntun jalan untuk dekat dan berbakti kepada keduanya.
Begitu agungnya posisi guru bagi siapapun. Maka tindakan yang telah menyakiti guru adalah perbuatan yang menyakiti perasaan dan hati masyarakat dunia. Menikam “hati” karena julukan itu disematkan rakyat Aceh kepada IAIN Ar-Raniry setelah Unsyiah sebagai “jantung”. Sebagaimana kedua kampus ini dikenal sebagai “jantong – hatee” rakyat Aceh. Ibarat tubuh, tulis Ampuh Devayan (Serambi 02/09/2007 kolom panteu) “jantung dan hati” adalah dua organ sangat vital seorang manusia. Unsyiah adalah “jantung” yang memompa darah ke seluruh tubuh hingga sang manusia bergerak, beraktivitas dan dimanis. Agar gerakan tidak menjadi liar maka mesti dikawal oleh hati. Fabrik hati ada di IAIN. Lalu mengapa hati menjadi keruh? Bagaimana hati akan mengawal agar jantung tak menjadi liar, mengawal agar gerakannya berpihak kepada kebenaran, kepada rakyat dan kemiskinan, berpihak kepada nasib dan kesengsaraan rakyat ini? Sungguh pertanyaan ini sangat merisaukan.
IAIN Ar-Raniry sebagai institusi pendidikan yang mengandalkan kepada pembentukan akal budi, sehingga akan memproduk pengetahuan manusia mengenai moralitas dan etika, termasuk etika demontrasi. Demontrasi sebagai manifestasi moral force (kekuatan moral) untuk melawan kebijakan dan tindakan ketidakadilan dan membebaskan rakyat dari kemiskinan, kemelaratan moral, dari merajalelanya korupsi/kolusi. Untuk itu pula kadangkala mahasiswa harus meninggalkan ruang-ruang kuliah. Lalu mengapa sekarang gerakan mahasiswa beraroma brutal yang menimbulkan ketakutan/kengerian orangtua yang menghadiri wisuda pada saat itu.
Kenapa hati berubah jadi liar? Hati kata Imam Ghazali ibarat cermin. Sebagai cermin dia memiliki dua sifat, yaitu menerima dan memantulkan cahaya. Kalau yang diterima cahaya ilahi maka yang dipantulkan adalah kebenaran. Sebaliknya kalau yang diterima cahaya yang bersumber dari iblis maka yang terpantul adalah kemarahan, kekerasan, brutalitas yang berefek ketakukan dan kengerian. Adakah cermin itu (IAIN) mulai dikotori dan digerogoti sehingga pantulannya sudah tidak lagi mencerminkan cahaya kebenaran yang sarat dengan sopan santun, kesejukan, kedamain dan ketentraman jiwa? Kita patut merasa risau kalau-kalau kampus IAIN sebagai hati rakyat Aceh mulai digerogoti oleh prilaku banditisme.
Ketika penghuninya lebih mengedepankan kepentingan politis, intrik dan properti. Mulai rektorat, dekanat, dosen sampai mahasiswa tidak lagi harmonis dan mulai menghitung untung-rugi dalam menjalankan tugasnya apalagi dengan target proyek. Iklim belajar tidak lagi kondusif karena banyak pengajarnya sibuk dengan proyek dan nyambi di luar (NGO, BRR atau kontrak ekstra lainnya). Inilah yang menggerogoti dan mengotori cermin hati sehingga pantulannya tidak lagi indah dan menyenyukkan. Bila suasana terus terbiarkan, maka kampus akan berubah dari fungsi sebagai ”menara air” menjadi ”menara api” yang bisa menyulut dirinya sendiri tulis Ampuh Devayan.
Maka para guru kami di IAIN perlu menyadari dan segera membersihkan kampus jantung hati rakyat Aceh dari kotoran dan noda dengan mengembalikan otoritas kampus sebagai kawasan intelektual. Karakter utama adalah komitmennya terhadap membangun kembali kampus sebagai taman surga (ledang ilmu). Karena dosen, mahasiswa dan seluruh civitas akademika dikampus adalah motor penggerak perubahan. Dibutuhkan sikap dan iktikad yang kuat untuk tetap konsisiten pada kejujuran, keyakinan, kekritisan yang senantiasa mengusung nilai-nilai kebenaran. Kemudain melepaskan segala bentuk kepentingan diri, golongan, atau partai yang menyandera IAIN. Panggilan intelektual sebagai garda otonomi moral (sikap dan perilaku terpimpin hati nurani), harus terus dipertahankan. Masih adakah sikap itu pada kaum intelektual Darussalam khususnya IAIN. Atau intelektual hanya sekedar alat kekuasaan dan tiran? IAIN adalah pencetak ulama yang mewariskan risalah kerasulan untuk disampaikan kepada ummat. Jadi, bentuk apapun yang bermaksud menyalahgunakan misi kerasulan sebagai tujuan pendidikan di IAIN adalah penggerogotan terhadap hati rakyat Aceh.
Sebab IAIN adalah institusi pendidikan yang menjadi sarana bagi masyarakat Aceh untuk menempatkan anak-anaknya guna memahami hakikat dirinya sebagai manusia dan membangun peradaban masyarakatnya. Para dosen hendaknya komit dengan pilihannya sebagai akademisi sehingga tidak lagi mengabaikan tugasnya sebagai pengajar karena sibuk nyambi di NGO. Mengabaikan tugas mengajar mahasiswa adalah tindakan pelecehan profesi guru, sehingga mahasiswa yang seharusnya menghormati dosen sebagai guru berubah jadi musuh. Dosen dan mahasiswa adalah intelektual yang menjaga pikirannya dengan kerendahan hati. Paradigma intelektual harus terus dipertahankan dan ditumbuhkembangkan jangan sampai tergeser dari kampus hatee rakyat Aceh. Karena ia adalah ladang persemaian calon-calon intelektual bukan tiran-tiran.
Kita malu kalau kampus memberi kabar seputar ribut-ribut pengeloaan dana tak transparan, SPP naik ditengah kondisi ekonomi yang belum pulih, biaya asrama mahasiswa tinggi, larangan aktifitas mahasiswa dimalam hari sampai mesum mahasiswa disiang bolong. Kita rindu berita dari kampus tentang prestasi, kreatifitas mahasiswa, hasil penelitian dosen yang bermafa’at bagi masyarakat. Minimal kata-kata dan nasehat yang mnyenyukkan bagi kegersangan jiwa yang lahir dari tradisi intelektual sehingga menjadi mercusuar peradaban. Semoga! *)

Penulis alumnus dan mantan pengurus BEM IAIN Ar-Raniry

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kirimkan Komentar, kesan dan pesan anda untuk memjadi bahan agar situs ini makin baik kedepan...