10 Januari 2008

Memahat Sejarah, Mencipta Tamaddun



Ketika penulis menjadi mahasiswa di Fakultas Syari’ah lAIN Ar-Raniry, banyak mahasiswa asal negera Malaysia kuliah di institut itu. Sebagai sesama mahasiswa sering membangun komunikasi dengan membentuk kelompok-kelompok diskusi. Salah satu topik diskusi menarik adalah tentang motivasi mahasiswa asal negara jiran itu kuliah di Aceh (IAIN dan Unsyiah). Mereka bersemangat karena berkesan Aceh adalah negeri yang memberi spirit nilai bagi pembangunan Malaysia hingga meraih kemerdekaan dari Inggris.
Malaysia berjaya karena meniru tamaddun Islam yang pernah dibangun Aceh. Sampai saat ini masyarakat Malaysia menyebutkan kejayaannya sebagai tamaddun Islam. Bahkan dalam setiap percakapan, tulisan, spanduk dan website, kosa kata “tamaddun” di negari multietnis ini mudah sekali ditemukan. Di antara kalimat yang sangat menggugah adalah “Memahat Sejarah, Mencipta Tamaddun”.
Kalimat itu memang menggugah. Sebab kalau dulu orang Malaysia belajar kepada Aceh, tampaknya sekarang orang Aceh harus beguru ke Malaysia. Negeri itu berhasil menjadi tamaddun Islam dan semangat Melayu untuk kemajuan bangsa dan rakyatnya. Malaysia menjadi negara modern. Mereka membangun peradaban dengan prinsip harga diri, semangat Islam dan Melayu telah mampu menunjukkan pada dunia bahwa Islam mendorong kemajuan. Malaysia kini hampir menyerupai Andalusia masa khalifah Islam yang ditulis dalam sejarah sebagai pusat ilmu pengetahuan modern yang melahirkan pemikir-pemikir besar seperti AI-Farabi, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina dan lain-lain.
Sementara kita di Aceh, faktanya bahwa perdamaian yang sedang bersemi ternyata masih menyisakan puing-puing konflik yang menelantarkan jiwa-jiwa di barak-barak, gampong-gampong dari sebuah kecelakaan sejarah negeri ini dan masih menyimpan potensi luka yang patut mendapat perioritas penanganan yang serius. Di sinilah kita butuh ruang, waktu dan modal sosial yang kuat. Baru bisa menata kembali perekonomian yang timpang, politik yang rakus, prilaku yang kanibal. Saatnya, meniscayakan kembali modal sosial yang terbenam dalam lumpur sejarah Aceh. Tamaddun Aceh yang sekian lama digerogoti harus diperbaiki. Maka hanya satu jalan adalah menjadi Islam sebagai frame.
Syariat Islam harus punya “ruh” agar kaffah (tatolitas) bukan “kaffak” (tercerai berai), sepenggal-penggal atau parsial. Syariat Islam harus menyentu semua sendi, bukan hanya mengatur aspek hukum yang mengedepankan sanksi tapi harus mengakar pada ideologi pemerintah dan masyarakat. Dengan begitu, nilai-nilai Islam akan memancar ke seluruh unsur pemerintahan dan kehidupan sosial masyarakat Aceh. Syariat Islam tidak akan efektif selama pemahaman masyarakat terhadap nilai ajaran tidak diperbaiki. Walaupun dicambuk berkali-kali, umat terus saja melakukan pelanggaran.
Membangun tamaddun Aceh melalui suatu rancangan yang tidak keluar dari bingkainya Islam. Sehingga masyarakat siap dan unggul dalam pertarungan zaman di tengah arus globalisasi, ekonomi global, budaya materialisme, krisis identitas, dan penjajahan pemikiran yang kini sedang diusung. Diberlakukannya UUPA (Undang-undang Pemerintahan Aceh) adalah entry point karena telah memberi kewenangan bagi pemerintah untuk mengatur tata pemerintahan yang lebih mandiri. Baik kewenangan menentukan sistim politik, birokrasi, ekonomi maupun sosial budaya masyarakat Aceh.
UUPA memberi ruang untuk menentukan identitas Aceh secara khas. Syari’at Islam yang sedang diterapkan sejatinya adalah acuan untuk mengembalikan ruh dan jadi diri masyarakat Aceh itu sebagaimana kegemilangan tamaddun masa lalunya. Maka diperlukan pengelolaan yang benar dan baik oleh stake holder sehingga menjadi potensi yang memajukan Aceh masa depan. Syariat Islam bukan sekedar image dengan slogan-slogan, tapi kualitas umatnya. Sehingga syariat Islam tidak dipahami secara picik yang menimbulkan stigma bahwa Islam itu tidak bertamaddun. Penulis sepakat apa yang dinukilkan Prof Dr Al- Yasa’ Abubakar (ketua MPU Aceh, red), bahwa Syari’at Islam harus menyentuh aspek yang lebih subtantif tanpa harus mengolok-olok simbol yang sedang bersemi (Harian Serambi Indonesia (26/2/2007).
Hal senada juga diutarakan seorang pegiat LSM YICM, Roys Vahlevi, yang menilai sosialisasi syariat Islam harus substansial dan menjadi ruh yang memungkinkan menjawab seluruh persoalan di Aceh (Serambi Indonesia 27/2/2007). Berangkat dari semangat Islam yang lebih subtantif itu harus break down (diuraikan) dalam bentuk konsepsi praktis-operasional agar bisa menyerap seluruh aspek kehidupan dan tata pemerintahan. Paradigma tauhid yang menjadi basis menjadi penentu menyemangati seluruh aspek pengamalan nilai ajaran Islam.
Nilai lain dari tauhid adalah persaudaraan (ukhuwah) universal dan semangat membebaskan diri dari kebodohan, kejumudan, kepicikan, dan kekerdilan yang sudah lama menyandera masyarakat Aceh. Asghar Ali Engeneer dalam ”Teologi Pembebasan” bahwa Tauhid merupakan ideologi yang memiliki semangat dan tujuan kemanusiaan yang berangkat dari kondisi kemanusiaan. Selanjutnya nilai-nilai ilahiyyah ini untuk membangun idealitas-idealitas tertinggi yang di fahami oleh manusia dan untuk manusia mencapai ridha Allah SWT. Semangat Tauhid menjadi instrumen untuk membebaskan manusia dari segala penindasan dan eksploitasi dan mentransformasikan masyarakat dari apa yang ada menuju apa yang seharusnya; mendorong perubahan dari kondisi- kondisi yang ada menjadi lebih baik dalam merajut peradaban. Konsepsi ini penting dipahami sebagai ikhtiar mencapai Aceh yang bertamaddun (berperadaban unggul).*)

Penulis adalah Devisi Riset & Data YICM, dan mantan Wasekjend PB HMI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kirimkan Komentar, kesan dan pesan anda untuk memjadi bahan agar situs ini makin baik kedepan...