10 Januari 2008

Syariat Islam Jalan Pencerahan






Menarik menyimak tulisan Muhammad Thalal (MT) tentang Pro Kontra Syariat Islam di Aceh--Cacatan untuk Mashudi SR--(Serambi Indonesia 13/2/2006), yang memberi kesan kekhawatiran mendalam terhadap pemikiran pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Kekhawatiran pertama Saudara MT terhadap semakin berkembangnya wacana syariat Islam dengan sudut pandang perbedaan yang menajam dan dikhawatirkan akan lahir sekte Islam baru di Aceh dan berujung pada pertumpahan darah di kalangan ummat.

Hal tersebut didasarkan pada kenyataan sejarah yang menunjukkan banyak korban akibat perbedaan faham dalam agama. Sebenarnya korban timbul bukan karena perbedaan faham agama akan tetapi lebih kepada adanya pemaksaan terhadap suatu faham yang tidak bisa menerima perbedaan, seperti yang dilakukan oleh khalifah al-Makmun dalam dinasti Abbasiyah yang memaksa imam Malik untuk menyetujui Kitab al-Muwatha’ untuk menjadi mazhab resmi negara, dan pemaksaan pemikiran mu’tazilah saja yang boleh berkembang. Sebagaimana kita juga mengalami saat rezim Orba berkuasa, memaksa pengamalan Pancasila serta tafsirnya dan tidak memberi ruang bagi perbedaan pemahaman sehingga negara dapat melakukan tindakan kekerasan dam pembunuhan atas nama Pancasila.

Demikian juga yang terjadi di kalangan kristen di Eropa yang memaksa tunduk pada tafsir injil oleh elit agama dan mengabaikan kebenaran penelitian ilmuan. Perbedaan faham adalah fakta yang besifat sunnatullah dan Rasulullah sendiri menghargai perbedaan pendapat sebagai rahmat Allah bagi manusia khususnya ummat Islam. Saya haqqul yakin walaupun Pak Fuad Mardhatillah mencetuskan Islam Protestan tidak akan mendirikan sekte Islam dan membuat masjid sendiri, tapi idenya masih dalam konteks pencerahan di tengah stagnasi kemapanan pemikiran yang jumud, elitisme pemikiran agama, dan menolak penyeragaman pemikiran khususnya dalam wilayah politik, dimana agama sering dijadikan komoditi.

Selanjutnya menyangkut transformasi syariat Islam dengan jalan demokrasi yang dikhawatirkan akan masuk nilai-nilai Barat ke Aceh secara terbuka dengan menyandarkan pada pendapat Saifuddin Duhri lulusan Al-Azhar Kairo, yang mengatakan bahwa Islam tidak boleh dipahami dengan menggunakan pendekatan subjektifitas Barat (demokrasi). Pendapat ini mungkin relevan dan benar jika kita mengundang orang barat ke Aceh dan meminta mereka untuk menafsirkan syariat Islam di Aceh seperti yang dilakukan tuan Snouck Hurgronje sehingga syariat Islam akan rusak sesuai selera dan budaya mereka. Padahal saat ini kita terjebak dalam Snouckiesme yang hanya mengagung-agungkan simbol-simbol agama. Akan tetapi dengan mengambil metode demokrasi dalam rangka membangun kemaslahatan dengan melibatkan cendikiawan, ulama, dan masyarakat Aceh menjadi sangat mustahil syariat Islam akan rusak. Satu hal bahwa fakta hari ini stika tidak stika demokrasi sudah berjalan di Aceh dan itu diakui oleh siapapun bahwa demokrasi bila dipakai oleh orang Islam, maka ia akan menjadi Islami (damai, saling menghargai dan dimenangkan oleh orang Islam).

Karena tidak mungkin ketika demokrasi diterapkan di Negara Islam yang berdaulat adalah orang Barat yang sekuler, sebagaimana dikutip oleh Mashudi dalam tulisannya Menuju Syariat Islam Demokratis (Serambi Indonesia 9/2/2007). Islam dan demokrasi bukan untuk dipertentangkan. Sebab keduanya saling menghargai dan menerima perbedaan.

Islam tidaklah identik dengan Timur dan demokrasi dengan Barat, karena Timur tidaklah lebih mulia dari Barat. Kebenaran itu bisa saja datang dari Barat atau dari Timur, bagaimana kemudian kita dapat memilih mana kebenaran yang memberi manfaat sebagai suatu hikmah sebagaimana pesan Nabi; ’ambillah hikmah dari manapun datangnya meskipun dari mulut anjing’. Kemudian menyangkut dengan kekhawatiran transformasi syariat yang mengandalkan akal bisa menyebabkan salah kaprah bahkan berbahaya, merupakan kekhawatiran yang berlebihan.

Akal adalah sesuatu yang bersifat ilahiyah dan suci sebagai anugerah Allah kepada manusia sebagai perangkat untuk memahami pesan-pesan Allah, baik berupa ayat-ayat qauliyah (Quran dan Hadist) maupun ayat-ayat kauniyah (alam semesta). Sehingga mendapat pencerahan sebagai ulul albab dalam menjalankan tugas kekhalifahan di muka bumi. Maka akal umat Islam hampir bisa dipastikan akan dibimbing oleh wahyu sebagai fondasi nilai-nilai Islam, apalagi bicara soal syariat Islam sangat tidak mungkin orang melepaskan diri dari wahyu.

Syariat yang secara etimologis (bahasa) bermakna jalan menuju mata air dalam makna ini sesungguhnya mengandung filosofi bahwa syariat Islam adalah jalan menuju pencerahan penjernihan dan pembebasan dari segala kekumuhan, kejumudan, kebodohan ummat. Syariat yang bersifat mutlak dan absolut ketika singgah dalam pemahaman manusia, menjadi relatif kebenarannya dan besifat nisbi, karena hakikat dari syariat hanya Allah yang tau sebagai kebenaran mutlak.

Manusia hanya bisa berusaha mendekatinya dengan akal yang dianugerahkan kepadanya yang kemudian dirumuskan dalam bentuk hukum. Memahami teks Quran dan Sunnah terdapat berbagai tingkatan lafazd teks yaitu, jelas, lebih jelas, sangat jelas, dan paling jelas. Tingkatan ini juga menunjukkan relatifitasnya pemahaman teks itu oleh para fuqaha (ahli fiqh). Maka tidak heran kemudian dalam Islam muncul banyak mazhab, Hanafi Maliki Syafi’i, Hambali di kalangan sunny, dan Mazhab Jakfary di kalangan Syi’ah sebagai konsekwensi dari perbedaan yang tidak mungkin dihindari.

Perbedaan pemahaman itu sendiri dipengaruhi oleh latar belakang tingkungan sosial polititik mereka dan kebutuhan serta problem ummat saat itu di tempat mereka hidup. Sesungguhnya dengan semakin banyak orang yang mendiskusikan tentang syari’at Islam baik dalam seminar lokakarya, diskusi publik, media massa, maupun di warung kopi pos jaga dan tempat lainnya merupakan suatu hal positif yang mencerahkan. Hal ini menunjukkan masyarakat punya kepedulian untuk mengetahui memahami--semoga ada kesadaran-- mengamalkan syariat bagi pedoman kehidupan dan menghindarkan mereka dari taqlid buta.

Perbedaan ”pro dan kontra” sudut pandang mana wilayah privat dan publik yang akan diformalkan dari syariat mesti diperdebatkan agar mencapai satu produk qanun yang bisa dipahami oleh semua orang di Aceh dan tidak perlu dikhawatirkan. Yang mengkhawatirkan adalah ketika satu sarana lain mengklaim pemahamannyalah yang benar dan menjadi berbahaya ketika menghakimi seseorang telah menentang syariat atau kafir, apalagi sampai harus ada yang dikorbankan. Membebaskan ummat dari kegegelapan menuju pencerahan qanun syariat Islam saat ini baru mengatasi gejala dari penyakit sosial yang nampak kepermukaan, tapi masih jauh dari akar masalah sehingga belum bisa mengamputasi biang kemungkaran di tengah masyarakat yang sejatinya mendapat jawaban dari pelaksanaan syariat Islam.

Sesungguhnya akar permasalahan ummat yang sudah lama terjerembab dalam lembah kemiskinan dan kebodohan adalah lemahnya rasionalitas dalam memahami Alquran secara metodelogis dan operasional untuk menciptakan sistem sosial yang berkeadilan dan berperadaban. Sistem dan struktur saat ini cendrung mempermanenkan kemiskinan dari ketidakadilan distribusi pendapatan terhadap masyarakat. Tentu dari miskinnya moral pemerintah dan aparaturnya dalam mengelola anggaran dan pelayanan publik--yang miskin tambah miskin dan yang kaya semakin kaya--berimplikasi pada munculnya penyakit kebodohan dari sulitnya akses pendidikan terhadap simiskin, dari sistem maupun kurikulum yang belum mampu mencerdaskan masyarakat. Kebodohan telah memenjara jiwa-jiwa yang miskin dalam lorong-lorong yang gelap yang melahirkan tindakan-tindakan nekad dan bodoh semacam perjudian, minum khamar, dan jenis kejahatan lainnya.

Realitas inilah yang perlu disadari dan pahami oleh pembuat kebijakan untuk merumuskan satu sistem dalam bentuk qanun yang dapat memangkas akar masalah yang menjadi biang kemungkaran menuju pencerahan ummat yang berperadaban (bertamaddun). Maka kegelapan yang masih menyelimuti negeri kita mulai dari birokrasi yang korup, pemusatan kekuasaan di tangan kekuatan politik yang rakus, pemilik modal yang kikir dan bakhil. Sehingga tidak jelas lagi mana kepentingan publik dan mana kepentingan pribadi.

Keberagamaan yang simbolis dan seremonial tidak bisa menghentikan massif dan ekstensifnya kejahatan terhadap pengrusakan lingkungan. Kejahatan struktural inilah yang menjadi biang kemungkaran yang ditunggu jawabannya oleh masyarakat dengan qanun syariat Islam. Sehingga membuka jalan menuju pencerahan ummat yang berkeadilan dan kemakmuran materil sekaligus spiritual. Semoga!



*) Penulis adalah alumni Fakultas Syari’ah lAIN Ar-Raniry, pernah menjadi Mahasiswa Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam bidang Ekonomi dan Keuangan Syari’ah Universitas Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kirimkan Komentar, kesan dan pesan anda untuk memjadi bahan agar situs ini makin baik kedepan...