10 Januari 2008

Memaknai Globalisasi (Mengubah ancaman menjadi mutiara)



Globalisasi sangat menggelisahkan sebagian masyarakat kita. Karena globalisasi telah menjadi sarana perluasan emperialisme yang mengancam kearifan, nilai-nilai lokal dan maraknya imitasi (peniruan) budaya pop bagi generasi muda. Kecanggihan teknologi imformasi sebagai instrumen globalisasi menjadi ancaman yang menakutkan dan momok yang menyeramkan.
Kini kita berada di persimpangan jalan peradaban. Dominasi kapitalisme global melalui rezim neo-liberalisme semakin menancapkan kekuasaannya ke setiap lini kehidupan jagad raya ini. Lalu budaya yang serba menghambakan diri pada materi, kekuasaan, ego, dan nafsu bilogis kian mekar. Di sisi lain himpitan ekonomi-politik juga telah meminggirkan umat Islam ke situasi mustadh’afin yang terkoyak di semua lini. Situasi paradoks tersebut kadang menampilkan perilaku muslim yang saling bermusuhan (antagonistik). Kita bersemangat untuk serba ingin Islami pada kulit luar, minus substansi, kehilangan kejujuran yang alami, sekaligus mengandung politisasi “nuansa islami” di ruang publik yang beraroma kemunafikan.
Situasi sosiologis yang sarat hegemoni, godaan, dan himpitan telah melahirkan ekstremitas baru dalam bangunan umat Islam. Islam menjadi serba teosentristik---bertindak atas nama Tuhan---ala Barat abad pertengahan. Lantas haruskah kita mengulang teater kelu yang menghukum seluruh produk ilmu pengetahuan dan teknologi dan menyalahkan globalisasi dengan vonis haram karena tidak terdapat dalam Alquran dan Alhadist? Pada kenyataanya sikap apriori ini tidak dapat mengubah sedikitpun kondisi yang ada. Di sinilah pentingnya mendiskusikan Islam sebagai jalan pencerahan.
Islam diwarnai dengan gerak yang penuh mozaik dan menawarkan jalan peradaban baru; jalan pencerahan menuju Islam yang berkemajuan.
Sesungguhnya Islam empat belas abad silam telah lahir dengan semangat globalisasi dan menyeru kepada umat manusia untuk melakoni globalisasi sebagaimana firman Allah dalam Alquran surat Ar-Rahman ayat 33 “hai masyarakat jin dan manusia, jika kamu sanggup melintasi (menembus) penjuru langit dan bumi (globalisasi), maka lintasilah, kamu tidak akan sanggup melintasinya melainkan dengan kekuatan (ilmu pengetahuan, teknologi, kemampuan ekonomi dan politik)”. Dalam surat al-Jum’ah ayat 10 Allah berpesan kepada orang-orang beriman “apabila telah selesai menunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi (melakukan interaksi globalisasi)...”
Kehadiran Islam sebagai agama tiada lain untuk pencerahan kehidupan masyarakat global, “lituhrijannas minal-dhulumat ilan-nur”, membebaskan manusia dari kegelapan (kejahiliyahan) kepada cahaya (kebenaran, al-Islam). Pesan globalisasi inilah yang kemudian menumbuhkan tradisi pencerahan di kalangan masyarakat Arab yang awalnya sangat primitif.
Pesan-pesan Alquran menjadi salah satu kekuatan peradaban di pentas dunia, yang menyebar dari jazirah Arabia kemudian menglobal ke seluruh penjuru dunia sebagaimana misi Islam menjadi rahmatan lilalamin (rahmat bagi kehidupan globalisasi). Lalu kenapa kita ummat Islam hari ini menjadi korban dan tumbal globaliasi? Itu karena kita tidak lagi membaca Alquran sebagai sumber inspirasi penghayatan tapi cendrung kita perlombakan bahkan sebagai hiasan atau pengusir makhluk halus.
Hari ini kita cendrung menjadi umat konservatif yang anti perubahan. Dengan kebodohan kita mengkampanyekan anti globaliasasi. Padahal Islam sebagai agama merupakan inspirasi penggerak perubahan. Karena perubahan sebagai sunnatullah, artinya tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri. Sikap konservatif yang anti perubahan adalah sikap yang melawan sunnatullah. Maka pertanyaan kemudian adalah kenapa globalisasi itu sarat dengan kemungkaran?
Sesungguhnya yang mengambil peran untuk mengelola perubahan bukan globalisasi, tapi masyarakat yang bebas nilai dan memamfaatkan ilmu yang dimilikinya untuk menkampanyekan budayanya yang tidak sesuai dengan Islam. Mereka telah menangkap semangat global yang dipesankan Alquran, tapi bukan nilai ajaran Islam itu. Padahal manusia barat juga manusia yang memiliki potensi kemanusiaan (intelektual) sama dengan manusia Timur yang mayoritas muslim. Kita sendiri menjadi kufur nikmat dengan tidak memaksimal potensi kemanusiaan yang dianugerahkan Allah SWT, sehingga kita tidak bisa mendorong perubahan ke arah yang lebih baik dengan memamfaatkan seluruh hukum perubahan. Semestinya, arus teknologi imformasi yang kita anggap ancaman, dapat dan mampu kita ubah menjadi sesuatu yang bermanfaat. Dalam hal ini kita perlu belajar dengan kerang di lautan yang mengubah ancaman pasir bagi dirinya bila masuk ke dalam tubuhnya yang sangat lembut dapat mengancam hidupnya tapi ia mampu mengubah menjadi mutiara yang berharga.
Menjadi penting bagi kita umat Islam, untuk kembali mengambil peran sebagai pelaku setiap gerak perubahan yang berbasis nilai-nilai kerasulan (Wahyu Allah). Semangat globalisasi sebagaimana yang dipesankan Tuhan pemilik globalisasi (alam semesta) seperti firman-Nya, “ma wa arsalna-ka illa rahmatan lil-‘alamin” adalah semangat gerak dinamis Islam yang hadir melintasi batas-batas geografis kenegaraan sebagai rahmat bagi semesta alam.
Islam sebagai agama kehidupan senantiasa menghadirkan semangat kemodernan. Ruh Islam sebagai kekuatan peradaban harus kembali diaktualisasi dalam kehidupan ummat Islam, bukan Islam menjadi anti-kemajuan dan anti-peradaban. Bukan pula wajah Islam yang maya, tampak murni dari luar tapi tidak otentik dalam isi dan perilaku. Bukan Islam sekadar ornamen nan elok dipandang yang banyak menyembunyikan agenda politik. Tapi Islam yang sungguh-sungguh otentik, sekaligus mencerahkan kehidupan.
Kekuatan Islam terletak pada susbtansi ajarannya, yang sejatinya memang bercorak otentik (murni, asli) sekaligus modern atau berkemajuan. Karena itu, sejak kelahirannya Islam yang dibawa Nabi akhir zaman juga melakukan pencerahan sebagai gerak yang menyatu dalam risalah rahmatan lil alamin. Islam melakukan penguatan nilai yang revolusioner terhadap sangkar besi jahiliyah, yang melahirkan gerak--takhrij min al-dzulumat ila al-nur. Itulah substansi sekaligus gerak pencerahan Islam. Membebaskan manusia dari kegelapan (dalam makna yang seluas-luasnya) ke kehidupan yang bercahaya (dalam makna yang juga luas seluas dimensi ajaran Islam).
Islam membebaskan dan mencerahkan
Selang tiga abad hingga kejatuhannya di Baghdad tahun 1258, Islam telah hadir menjadi kekuatan sejarah baru dalam peradaban dunia. Di era itu semangat Islam telah melahirkan banyak perubahan yang spektakuler dari rahim Islam. Kemajuan pemikiran filsafat (kalam), ilmu pengetahuan dan teknologi, hingga ke format budaya baru yang berbasis akhlaq dan kemoderenan sungguh sebuah peradaban yang agung dengan karya-karya yang ditulis oleh Ibn Rusyd, Ibn Sina, Al-Ghazali, Al-Farabi, Al-Hawarizmi, Al-Kindi, Ibn Khaldun, dan pemikir-pemikir besar Islam lainnya menjadi referensi sekaligus inpirasi perkembangan peradaban yang spektakuler. Padahal saat itu Barat tengah tertidur lelap dalam buaian teosentrisme dan alam pikiran yang jumud, bahkan gelap gulita.
Rentang abad tengah (9 s/d 10 M) sebagai abad kebangkitan intelektual dan kultural Islam yang sepektakuler dengan revolusi pemikiran dan budaya Islam yang bercorak peradaban baru---the new civilization---menyambung matarantai peradaban sebelumnya (Yunani, Babylon, Persia). Islam yang kosmopolit, humanistik, kultural, dan saintifik yang puncaknya pada era Abasiyyah. Kemudian mengalami kemunduran, bahkan kejatuhan. Selanjutnya Barat mengambil alih peran di pentas global. Kemodernan yang dialami Barat tidak terlepas dari semangat pencerahan dari umat Islam saat terjadi interaksi di Andalusia.
Transformasi semangat kemodernan ilmu pengetahuan yang melahirkan sejumlah teknologi kemudian terbit dari wilayah Eropa kemudian Amerika, yang melahirkan peradaban baru hingga kini. Hanya saja, gerakan pencerahan di Barat coraknya berbasis humanisme yang sekularis (memisahkan nilai agama dengan ilmu pengetahuan). Ketinggian ilmu pengetahuan dan teknologi serta pemikiran selanjut melahirkan nihilisme (kekosongan spiritualitas) dan ateisme Barat, yang membuahkan krisis moral yang kronis. Pilihan humanisme-sekuler di Barat sebagai bentuk pemberontakan terhadap teosentrisme agama yang jumud pada abad pertengahan. Hegemoni gereja yang luar biasa monolitik dan anti sains serta anti-humanisme telah menampilkan kekuasaan politik yang despotik atas nama Tuhan.
Renaisans Barat menjadi pendulum peradaban di pentas global yang melahirkan banyak paradoks dalam peradaban modern yang ditampilkannya. Namun dalam gerakan ilmu pengetahuan dan pemikiran Barat ada sisi positif yakni lahirnya tardisi filsafat dan ilmu sosial kritis. Salah satu tokohnya Kant memperkenalkan filsafat pencerahan, kemudian dilanjutkan oleh para pemikir kritis seperti Habbermas, Horkaimer, Ardono, dan para pelanjutnya yang melahirkan gerakan praksis emansipatoris yang menyertai perkembangan ilmu-ilmu sosial kritis untuk pencerahan. Sekarang, kita umat yang meyakini Islam sebagai agama yang sempurna sebagai wahyu akhir zaman yang diturunkan kepada umat manusia (QS Al-Maidah/5:3), seharusnya menjadikan Islam sebagai inspirasi sekaligus frame bagi pencerahan dengan memberdayakan ummat Islam yang rigid (kaku), tertutup, dan anti kemajuan.
Sekaligus menyelamatkan generasi muslim yang cenderung gampang marah dan tidak jarang serba politis atas nama agama. Akhirnya kita harus mengubah ancaman globalisasi yang dikendalikan barat dengan segenap potensi kemanusiaan kita menjadi mutiara bagi kemajuan ummat kedepan dengan menyelami kembali khazanah Islam yang luas, yang mencerahkan. Mengubah globalisasi dengan mempelajari dan menguasai sekaligus sebagai alat mendakwahkan Islam yang rahmatan lil alamin. Semoga!*)

Penulis adalah Peminat Sosial Keagamaan tinggal di Banda Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kirimkan Komentar, kesan dan pesan anda untuk memjadi bahan agar situs ini makin baik kedepan...